99 Arc 3-3 Ch 27 - Buah Jatuh Tidak Jauh Dari Pohonnya

Seperti biasa, kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

============================================================

"MINGGIR KAU!"

"TIDAK AKAN!"

Terdengar suara Ninlil dan Emir yang saling membentak.

Seperti permintaanku, Emir mengalihkan perhatian Ninlil agar aku tidak diserang. Sementara itu, aku berlari ke semua tempat. Karena tubuhku sudah mengalami luka parah, aku tidak perlu repot-repot membuat sayatan. Aku hanya cukup menempelkan tangan ke luka dan mencipratkan darahku ke semua logam dan rumah yang terlihat. Di lain pihak, Inanna masih membombardir di sekitar, mempertahankan dinding api.

Aku terus berlari, mencipratkan darah ke sana-sini. Namun, sayangnya, lukaku sudah mulai kering. Aku pun terpaksa menggunakan tombak tiga mata untuk menyayat tanganku.

[Lugalgin! Om Barun bergerak ke arahmu! Apa aku harus menghentikannya?]

"Tidak, biarkan saja ayah datang. Kamu cukup fokus pada dinding apinya."

[Apa kamu yakin?]

"Ya, aku yakin."

Meski tahu ayah dalam perjalanan ke sini, aku tidak menambah kecepatan atau berhenti menantinya. Aku tetap berlari ke semua tempat dengan tempo yang sama, mencipratkan darah. Setelah beberapa saat, akhirnya ayah mencapaiku. Ayah datang tanpa menggunakan pengendalian. Dia berlari, tidak melayang.

"Hai, Gin."

"Hai, ayah. Apakah ayah sudah boleh membuang sandiwaranya?"

Ayah membuka mulut dan setengah membelalakkan mata. Tampaknya, dia tidak menyangka kalau aku tahu.

"Sejak kapan?"

"Baru saja. Tadi, saat Ninlil unggul, ayah memang tidak perlu turun tangan. Namun, setelah Inanna dan Emir datang, jelas-jelas Ninlil butuh bantuan. Namun, ayah sama sekali tidak ikut campur. Jadi, rasanya, sudah jelas sekali, kan?"

Ayah tertawa kecil mendengar ucapanku.

"Sebelum ayah tertawa puas, aku ingin memberi sebuah peringatan. Ayah tidak bilang mengenai infiltrasi ke keluarga Alhold pada ibu, ya?"

Setelah mendengar pertanyaanku, tepat saat itu juga, ayah menghentikan tawanya. Masih berlari, ayah menurunkan pandangannya. Namun, walaupun tidak melihat ke depan, ayah masih bisa berlari dengan cepat dan menghindari rintangan yang ada.

"Jadi, Gin, apa ibumu marah?"

"Marah? Kata marah terlalu menyepelekannya, sebuah understatement," Aku memberi jawaban. "Ibu tidak hanya marah. Ibu murka. Kalau aku tidak menyerang saat ini juga, sekarang, ibu yang akan melakukannya. Dan, ibu berencana membunuh semua orang kecuali Ninlil. Jadi, ayah juga termasuk. Menurut ayah, kenapa aku tidak menunggu lebih lama dan mengumpulkan informasi terlebih dahulu? Aku berusaha menyelamatkan ayah ini."

Yah, dan mendapatkan beberapa kelinci percobaan sih. Namun, aku tidak akan mengatakannya.

"Baiklah, itu mengkhawatirkan. Ngomong-ngomong, terima kasih ya, Gin. Ayah senang kamu masih peduli pada ayah."

"Sudah, itu tidak usah dibahas." Aku merespons ayah enteng. "Ngomong-ngomong, memangnya, apa tujuan–"

Belum sempat aku menanyakan tujuan ayah, kami berhenti. Tidak jauh di depan kami, seorang laki-laki tua berdiri. Di seluruh tubuhnya, sebuah zirah besi sudah terpasang. Aku berani bertaruh semua zirah itu terbuat dari aluminium. Hanya kepalanya saja yang tidak tertutup oleh logam.

Matanya membelalak begitu lebar. Bahkan aku bisa melihat urat nadi yang muncul ke kepalanya yang tanpa rambut itu. Tampaknya, dia marah. Yah, aku paham sih kalau dia marah. Aku juga akan menunjukkan ekspresi yang sama kalau ada orang menghancurkan kediamanku.

