101 Arc 3-3 Ch 29 - Alhold, Tamat?

Seperti biasa, kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

============================================================

"Wow, aku benar-benar tidak menduganya."

"Sama, aku juga."

Inanna merespon ucapanku dengan santai. Bahkan mungkin, terlalu santai.

"Inanna, kamu tidak apa-apa?"

"Ah? Aku tidak apa-apa. Justru aku sedang merasa santai karena kamu membantuku."

Jujur, hari ini, aku merasa Inanna agak aneh. Moodnya naik turun drastis hari ini. Tadi siang, dia menangis ketika tahu Lugalgin meniduri Lacuna. Yah, aku juga sebenarnya ingin menangis sih, tapi masih bisa menahannya.

Kembali ke Inanna. Setelah siang menangis, baru saja dia marah dan membentak Lugalgin. Lalu, sekarang, dia bisa merespon cerita Enlil yang didengar dari earphone dengan tenang. Apa dia sedang masanya? Namun seharusnya, tanggalnya bukan sekarang.

Saat ini, aku dan Inanna duduk di antara puing-puing kediaman Alhold. Sementara Inanna mempertahankan dinding api di utara dan timur, aku mempertahankan dinding api di selatan dan barat.

Bersama kami, ada Om Barun dan Ninlil. Om Barun tampak kelelahan. Dia merebahkan diri di atas tanah. Ninlil masih tengkurap dengan tangan dan kaki terikat. Terkadang, dia masih meronta. Namun, karena aku mengikatnya dengan sebagian dari Krat, dia masih tidak bisa melepaskan diri.

Aku beruntung karena membawa botol minum kecil berisi teh herbal. Bukan hanya aku, Inanna juga membawa botol minum kecil. Kami pun tidak bosan atau haus karena harus menanti Lugalgin.

"Yuan, kamu mendengar semua cerita itu juga?" aku bertanya.

[Ya, aku mendengarnya juga.]

"Kami melarangmu menceritakan hal ini pada siapa pun juga tanpa izin dari kami bertiga. Mengerti?"

[Baik!]

Perempuan ini, Yuan, memberi respon yang cepat dan lantang. Inanna juga penurut, tapi dia jarang memberi respons seperti Yuan. Kalau seperti ini, malah tampak Yuan yang sudah menerima latihan militer dan belum.

Tunggu dulu, latihan militer? Apa ini berarti Yuan berasal dari militer? Bisa jadi. Di lain pihak, entah kenapa, aku merasa bisa mempercayai perempuan ini. Bahkan, aku merasa dia lebih bisa dipercaya daripada Jeanne. Kenapa ya?

Untuk Lugalgin, dia bilang bisa mempercayai Yuan karena yang membawa adalah teman baiknya, Jin, yang kebetulan adalah pemimpin Guan. Kalau sampai Yuan berkhianat, Lugalgin tinggal menganggap Jin dan Guan memang ingin menjadi musuh.

Lugalgin, enteng sekali kamu bilang membuat satu dari enam pilar sebagai musuh. Mereka satu dari enam pilar tahu! Enam pilar! Satu dari organisasi pasar gelap terbesar di Bana'an. Meskipun saat ini kamu memiliki kendali atas dua dari enam pilar, bukan berarti kamu bisa mendeklarasikan perang begitu saja.

Ah, sudahlah. Memikirkan logika Lugalgin hanya membuang waktu.

***

Membiarkan Enlil bercerita selama satu jam lebih adalah ide yang buruk. Meski tanpa pengendalian, dia masih mampu melancarkan serangan tangan kosong dengan cepat dan lihai. Karena ayah hanya menghabiskan stamina Enlil, dengan beristirahat dia bisa kembali normal seperti sebelumnya.

Sebuah tinju mendatangi kepala. Aku menggunakan tombak tiga mata untuk menangkisnya, lalu menggunakan bagian belakang untuk menghantam kepala Enlil. Enlil hanya perlu menahan seranganku dengan tangan kiri berlapis zirah, lalu melancarkan serangan lain dengan kaki.

Saat ini, posisiku tidak lebih baik dari ayah tadi. Aku lebih sering menghindar dan menghalau serangan Enlil daripada melancarkan serangan. Tidak! Posisiku lebih buruk. Enlil hanya kehabisan stamina dan kehilangan pengendalian, dan staminanya sudah pulih. Di lain pihak, aku sudah terluka parah gara-gara Ninlil. Kondisi tubuhku sama sekali tidak fit.

