74 Arc 3-3 Ch 2 - Serangan Keluarga Alhold

Kalau ada yang aneh atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau ada bagian mengganjal, tanya langsung juga tidak apa-apa. Selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

============================================================

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan, Gin?"

"Sebentar, aku mau telepon dulu." Aku meletakkan handphone di telinga. "Ngomong-ngomong, kalau kita terobos langsung tidak bisa?"

"Aku merasakan rantai paku di depan. Kalau aku tancap gas, ban mobil meletus. Kalau meletus, kita butuh waktu setidaknya tiga puluh menit hingga mobil baru menjemput kita."

Sebenarnya, aku bisa bilang Emir saja yang mengantar pulang. Namun, kasihan juga aku kalau meninggalkan dia di tengah jalan seperti ini.

Ah, akhirnya teleponku diangkat.

[Halo. Ada apa Lugalgin.]

"Ayah, saat ini, setidaknya ada 25 orang anggota keluarga Alhold menyerangku. Karena mereka menyerangku, aku anggap 25 orang ini boleh aku bunuh, KAN?"

[Eh? Apa?]

"Ayah punya waktu tiga menit untuk menghentikan serangan mereka dan membersihkan jalan dari paku yang disebar. Kalau tidak, akan ada kiriman 25 tubuh tak bernyawa ke kompleks kediaman Alhold besok pagi."

"Eh? Ti–"

Aku menutup telepon, tidak mendengar ucapan ayah sampai selesai. Dia pasti ingin mengeluh, bilang tiga menit tidak cukup. Padahal, kalau dia telepon, dia seharusnya bisa menghentikan serangan ini. Itu kalau mereka menurut.

"Heh, aku mendengar rumor kalau kamu tidak akrab dengan ayahmu, tapi ini pertama kalinya aku melihatnya secara langsung."

"Aku masih menghormati dia sebagai ayah. Namun, kalau sudah urusan dengan keluarga besar Alhold, itu lain."

Aku menanggapi Shu En dengan enteng sambil membuat sebuah pesan singkat.

"Kamu mau kami bergerak?" Emir bertanya.

Aku menoleh ke belakang, melihat Emir dan Inanna yang tangannya sudah di hendel pintu.

"Atau kamu mau membuka peti arsenal dan beraksi sendiri? Mengingat mereka keluarga Alhold, mungkin kamu ingin menyelesaikan masalah ini sendiri?" Inanna memberi opsi lain.

Peti Arsenal ada di bagasi mobil. Aku awalnya skeptis peti arsenal bisa masuk bagasi, tapi ternyata bisa. Lebar bagasi 1,6 meter, panjang total peti arsenal hanya 1,5 meter. Namun, kami harus memasukkannya lewat tengah, menurunkan sandaran kursi ke depan dulu.

Aku jelas tidak akan bisa mengambil peti arsenal. Namun, petinya masih bisa dibuka sedikit untuk mengambil beberapa senjata dari dalamnya. Namun, nanti saja dulu.

"Kalau kau tidak mau keluar, kami akan membunuhmu bersama teman-temanmu!"

Suara tembakan kembali terdengar.

Nada pendek terdengar di handphone, bertubi-tubi. Aku membuka beberapa pesan yang baru masuk dan membacanya. Aku pun membalas mereka semua dengan satu respon yang sama.

"Siapa?"

"Beberapa organisasi pasar gelap yang 'KEBETULAN' berada di dekat sini. Mereka menawarkan bantuan untuk meringkus orang-orang di luar. Namun, karena waktu 3 menit yang kuberi pada ayah belum lewat, aku ingin mereka menunggu."

Ya kali kebetulan. Biasanya, ada anggota mereka yang patroli di area ini. Kalau ada keributan, mereka akan melakukan observasi dengan cepat, lalu melapor pada atasan. Tidak terkecuali Agade dan Akadia.

Untuk Akadia, tampaknya, ibu mengirim satu orang untuk mengikuti dari kejauhan dan melapor kalau ada sesuatu terjadi.

Untuk Agade, satu orang akan bergantian mengikutiku. Tentu saja, yang aku maksud adalah anggota inti, bukan karyawan. Selain Emir dan Inanna tentu saja.

Sebuah suara nyaring terdengar di handphone. Aku melihat layar, nama ayah terpampang.

"Emir, Inanna, bisa tolong ambilkan satu pedang di dalam peti arsenal. Bukan pedang juga sih. Panjangnya hampir seperti tombak dengan gagang shotgun."

"Shotgun? gagang?"