"Inanna, kamu tetap fokus dengan dinding api saja."

Aku memberi perintah pada Inanna sebelum dia datang ke sini. Inanna pasti berpikir dengan semua luka di tubuh ini, aku tidak akan bisa melawan Enlil. Dan, ya, dia benar. Namun, aku punya rencana lain.

[Tapi gin!]

"Jangan khawatir." Aku mencoba menenangkan Inanna. "Berbeda dari sebelumnya, kali ini, aku tidak ada niatan mati."

[Jadi kamu mengakui kalau tadi ada niatan untuk mati?]

Aw, telingaku!

Sontak, aku langsung melepas earphone. Bahkan, aku hampir melemparnya. Setelah suara teriakan itu tidak terdengar lagi, aku kembali mengenakannya.

Ayolah! Yang benar saja! Ini bukan waktu yang tepat, Inanna.

"Ah, Inanna, aku akan memberi penjelasan sebanyak apapun, tapi nanti ya, setelah operasi ini selesai."

Inanna tidak menjawab. Dia mendiamkanku.

"Gin, apa yang sudah kamu lakukan sehingga Inanna bisa semarah itu?"

Ayah tidak mendengar suara Inanna dari earphone yang kupasang. Dia bisa mendengarnya karena Inanna berteriak begitu kencang, hampir membuatku tuli.

"Jadi, Gin," ayah menambahkan. "Ayah rasa kamu tidak punya hak untuk menceramahi ayah karena tidak memberi tahu ibumu."

"Yah, setidaknya, ini adalah bukti kalau kita benar-benar ayah dan anak, sama saja. Ngomong-ngomong," aku membawa topik baru. "Bagaimana ayah bisa lolos dari pencucian otak Enlil?"

"Kamu ingat pisau penghilang pengendalian yang ayah minta?"

"Ya?"

Aku teringat ketika beberapa minggu lalu ayah datang ke rumah. Posisi saat itu adalah ayah sudah memberi tahu padaku mengenai identitasku sebagai Sarru. Jadi, ayah meminta satu pisau penghilang pengendalian.

Meski sebenarnya aku bisa memberi material itu sebanyak mungkin, tapi ayah tidak mau. Ayah khawatir aku bisa mati karena kekurangan darah.

"Ayah melebur pisau itu menjadi cincin. Nih, lihat saja."

Ayah mengangkat tangan kiri dan menunjukkan sebuah cincin logam berwarna putih di jari tengah.

Aku baru tahu beberapa hari kalau penghilang pengendalianku bisa digunakan untuk melenyapkan perasaan tidak nyaman karena bertemu dengan pengendali lain yang sama. Namun, tampaknya, ayah sudah menduganya lebih awal dariku.

Tampaknya, sifatku yang perhitungan dan suka membuat dugaan menurun dari ayah.

"Ah, oke. Jadi, ayah tidak bisa mengendalikan apapun ya sekarang?"

"Yah, begitulah."

"Tapi, ayah masih bisa bertarung, kan?"

"Hahaha, tentu saja bisa. Kalau ayah hanya bergantung pada pengendalian seperti adikmu, ayah tidak akan bisa meminang ibumu. Bahkan, sebelum dia menjadi pendiri dan pemimpin Akadia, ibumu adalah sosok yang ditakuti di pasar gelap."

Aku jadi penasaran tentang masa lalu ibu sebelum menikah dengan ayah. Bahkan, mungkin, kisah ayah dan ibu bisa menjadi cerita untuk diturunkan pada anak cucuku nanti.

"Kalau begitu, ayah, aku akan membutuhkan bantuanmu."

"Ya?"

Aku menusukkan tombak tiga mata ke arah ayah. Dengan mudah, ayah menghindar dan menangkapnya.

"Hei, Gin, apa kamu dendam dengan ayah?"

"Tidak, aku tidak dendam. Hanya saja, aku ingin ayah membantu rencanaku. Aku ingin ayah menghabiskan stamina Enlil. Kalau ayah tidak mau bekerja sama, aku akan bilang pada ibu kalau ayah membantu Enlil dan melawanku."

