93 Arc 3-3 Ch 21 - Percobaan

Seperti biasa, kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

============================================================

"Ninlil, menyerahlah. Kalau kamu menyerah, aku akan mengabaikan semua ini."

"Tidak akan! Aku tidak akan pernah menyerah pada kalian! KALIAN AKAN MATI!""

Aku berteriak, mengerahkan semua tenaga untuk mengendalikan kabel-kabel yang tergelak di sekitar.

"AHH!"

"KYA!"

"AGH!"

Aku mengubah kabel-kabel yang tergeletak menjadi tombak, menusuk ke atas. Aku tidak memfokuskan pengendalian pada beberapa atau sedikit kabel, tapi semuanya. Begitu orang-orang di sekitar tertusuk, dua orang yang menahan gerakanku terkejut. Aku bangkit dan melepaskan diri dari dua paman itu. Dua orang yang menahanku pun tewas oleh tombak lain.

Meski ada beberapa orang tewas oleh tombak, sayangnya, masih banyak yang bertahan hidup. Dan, tentu saja, ayah adalah salah satu orang yang masih hidup. Mereka yang masih bertahan langsung memegang dan mengambil alih pengendalian semua aluminium di sini.

Maafkan aku, kakak, aku masih belum bisa mengaplikasikan pelajaran yang kakak beri. Aku masih terlalu bergantung pada pengendalian.

"Kenapa kamu tidak mau menyerah juga?"

"Kenapa aku harus menyerah padamu, pengkhianat?"

Hanya ayah yang berbicara, tidak ada orang lain yang berbicara.

Kenapa? Apa karena mereka terkena tekanan pengendalian ayah? Namun, seharusnya, pengendalianku lebih kuat dari ayah. Seharusnya, berdasarkan diskusi dengan Kak Inanna, ayah dan semua orang di sini akan menurut padaku.

"Apa kau berpikir semua orang akan menurut hanya karena pengendalianmu lebih kuat? Hahaha, dasar anak kemarin sore."

Suara ini adalah suara paling menjengkelkan dalam hidupku. Dari dalam rumah, dia muncul, berdiri, Enlil. Begitu Enlil muncul, semua orang terdiam, memberi jalan untuknya.

"Jangan lupa, pengendalianku lebih kuat darimu. Sebelum kamu membuat mereka tunduk, kamu harus membunuhku dulu."

Begitu ya. Ya, itu masuk akal.

"Namun, itu tidak cukup. Masih ada ini,"

Tiba-tiba udara terasa begitu berat. Nafasku pun menjadi pendek. Aku bisa merasakan keringat dingin mengalir dari sekujur tubuh. Ya, perasaan ini mirip seperti ketika kakak memancarkan aura haus darah atau niat membunuh.

Teror yang saat ini tidak separah seperti yang dipancarkan oleh kakak. Namun, tetap saja, aku merasakan tubuhku menjadi sangat sulit bergerak. Belum lagi fakta kalau pengendalianku lebih lemah dari Enlil. Sekarang aku paham kenapa ayah menurut pada Enlil.

Namun, aku tidak akan menerima ini begitu saja.

Klang klang

Beberapa lempeng aluminium dilemparkan ke depanku.

"Aku akan memberimu kesempatan. Kalau kau bisa mendaratkan satu serangan saja padaku, maka aku akan membiarkanmu pergi. Kalau tidak, aku akan memaksamu menuruti semua ucapanku."

Kalau keadaan normal, aku akan marah karena dia meremehkanku. Namun, kali ini, aku cukup sadar kalau kemampuan dan pengendalianku tidak sebanding dengan Enlil. Aku benci mengakuinya, tapi, kemungkinan untukku bisa keluar dari keadaan ini adalah nol.

Namun, hal itu tidak akan membuatku menyerah begitu saja.

"SIAALLL!!!!!"

Aku berteriak! Mengeluarkan seluruh udara yang ada di paru-paru ini. Meski akan kalah, aku tidak akan menyerah tanpa perlawanan.

Aku mengambil beberapa lempeng aluminium yang tergeletak dan mengubahnya menjadi satu tombak. Enlil bersiap dengan sarung tangan zirah. Suara logam berdenting terdengar berkali-kali. Aku bergerak ke kanan dan ke kiri, melancarkan serangan tebasan dan tusukan berkali-kali. Namun, semua seranganku berhasil dihindari atau dihalau oleh Enlil dengan sarung tangan zirahnya.

Kalau Enlil mau, dia bisa saja mengambil alih pengendalian tombak ini ketika bersentuhan dengan sarung tangan zirahnya. Namun, dia tidak melakukannya. Senyumnya menandakan dia hanya menganggap ini sebagai permainan, tidak lebih dan tidak kurang. Namun, aku tidak memungkirinya.

