75 Arc 3-3 Ch 3 - Perpecahan Keluarga

Kalau ada yang aneh atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau ada bagian mengganjal, tanya langsung juga tidak apa-apa. Selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

============================================================

"Calon istrinya adalah pengendali timah? Lalu, kenapa dia maju sendiri? Dia tinggal meminta calon istrinya mengembalikan semua peluru itu, kan?"

"Kalau dia memang mau selesai dengan cepat dan efektif, metode itu memang tepat. Tapi, mungkin, dia punya tujuan lain."

"Tujuan lain?"

"Yah, masih kemungkinan sih."

Saat ini, kami sedang mengamati Lugalgin yang bertarung. Kami berdua berada di sebuah atap gedung dengan teropong yang terpasang pada senapan.

"Pertama, lawannya adalah keluarga Alhold. Mungkin dia ingin memberi pelajaran pada keluarga Alhold. Kalau calon istrinya yang melakukan pembersihan, keluarga Alhold tidak akan mendapat pelajaran dan akan terus mengganggunya."

"Hoo, bisa, bisa."

"Lalu, kemungkinan kedua, dia ingin menunjukkan pada orang-orang seperti kita, yang sedang mengamati, kalau dia bukanlah orang yang bisa diremehkan. Meskipun ada rumor yang mengatakan Sarru adalah muridnya, tapi orang tidak akan percaya begitu saja, kan? Dan, dengan cara ini, dia menunjukkan kalau dirinya tidak bisa diremehkan."

Dia tidak menjawab, dia lebih fokus pada Lugalgin yang bertarung. Atau aku harus bilang, membantai lawan-lawannya.

"Uah, brutal sekali. Dia melemparkan bagian tubuh lawan? Menginjak usus? Dia bukan manusia."

Aku tersenyum mendengar respon rekanku. Reaksinya membuatku teringat ketika pertama kali menemuinya. Dulu, dia juga sedang di tengah pertarungan.

"Hahaha, kamu belum melihat kemampuannya yang sebenarnya."

"Eh? Dia belum serius?"

"Tidak. Dia belum serius. Kalau dia serius, dia sudah membawa peti mati di punggungnya. Selain itu, entah kenapa, dia juga melepas sarung tangan warna kulitnya itu."

"Hoo, kamu tahu banyak ya."

"Hehe, tentu saja. Aku sudah bekerja dengannya selama dua tahun lebih. Bahkan, walaupun aku belum menyatakan dukungan terhadap kebijakan intelijen kerajaan yang baru, dia sudah mengirim pesan agar aku tidak usah bergerak, cukup menonton. Jadi, tampaknya, dia tahu siapa saja yang mengamati serangan ini."

Ahh.... aku tidak bisa menyembunyikan senyum di wajahku. Keputusanku untuk menjadi rekan kerjanya saat itu adalah keputusan yang tepat

***

"Jangan coba-coba!"

Nammu tidak menyelesaikan kalimatnya. Dia, dan aku, menoleh ke sumber suara.

Di ujung jalan, terlihat beberapa cahaya mobil berjajar. Kali ini, yang datang bukanlah remaja atau orang seumuran denganku, tapi orang-orang yang tampaknya berusia di atas 40 tahun.

Beberapa orang berlari, menuju ke tubuh yang berserakan.

"Tidak! Hainan!"

"Eudit! Tidak! Jangan pergi!"

"Lyo, apa kamu masih hidup?"

Mereka menangis sambil memeluk tubuh yang tidak bernyawa. Yah, untuk Lyo masih bernyawa sih, tapi tidak akan lama lagi.

Di lain pihak, tidak ada seorang pun yang mendatangi Nammu. Satu-satunya keluarga Nammu, Chez, hanya berdiri di kejauhan. Orang ini juga lah yang tadi berteriak, menyela Nammu. Ngomong-ngomong, ayah berdiri di samping Chez.

Namun, aku penasaran. Suara Nammu cukup pelan. Dan, jarak mereka cukup jauh. Apa benar Chez menyela Nammu? Atau dia mengira aku akan membunuh Nammu dan menghentikannya?

"Jangan sampai kau termakan tipuan inkompeten itu. Aku tidak mau putriku menjadi sampah seperti putri Deuter."

Dan, tiba-tiba, dia membahas Ufia.