"EH?"

"Semangat ya, ayah!"

Aku mengayunkan tombak tiga mata sekuat tenaga, melemparkan ayah ke arah Enlil. Setelah memastikan ayah mendarat di depan Enlil, aku melanjutkan perjalanan, berlari ke semua tempat dan kembali mencipratkan darah ke semua tempat.

Sambil berlari, aku melihat ayah melawan Enlil sekuat tenaga. Meski tanpa pengendalian, ayah benar-benar tidak bisa diremehkan. Dia bisa menghindar dan menghalau semua serangan yang dilancarkan oleh Enlil. Terkadang, Enlil memunculkan duri atau proyektil dari zirahnya. Namun, ayah juga bisa menghindarinya dengan mudah.

Terakhir kali aku melihat refleks monster seperti ayah adalah ketika melawan Zage di battle royale, ketika dia mempertemukan peluru dengan tombaknya. Yah, tidak salah ayah menjadi suami pendiri dan pemimpin Akadia.

Meski aku bilang tidak bisa diremehkan, ayah tidak terlalu kuat juga. Tanpa pengendalian, ayah hanya bisa bertahan, tidak melancarkan satu pun serangan balik. Karena ayah masih mengenakan cincin penghilang pengendalian itu, aku mengambil kesimpulan dia tidak bisa melepasnya. Mungkin, kalau ayah melepasnya, efek pencucian otak Enlil akan langsung aktif atau semacamnya. Mungkin.

Beberapa menit berlalu. Akhirnya, aku sudah menyebarkan darahku hampir ke semua tempat. Hanya tersisa satu tempat yang belum kudatangi. Aku berlari ke bangunan utama yang berbentuk seperti kastel oriental itu.

Tidak ada seorang pun di sini. Apa mereka semua sudah keluar? Apa semua orang di luar, yang aku bunuh dan dilumpuhkan oleh Inanna, adalah seluruh anggota keluarga Alhold? Namun, ada yang aneh. Kemana anak-anak keluarga Alhold pergi? Sejak tadi, aku tidak melihat ada satu pun anak-anak yang menyerang. Apa Ufia dan Jeanne juga mengamankan mereka?

"Yuan, masuk. Kamu mendengarku?"

[Ya, Lugalgin, ada apa?]

"Bisa tolong konfirmasi ke Ufia dan Jeanne siapa saja yang mereka culik?"

[Baik. Biar aku tanyakan dulu ke mereka.]

Sambil menunggu konfirmasi dari Yuan, aku berjalan di dalam bangunan utama. Sejak kecil, aku tidak pernah memasuki bangunan utama. Jadi, aku tidak tahu isi tempat ini. Ternyata, hanya bagian luarnya yang berbentuk seperti kastel oriental dari timur. Bagian dalamnya penuh dengan barang-barang normal dan modern seperti komputer, sofa, televisi, dan lain sebagainya.

[Halo, gin, masuk.]

"Ya?" Aku menjawab Emir.

[Aku sudah melumpuhkan Ninlil. Jangan khawatir, aku hanya menguncinya. Dia sudah kehabisan aluminium untuk dikendalikan. Terima kasih ya, Gin.]

"Aku lah yang seharusnya berterima kasih karena kamu sudah melumpuhkan Ninlil tanpa melukainya. Terima kasih, Emir."

Aku mengucapkan terima kasih dari lubuk hati paling dalam pada Emir, pada calon istriku.

Emir mengatakan dia bisa menang karena Ninlil kehabisan aluminium berkat aku yang mencipratkan darah ke semua tempat. Namun, dia sendiri juga berjasa besar karena bisa mengubah semua aluminium yang dikendalikan Ninlil menjadi butiran pasir.

Dan, tentu saja, tanpa Inanna yang terus membuat dinding api, aku tidak akan pernah berpikir untuk mencipratkan darahku ke semua tempat. Berkat Inanna juga lah aku bisa menggunakan strategi yang biasanya tidak bisa dilakukan. Namun, aku tidak akan mengatakan terima kasihku pada Inanna sekarang. Dia sedang berkonsentrasi dengan pekerjaannya.

