88 Arc 3-3 Ch 16 - Kunjungan

Di chapter ini, kita akan berhenti berurusan dengan intelijen untuk sesaat. Lalu, apa urusannya? silakan dibaca.

Dan, seperti biasa, kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

============================================================

"Selamat menikmati,"

"Terima kasih, kak."

Kami menjawab kakak pelayan yang menghidangkan camilan dan minuman.

Aku memesan teh alpine seperti biasa. Teh ini membawa kenangan yang banyak dan indah untukku. Untuk Nanna, dia memesan es Red Velvet. Padahal menu spesial kafe ini adalah teh herbal, masa pesan menu non teh? Kan aneh. Untuk Suen, dia memesan teh jahe. Aku pernah mencoba, tapi rasa pedas dan panasnya tidak cocok untukku. Aku tidak tahu kenapa Suen menyukainya.

Untuk makanan, kami memesan beberapa kentang dan jamur goreng tepung.

Kata kakak, kalau membawa teman, aku diharuskan menunggu di kafe ini. Cukup sebutkan nama kakak dan kami bisa pesan apapun semaunya. Kakak tidak mau ada orang luar yang mengetahui pekerjaannya. Namun, Nanna dan Suen kan teman baikku. Masa masih dianggap orang luar?

"Ngomong-ngomong, tidak apa kita pesan semua ini?"

"Tidak apa. Tidak apa," Aku menenangkan Nanna. "Sebenarnya, pemilik kafe ini adalah kakak. Jadi kakak bilang kalau kita mau main ke sini, cukup bilang nama kakak, seperti tadi. Bahkan, kalau mau, kalian bisa datang sendiri ke sini dan menyebutkan nama kakak seperti tadi."

"Apa ini berarti kita mengurangi keuntungan kafe ini?" Suen menambah pertanyaan.

"Tidak. Tidak. Hanya karena kafe ini miliki kakak, kakak tidak akan melakukan hal itu. Sederhananya, kakak yang akan membayar pesanan kita. Entah dari gaji dia sebagai kepala security di mal ini, atau dari hadiah battle royale, atau memotong sebagian keuntungan pribadinya di kafe ini. Intinya, kita datang ke sini tidak memiliki efek buruk pada kafe."

Dan mereka tidak perlu mengkhawatirkan uang kakak. Padahal, dulu, kakak bilang tidak suka memegang uang banyak. Namun, saat ini, aku tidak bisa memperkirakan pemasukan kakak per bulan. Tidak! Jangankan per bulan. Aku bahkan tidak mampu memperkirakan pemasukan kakak per minggu.

Pertama, kakak mendapatkan uang dari battle royale sebesar.... aku lupa. Apa 10 ribu Zenith per bulan? Atau 100 ribu Zenith? Yah, intinya ada uang dari battle royale. Lalu, kakak bilang, dia juga ada usaha jual beli barang antik. Aku tidak tahu usaha yang ini masih jalan atau tidak. Kelihatannya masih, tapi mungkin seperti kafe ini, Kakak melimpahkan manajemen ke orang lain.

Dan lalu, pemasukan sebagai pemimpin Agade. Aku tidak tahu bisnis apa yang digeluti oleh Agade. Namun, tidak mungkin organisasi besar pasar gelap memiliki penghasilan kecil, kan? Mungkin kakak mendapatkan jutaan Zenith per minggu dari Agade. Lalu ada gaji sebagai kepala intelijen. Belum lagi, mungkin, kakak memiliki toko-toko lain seperti kafe Ease ini.

Uh, aku pusing. Berapa banyak pemasukan Kakak? Kakak tidak konsisten! Kalau bilang tidak suka pegang uang banyak, lalu kenapa pemasukannya bisa sebanyak itu?

"Kalau kalian mau tambah atau pesan untuk dibungkus tidak apa. Aku yakin kakak tidak akan keberatan."

"Benarkah? Kalau begitu, aku pesan teh jahe bubuk untuk dibungkus ya, untuk orang rumah."

Suen sama sekali tidak sungkan dan langsung berdiri. Tanpa menunggu izin, dia langsung pergi ke bar dan memesan sesuatu.

