90 Arc 3-3 Ch 18 - Main-main

Seperti biasa, kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

============================================================

"Tahan tembakan kalian. Dia bukanlah lawan yang bisa kalian lumpuhkan hanya dengan senjata api."

Aku berbicara pada semua anggota elite Agade melalui headset.

Di selatan, berjarak dua rumah, terlihat sosok laki-laki berambut pirang dan mata biru. Rambutnya tidak panjang lagi seperti di siaran beberapa hari lalu, tapi pendek dan turun, memberi kesan rapi. Senyum lebarnya memberi kesan aro.... atau tidak? Aku hampir bilang arogan, tapi tidak! Senyumnya normal, tidak berlebihan dari ujung ke ujung.

Selain itu, dagunya datar. Padahal, dulu, jika dia menghadap orang lain, dia selalu meninggikan dagu sedikit, memandang orang lain rendah. Hanya Lacuna yang dia tunjukkan dagu datar. Ya, dagu datar, bukan dagu rendah. Bahkan dia menganggap gurunya setara.

Kini, dia mengenakan kaos putih, jaket kulit hitam, dan celana jeans hitam. Kaos putih memberi kesan mencolok, tapi masih serasi dengan jaketnya. Jujur, pakaian Ukin mirip dengan pakaian sehari-hariku. Apa kami cowok memang tidak punya sense fashion?

"Jadi, Ukin, apa yang kamu mau? Apa kamu mau pertarungan kita dilangsungkan sekarang?"

Ya, aku sudah menggunakan kata "kamu" dengan Ukin. Apa kami akrab? Mungkin ya, mungkin tidak.

"Tidak, aku tidak mau bertarung denganmu sekarang. Aku hanya ingin mengatakan kalau aku, dan dua organisasi lain, tidak ada sangkut pautnya dengan serangan ini. Jadi, aku harap kamu tidak mengarahkah kemarahanmu pada kami. Belum saatnya."

"Benarkah?"

"Ya, benar."

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi ada yang aneh dengan Ukin. Kapan terakhir kali aku bertemu dengannya? Tiga tahun? Mungkin.

Dulu, dia tidak akan pernah berbicara atau bernegosiasi denganku seperti ini. Bahkan, kalau dulu, dia akan langsung menyerang entah dari mana. Memaksaku bertarung.

"Apa aku bisa mempercayaimu? Kamu baru saja bertemu dengan Enlil, kan?"

"Yah, awalnya aku mengira Enlil sepertimu, berkepala dingin. Kalau Enlil juga berkepala dingin, dia bisa menjadi senjata ampuh untuk mengalahkanmu. Namun, sayangnya, dia temperamental. Sebentar, mungkin temperamental tidak cocok. Lebih tepatnya, dia terobsesi untuk menyingkirkanmu. Memangnya apa yang sudah kamu lakukan sehingga membuatnya seperti itu?"

"Lahir?"

Keadaan menjadi sunyi.

Sementara Ukin memberi penjelasan panjang lebar sebelum pertanyaan, aku hanya memberi satu jawaban singkat. Kalau dulu, dia pasti sudah marah. Dia akan menganggap sama saja aku sudah merendahkannya. Kali ini, apa yang akan dia lakukan?"

"Kukuku....ahahahaha."

Kesunyian malam pasca pertarungan dipecahkan oleh tawa Ukin. Tawanya bukanlah tawa yang sinis. Aku bisa melihat dia memegangi perutnya yang terus bergerak. Selain itu, dia juga sedikit menitikkan air mata karena tertawa terlalu kencang.

"Ahahaha. Maaf. Maaf. Aku sama sekali tidak mengira kalau lahir saja bisa membuatmu dibenci seperti itu."

"Oh, percayalah. Di mata keluarga Alhold, itu adalah dosa pertama sekaligus terbesar yang pernah kulakukan."

Kalau dulu, dia sama sekali tidak sudi menatap wajahku. Namun, sekarang, dia bahkan merespon jawabanku dengan tawa. Sejak pertama bertemu dengan Ukin, ini adalah pertama kalinya aku bisa melangsungkan perbincangan seperti ini. Yah, meski aku tidak bisa benar-benar bilang ini perbincangan sih, mengingat jarak kami adalah dua rumah. Kami bahkan berbicara dengan berteriak.

Entah kenapa, setelah itu, kami melanjutkan perbincangan. Mayoritas mengenai Lacuna. Namun, tidak ada yang penting. Hanya perbincangan kecil.

"Jadi, Gin, apa kamu melakukannya dengan Lacuna?"

Aku terdiam sejenak. Meski sudah berubah, aku tidak yakin kali ini dia bisa menerimanya dengan tenang, mengingat Ukin sangat mengagumi Lacuna. Namun, aku juga tidak melihat keuntungan kalau berbohong. Hal ini tidak akan mengubah fakta kalau dia adalah musuh.