"Hahaha, selera senjata Lugalgin memang selalu unik."

Sementara Inanna terperanjat, Emir merespon dengan tawa.

Aku mengangkat telepon, "Halo ayah."

[Gin, aku tidak bisa menghentikan mereka. Apa kamu bisa menghentikan serangan itu tanpa membunuh mereka?]

"Aku tidak janji," aku merespon enteng. "Maksudku, saat ini, ada lebih dari sepuluh organisasi pasar gelap siap menyerang mereka. Kalau pun aku membiarkan mereka hidup, salah satu organisasi ini akan menyerang kediaman keluarga Alhold, mencoba mengambil sisi baikku. Tidak terkecuali AKADIA."

[Itu...]

Ayah ragu ketika aku menekankan pada Akadia.

"Yah, intinya, kalau masih ada yang hidup untung. Kalau tidak ada yang hidup, apes. Untuk ayah sih. Untukku tidak ada efek."

Aku menutup telepon dan mengirim pesan ke anggota Agade. Aku meminta mereka membersihkan anggota Alhold yang mungkin bersembunyi di sekitar. Yang di depan dan belakang mobil, biar kami yang mengurusnya.

"Ini Gin."

"Ah, sebentar..."

Shu En menghentikan Emir untuk sejenak. Dia menurunkan sandaran kursinya, menjadi lurus. Begitu kursi Shu En sudah lurus, dan dia terbaring, aku bisa memegang pedang ini. Saat ini, posisi pedang di belakang dan shotgun di depan.

"Ini peluru cadangan."

"Terima kasih"

Tanpa perlu kuminta, Inanna sudah memberi peluru. Aku menerima beberapa peluru dan memasukkannya ke saku jaket.

Pedang yang sekarang kupegang memiliki panjang total 1,4 meter, 80 cm bilah pedang dua sisi dan 60 cm shotgun sebagai hendel.

"Tampaknya rumor yang aku dengar memang benar."

"Rumor apa?"

Aku merespon ucapan Shu En.

"Kalau Sarru, pemimpin Agade, meniru gaya bertarungmu. Atau jangan-jangan dia muridmu?"

Ah, rumor yang itu. Aku juga sempat mendengar hal yang sama dari Ibla. Padahal, aku mulai membuat senjata-senjata aneh ini saat berhenti dari Agade, mencoba mengisi waktu. Kalau dilihat waktunya, seharusnya, aku lah yang dianggap murid Sarru.

Namun, hanya karena sebagian besar senjataku aneh sedangkan senjata Sarru adalah standar, aku dianggap sebagai guru. Di lain pihak, Sarru dianggap murid yang berusaha meniruku tapi masih belum berhasil.

"Jadi? Apa Sarru Muridmu?"

"Aku tidak pernah mengangkatnya menjadi muridku secara resmi." Aku menjawab Shu En setengah jujur. "Yang jelas, ada alasan kenapa Agade mau bergabung dengan kita semudah itu."

Shu En mengangguk-angguk mendengar jawabanku.

"Emir, Inanna, kalian urus yang belakang. Aku akan urus yang di depan. Ledakkan juga mobil yang ada di depan."

"Baik!" Inanna dan Emir merespon bersamaan.

"Shu En, kamu di sini saja."

"Oke!"

"Tunggu aba-abaku..... sekarang!"

Begitu aku berteriak, suara tembakan berhenti. Tanpa perlu kuberi instruksi, Inanna menghentikan peluru.

Aku membuka pintu mobil dan menembak engselnya. Meskipun pada bagian luar pintu ini terbuat dari kaca dan baja anti peluru, tapi bagian dalam, seperti engsel, hanya terbuat dari besi biasa. Kalau pistol, mungkin tidak akan mampu menghancurkannya. Namun, beda cerita kalau shotgun.

"Hah?"

Aku mengabaikan respon Shu En. Dengan pintu di kanan kiri sebagai perisai, aku berlari, menyerang.

Blar blar blar

Suara ledakan terdengar di belakang dan di depan. Karena aku tidak mendengar suara tembakan tank, berarti ledakan ini perbuatan Inanna.

Orang-orang di depan menjaga jarak dari mobil, jadi mereka masih hidup. Namun, tembakan mereka sempat berhenti sejenak. Sejenak.

Suara tembakan kembali terdengar. Namun, tidak satu peluru mencapai tubuhku. Semua peluru tertahan oleh pintu. Sambil berlari, aku melepas dua tembakan buta.