"Dasar Suen. Tidak tahu malu banget dia."

"Nanna, kalau mau, kamu juga bisa tambah atau pesan untuk dibawa pulang."

"Tapi, apa tagihan kakakmu tidak akan membengkak."

"Ahaha, santai saja. Uang kakak tidak akan berkurang kalau hanya seperti ini. Percayalah..."

"Ka, kalau begitu..."

Nanna mengeluarkan smartphone dan mengirim pesan. Di kejauhan, aku melihat Suen mengambil smartphone dari dalam saku. Nanna pasti mengirim apa yang mau dia pesan melalui pesan. Ahaha, Nanna masih malu-malu kucing ternyata.

Setelah Suen memesan, dia pun kembali ke tempat duduk. Kami mengobrol kira-kira setengah jam hingga akhirnya kakak masuk ke kafe. Aku tidak bilang kalau kami akan berkunjung ke sini. Aku hanya bilang kami akan main. Jadi, kemungkinan besar, kakak mengira kami langsung ke rumah.

Saat ini, pasti kakak membeli teh herbal untuk dihidangkan pada kami nanti.

Namun, aku masih belum terbiasa melihat kakak yang berjalan diikuti Kak Emir dan Kak Inanna. Mereka bertiga tampak mengobrol dengan akrab dan santai, seolah tidak ada beban di dunia ini.

Uhhh..... aku iri. Aku juga ingin mengobrol santai dengan kakak.

Selain itu, aku penasaran, apakah Kak Inanna dan Kak Emir tidak berselisih? Maksudku, mereka bukanlah satu-satunya istri kakak? Apa mereka mau kakak poligami begitu saja? Meskipun Bana'an tidak melarang poligami, dan sering dilakukan oleh bangsawan, tapi bagi rakyat jelata seperti kami, praktik poligami itu... entahlah. Aku tidak menyukainya.

Ya, aku tidak suka praktik poligami.

Ketika aku terhanyut pada pikiranku, salah satu karyawan menunjuk ke sini. Spontan, kakak pun menoleh. Setelah mengucapkan salam pada karyawan, kakak mendatangi kami.

Nanna tiba-tiba bangkit dari kursi.

"Adalah sebuah kehormatan bagi saya dapat bertemu dengan Anda, Tuan Putri Emir, Tuan Putri Inanna."

"Eh, eh, eh, jangan." Kak Emir mencegah Nanna yang hampir merendahkan tubuh. "Aku bukan tuan putri lagi. Sekarang, aku hanya rakyat jelata, seperti kalian."

"Aku juga sama. Jadi, tolong, jangan merendahkan diri di depan kami."

"Ta, tapi...."

"Sudahlah, turuti saja." Kak Lugalgin tiba-tiba masuk. "Kamu tidak mau membuat mereka tidak nyaman, kan?"

Nanna tidak langsung menjawab. Dia melihat padaku, dan aku mengangguk.

"Baiklah, kalau begitu. Maafkan saya."

"Aku." Kak Emir menempelkan telunjuk di bibir Nanna. "Jangan terlalu formal, ya. Dan panggil kami kak, ya. Jangan panggil kami Tuan Putri."

"Baik, Kak Emir."

Seolah tidak menganggap semua itu penting, Kak Lugalgin berbicara ke kami.

"Aku tidak menyangka kalian akan menjemput kami di mal. Aku kira kalian akan langsung ke rumah."

"Tidak apa. Kami butuh refreshing. Sesekali main sedikit lah. Hanya karena mau ujian, bukan berarti kami harus belajar terus, kan? Jangan khawatir. Kami pasti lulus ujian kok."

"Aku tidak mengkhawatirkanmu," Kakak menjawab cepat. "Aku mengkhawatirkan Nanna dan Suen. Bukannya menghina Nanna dan Suen, tapi, Ninlil, kadang kamu lupa kalau kamu itu pintarnya keterlaluan. Kamu, mungkin, hanya dengan memperhatikan di kelas sudah paham. Namun, Nanna dan Suen tidak demikian. Aku khawatir kamu terlalu sering mengajak mereka refreshing."

Nanna dan Suen mengangguk-angguk merespon ucapan kakak.