Aku naik ke lantai atas. Selama di dalam bangunan, aku juga mencipratkan darahku ke semua tempat dan perabotan. Di lantai dua tidak ada apa-apa, aku naik lagi. Aku terus naik sambil mencipratkan darah. Namun, hingga lantai paling atas, lantai 10, tidak ada apapun yang menarik perhatian.

Namun, setidaknya, lantai 10 tempat ini memiliki bar dan sofa yang menghadap ke luar. Setelah membuat sebuah minuman, aku duduk di sofa sambil menikmati langit jingga. Yah, sudah kuduga, pemandangan senja adalah yang terbaik. Tentu saja, dengan catatan aku mengabaikan dinding api dan kehancuran di sekitar bangunan utama ini.

[Gin?]

"Ya, Emir?"

[Ini om Barun datang dan bilang dia tidak bisa menahan Enlil lebih lama. Jadi, om Barun bilang, 'aku sudah berusaha sekuat tenaga. Tolong jangan bilang ibumu yang tidak-tidak,'.]

"Ahaha, akan aku pertimbangkan."

"INKOMPETENNN!!!!!!"

Dan main villain pun datang.

Aku menoleh ke belakang, melihat Enlil yang datang. Dia masih mengenakan baju zirah. Tidak terlihat satu pun goresan atau kerusakan di baju zirahnya. Tampaknya, hingga akhir, ayah hanya bertahan tanpa melancarkan serangan balik.

"Halo Enlil. Ada yang bisa kubantu?" Tanyaku sambil menenggak minuman beralkohol dari gelas.

"Kau! Kau! Gara-gara kau!"

"Hei, Enlil, aku ingin tanya satu hal padamu. Kenapa kau begitu ingin membunuhku? Apa yang membuatmu membenciku? Apa untungnya untukmu?"

"DIAM KAU INKOMPETEN!"

Enlil berlari dan menerjangku. Dia melepaskan sebuah pukulan, tapi aku berhasil menghindarinya dengan mudah.

Gerakan Enlil benar-benar lambat. Selain berkeringat, dia juga tersengal-sengal. Rencanaku berjalan cukup lancar. Enlil kehabisan stamina dan kelelahan karena berurusan dengan ayah. Kalau seandainya stamina ayah masih ada, mungkin dia bisa mengalahkan Enlil. Namun, tampaknya, stamina ayah lebih rendah dari Enlil. Padahal, ayah lebih muda.

Enlil melepaskan pukulan lain. Aku menghindarinya lagi. Namun, kali ini, ada yang berbeda. Sebuah duri muncul dari sarung tangan besi, ke samping, mencoba menusukku. Karena dia mengincar kepala, aku bisa menghindarinya dengan mudah.

Aku menyayat jempol dengan mata tombak dan mencipratkannya ke wajah Enlil. Begitu darahku menempel, sebuah suara logam berdenting. Suara itu berasal dari baju zirah yang terjatuh ke tanah bersama dengan Enlil.

Aku tarik ucapanku soal ayah. Ternyata, stamina ayah lebih tinggi dari Enlil. Yang menyebabkan Enlil masih bergerak bukanlah stamina, tapi pengendaliannya. Dia tidak menggerakkan badannya, tapi menggerakkan zirah yang menutupi tubuhnya. Hal ini terbukti ketika dia terjatuh setelah darahku menempel di wajahnya.

Tanpa aku sangka, di saat dan tempat seperti ini, aku melihat kemiripanku dengan Enlil. Genetik memang tidak mudah dihilangkan.

Karena Enlil sudah jatuh, aku sudah tidak perlu bertarung. Kalau begini, tombak tiga mata hanya berfungi menyayat tubuhku untuk mengambil darah, tidak lebih. Selain itu, aku juga belum sempat menggunakan shotgun dengan peluru karet ini. Lalu, apa tujuan Mulisu repot-repot mengambil dua senjataku ini? Hanya sebagai penyemangat? Yah, mungkin.

"Inkompeten! Aku akan membunuhmu! Aku akan membunuhmu!"

Dia begitu bersikeras. Bahkan, kalau aku bilang, tidak normal. Seolah-olah, dia juga korban pencucian otak.

Ah, sial! Aku sama sekali tidak menginginkan ending ini. Dia korban pencucian otak juga? Kamu pasti bercanda.