"Ahh"

"Kyaa"

Beberapa teriakan terdengar, termasuk teriakan perempuan. Aku tidak peduli mau laki-laki atau perempuan. Kalau dia mengancam hidupku, aku akan menghabisinya.

Shotgun yang kugunakan sebagai gagang pedang adalah tipe automatic, tidak seperti yang kugunakan saat menjadi Sarru. Karena tipe automatic, aku tidak perlu mengokang setiap selesai melepas tembakan.

Dengan sol sepatu logam, aku melewati paku yang tersebar dengan mudah.

Sebelum mencapai target, aku bergerak zig-zag, tapi pada akhirnya aku menuju sisi kanan. Ketika menyerang musuh, hindari masuk ke tengah-tengah formasi. Kalau mereka melepas tembakan dari kanan dan kiri, aku tidak akan bisa melindungi diri.

Kalau aku menyerang dari kanan, maka mereka hanya mampu melepaskan tembakan dari kiri.

Aku sudah cukup dekat. Dengan memindahkan tangan ke laras shotgun, aku mampu meraih target sejauh 1,3 meter, hampir sejauh tombak.

"AAKKHH...."

Ada dua orang yang terkena tebasan. Satu orang lehernya terpenggal, yang satu hanya tersayat. Namun, letak sayatan di leher sudah lebih dari cukup untuk membunuhnya.

Perempuan yang lehernya tersayat berlutut. Dia memegangi leher dengan kedua tangan, berusaha menghentikan pendarahan.

"Akk... akk....."

Perempuan itu mencoba meraihku. Namun, belum sempat dia mencapai tujuan, tubuhnya roboh terlebih dahulu.

Tembakan terhenti, semua orang tampak terkejut. Ini memberiku kesempatan untuk melihat kondisi. Selain dua orang yang baru tewas, ada dua orang lain tergeletak tak bernyawa. Satu orang masih bernyawa namun tangannya mengalami pendarahan. Tampaknya tiga korban itu disebabkan oleh tembakan buta yang kulepas tadi.

Aku memanggul pedang di bahu kanan.

"Tinggal enam orang yang bisa melawan, apa kalian masih mau melawan? Kalau kalian tidak melawan, aku tidak akan mengejar kalian."

"BRENGSEK!"

Tampaknya pertanyaanku menyadarkan mereka. Tembakan kembali dilepaskan. Perisai pintu kembali berperan.

Aku memotong kedua tangan yang memegang senjata di dekatku. Meski dua orang ini sudah menjadi mayat, ada kemungkinan yang masih hidup menggunakan pengendalian dan melepas tembakan melalui dua senjata tersebut.

Saatnya bom psikologi. Aku melempar bom pertama, tangan yang terpotong bersama senjata, ke balik pintu.

"AAAAA!!!!!"

Tangan lain meluncur.

"KYAAA!!!!"

Bom psikologi berhasil. Mereka menghentikan tembakan untuk sementara. Aku mengintip dari samping pintu sejenak dan melepas tembakan. Satu tembakan, satu kepala pecah. Tinggal lima.

"SIALL!!!!!!"

Brugg

Tampaknya mereka putus asa. Sepasang tangan memegangi pintu.

"SEKARANG! SERANG INKOMPETEN ITU DARI KANAN KIRI!"

Hoh, pintar juga. Kalau dia menyerang dari kanan kiri, setidaknya satu orang akan berhasil. Sayangnya, tidak semudah itu.

Aku melepas tangan dari pintu dan mengambil satu jenazah. Sekuat tenaga, aku melempar jenazah ke kiri.

"Aahhh"

"Eh?"

Tanpa membuang waktu, aku merendahkan tubuh dan mengayunkan pedang. Dua orang ada di jalur tebasan. Namun, cukup disayangkan, kali ini aku hanya mampu memotong perut satu orang. Yang satu berhasil menahan tebasan dengan senapan. Namun, setidaknya, serangan itu membuatnya jaga jarak.

"Ahh.... ahhh..... tidak..... kembali. Kembali ke dalam!"

Satu orang yang perutnya terpotong merentangkan tangan, berusaha meraih usus yang terburai.

"Heh,"

Aku menginjak usus yang ingin dia capai.

"AAAHHHH!!!!!"

Setelah aku menginjak usus yang terburai, laki-laki itu pingsan. Ketika bangun, dia sudah ada di alam lain.

Tinggal empat.

Aku meraih tiga selongsong peluru yang ada di saku dan melemparnya ke samping pintu. Setelah menarik satu tubuh, aku melepaskan tembakan ke tiga selongsong peluru tersebut.