Enlil bertarung dengan mengenakan baju zirah, membuat seranganku hampir tidak efektif. Kalau aku ingin melubangi baju zirahnya, aku harus melancarkan serangan tusukan. Namun, hanya dengan memiringkan tubuh, Enlil membiarkan baju zirahnya didorong oleh tombakku. Bukan hanya tombak, shotgun dengan peluru karet ini juga tidak berfungsi.

Ketika aku mengincar persendian, terutama pinggang dan selangkangan Enlil, dia akan langsung meloncat mundur sambil menggunakan sarung tangan besi sebagai pelindung.

"Apa hanya segitu kekuatanmu, inkompeten?"

"Kau menghinaku memang karena benci atau sengaja ingin membuatku marah? Membuatku lengah?"

"Hehehe, yang mana ya?"

Enlil yang sekarang jauh lebih merepotkan dari yang sebelumnya. Kalau sebelumnya, dia hanya berteriak "inkompeten! Inkompeten!" dan menyerang membabi buta. Namun, sekarang, serangan Enlil menjadi terorganisir, lebih terhitung. Aku jadi sedikit menyesal atas perbuatanku.

"Enlil, aku ingin bertanya satu hal?"

"Apa?"

Kami berbincang di antara suara dentingan logam, di antara suara zirah dan tombak yang saling menghantam.

"Kenapa baru sekarang kau mengambil aksi frontal seperti ini? Kenapa sebelumnya tidak?"

"Karena komunikasimu dengan Raja sudah semakin intensif."

Aku melayangkan sebuah tendangan. Dengan alas bot besi menghantam, tubuh Enlil terhempas beberapa langkah ke belakang. Namun, dia masih berdiri, bahkan maju kembali. Kami pun melanjutkan pertikaian ini.

"Memangnya kenapa kalau aku berkomunikasi dengan Raja?"

"Kalau kau memiliki wewenang, dan didukung oleh Raja, tinggal menunggu waktu sebelum kau membersihkan kami. Sebelum itu terjadi, sudah selayaknya kami menyerangmu, kan?"

Well, aku tidak menyalahkan logika Enlil. Namun, sayangnya, dia sendiri tidak sadar sedang dimanfaatkan oleh Raja itu. Atau dia sadar? Coba kita pastikan.

"Siapa yang memberimu informasi mengenai komunikasiku dengan Raja sudah semakin intensif?"

"Apa itu penting?"

"Tidak juga. Sebenarnya, aku sudah tahu apa yang terjadi."

Ya. Seharusnya, pertemuanku dengan Fahren adalah hal yang paling rahasia di kerajaan ini. Bahkan, Agade dan Akadia, termasuk ibu, tidak mengetahui kalau aku beberapa kali berkomunikasi dengan Raja. Yah, setidaknya, itu sebelumnya sih. Sebelum aku memerintahkan mereka mengintai agen schneider.

Kalau ucapan Enlil benar, dimana dia bergerak karena komunikasiku dengan Fahren sudah semakin intensif, berarti ada pengkhianat. Dan, satu-satunya pihak yang terlintas di pikiranku adalah agen schneider. Agen Schneider adalah kaki, tangan, dan mata Raja. Jadi, normal kalau agen schneider tahu Fahren berkomunikasi denganku.

Dengan kata lain, ada agen schneider yang sengaja membocorkan informasi itu pada keluarga Alhold atau bahkan pada Enlil langsung. Dan, rekaman yang diberi Jin dan yang lain pagi ini memastikan semuanya. Dengan kata lain, Fahren sengaja mengadu domba keluarga Alhold dan aku.

"Apa kau sadar sedang dimanfaatkan oleh Fahren?"

"Hoh, kau memanggilnya hanya dengan nama? Aku tidak tahu apakah kalian sudah sangat akrab atau kau tidak memiliki hormat padanya."

Yang benar adalah yang kedua. Aku tidak memiliki hormat padanya.

Enlil melanjutkan, "namun, ya, aku sadar. Dan, tidak peduli walaupun sedang dimanfaatkan atau tidak. Selama kau mati, aku tidak keberatan. Setidaknya dengan kau mati, rasa tidak nyaman di urat nadi ini bisa menghilang."