Jempol kiriku masih mengeluarkan darah. Aku mengepal, membuat darahku berkumpul di telapak tangan. Dengan kumpulan darah di tangan, aku menyumpal mulut Enlil, memaksanya meminum darahku.

"UNGG!!!! UNG!!!!"

Enlil mencoba melawan, tapi aku tidak membiarkannya menang begitu saja.

"AW!"

Aku terpaksa menarik tangan ketika Enlil menggigit kulit telapak tanganku.

"Dasar Inkompeten, kamu, kamu....." Teriakan Enlil semakin pelan. "Eh?"

Ah, brengsek! Aku benar-benar membenci ending ini. Ternyata, Enlil juga adalah korban pencucian otak. Namun, siapa yang mencuci otaknya? Sejauh yang aku tahu, Enlil adalah pengendali aluminium terkuat di kota ini. Tidak! Bahkan ada rumor yang mengatakan dia yang terkuat di kerajaan Bana'an.

Ngomong-ngomong, catatan tambahan, memaksa orang meminum satu kepal darahku dapat membuat efek pencucian otak langsung menghilang. Namun, sayangnya, aku tidak tahu berapa cc pastinya.

"Hei, Enlil, bisa tolong ceritakan kenapa kamu begitu ingin aku mati?"

"Itu, itu.... aku tidak yakin. Sejak kecil, aku hanya dicekoki dengan ucapan, 'inkompeten adalah musuh, inkompeten harus mati, inkompeten membawa nama buruk,' dan lain sebagainya. Namun, sekarang, aku tidak tahu lagi. Entahlah."

Sejak kecil ya. Dugaanku ternyata benar kalau praktik cuci otak keluarga Alhold sudah dilakukan dari generasi ke generasi. Namun, kenapa inkompeten? Seharusnya, inkompeten terakhir di keluarga Alhold adalah Zababa. Setelah Zababa, seharusnya tidak ada inkompeten lain yang terlahir di keluarga Alhold.

Kalau benar demikian, berarti, anak atau cucu Zababa lah yang pertama kali membenci inkompeten. Oh, leluhurku Zababa, apa yang sudah kamu lakukan sehingga membuat anak cucumu sangat membenci inkompeten?

"Aku ingin mendengar apa saja yang dicekoki padamu tentang inkompeten. Semuanya."

Bersambung

===========================================================

Halo semuanya.

Pada chapter ini, author menyelipkan beberapa foreshadowing mengenai cerita yang akan datang. Entah ada yang menyadari atau tidak. Kalaupun tidak, mungkin nanti akan author beritahu saat muncul di chapter yang dimaksud. hehehe.

Info tambahan, I am No King vol 1 dan vol 2 akan dijual di comifuro pada booth A-12b. Masuk, belok kiri. Jajaran stand kedua pas di tengah (author dengar pas di depan kipas angin juga :D). Jadi, bagi yang datang ke comifuro, jangan lupa datang dan beli I am No King.

Selain I am No King, ada beberapa karya dari rekan-rekan author di circle untomodachi yang akan menjual merchandise lain. Barang-barang yang akan dijual juga akan dipost di instagram page renigad.sp.author. Jadi, stay tuned untuk beberapa hari ke depan.

Untuk yang mengincar shopping place semacam tokopedia dan shopee, mohon bersabar. Sedang dalam proses perencanaan dan pencarian rekan printing :D

Seperti yang telah ditulis di wattpad dan mangatoon, Novel I am No King adalah proyek amal, semua keuntungan dari penjualan novel akan disalurkan ke yayasan panti asuhan. Jadi, kalau membeli novel I am No King, selain memberi dukugan moral kepada author, kamu juga telah membantu dan memberi makan anak-anak yatim piatu.

Jadi, seperti biasa. Author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜 / QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri. Atau bisa juga kalian search twitternya. User Id artisnya @QYSThree

Author benar-benar berterima kasih kepada semua reader yang telah membaca I am No King sejak chapter prolog hingga chapter 100 ini. Sekali lagi, terima kasih.

Dan, ini ada sebuah endcard dari pokarii, sebuah ucapan terima kasih dari Emir dan Inanna

avataravatar
Next chapter