Sebentar, aku tidak tahu harus senang atau sedih. Di satu pihak, aku senang karena mendapat pujian dari kakak. Kakak mengakui kalau aku pintar. Namun, di lain pihak, aku juga sedih. Kakak seolah lebih mementingkan Nanna dan Suen.

"Yah, sudahlah, ayo kita pulang."

Kami pun pergi meninggalkan mal dan pulang menuju rumah. Sepanjang perjalanan, Suen terus melekat ke Kakak. Di lain pihak, Nanna terus melekat ke Kak Emir dan Kak Inanna. Bahkan, ketika sampai rumah, Nanna ikut ke dapur.

Di lain pihak, aku ditinggal sendirian. Aku tidak mau sendiri!

Nanna, aku kira alasan dia ingin bertemu dengan Kak Emir dan Kak Inanna hanya lah bohong dan sebenarnya ingin bertemu Kak Lugalgin. Apa dia jujur? Namun, tadi, dia memejamkan matanya ketika berkata ingin bertemu dengan Kak Emir dan Kak Inanna. Apa dia menunggu Suen lepas dari kakak?

Di lain pihak, gara-gara Suen, perhatian kakak sepenuhnya fokus padanya. Kakak sama sekali tidak memperhatikanku. Apa yang harus kulakukan?

"Sebentar, untuk bagian ini, aku tidak terlalu paham. Ninlil, kesini sebentar."

"Ya, kak?"

Akhirnya kakak memanggilku! Akhirnya kakak membutuhkanku!

"Ya? Ada apa kak?"

"Ini, soal pertanyaan Suen. Dia bertanya apakah ada trik untuk bisa meningkatkan pengendalian. Jawaban yang bisa kuberi hanyalah jawaban teori, memperdalam pengetahuannya. Untuk praktiknya bisa kamu bantu? Emir spesial dan berbakat. Dia tidak tahu apa itu latihan pengendalian. Inanna juga sedang sibuk di dapur. Jadi, tolong ya. Kakak percayakan Suen ke kamu."

"Baik Kak!"

***

Aku ke dapur dan mengecek persiapan makan malam. Saat baru masuk ke dapur, Inanna berbisik padaku.

"Hanya tahu teori apanya? Kamu melatih pengendalian Shinar dan juga anggota Agade, kan?"

Aku tersenyum ketika mendengar bisikan Inanna.

"Yah, aku tidak mau terlalu fokus pada Suen. Di lain pihak, aku juga tidak bisa meninggalkan Suen dan meladeni Ninlil begitu saja, kan?"

Aku balik berbisik, menjawab Inanna.

Jujur, bagiku, momen Ninlil bermain dengan Nanna dan Suen seperti ini adalah langka. Momen seperti ini mengingatkanku kalau kehidupanku tidak hanya berputar di sekitar intelijen, pasar gelap, dan pewarisan takhta. Aku kembali diingatkan kalau aku juga memiliki hidup sebagai rakyat jelata yang normal.

Di lain pihak, aku sudah tidak perlu khawatir soal penilaian ibu pada Emir yang tinggal menghitung bulan. Saat ini, Emir sudah bisa memasak dan melakukan pekerjaan rumah dengan baik, sama dengan Inanna.

Eh? Levelku? Hah, jangan bercanda. Meskipun militer Mariander memaksa Inanna mandiri, dia baru masuk beberapa tahun, apalagi Emir yang baru mulai. Aku sudah mengurus pekerjaan rumah sejak Ninlil lahir, 14 tahun lebih. Keahlianku dalam pekerjaan rumah tidak mungkin ditandingi oleh dua mantan tuan putri ini.

Aku jadi teringat masa SMA ketika Illuvia dan Maila protes gara-gara masakanku lebih enak dari mereka. Bukan hanya itu, aku yang membersihkan ruang badan eksekutif membuat mereka naik pitam. Mereka bilang, kalau sekolah tahu aku lebih ahli dari mereka dalam pekerjaan rumah, maka citra mereka sebagai pengurus inti akan tercoreng.