Blarr

Sebuah ledakan terjadi. Dengan aku menembak peluru shotgun di luar laras, pelet besi di selongsong menyebar ke semua arah, seperti bom. Tanpa perisai atau pelindung, langkah ini adalah bunuh diri. Namun, aku memiliki perisai, yang adalah jenazah. Oleh karena itu, aku tidak ragu.

"AAAHHHHH"

"GUAAAHHHH"

"KYAAAA"

Teriakan demi teriakan terdengar. Selain suara teriakan, sebuah suara berat terdengar. Pintu yang tadi kugunakan sebagai perisai terjatuh, di balik pintu, tidak terlihat siapa pun. Orang yang memegang pintu sudah ambruk karena ledakan selongsong. Terlihat ada banyak lubang di tubuh bagian kirinya.

Masih tersisa tiga orang.

Mereka masih hidup, tapi, entahlah, tubuh mereka penuh dengan lubang. Hal yang membuat mereka masih hidup adalah peluru yang melayang tidak bersarang di organ vital. Ada kemungkinan kecil mereka bertahan hidup. Namun, kemungkinan itu hanya terjadi kalau mereka dilarikan ke rumah sakit dalam waktu setengah jam.

Jaga-jaga, aku mengambil satu senapan di jalan dan melepaskan tembakan ke tangan mereka, mencegah kemungkinan peluru lain melayang.

"AAHHHH"

"KYAAHHHH"

Sebenarnya, kalau sedang berbaik hati, aku sudah melepaskan tembakan ke kepala mereka. Namun, sayangnya, aku sedang tidak ingin berbaik hati. Jadi, aku biarkan saja mereka mati perlahan, tersiksa.

Tiga orang tersisa, dua perempuan dan satu laki-laki. Aku melihat ke sekitar, tampaknya sebagian besar laki-laki sudah kubunuh duluan.

Aku berjalan ke satu perempuan.

Tubuh perempuan ini tergeletak. Mata menangis. Aku mengingat wajah dan rambut bob pendeknya. Nama perempuan ini adalah Nammu, putri dari Chez. Chez adalah adik pertama ayah. Dengan kata lain, Nammu adalah sepupuku.

"Nammu, kalau kamu di sini, apa berarti aku bisa mengasumsikan om Chez yang mengirimmu."

"Kamu tidak perlu tahu, inkompeten."

"Hooh, meski sudah di ambang kematian, kamu masih bisa memandangku rendah ya. Aku suka orang yang masih sombong meski berada di pintu kematian."

Aku meletakkan pedang di samping dan duduk di atas perut Nammu.

"Gahhh."

Nammu langsung memuntahkan darah ketika aku mendudukinya.

Aku tidak duduk dengan dua kaki mengapit tubuh Nammu, tapi menghadap ke samping.

"Kalau kalian masih sombong bahkan di ambang kematian, rasanya, dadaku sangat lega."

"Inkompeten, jauh-jauh kau dari Nammu!"

Laki-laki yang mengingatkanku adalah saudara jauh, namanya Lyo.

"Apa kamu mau kukirim ke dunia lain lebih cepat?"

"LAKUKAN SAJA! LEBIH BAIK KAMI MATI DARIPA���"

Dor

Satu kepala pecah. Dengan begini, enam peluru di dalam shotgunku pun habis.

Yang baru saja aku tembak bukan Lyo, tapi saudara lain yang masih hidup, yang adalah perempuan. Kini, tersisa dua orang yang masih hidup, Nammu dan Lyo.

"Aku masih berbaik hati pada kalian, jadi aku belum mau membunuh kalian. Jangan salah gunakan kebaikanku."

Tentu saja tidak. Aku berbohong. Justru aku berbaik hati pada saudara yang baru saja tewas. Kalian berdua? Tentu saja tidak. Aku hanya memberi harapan palsu pada kalian. Sudah beberapa menit berlalu sejak kalian terkena ledakan. Waktu kalian semakin sempit.

"Jadi, aku tanya lagi. Apa benar om Chez yang mengirim kalian? Kalau kalian tidak memberi jawaban, aku anggap benar om Chez yang menyuruh. Kalau benar dia yang menyerang, maka tidak salah kalau aku menyerang keluarga om Chez, kan?"

"Tidak! Hentikan! Ayah tidak ada hubungannya dengan serangan ini!"

Nammu langsung panik begitu aku membahas serangan balik.