Enlil menyerang, tapi aku berhasil menghindar. Aku mencoba menggunakan tombak tiga mata sebagai tongkat pemukul, mengerahkan seluruh tenaga pada ayunan. Namun, Enlil berhasil menahan seranganku. Meski dia harus menggunakan kedua tangan, fakta kalau tombak tiga mata berhasil dihentikan tidaklah berubah.

Di saat itu, aku mengambil shotgun dari sarung di punggung dan melepaskan tembakan ke kepala Enlil.

Enlil terpaksa melepaskan tombakku dan melindungi kepalanya dengan kedua tangan.

Dor dor dor

Aku melepaskan tiga tembakan dengan cepat lalu memasukkannya ke dalam sarung shotgun di punggung. Walaupun hanya peluru karet, tekanan yang dihasilkan sekuat ayunan palu. Meski dia menggunakan zirah, tangannya pasti masih sedikit kesemutan gara-gara mencoba menahan tembakanku.

"Emir, aku serahkan hidupku padamu."

[Eh?]

Tepat setelah mengatakan itu aku berlari menuju balkon, lalu melompat. Sebelum melompat, aku memberi instruksi pada Emir dan Inanna.

"Emir, tangkap dan bawa aku menjauh dari tempat ini. Inanna, ledakkan seluruh tempat ini. Pastikan darahku menguap atau menghilang dalam serangan."

[Oke!]

[Eh, tunggu, aku belum siap.]

Sementara Inanna memberi konfirmasi, Emir panik.

Emir, kalau kamu belum siap, aku akan mati. Jadi, semoga berhasil.

Bugg

Aku mendarat di sebuah turret tank melayang. Namun, sayang sekali, turret tank ini langsung tidak bisa dikendalikan. Ketika mendarat di atasnya, sebagian darahku terciprat ke permukaannya, membuatnya tidak bisa dikendalikan.

[Ah, Lugalgin! Aku tidak bisa mengendalikan Krat yang kamu kendarai!]

Kendarai? Aku sama sekali tidak mengendarainya. Aku mendarat di atasnya. Atau, lebih tepatnya, jatuh bersamanya.

[Kalau begitu,]

"Akh,"

Entah dari mana, sebuah kain panjang sudah melilit leherku. Bukan, ini bukan kain panjang, ini adalah selendang milik Emir. Saat itu juga, aku mendapati tubuhku ditarik di bagian leher. Emir, apa kamu mau membunuh calon suamimu?

Untuk sejenak, sebuah pemandangan muncul dimana Enlil duduk di sofa, tersenyum. Sebuah senyum dari ujung ke ujung terpasang di wajahnya, seolah dia lega dengan hasil ini. Sementara tangan kiri memegang tombak tiga mata, tangan kananku mengacungkan jari tengah.

Sayangnya, interaksi senyum dan jari tengah tidak bertahan lama. Dalam waktu singkat, bangunan utama Alhold dilalap api besar.

Sementara aku ditarik oleh Emir secara perlahan perlahan-lahan, menara api bermunculan, memenuhi pandangan dengan warna merah. Suara menggelegar bermunculan, bergantian, seolah saling menyahut. Tidak ada satu titik pun yang luput. Semuanya dilahap oleh api. Bukan hanya bangunan utama, seluruh kompleks permukiman Alhold telah dilahap oleh api.

"Kena,"

Aku merasakan kepalaku mendarat pada sesuatu yang lembut. Tanpa perlu melihat, aku tahu benar kalau kepalaku mendarat di dada Emir. Kenapa aku bisa tahu? Aku meraba dan merasakannya hampir setiap malam. Tentu saja aku tahu.

Emir menangkapku di udara, melayang.

Aku melihat tangan Emir yang melingkar di dadaku. Dia mengenakan sarung tangan, mencegah kekuatan pengendaliannya menghilang.

"Lain kali, bisa tolong jangan memberi tahu mendadak seperti tadi? Kalau aku terlambat sedikit saja, kamu bisa mati tahu."

Aku tidak menjawab, diam. Bukan tidak mau menjawab, tapi tidak bisa. Tanpa melihat ke belakang, aku menunjuk selendang Emir yang melilit leherku.