Di saat seperti itu, Arde akan membelaku dengan menyatakan bahwa normal untukku memiliki kemampuan itu karena aku adalah rakyat jelata. Namun, dia gagal meyakinkan mereka berdua karena dia sendiri mampu menghasilkan masakan yang lebih enak dariku. Kesimpulannya, cowok di pengurus inti badan eksekutif SMA kami lebih piawai dalam pekerjaan rumah dibanding ceweknya.

Ngomong-ngomong, aku sudah berapa bulan ini tidak mengontak Arde dan Maila. Beberapa kali aku mengirim pesan, tapi mereka baru membalasnya berapa hari kemudian. Tampaknya mereka benar-benar sibuk. Yah, mau bagaimana lagi. Kami sudah tidak satu sekolah. Agenda kami pun berbeda-beda. Mungkin, setelah ini, pertemanan kami akan semakin renggang.

"Nanna, terima kasih ya sudah mau berteman dengan Ninlil."

"Ah, tidak apa-apa, Kak Lugalgin. Justru kami senang Ninlil mau berteman dengan kami."

Mungkin yang lain tidak menyadarinya, tapi nada Nanna lebih pelan dan lembut ketika berbicara denganku. Dulu, saat aku masih tinggal satu rumah dengan ayah dan ibu, dia sering datang dengan menggunakan alasan main ke rumah Ninlil. Kalau aku di rumah, dia pasti mencari kesempatan untuk mengobrol denganku berdua saja.

Namun, sekarang, aku dengar dia tidak datang sesering dulu. Ninlil mengatakan sekarang Nanna lebih sibuk dengan belajar karena ujian sudah dekat. Namun, alasan sebenarnya adalah Nanna tidak memiliki alasan yang kuat untuk datang karena aku sudah tidak di rumah. Dia juga tidak mungkin tiba-tiba datang ke rumahku.

Sampai sekarang, aku tidak tahu apa yang membuat perempuan bisa jatuh hati padaku. Dan aku tidak mau mencari tahu. Namun, setidaknya, aku masih peka, tidak seperti seseorang.

Suen tampaknya masih memiliki perasaan pada Ninlil. Meski dia bilang ingin bertanya soal pengendalian padaku, dia berkali-kali mencuri pandangan ke arah Ninlil. Karena itu, aku mencoba mendekatkan mereka berdua.

Berbeda denganku yang selalu memperhatikan kondisi sekitar, bawaan hasil latihan Lacuna, Ninlil sama sekali tidak peka. Bahkan, aku berani bertaruh, saat ini dia tidak sadar kalau aku mendekatkannya ke Suen. Hah, aku jadi khawatir. Kemungkinan adikku ini mendapatkan pasangan rasanya sangat kecil.

Akhirnya, makan malam sudah siap di atas meja. Aku duduk di antara Emir dan Inanna sementara Ninlil duduk di antara Suen dan Nanna. Kami pun menyantapnya dengan santai. Setidaknya, begitulah rencananya.

"E–"

"Ya!"

Belum sempat aku memanggil Emir, atau Inanna, mereka berdua sudah bergerak dengan cepat.

Tak tak tak tak

Suara tumpul terdengar berkali-kali. Di jendela, terlihat ada beberapa lingkaran putih, percobaan peluru yang gagal memasuki rumah.

Sebelum tembakan peluru menghantam jendela, kami semua sudah bergerak. Emir dan Inanna melewati samping meja dan menarik Nanna dan Suen. Aku lompat ke atas meja dan menarik Ninlil. Saat ini, kami semua berlindung di balik dinding, di ujung ruangan.

Rumah ini sudah kupasang dengan kaca anti peluru. Bahkan sniper rifle tipe Lupus milik Lacuna tidak akan bisa menembusnya. Hanya senapan anti material yang mampu menembusnya. Namun, meski demikian, aku tetap harus berjaga-jaga.

"Gin,"

Aku menoleh ke Emir. Di pelukan Emir, terlihat Nanna yang gemetaran. Tangannya menggenggam pakaian Emir begitu kuat. Begitu juga dengan Suen. Dia juga melakukan hal yang sama pada Inanna.

Di lain pihak, Ninlil sama sekali tidak gemetaran. Dia menempelkan badannya padaku, tapi aku tidak merasakan getaran sama sekali. Tampaknya dia cukup tenang.