"Ya, aku melakukannya dengan Lacuna."

[Kamu melakukannya dengan gurumu?]

Ah, sial! Aku lupa kalau headset masih terpasang!

Yang berteriak di telingaku bukan hanya satu orang. Aku tidak yakin berapa banyak, mereka berteriak hampir bersamaan. Ditambah lagi ada delay suara telepon, jadi, aku tidak tahu siapa saja yang berteriak. Bahkan, rasanya, aku mendengar suara laki-laki.

Aku lengah gara-gara perubahan atmosfer yang begitu drastis. Kalau mereka ada di dekatku, mungkin aku bisa siaga. Namun, aku tidak bisa merasakan kehadiran orang melalui telepon.

"Hey, Gin," Ukin memanggil. "Sebenarnya aku tidak ada niatan untuk menyerangmu malam ini. Namun, aku tidak bisa diam saja mendengar kamu sudah melakukannya dengan Lacuna. Jadi, apa kamu bersedia melayaniku sebentar? Ini tidak ada urusan dengan intelijen atau Agade, hanya pelampiasan emosi."

Meskipun aku menolak, kamu pasti akan tetap menyerang. Jadi, baiklah.

"Aku tidak keberatan. Sebentar ya," Aku berbicara ke headset. "Pertarungan ini adalah urusan personal. Jangan ikut campur!"

Aku membiarkan headset terpasang di telinga.

"Siap?"

Sambil mengajukan pertanyaan, Ukin memunculkan tiga pedang panjang dari dalam jaket. Semua pedang itu adalah pedang rakitan, jadi wajar kalau dia bisa menyimpannya di dalam jaket.

Aku membuka peti arsenal dan mengambil dua buah pistol kaliber 9 mm dengan bayonet sepanjang 30 cm. Magasinnya pun sudah kumodifikasi sehingga lebih panjang, memuat 30 peluru.

"Masing-masing pistol berisi 30 peluru, total 60 peluru. Aku mau kita berhenti setelah peluruku habis. Bagaimana? Aku masih banyak urusan malam ini."

Aku memberi syarat pada Ukin sambil bersiap. Pada pertarungan kali ini, aku tidak membawa peti arsenal di punggung, tapi menaruhnya di pinggir jalan.

"Baiklah," Ukin mengiyakan. "Sekali lagi, siap?"

"Siap!"

Begitu aku menjawab, kami berdua sama-sama maju, menerjang. Ukin mengirimkan dua pedang ke arahku. Aku menghindari satu pedang dan menangkis yang satunya. Sebagai balasan, aku melepaskan dua tembakan ke dada Ukin.

Ukin mengambil satu pedang yang melayang dan menangkis kedua peluru. Peluru ini adalah peluru timah normal, tidak terdapat noda darahku. Jadi, jika Ukin sudah mempelajari timah juga, yang kemungkinan besar sudah, maka dia bisa memperkirakan arah dan jalur peluruku.

Kami akhirnya bertukar serangan secara langsung. Mata pedang Ukin bertemu dengan mata pisau bayonetku. Di sela-sela, aku beberapa kali melepaskan tembakan, memaksa Ukin bertahan atau menghindar. Beberapa kali juga, Ukin menyerang dengan pedang melayang. Namun, instingku mampu mendeteksi pedang itu sebelum datang.

Di awal, aku berhasil mendorong mundur Ukin. Namun, keadaan berubah ketika Ukin memutuskan menggunakan dua pedang di tangan. Kini, keadaan kami berimbang. Ketika dia menggunakan satu pedang melayang untuk menyerang, aku melepas tembakan untuk menghalau. Begitu juga sebaliknya.

"Kamu semakin kuat, Gin!"

"Begitu juga denganmu!"

Sambil bertarung, kami masih berbincang-bincang.

Kami berlari ke barat. Sambil berlari, kami terus dan terus melepaskan serangan. Aku menyerang ke bawah, ke kaki Ukin. Di saat itu, Ukin akan melayang sedikit lalu mengirimkan satu pedang yang harus aku telak. Ukin balik menyerang dengan kedua pedang, tepat ke tengah badan. Aku menahan kedua pedangnya dengan bayonet dan melepaskan tendangan ke dada.

Tendanganku membuat Ukin Mundur. Sebagai gantinya, satu pedang meluncur. Aku melepaskan tembakan, menghalau pedang itu. Setelah melepaskan tembakan, kuda-kudaku terganggu. Kini, ganti Ukin yang melepas tendangan.

Kami berdua sama-sama diajari Lacuna untuk memanfaatkan semua benda yang bisa digunakan sebagai senjata. Oleh karena itu, meski sudah memiliki senjata, kami tidak segan untuk melancarkan tendangan atau langsung menyeruduk.