"Adikmu, Corba, masih duduk di kelas tiga SD ya? Aku penasaran, kira-kira bagaimana reaksinya saat beberapa hari lagi dia pulang dan mendapati ayah dan ibunya sudah tewas? Tidak. Tidak usah repot-repot beberapa hari lagi. Aku penasaran, besok, bagaimana reaksi adikmu ketika menyadari kakaknya telah tiada?"

"Ti, tidak.... tidak.... Corba."

"Tidak berhenti di situ. Ketika dia mengetahui fakta kalau aku yang membunuhmu, dia pun akan menyerangku. Di saat itu, yah, aku pun terpaksa membunuhnya."

Setelah aku mengucapkan nama adiknya, Nammu akhirnya rusak. Air mata mengalir deras. Bahkan, kini, dia merengek memanggil nama adiknya.

"Corba... maafkan kakak. Kakak tidak bisa pulang malam ini. Maafkan kakak besok tidak bisa mengantar Corba ke sekolah."

Aku jadi teringat dengan Ufia yang tiba-tiba rusak saat Jeanne menyebutnya beban.

Tampaknya, doktrin dan cuci otak yang dilakukan kakek tua itu cukup mudah dihancurkan. Cukup hancurkan harga diri dan hal terpenting yang mereka pegang. Selain itu, tampaknya, keadaannya yang hampir mati juga membantu.

"Kau! Berani-beraninya!"

"Lalu, kau, Lyo, apa kau tidak peduli dengan keluargamu?"

"Justru sebaliknya. Keluargaku akan bangga. Berkat serangan ini, aku akan membangkitkan kemarahan mereka. Lebih baik kau bersiap saat mereka membalas dendam. Walaupun kami tewas, kepala kami akan tetap tegak. Kami tidak akan pernah sudi memiliki satu nama denganmu."

"Ah, begitu ya."

Aku bangkit dan mendekati Lyo.

"Apa yang mau kau lakukan, HAH?"

Tanpa memberi peringatan, aku menancapkan pedangku ke perut Lyo.

"GAH!"

Aku menarik, lalu menancapkan pedang, menariknya lagi, menancapkannya lagi. Pedangku tidak menancap terlalu dalam, jadi dia tidak akan mati cepat-cepat. Aku hanya menyiksanya. Namun, kali ini, dia sudah tidak memiliki kemungkinan hidup lagi walaupun sekarang dilarikan ke rumah sakit.

"KAUU....."

Ternyata laki-laki ini belum rusak juga ya. Tampaknya, keluarganya bukanlah hal yang terpenting. Jadi, aku tidak bisa merusaknya dan membuatnya berubah pikiran.

Aku meninggalkan Lyo dan kembali ke Nammu. Kali ini, aku duduk di sampingnya, tidak di atas perutnya.

"Uwahhh.... Brutal."

Aku mengabaikan komentar Shu En. Selain Shu En, aku bisa merasakan kehadiran Emir dan Inanna.

Pandanganku fokus ke Nammu.

"Nammu, kalau kau tidak ditangani dalam waktu dua puluh menit, kematianmu adalah pasti. Kalau kau bersumpah untuk meninggalkan keluarga Alhold, setidaknya hingga mendapat izin dariku, aku akan membiarkanmu hidup. Yah, tapi, aku tidak bisa janji siapa saja anggota yang masih hidup ketika kau mendapat izin itu, sih."

"Se, setidaknya..... tolong.... jangan bunuh.... Corba."

Yang membuat kalimatnya putus-putus bukanlah karena rasa sakit, tapi tangisan.

"Kalau hanya Corba, aku bisa berjanji. Jadi, kau bersumpah?"

"A, aku...."

"Jangan coba-coba!"

Bersambung

============================================================

Halo Semuanya. Minggu ini, author mencoba mendengarkan playlist lain, penasaran kira-kira style menulis author berubah apa enggak. Mungkin agak sedikit berubah. Kalau sebelumnya pace relatif cepat, di playlist yang baru, hasilnya pace cerita terasa lebih lambat.

Di lain pihak, author akhir-akhir ini merasa tambah susah untuk update. Entah kenapa, kalau laptop connect internet pake tethering handphone, harus pake vpn dulu baru bisa connect. Sebelumnya, vpn cuma perlu dipake kalo pengen buka facebook dan twitter. Namun, akhir-akhir ini mulai repot. Untuk buka wattpad saja harus cari vpn yang stabil. hah....

Dan, seperti biasa, author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri.

Atau bisa juga kalian search twitternya. User Id artisnya @QYSThree

Terima kasih :D

avataravatar
Next chapter