"Tapi, tapi, ayah–"

"Lebih baik kau mati daripada menjadi sampah. Setidaknya kalau kau mati, Corba akan memiliki alasan untuk membalas dendam."

Ouch, sakit sekali ucapannya. Dia lebih memilih melihat putrinya mati daripada berdamai denganku. Aku jadi kasihan. Sedikit.

Aku melihat ke arah Nammu. Awalnya, aku mengira tangisan Nammu akan semakin deras dengan wajah yang terlipat-lipat, tapi tidak. Kini, Nammu justru menggertakkan gigi. Air mata tidak lagi mengalir. Matanya justru memandang tajam, penuh kemarahan.

Hei, jangan marah. Kamu bisa kehilangan darah semakin cepat.

"Tidak heran ibu memilih pergi! Aku sudah melakukan semua hal untuk membuatmu bahagia, tapi apa kau pernah memujiku sekali saja, hah? Aku bahkan tidak pernah mendengarmu mengucapkan terima kasih!"

"Diam!"

"Apa kamu lebih memilih istrimu yang sekarang gara-gara dia bisa membahagiakanmu? Apa gara-gara dia menurut? Tidak seperti ibu yang marah ketika berbuat buruk pada Lugalgin, hah?"

"AKU BILANG DIAM!"

Di saat itu, puluhan benda melayang di udara, mengepungku dan Nammu. Semua benda itu adalah peluru timah yang berserakan. Dengan pengendalian, Chez mencoba meluncurkan semua peluru itu, mencoba membunuh kami. Yap, mencoba.

Semua peluru itu akhirnya hanya melayang, tidak meluncur ke arah kami. Di belakangku, Inanna menggunakan pengendalian untuk menahan peluru yang beterbangan.

Karena jarak Inanna lebih dekat dengan peluru-peluru ini, pengendaliannya pun menang. Atau, bisa saja pengendalian Inanna memang lebih kuat daripada pengendalian Chez.

"Nammu," aku berbicara dengan lantang, memastikan suaraku terdengar oleh semua orang. "Kalau kau membuang nama Alhold dan memberi sumpah kesetiaan padaku sekarang juga, tidak hanya kau akan kularikan ke rumah sakit dan Corba kuampuni. Aku juga akan membawa Corba ke sisimu. Ketika kau sadar di ruang perawatan, aku pastikan Corba adalah orang pertama yang kau lihat."

Reaksi wajah Nammu berubah. Giginya tidak lagi menggertak. Kini, sebuah senyuman menunjukkan gigi penuh darah terkembang. Sebuah senyum yang cukup mengerikan kalau aku bilang.

"Aku, Nammu Via Alhold, mulai saat ini membuang nama Via Alhold. Dan, aku bersumpah akan memberikan kesetiaanku pada Lugalgin!"

"BRENGSEK!"

"Aku, Lugalgin, menerima sumpahmu." Aku tersenyum. "Emir, Shu En, bawa Nammu ke rumah sakit."

"Baik!"

Emir dan Shu En bergerak dengan cepat. Tanpa perlu bertanya, mereka tahu apa yang perlu dilakukan.

Emir menggunakan Krat untuk membawa Nammu pergi dari tempat ini. Kalau melayang, mereka bisa tiba di rumah sakit dalam waktu beberapa menit. Shu En dibutuhkan untuk mengurus semua administrasi dan mengkoordinasi agen schneider yang berjaga.

Aku mengeluarkan handphone dan membuat panggilan.

"Kau mendengar janjiku, kan?"

[Ya, aku mendengarnya.]

"Apa kau mau melakukannya?"

[Sudah dalam proses.]

"Hee, kalian bergerak cepat ya. Aku tunggu kabar baiknya." Aku menutup telepon. "Aku baru saja menelepon perwakilan Akadia. Kalau kalian mau mencegahku mengambil Corba, kalian harus melawan satu dari enam pilar.

"KAU!"

Meski samar-samar, karena gelap, aku bisa melihat urat nadi muncul di kepalanya. Dia terus menggertakkan gigi. Berkali-kali dia mengayunkan tangan, mencoba meluncurkan semua peluru di sekitarku. Namun, Inanna terus menahannya.