Kami tidak melakukan apa pun, hanya diam menanti. Tidak lama kemudian, suara tembakan pun terhenti.

"Hiih!"

Nanna histeris ketika mendengar dering smartphoneku. Emir mengelus dan membelai rambut Nanna dengan lembut, mencoba menenangkannya.

Aku melepaskan Ninlil dan mengangkat telepon. Sambil mengangkat telepon dari Mari, aku berjalan ke jendela, melihat bekas tembakan.

"Bagaimana?"

[Tiga orang dari keluarga Alhold. Mereka sudah tewas.]

Aku mendengar nada ketus Mari yang khas. Aku bisa membayangkan dia berbicara dengan matanya yang setengah terbuka, tampak sayu, di ujung telepon.

Ketika melihat bekas tembakan, yang membuatku terkejut adalah peluru yang ditembakkan tampaknya tidak mengincarku, tapi mengincar Ninlil dan dua temannya. Apa mereka ingin membunuh Ninlil? Tidak. Tidak mungkin. Ninlil adalah calon pemimpin keluarga Alhold. Tidak mungkin mereka membunuhnya.

Atau kemungkinan lain adalah, keluarga Alhold berusaha membunuh Nanna dan Suen, lalu mengancam Ninlil. Mungkin, mereka ingin menunjukkan kalau aku tidak bisa melindungi teman-teman Ninlil, memaksanya kembali ke rumah dan menuruti perintah kalau tidak ingin mereka terancam.

Ya, skenario ini adalah yang paling mungkin.

"Keluarga Alhold ya."

[Ya, keluarga Alhold. Maaf Ka–Lugalgin. Awalnya, aku ingin menginterogasi mereka. Sayangnya, mereka tiba-tiba tewas saat aku tiba.]

Tiba-tiba tewas? Mungkin, ada orang lain yang mengawasi mereka dari kejauhan. Ketika ada pihak lain mendekat, orang itu akan menekan sebuah tombol, menyebar racun di tubuh penyerang.

"Cari orang dengan gelagat aneh dalam radius beberapa kilometer. Kamu boleh mengerahkan karyawan Agade yang sedang luang. Lalu, kamu hubungi seseorang dari markas dan lakukan autopsi pada tubuh mereka. Aku ingin tahu racun atau apapun yang menyebabkan mereka tewas."

[Baik Ka–Lugalgin.]

Sudah kubilang, Mari, kalau kamu mau memanggilku dengan panggilan Kak, aku tidak melarang.

Mari pun menutup telepon.

Aku mengirim pesan ke Shu En, meminta agar ada agen yang mendatangi rumah Nanna dan Suen dan memberi keluarga mereka perlindungan.

"Nanna, Suen, aku ingin membicarakan hal yang penting pada kalian."

Bersambung

============================================================

Halo Semuanya.

Di chapter ini, mungkin ada yang penasaran kenapa Ninlil masih menjadi calon pemimpin keluarga Alhold. Sebenarnya, hal ini sudah disampaikan secara tersirat pada beberapa chapter terakhir. Namun, author tidak akan menjelaskannya secara tersurat saat ini. Mungkin di penghujung Arc 3-3.

Ga kerasa dan Ch 16 aja. Bisa-bisa Arc 3-3 ini nyentuh chapter 25. Terus, untuk arc selanjutnya, author ga yakin apakah akan memasukkannya sebagai Arc 3-4 atau langsung Arc 4 saja. Namun, kemungkinan, kelihatannya, bisa jadi, akan langsung Arc 4.

Dan lalu, tampaknya ada beberapa reader dari mangatoon yang ke sini karena sudah ga sabar dengan ceritanya. Yah, di mangatoon baru sampai di chapter 40, saat Emir menjalani tes Agade. Sudah ketinggalan jauh dari sini. Jadi, untuk reader dari mangatoon, selamat datang dan terima kasih sudah membaca.

Dan, seperti biasa, Author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜 / QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri. Atau bisa juga kalian search twitternya. User Id artisnya @QYSThree

Dan, ini ada sebuah endcard, sebuah ucapan terima kasih dari Emir dan Inanna

avataravatar
Next chapter