Aku memanfaatkan momentum tendangan Ukin dan melompat ke atas dinding. Dia mengikutiku ke atas dinding. Kini, tempat pertarungan kami tidak terbatas di jalanan, tapi juga ke atas dinding dan genteng rumah.

"Hey, Gin, bisa tolong ceritakan bagaimana rasanya? Aku penasaran?"

"Kamu bukan perjaka, kan? Jadi, kurasa, aku tidak perlu menceritakannya."

Aku tidak yakin sudah berapa banyak rumah yang gentengnya rusak atau kacanya pecah karena pertarungan kami. Namun, entah karena kebiasaan dari pasar gelap atau bagaimana, kami hanya mendatangi rumah yang lantainya dua kosong. Tanpa disadari, kami tidak menyeret warga sipil yang tidak tahu apa-apa soal pasar gelap secara langsung.

"Kalau dibandingkan dengan dua calon istrimu, mana yang lebih memberi kepuasan?"

Kamu mau Emir dan Inanna membunuhku?

"Mereka memiliki karakteristik yang berbeda. Jadi, aku tidak bisa membandingkannya."

Aku menerima tendangan sambil melepas tembakan. Ukin menghindar tapi aku tidak membiarkannya begitu saja. Dengan berpijak pada dinding, aku melompat dan melepaskan tendangan melayang. Begitu menerima tendanganku, pelak, Ukin terpental, memecahkan kaca dan jatuh dari lantai dua.

Aku keluar dan melompat, kembali ke jalan. Kini, aku kembali ke titik awal, di dekat peti arsenal.

Mengikutiku, Ukin muncul dari langit dengan dua pedang di tangan dan satu terbang di belakangnya. Aku melepaskan tembakan bertubi-tubi ke satu pedang yang melayang. Pedang itu sudah berkali-kali berhadapan dengan peluru, jadi tembakan bertubi kali ini sukses membuatnya patah. Di saat yang bersamaan, peluruku habis.

Pertarungan ini sudah selesai. Namun, dia di tengah serangan. Meski bisa berhenti, aku yakin dia tidak akan melakukannya. Jadi, dengan kedua bayonet, aku menerima serangan terakhirnya untuk malam ini. Setelah pedang Ukin dan bayonetku berseteru, Ukin menggunakan tubuhku sebagai tumpuan dan melompat ke belakang.

"Peluru habis."

"Iya, aku tahu. Kita sudahi untuk malam ini."

Aku melihat ke sekitar. Tidak terhitung berapa banyak rumah yang lantai duanya rusak oleh pertarungan kami. Bahkan, tampaknya, pertarungan kami menghasilkan kerusakan yang lebih besar dibanding serangan keluarga Alhold.

Orang mungkin tidak akan percaya, tapi pertarungan yang barusan hanyalah main-main. Tidak ada satu pun dari kami yang serius. Bahkan, kami sama sekali tidak memancarkan niat membunuh atau aura haus darah.

Dulu, Lacuna sering melatih kami untuk bertarung tanpa bergantung pada niat membunuh atau aura haus darah, memaksa insting aktif. Oleh karena itu, baik Ukin maupun aku, memiliki insting yang tidak normal kalau bertarung jarak dekat. Kalau jarak jauh? Percuma. Kami tidak bisa berlaku apa-apa kalau jarak jauh.

Aku sudah bersyukur berulang kali, tapi aku beruntung tidak ada seorang pun dari keluarga Alhold, atau siapa pun di luar akademi Lacuna, yang mampu menyerang tanpa memancarkan aura haus darah atau niat membunuh. Kecuali Emir.

[Gin! Ada sebuah truk melaju dengan cepat ke arahmu!]

Keluarga Alhold masih belum menyerah?

"Biar aku yang tangani."

Yang merespon bukanlah aku, tapi Ukin.

"Anggap ini sebagai ucapan terima kasih karena kamu sudah mau melayani amarahku."

"Tolong ya."

Aku jalan ke sekitar dan mulai merapikan senjataku yang berserakan di luar peti arsenal. Sementara aku merapikan senjata, Ukin masih berdiri di tengah jalan, siap menerima truk yang akan datang.

[Gin, cepat pergi!]

"Tenang saja. Ada Ukin. Sekalian kalian lihat seberapa mengerikannya dia kalau serius... atau setengah serius?"

Ukin melempar dua pedang yang sebelumnya dia gunakan. Kedua pedang itu terpisah-pisah, menjadi beberapa bagian kecil. Pedang yang sebelumnya kupatahkan juga dia gunakan. Bukan hanya itu, semua senjata yang dibawa keluarga Alhold juga dia kendalikan. Dia menghancurkan semua senjata menjadi keping-keping. Kini, di langit, terlihat ratusan puing logam beterbangan.