Inanna maju ke sampingku. Dia masih menahan semua peluru yang melayang. Tanpa Inanna menggerakkan tangan atau satu anggota tubuh, semua peluru di udara perlahan turun, bersiap di sekitar anggota keluarga Alhold. Saat ini, Inanna menyandera anggota keluarga Alhold di sini.

Aku melihat sebuah senyum di wajah Inanna. Aku tidak yakin dia tersenyum karena telah berhasil menguasai keadaan atau karena merasa superior terhadap pengendalian timah Chez. Ya, untukku, itu tidak penting.

Belum sempat aku memasukkan handphone ke saku, aku melihat sebuah pesan masuk. Dengan santai, aku membaca pesan itu.

Ah, begitu ya.

Setelah membaca pesan pun aku memasukkannya ke saku.

"Bagaimana kalau kita akhiri saja pertikaian malam hari ini? Daripada lebih banyak korban jiwa berjatuhan?"

Tampaknya, ayah tidak ingin bertikai denganku lebih lanjut. Dia pun menyetujui saranku.

"Sudahlah, Chez, bagaimana kalau kita pulang saja?"

"APA? Ini semua gara-gara anakmu! Kalau kau tidak menikahi perempuan jalang itu dan melahirkan inkompeten itu, ini semua tidak akan terjadi."

Aku langsung maju, menerjang. Sekuat tenaga, aku mengayunkan pedang.

Clang

Sayang sekali, pedangku tidak sanggup mencapai kepala Chez. Ayah menahan pedangku dengan sebuah lampu jalan yang dia kendalikan. Tanpa aba-aba, ayah sudah meluncurkan satu tiang lampu lain ke arahku.

Aku menarik pedang dan menggunakan gagang shotgun untuk melindungi tubuh sambil menghindar. Aku melancarkan serangan lain. Kali ini, serangan tidak mengarah ke Chez, tapi ke ayah.

"Gin, mundur!"

"Di barat ada sebuah ungkapan seperti ini. Orang pertama yang harus kau hormati adalah ibumu. Orang kedua yang harus kau hormati adalah ibumu. Orang ketiga yang harus kau hormati adalah ibumu. Kemudian ayahmu. Jadi, jangan harap aku akan tinggal diam kalau ibu dihina."

Dan lagi, aku juga ingin menyerang Chez. Tidak ada alasan spesifik seperti aku dendam atau membenci Chez. Hanya tiba-tiba ingin menyerangnya saja. Biasa lah, angin lalu.

Aku dan ayah pun mulai bertikai. Ayah sama sekali tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Dia hanya mengirim beberapa tiang listrik sementara aku bergerak, menebaskan pedang dan shotgun untuk menghalau tiang listrik yang datang ke arahku.

Saat ini, posisinya seperti ayah mengayunkan tongkat raksasa sedangkan aku harus menebas dan menghindarinya. Beberapa kali aku berhasil mendekati ayah. Namun, ketika aku mendekat, dia akan menambah tiang listrik yang dikendalikan, membuat seranganku gagal.

Akhirnya, aku memilih mundur.

"Gin, aku tidak mau memperpanjang masalah. Lebih baik kamu mundur untuk malam ini."

Sambil mengatakannya, ayah mengendalikan delapan tiang listrik. Delapan tiang listrik tersebut bisa meluncur ke arahku kapan saja dia mau.

"Tampaknya, malam ini, aku mendapat kesempatan untuk serius."

Aku melepas sarung tangan berwarna kulit di kedua tangan dan memasukkannya ke saku.

Kini, aku dan ayah saling bertukar pandangan tajam. Tidak satu pun mau mengalah. Sementara ayah menggertakkan gigi, aku bisa merasa ujung bibirku melengkung ke atas.

Tiba-tiba saja, sebuah suara musik terdengar kencang. Memecahkan perselisihanku dengan ayah.

"Sebentar! Time out! Aku mau mengangkat telepon dulu."

Setelah melihat siapa yang menelepon, aku pun mengangkatnya.

[Halo, gin, bisa tolong kamu loudspeaker dan arahkan handphonenya ke ayahmu?"

"Ah, oke..."

Aku tidak tahu ibu mau bilang apa, tapi aku menurutinya.