"Ah, Maaf. Aku lupa."

"Ahh..... akhirnya aku bisa bernafas lagi." Aku membuka mulut lebar-lebar, membiarkan oksigen memasuki paru-paru dengan segera. "Hampir saja aku mati. Kalau kamu menarik selendangmu terlalu kuat, leherku bisa patah dan aku akan mati."

"Hehehe. Tapi tidak kan? Siapa dulu."

Perempuan ini tidak merasa bersalah, malah merasa bangga. Ah, sudahlah.

"Kembali ke pertanyaanmu. Kalau aku mengatakannya lewat earphone, Enlil bisa mendengarnya. Kalau hal itu terjadi, dia pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk menghentikanku kabur. Iya, kan?"

"Iya, sih, tapi...."

"Aku kira kamu percaya diri dengan kemampuanmu."

"Ah.....ini ya ini. Itu ya itu. Beda urusan."

Kami berdua menjauhi lautan api. Begitu aku sudah di dekapan Emir, lima buah turret tank ikut membombardir tempat ini, menambah intensitas ledakan dan bola api.

Di dalam bola api itu, Keluarga Alhold yang telah berjaya sejak beberapa ratus tahun, malam ini, runtuh dan hancur. Penyebab runtuh dan hancurnya keluarga Alhold, tidak lain dan tidak bukan, adalah anggota keluarganya sendiri, aku, Lugalgin Alhold.

Akhirnya, Emir dan aku kembali ke daratan. Kami sudah berada cukup jauh dari kediaman Alhold. Hingga saat ini, Emir dan Inanna masih belum menghentikan bombardir.

Apa aku sudah bisa menganggap urusan dengan keluarga Alhold selesai?

"Inkompeten brengsek! Sini lawan aku kalau berani!"

Ah, ternyata belum. Urusanku belum selesai.

Aku meletakkan tombak tiga mata ke atas tanah lalu mendatangi Ninlil.

"Hei, Ninlil, kamu tahu kan kalau kamu sedang dalam efek pencucian otak?"

"Apa aku peduli? Selama kamu tewas, aku tidak peduli apakah berada di bawah efek pencucian otak atau tidak."

Ah, logikanya sudah terbalik ya. Normalnya, orang akan berpikir tujuan yang dia miliki adalah palsu karena mengalami pencucian otak. Namun, untuk Ninlil, yang terjadi justru sebaliknya. Dia berpikir tujuan utamanya adalah membunuhku dan pencucian otak hanyalah alat untuk membantunya mencapai tujuan itu.

Aku meludah ke arah Ninlil. Namun, dengan sigap, dia menggulingkan badan.

"Hah, kamu tidak akan menghilangkan pengendalianku begitu saja."

Karena luka yang kualami cukup parah, air ludahku bercampur dengan darah. Kalau darahku menempel di tubuhnya, aku akan merasa lebih aman. Apa ada cara lain?

"Inanna, kamu mendengar cerita Enlil, kan?"

"Ya, aku mendengarnya."

"Apa ada cara untuk melemahkan pencucian otaknya tanpa menunggu. Obat yang kubawa di peti arsenal sudah dihancurkan oleh Ninlil, jadi aku tidak bisa menghilangkan pencucian otaknya dengan mudah."

"Ah, ada cara mudah," Inanna menjawab sambil membombardir kediaman Alhold. " Kita beruntung pencucian otak yang dia alami baru sehari. Karena Ninlil juga dicuci dalam keadaan setengah tidur dan di bawah tekanan dan ketakutan. Jadi, mungkin, kalau kamu melakukan sesuatu yang bisa membuatnya melupakan tekanan dan ketakutan yang dia alami, Ninlil bisa kembali normal."

Untuk menghilangkan ketakutan, ada beberapa cara. Pertama, memberinya sesuatu yang lebih menakutkan. Kedua, memberinya sesuatu yang membahagiakan. Ketiga, membuatnya marah pada hal lain. Keempat, membuatnya terkejut setengah mati. Empat alternatif itu memiliki kemungkinan untuk membuatnya lupa.

Aku mendatangi Ninlil dan memegang wajahnya. Seketika itu juga, Ninlil meludahi wajahku.

"Gin, apa yang akan kamu lakukan?"

Ayah bertanya. Dan aku mengabaikan.