Daripada memaksakan diri untuk memenangkan pertarungan yang pasti kalah ini, aku memiliki pikiran lain. Aku mengubah tombak ini menjadi beberapa paku kecil dan meluncurkannya ke semua arah. Seranganku berhasil menewaskan beberapa orang lagi. Setidaknya, dengan ini, rintangan kakak akan sedikit berkurang. Namun, ayah dan dua saudaranya tidak terkena seranganku.

Akhirnya, Enlil melepaskan tinju tepat ke perutku, membuat tubuhku terpelanting hingga beberapa meter.

Selama bertarung, Enlil masih terus memancarkan aura haus darah dan niat membunuh. Kalau tahu akan menghadapi aura haus darah dan niat membunuh seperti ini, aku akan meminta kakak melatihku dengan pancaran itu. Namun, percuma saja menyesali semuanya.

Kakak, aku akan menanti pertolonganmu. Namun, kalau Enlil berhasil mencuci otak dan menjadikanku musuh, aku tidak keberatan tewas di tanganmu, kakak.

***

"Ah, Kak Lugalgin,"

"Hai, Corba. Mau kemana?"

Aku menyapa anak kecil setinggi pinggang yang baru keluar dari kamar rumah sakit. Dia memiliki mata dan rambut hitam, seperti kakaknya. Potongan rambutnya rapi, seperti anak-anak pada umumnya. Tidak ada fitur yang mencolok dari anak ini. Pakaiannya pun bisa dibilang normal, celana pendek dan kaos.

"Mau beli minuman di mesin lantai 1."

"Mau beli berapa?"

"Cuma 1. Kakak katanya tidak mau."

"Kalau begitu, Kak Lugalgin titip satu kaleng ya, lemon tea." Aku memberi sebuah kartu pada Corba. "Minumanmu juga beli pakai kartu ini saja. Kak Lugalgin tidak keberatan kok.."

"Wah, terima kasih kak Lugalgin!"

Corba menerima kartu dari tanganku dan berlari.

"Jangan berlari..."

"Baik Kak!"

Meski mengatakan baik, dia tetap berlari. Aduh, anak ini. Aku mengabaikannya dan masuk ke dalam kamar.

Di dalam kamar pasien, terlihat seorang perempuan bermata dan berambut hitam, Nammu. Rambut pendeknya memberikan kesan kalau dia cekatan. Dia sedang melihat keluar jendela. Pemandangan dari lantai 10 memang cukup indah. Seperti pasien rumah sakit pada umumnya, Nammu mengenakan pakaian seperti piama berwarna putih kehijauan.

Wajah Nammu masih sedikit pucat, tapi setidaknya, sudah jauh lebih baik jika dibandingkan pertama dibawa ke sini. Yah, mau bagaimana lagi sih. Aku hampir membuatnya tewas karena kehabisan darah. Jadi, cukup normal kalau dia terkadang merasa pusing.

Kini, Nammu sudah berada di fase penyembuhan. Semoga Infus yang terpasang di tangan kirinya dapat mempercepat proses penyembuhan.

"Hai, Nammu. Bagaimana kabarmu?"

"Ah, Gin." Nammu menoleh ke arahku. "Kabarku sudah cukup baik. Kalau aku bilang, aku merasa sudah bisa keluar rumah sakit kapan saja."

Nammu mengangkat dan melipat kedua tangan, menunjukkan otot-ototnya.

Aku duduk di kursi, di sebelah ranjang pasien. "Jangan terburu-buru. Kamu hampir tewas malam itu."

"Ehehehe, kalau kamu bilang begitu, aku akan menurut."

"Baguslah."

Di meja samping ranjang pasien, aku melihat sebuah apel dan pisau. Agar tidak menganggur, aku mengambil pisau dan mulai mengupas apel.

"Jadi, Gin, apa yang kamu inginkan?"

"Aku tidak menginginkan apapun. Aku hanya mengecek keadaan kalian berdua."

Kamu kira aku orang yang selalu memikirkan untung dan rugi sesuatu? Kamu kasar sekali.

"Oh, begitu. Aku kira kamu ingin tahu efek dari obat yang kamu beri padaku dan Corba."

Aku tersenyum, tapi tanganku tidak berhenti mengupas apel.

"Sejak kapan kamu tahu?

"Mungkin sejak kelakuan Corba berubah."

"Bisa tolong jelaskan dengan detail?"

"Hehehehe," Nammu terkekeh pelah. "Aku tidak tahu harus bagaimana melihat responsmu. Kamu sadar tidak sih kalau kami seperti kelinci percobaan?"

Ya, benar, aku tidak memungkiri kalau sudah menjadikan Nammu dan Corba sebagai kelinci percobaan. Meski hasilnya berdampak positif, tetap saja aku telah melakukan hal tabu. Percobaan pada manusia adalah hal yang amat sangat ditentang kecuali obat itu sudah dicoba pada binatang hingga ratusan kali. Setelah dinyatakan aman pada binatang, barulah boleh dilanjutkan ke manusia.