[Jadi, ini ya alasanmu keluar malam-malam tidak izin? Lalu, tampaknya kamu tidak menyangga ucapan adikmu yang menyatakan aku perempuan jalang. Bukan hanya itu! Barun, berani-beraninya kamu menyerang Lugalgin ketika yang salah adalah adikmu! Mulai malam ini, kamu tidak usah pulang ke rumah perempuan jalang ini! Kembali saja ke rumah ayahmu itu. Lugalgin, sudah, kamu pulang saja. Tidak usah urusi mereka.]

Belum sempat ayah atau aku memberi respon, telepon sudah putus. Kami berdua terdiam.

Aku hanya bisa menghela nafas berat sambil memasukkan handphone ke saku.

"Jadi, bagaimana Gin?"

"Aku akan menuruti ibu," aku menjawab Inanna. "Sudahlah, ayo pulang. Kamu yang mengemudi ya."

"OK!"

Kami berbalik, menuju ke mobil. Sebelum kembali, aku membawa pintu yang tadi kulepas. Meski tidak bisa dipasang, setidaknya aku bisa memeganginya dari dalam, menghalau dingin malam.

Sambil berjalan, Inanna mengumpulkan semua timah di tangan kanan, menjadikannya sebuah bola timah besar.

"Brengsek!"

Tiba-tiba sebuah teriakan terdengar. Aku berbalik dan mengangkat pintu, mencoba melindungi diri dan Inanna dari serangan tiba-tiba itu.

Namun, tidak peduli selama apapun aku menunggu, serangan tiba-tiba itu tidak kunjung datang. Sebagai gantinya, terdengar sebuah suara logam bertabrakan di balik pintu. Bukan hanya suara logam bertabrakan, aku juga merasakan sebuah kehadiran yang amat sangat aku kenal.

Perlahan, aku menyingkirkan pintu mobil. Di antara kami dan para keluarga Alhold, sebuah sosok pendek berdiri dengan sepasang pedang di kedua tangan. Di jalan, terlihat beberapa logam tajam tergeletak.

Sosok ini mengenakan topeng badut. Aku tidak tahu dia mengenakan pakaian macam apa karena tertutup oleh jubah hitam. Yang jelas, tampaknya, dia membawa sesuatu yang besar di punggung dan kedua pinggang. Sosok ini tidak mengenakan wig, tapi cat rambut temporer. Meski sudah berusaha mengubah penampilan, sayangnya, aku masih bisa mengenalinya.

"Licik sekali kau menyerang dari belakang. Meski aku marah dengan kelicikanmu, aku masih berbaik hati. Aku tidak akan menyerang kalau kalian bersedia mundur saat ini juga."

Suara sosok ini agak serak. Tampaknya ada sebuah pengubah suara di topengnya.

Aku tidak tahu apakah mau marah, tertawa, atau cemberut? Entahlah. Namun, untuk sementara, aku menunggu, ingin melihat perkembangan.

"Jangan mengganggu!"

Beberapa logam melayang. Kali ini, Chez menggunakan pengendalian pada semua logam di sekitar. Dia tidak lagi menggunakan penggunaan utama. Tampaknya, dia jarang menggunakan pengendalian pada besi. Yang bisa dia lakukan hanya sebatas melempar senjata-senjata itu.

Sosok bertopeng badut tidak diam saja. Dari balik jubah yang dia kenakan, terlihat enam benda bergerak dengan sangat cepat.

Benda yang bergerak adalah sebuah pasak yang terikat pada tali logam. Kalau aku tidak tahu siapa sosok di depanku, aku hanya akan menganggap tali itu sebagai kabel baja, bukan kabel aluminium.

Enam benda itu menembus semua logam dan tiang listrik yang melayang. Dalam sekejap, semua baja dan tiang listrik sudah berada di bawah kendali sosok ini. Sekarang, sosok ini tampak seperti sebuah gurita.

Kini, pandanganku beralih ke ayah.

Ayah mengarahkan pandangan ke satu tiang lampu lalu mengangkat tangan, mencoba mengendalikan satu tiang lampu. Kalau pengendalian fokus hanya pada satu titik, pengendalian orang tersebut akan meningkat drastis.

Meski tiang lampu itu telah terhubung dengan pasak dan baja aluminium yang dikendalikan sosok di depanku, jarak ayah terhadap semua tiang lampu lebih dekat. Ditambah ayah yang tampaknya fokus pada satu tiang lampu, seharusnya dia bisa mengambil kendali setidaknya satu tiang lampu.