Untuk menghentikan truk besar, cara yang umum digunakan adalah orang akan menyatukan banyak benda lalu membuat penghalang. Namun, Ukin tidak menggunakan cara itu. Dia menggunakan cara lain.

"Apa kamu akan meneriakkan nama serangan seperti dulu?"

"Ahaha, tidak. Aku sudah bukan anak-anak lagi."

"Bisa kamu lakukan? Aku ingin sedikit mengenang masa lalu."

"Baiklah. Tidak ada ruginya juga, "Ukin tersenyum simpul. "Hujan Meteor!"

Sesuai namanya, semua puing-puing besi itu menghujani truk yang akan datang, seperti hujan meteor. Normalnya, mengendalikan puing-puing besi sebanyak itu hanya memiliki efek seperti lemparan, tidak akan memiliki dampak besar, seperti air hujan. Namun, kekuatan pengendalian Ukin memberi hasil yang berbeda.

Ratusan puing-puing itu menembus lapisan baja truk seperti kertas. Dalam waktu sekejap, truk itu sudah terhenti di jalurnya. Bukan hanya berhenti, tapi juga ringsek, tidak berwujud lagi. Bahkan, truk itu juga menjadi puing-puing logam, berserakan di atas jalan.

"Oke, sudah cukup untuk malam ini. Aku pergi dulu ya. Dan ingat, aku tidak terlibat dalam penyerangan ini, semuanya murni perbuatan Enlil. Jadi, jangan serang aku dulu."

Meskipun aku mau menyerangmu, aku belum bisa melakukannya.

"Kamu sudah berubah, Ukin. Sekarang kamu lebih tenang."

"Semua orang berubah, Gin."

Jujur, perubahan Ukin menjadi lebih tenang adalah hal yang tidak kuinginkan. Apalagi setelah aku tahu dia tidak meneriakkan serangannya lagi. Dulu, sangat mudah menghindar karena dia selalu meneriakkan nama serangan. Dia menganggap kekuatannya tidak perlu disembunyikan, semua orang harus tahu.

Bahkan, saat masih di bawah Lacuna, dia tidak memiliki serangan efektif. Semua serangannya adalah serangan mencolok, seperti yang barusan. Namun, kalau sekarang dia tidak meneriakkan nama serangan, aku juga harus memasukkan kemungkinan dia membuat serangan efektif.

Sial! Akan semakin sulit mengalahkannya.

"Ukin, kalau orang yang membantumu adalah orang yang kukenal, aku titip salam untuknya."

Ukin tersenyum, tidak menunjukkan perubahan reaksi.

"Sudah kuduga. Apa tidak ada satu pun hal yang luput darimu, gin?"

"Sebenarnya, itu hanya dugaan, tapi, terima kasih sudah membenarkannya," aku merespon enteng. "Apa dia yang mengubahmu."

"Mungkin ya, mungkin tidak," Ukin menjawab. "Akan kusampaikan salammu padanya. Dah."

Sebenarnya, aku sudah menduganya sejak mendengar cerita Nerva. Yang mendikte Illuvia memang adalah Ukin yang mengenakan jubah dan topeng, tapi siapakah sosok yang mengirimkan paket pada Illuvia? Apalagi, paket itu tiba tepat ketika Illuvia depresi.

Seharusnya, Illuvia bukanlah tipe yang bisa menerima kata orang begitu saja. Ketika aku mencaci makinya di kantor Agade, dia masih memberi perlawanan. Denganku saja dia masih melawan, apalagi kalau paket itu datang dari orang tidak dikenal? Dia pasti sudah curiga duluan.

Kalau dia tidak curiga, kemungkinannya adalah, pengirim paket tersebut adalah orang yang dekat dengan Illuvia. Dan, dugaanku, Illuvia mempercayai Ukin karena bujukan orang ini.

Aku beberapa kali mencoba menghubunginya, mencoba memastikan. Namun, dia tidak pernah mengangkat telepon. Dan, akhirnya, Ukin mengonfirmasi dugaanku.

"Hah," aku menggumam pelan. "Arde, tampaknya, kamu adalah yang paling normal di antara kita berempat."

Bersambung

============================================================

Halo Semuanya. Sebenarnya, di chapter ini, author berencana membuat pertarungan Lugalgin dan Ukin singkat, hanya setengah chapter. Namun, tanpa author sadari, ternyata sudah satu chapter. wkwkwk. ya sudah.

Lalu, seperti biasa. Author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜 / QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri. Atau bisa juga kalian search twitternya. User Id artisnya @QYSThree

Dan, ini ada sebuah endcard dari pokarii, sebuah ucapan terima kasih dari Emir dan Inanna

avataravatar
Next chapter