Namun, aku melewati semua itu dan memberikan obat, dengan dosis yang bisa dibilang asal, pada Nammu dan Corba. Kalau ada yang melapor, aku akan segera masuk penjara. Yah, itu pun kalau mereka bisa melapor. Aku yang mengatur intelijen dan jalannya informasi resmi di kerajaan ini. Tidak akan ada yang bisa melaporkanku.

"Jadi, apa yang sudah kau lakukan?"

"Pernah mendengar tentang obat penghilang pengendalian?"

"Aku mendengar rumornya. Apa kamu menggunakan obat itu?"

"Bisa dibilang demikian."

Aku mulai memberi penjelasan tenang obat penghilang pengendalian. Info yang kuberikan adalah aku memiliki akses untuk mendapatkan obat ini. Tentu saja aku memiliki akses. Obat penghilang pengendalian ini adalah darahku sendiri. Tidak mungkin aku tidak memiliki akses, kan? Namun, tentu saja, aku tidak mengatakan sampai ke sini.

Awalnya, percobaan ini kulakukan hanya untuk menjawab pertanyaan berapa banyak darahku yang dibutuhkan untuk menghilangkan kekuatan. Percobaan pertama, aku mencampur setengah ppm darahku pada minuman Corba dan Nammu, hanya sekali. Dosis setengah ppm tidak menghilangkan pengendalian mereka. Namun, ternyata, ada efek lain dari pemberian darahku pada orang.

Pada dosis setengah ppm, efek cuci otak pada Corba tidak hilang. Namun, tampaknya, efek cuci otak sedikit berkurang. Sebelumnya, dia akan selalu berteriak dan marah ketika melihat wajahku. Namun, setelah pemberian dosis setengah ppm, Corba hanya menunjukkan muka masam ketika melihatku.

Menurutku, dari teriakan ke muka masam adalah perubahan yang sangat drastis. Awalnya, aku hanya mengira Corba melunak karena dia melihat kakaknya dirawat olehku. Namun, perubahan ini terjadi dalam waktu singkat, bahkan hitungan hari. Hal ini membuatku yakin kalau darahku lah yang membuatnya melunak.

Selain itu, ada beberapa hal lain yang membuatku semakin yakin. Pertama, topik diskusiku dengan Inanna beberapa hari lalu. Kedua, bagaimana senjataku bisa membuat perasaan tidak nyaman yang dirasakan Ufia menghilang walau dia satu ruangan dengan Ninlil. Berdasarkan beberapa hal tersebut, aku semakin yakin kalau memang darahku lah yang membuat Corba melunak.

Aku tidak yakin berapa lama darahku akan memiliki efek, dan tujuan utamaku juga bukan mencari durasi waktu ini. Jadi, walaupun efek darahku belum sempat menghilang, aku tetap meningkatkan dosis. Setelah setengah ppm, aku meningkatkannya menjadi 1 ppm.

Satu ppm masih tidak menghilangkan kekuatan pengendalian Nammu dan Corba. Namun, efek yang paling jelas adalah Corba tidak lagi memusuhiku. Kini, dia bisa berbicara tanpa emosi lagi. Bahkan, dia menghormatiku selayaknya anak kecil, jadi seperti tadi. Di lain pihak, kelakuan Nammu tidak mengalami perubahan karena dia memang sudah rusak sebelumnya.

Tentu saja, aku tidak pernah mengatakan kalau obat penghilang kekuatan itu adalah darahku. Dari awal, aku hanya mengatakan 'obat'.

Dan, karena hal ini lah aku butuh kelinci percobaan lain. Aku tidak akan melanjutkan percobaan pada Nammu dan Corba. Aku akan membiarkan mereka. Kalau kelakuan Corba mulai berubah, mungkin aku akan memberinya darahku lagi.

"Yah, itu adalah hasil pengamatanku. Tampaknya, dengan dosis 1 ppm, aku bisa menghilangkan efek cuci otak yang dilakukan oleh Enlil atau siapa pun di dunia ini."

"Menghilangkan efek cuci otak yang dilakukan oleh Enlil ya...."

Nammu tidak melihat ke arahku. Kini, dia melihat ke jendela lagi, entah kemana.

"Gin, seandainya kamu membawa obat itu lima tahun lebih awal, mungkin, ibu masih bersama kami."

Hei, ibumu belum tewas. Dia hanya pergi. Kalian bisa menemuinya kapan pun. Setidaknya, itu yang ingin kukatakan. Namun, Nammu dan Corba juga tidak tahu kemana ibu mereka pergi. Jadi, hal itu mungkin sulit.