Namun, sayangnya, tidak ada tanda-tanda tiang lampu itu akan kembali ke pengendalian ayah.

"Apa kalian masih mau melanjutkan pertikaian sia-sia ini?"

Satu kabel baja bergerak, membanting tiang lampu ke jalan. Suara logam yang terbanting memberi pesan yang sangat dalam.

"Mundur!"

Akhirnya Chez memberi perintah. Orang-orang ini pun menurut. Mereka membawa jasad putra putri yang tak bernyawa dan meninggalkan kami.

Di lain pihak, ayah hanya melempar pandangan tajam padaku. Lalu, sejenak, dia melempar pandangan pada sosok di sampingku. Ayah hanya menggertakkan gigi dan melihat ke sosok ini. Kedua tangannya mengepal begitu kuat.

Aku tidak yakin ayah marah atau merasa dipermalukan. Namun, melihat reaksi ayah, tampaknya dia tidak menyadari identitas sosok ini.

Bukan hanya di depan, orang-orang yang di belakang pun pergi.

Akhirnya, kondisi kembali normal. Aku memberi pintu ini pada Inanna sementara aku mendekat ke sosok bertopeng.

Sosok bertopeng badut ini berbalik, melihat ke arahku.

"Tidak usah berterima kasih. Aku hanya melakukan sesuatu yang sudah seharusnya. Mengeroyok satu orang bahkan menyerang dari belakang. Mereka benar-benar licik."

Aku tidak menghiraukan ucapan sosok ini. dengan cepat, aku memegang satu kabel aluminium yang ada di sampingnya.

Suara benda dan logam berjatuhan pun terdengar. Logam ini langsung kehilangan efek pengendalian dan menjadi kabel logam biasa.

"Eh?"

"Bisa tolong jelaskan, apa yang kamu lakukan di sini malam-malam, Ninlil?"

Tidak terdengar jawaban. Sosok ini hanya terdiam dan memalingkan wajah.

"Ma, maaf. Tampaknya kamu mengira aku orang lain. Aku tidak mengenal orang yang kamu maksud."

Sekarang aku paham kenapa ibu bisa tahu identitasku sebagai Sarru. Ada kemungkinan anggota Akadia melaporkan keberadaanku sebagai Sarru. Kalau hanya dari laporan, mungkin ibu tidak akan bisa langsung tahu kalau. Dia mungkin mengamatiku dari kejauhan dengan teropong atau semacamnya.

"Apa kamu kira aku tidak akan mengenalimu? Ayolah. Aku yang mengganti popokmu, memandikanmu, dan melihat perkembanganmu sedari kecil. Aku tahu semua kebiasaanmu. Yang merawatmu adalah aku. Bukan ibu atau ayah. Bahkan teknik kabel aluminium ini adalah ideku."

"Ma-maaf, aku tidak paham kamu bicara apa." Jawabnya sambil mengarahkan pandangan ke arahku.

Masih bersikeras juga ini anak.

Aku mendekatkan kepala ke samping sosok ini dan berbisik, "Apa kamu mau aku memukul pantatmu di sini, sekarang juga? Dilihat semua orang yang sedang memperhatikan?"

Sosok ini langsung menegakkan punggung ketika mendengar ucapanku. Akhirnya, dengan tangan yang berat, dia pun membuka topeng badutnya, memperlihatkan sebuah wajah cantik yang tampak polos. Mata bulat dan lebar dengan warna hijau kebiruan memberi efek menenangkan bagi siapa pun yang melihatnya. Kalau dipadukan dengan senyuman, semua orang pasti akan terkesima.

Namun, sayangnya, kali ini dia tidak tersenyum. Ninlil hanya cemberut dengan bibir yang mencucuh.

"Iya, iya, kak, aku mengaku." Ninlil menjawab dengan bibir mencucuh. "Hu...uh... Baru juga mulai sudah ketahuan."

Bersambung

============================================================

Halo Semuanya. Minggu ini, kelihatannya, tidak ada catatan khusus. Jadi, langsung saja, seperti biasa. Author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜 / QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri.

Atau bisa juga kalian search twitternya. User Id artisnya @QYSThree

Terima kasih :D

avataravatar
Next chapter