"Maafkan kakak ya, Ninlil."

"Hah?"

Seketika itu juga, aku mendekatkan wajah dan mempertemukan bibirku dan Ninlil.....atau tidak. Hah, tentu saja aku tidak akan melakukannya. Aku meletakkan telapak tangan di antara bibir kami. Sementara aku mengecup belakang tangan, bibir Ninlil menempel di telapak tanganku.

Namun, meski demikian, aku tahu kalau cara ini cukup efektif. Ninlil tidak lagi meronta seperti sebelumnya. Berdasar cerita Suen dan Nanna, Ninlil tidak memiliki pengalaman dalam hal seperti ini. Meski kami tidak benar-benar berciuman, hal ini akan membuatnya terkejut, membuatnya melupakan semua ketakutan dan tekanan yang sudah dia alami.

Setelah beberapa detik, aku mengangkat kepala. Di depanku, terdapat wajah Ninlil yang memerah dan bernafas dengan cepat.

"Ka, kakak...."

Ninlil memanggilku.

Untuk berjaga-jaga lebih, aku mengusap kepala dan menempelkan sebagian darahku ke pipi Ninlil. Aku tidak mau pengendaliannya tiba-tiba lepas kendali.

"Gin! Apa yang sudah kamu lakukan? Dia adikmu! Adik kandungmu!" Ayah protes.

"Aku tidak menciumnya. Aku meletakkan tanganku di antara bibir kami. Tidak terjadi apa-apa di antara kami."

Setidaknya, itu lah yang muncul dari mulutku. Sebenarnya, aku tahu, bagi orang yang tidak berpengalaman, mereka akan menganggap ini sebagai ciuman. Ayah tahu Ninlil tidak berpengalaman, oleh karena itu dia panik.

Dan, Ninlil, mungkin akan menganggapku telah merenggut ciuman pertamanya. Aku yakin dia akan marah besar nanti. Namun, yang penting, efek pencucian otaknya hilang.

Jadi, dengan ini, kurasa urusan Alhold sudah sel-

"Ahk,"

Tiba-tiba saja, sebuah gumpalan darah keluar dari mulutku.

"Uhuk, uhuk, uhuk."

Tidak berhenti di situ. Aku langsung batuk-batuk hebat. Setiap kali aku batuk, darah keluar dari mulut.

"Gin!"

"Gin!"

"Kak!"

Aku ingin mengangkat tangan dan menutup mulutku. Namun, saat ini, bahkan tanganku tidak mampu bergerak. Aku merasa seolah tanganku tengah dipelintir. Bukan hanya itu, seluruh tubuhku terasa seperti diinjak-injak berkali-kali, nyeri dan sakit di semua tempat.

"Ah, sial! Sudah kuduga hal ini akan terjadi!"

Ayah mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku celana. Di dalamnya, aku melihat syringe gun.

"Inanna, Emir, tolong tahan tubuh Lugalgin. Pastikan dia tidak melawan?"

Melawan? Bagaimana aku bisa melawan ketika seluruh tubuhku terasa sakit seperti ini.

"Maafkan kami, Gin!"

Inanna meminta maaf lalu menekan tubuhku ke tanah.

Sementara Inanna menahan bagian kanan tubuhku, Emir menahan bagian kiri tubuhku. Seketika itu juga, aku merasakan jarum syringe masuk ke leherku.

"Baiklah, dengan begini, dia bisa tidur untuk sementara waktu."

Bersambung

===========================================================

Halo semuanya.

Akhirnya comifuro berakhir. Setelah comifuro berakhir, buku yang sudah dicetak akan author jual di tokopedia. Namun, mungkin harus menunggu dulu. Author bingung cara jualan di tokopedia. hehe.

Well, anyway, sekali lagi author ucapkan kalau semua keuntungan penjualan buku I am No King akan disumbangkan ke yayasan panti asuhan.

Dan, seperti biasa. Author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜 / QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri. Atau bisa juga kalian search twitternya. User Id artisnya @QYSThree

Author benar-benar berterima kasih kepada semua reader yang telah membaca I am No King sejak chapter prolog hingga chapter 100 ini. Sekali lagi, terima kasih.

Dan, ini ada sebuah endcard dari pokarii, sebuah ucapan terima kasih dari Emir dan Inanna

avataravatar
Next chapter