Yah, kalau mereka melakukannya sendiri sih sulit. Kalau aku yang turun tangan, beda ceritanya. Namun, aku tidak akan melakukannya sebelum mereka memintanya, dan memberi penawaran yang cukup menggoda.

"Bisa kita kesampingkan hal itu dulu? Aku ingin tahu efek apa yang kalian rasakan."

"Baiklah, aku akan menjelaskan efek yang kurasakan dan yang berhasil aku ungkit dari Corba."

Aku mendengarkan penjelasan Nammu dengan saksama.

Efek yang dirasakan Nammu adalah dia tidak lagi merasakan tekanan atau rasa tidak nyaman yang sebelumnya dia rasakan. Dulu, kalau ada orang dengan pengendalian aluminium lebih kuat, seperti Ninlil, dia akan merasa tidak nyaman, biasa. Namun, suatu ketika, dia merasa rasa tidak nyaman itu berkurang. Lalu, pada satu titik, dia tidak lagi merasakannya.

Sebelumnya, dia sendiri tidak yakin dengan penyebabnya. Namun, setelah aku beri penjelasan yang baru saja, dia berpikir mungkin penyebabnya adalah obat yang kuberi.

Corba juga mengatakan kini dia merasa lebih nyaman kalau bersama kakaknya, Nammu. Dulu, Corba, selalu memiliki rasa takut atau tidak nyaman ketika berhadapan atau bersama dengan kakaknya. Namun, bersamaan dengan Nammu, perasaan itu juga menghilang. Selain itu, entah bagaimana, sekarang Nammu bisa membedakan pengendalian aluminium Corba dari orang lain.

"Ada efek lain?"

"Untuk saat ini, hanya efek itu yang aku rasakan."

"Baiklah. Kalau ada efek lain yang terasa, tolong segera kabari aku ya. Aku tidak mau ada efek buruk di badan kalian."

"Tentu saja. Kalau ada apa-apa, kamu akan bertanggung jawab, kan?" Nammu menjawab dengan sebuah senyuman.

".....kita sepupu. Aku tidak bisa benar-benar bertanggung jawab."

"Hahahaha," Nammu terkekeh. "Jangan khawatir, kamu tidak harus menikahiku. Setidaknya, kalau aku menjadi inkompeten, kamu harus menuntunku hingga aku mampu hidup mandiri."

Tidak harus? Tidak, tidak, tidak. Aku perlu kembali menegaskan kalau kita adalah sepupu. Kita tidak akan menikah, iya kan?

Meskipun menikahi sepupu tidak dilarang di kerajaan ini, dan bahkan sering dipraktikkan oleh bangsawan, aku tetap tidak mau melakukannya. Kalau benar dia menjadi inkompeten, aku hanya perlu mengajarinya hidup mandiri dan memberinya uang kompensasi setiap bulannya. Iya, kan?

"Kak Nammu, Kak Lugalgin, aku kembali."

Corba masuk ke dalam ruangan. Aku menerima kaleng lemon tea dingin dan kartu yang berisi uang elektronikku.

"Terima kasih, Corba." Aku berdiri dan berjalan ke pintu keluar. "Nammu, kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi aku."

"Ya. Aku pasti akan menghubungimu kalau ada apa-apa. Pasti."

Aku keluar dari kamar dan menuju ke lantai dasar. Kemarin aku tidak sempat mengunjungi Nammu dan Corba karena harus menjamu Nanna dan Suen. Karena itulah aku baru mengunjungi mereka pagi ini.

Saat ini, Emir dan Inanna aku suruh langsung berangkat ke kantor intelijen. Nanna, Suen, dan adik Suen dibawa oleh anggota Agade.

Sekarang, aku harus memikirkan hukuman yang pantas untuk para agen pengkhianat. Kalau hanya membersihkan keluarganya, aku khawatir anggota lain tidak akan belajar dari ini. Aku membutuhkan hukuman baru. Atau hukuman lama saja sudah cukup? Yah, gampang lah. Bisa diatur.

Jadwal berikutnya adalah menemui perempuan yang direkomendasikan oleh Jin. Aku harap dia bisa dipercaya.

Di lain pihak, dari percobaan ini, aku mulai paham kenapa inkompeten diharuskan menjadi Raja.

Bersambung

===========================================================

Maaf ya semuanya karena minggu lalu dan minggu kemarin tidak bisa update. Sejak I am No King publish di wattpad akhir tahun 2017 (atau 2016?), minggu lalu adalah pertama kalinya I am No King sempat break. Ahahaha, ya sudahlah.

Seperti biasa. Author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜 / QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri. Atau bisa juga kalian search twitternya. User Id artisnya @QYSThree

Dan, ini ada sebuah endcard dari pokarii, sebuah ucapan terima kasih dari Emir dan Inanna

avataravatar
Next chapter