83 Arc 3-3 Ch 11 - Serangan?

Peringatan : Graphic violence (Gore), not suitable for children or teenagers under 18 years of age. It might makes you feel uncomfortable

Dan, Seperti biasa. Kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

============================================================

Brrrt

"Hah?" aku menggumam.

Apa itu? Baru saja, aku merasakan sebuah getaran yang cukup kuat. Apa ada gempa? Namun, Bana'an tidak terletak di daerah aktif gempa. Bahkan, sejak lahir, aku belum pernah merasakan gempa. Atau ada barang besar roboh di dekat sini? Bisa jadi. Ah, sudahlah. Abaikan saja.

"Sampai mana ceritaku tadi?" Aku bertanya pada Ufia yang memeras kain pel.

"Orang dengan pengendalian normal juga terlahir di keluarga Alhold."

Kami sudah hampir selesai membersihkan rumah. Sebelumnya, aku baru menjelaskan mengenai praktik suplai anak-anak ke organisasi para gelap yang dilakukan oleh keluarga Cleinhad. Awalnya, aku mengira Ufia sudah tahu. Namun, ternyata belum. Jadi, aku terpaksa memulai cerita dari situ.

Ketika bercerita, beberapa kali aku mendapati wajah Ufia menjadi masam. Bukan hanya Ufia, orang lain di tempat ini yang mendengar juga masam.

Aku hanya menceritakan sistem yang diberlakukan oleh keluarga Cleinhad secara umum. Aku sama sekali tidak membahas masalah Tasha. Nope. Sama sekali tidak.

"Ah, ya. Itu. Jadi, sebenarnya, keluarga Alho–"

Belum sempat aku mencapai topik utama, sebuah alunan musik terdengar.

"Sebentar,"

Aku mengambil handphone dari saku celana dan mengaktifkan proyektor, menampilkannya ke udara. Terlihat ibu-ibu berambut pirang panjang, Shu En, di hadapan.

"Ada apa?"

[Urgen! Kita kehilangan kontak dengan agen yang bertugas memonitor keluarga Alhold, Apollo, dan Orion.]

"Ung, semuanya?"

[Semuanya! Dan, informasi visual baru masuk.]

Tanpa aku minta, gambar yang ditayangkan oleh proyektor telah berganti. Kini, semua orang di dekatku berhenti bersih-bersih. Mereka melihat panggilan video juga.

Di proyeksi terlihat sebuah bangunan penuh dengan debu. Bangunan itu hancur total. Bahkan aku tidak bisa menerka bentuk asal bangunan itu. Dari ketinggian dinding, seharusnya, bangunan itu memiliki tinggi tiga lantai.

Belum sempat debu menghilang, muncul beberapa titik cahaya, tembakan. Pelak, beberapa orang pun tergeletak di lantai. Namun, masih ada empat atau lima orang yang masih hidup.

"Kok rasanya kenal ya dengan bangunan itu?"

Aku mengabaikan Ufia. Saat ini, pandanganku fokus pada laki-laki berambut pirang. Berbeda dengan beberapa sosok lain yang penuh luka, laki-laki berambut pirang itu sama sekali tidak terluka.

"Shu En, jelaskan keadaan."

[Ya, baik,] Shu En mulai memberi penjelasan tanpa mengganti gambar. [Beberapa menit yang lalu, kami mendapati sebuah gedung melayang lalu menerjang bangunan itu. Pelakunya adalah beberapa orang dengan helm full face yang tadi melepas tembakan.]

Helm full face ya. Berarti yang beraksi adalah Akadia, Ibu. Namun, siapa target ibu?

Belum sempat aku membiarkan pertanyaan itu muncul dari bibir, sebuah jawaban muncul.

[Tempat itu adalah salah satu aula milik keluarga Alhold, yang terletak di distrik Kainama, kota satelit. Karena daerah ini distrik bisnis, populasi di siang hari cukup banyak. Proses evakuasi sedang berlangsung. Lalu, sinyal pelacak dari agen yang mengawasi Keluarga Alhold, Apollo, dan Orion, juga terakhir kali terdeteksi di distrik ini.]

"Ah, iya, itu aula kedua."

Ufia berbisik. Meski ingin menanyakan aula apa itu, aku menahannya untuk sekarang.

Tampaknya, ibu menyerang Enlil. Aku hampir tidak menyadari kalau Enlil ada di tempat itu. Perhatianku terlalu fokus pada satu laki-laki.

"Agen yang mengawasi mereka tidak usah kau cari. Aku bisa pastikan mereka sudah tewas."

[Tewas?]

"Pelakunya adalah laki-laki berambut pirang itu, Ukin. Dia adalah satu dari tiga murid Lacuna di Bana'an. Aku yakin dia lah yang melakukannya."

"[Hah]"

Ketika aku memberi penjelasan, semua orang pun tersentak. Tidak hanya orang-orang di sekitarku, aku juga bisa mendengar suara Shu En tersentak. Namun, keterkejutan mereka tidaklah penting untukku. Saat ini, mengumpulkan informasi mengenai Ukin jauh lebih penting. Bahkan, jauh lebih penting daripada kakek tua itu.

"Shu En, ada berapa orang yang saat ini mengawasi tempat itu?"

[Yang sudah berada di lokasi baru satu. Enam dalam perjalanan.]

"Apa mereka semua membawa senapan?"

[Yang berjaga tidak. Yang perjalanan sudah membawa.]

"Ketika sampai sana, kalian tidak usah menyiapkan senapan. Siapkan saja kamera agar bisa mengirim visual ke sini. Aku mau mereka tersebar, memberi pandangan dari semua arah. Pastikan mereka tidak mendekat ke area pertarungan. Jangan memegang perlengkapan rekaman, kalian pasang saja pada tripod. Kalau Ukin menyerang, tinggalkan semua barang, selamatkan diri."

[Ah, tidak usah menyiapkan senapan?]

"Ya. Tidak usah. Percaya lah. Kalian tidak mau menyinggung Ukin."

[Baiklah kalau begitu.]

Aku ingin melihat sejauh apa kekuatan Ukin saat ini. Kalau dia bisa lolos dari gedung yang dilempar tanpa luka, bahkan melindungi orang di belakangnya itu, maka kekuatannya benar-benar jauh lebih mengerikan dibandingkan dulu.

Aku meletakkan kain pel di lantai dan duduk di sofa. Yang lain pun berhenti dan duduk di dekatku. Emir dan Inanna duduk di kanan kiri. Ninlil duduk di pangkuan. Jeanne dan Ufia mengambil kursi dan duduk di belakang sofa.

Untung Jeanne dan Ufia tidak duduk di bawah sofa, di dekat kaki. Aku tidak bisa membayangkan pemandangan yang akan terjadi kalau mereka melakukannya.

Oke, kembali ke Ukin.

Video melakukan pembesaran. Setidaknya ada 8 orang mengenakan helm full face, 5 orang membawa pedang mata satu, 3 orang membawa tombak. Mereka semua membawa assault rifle. Setelah menyadari tembakan tidak mampu mencapai target, para penyerang pun maju dengan pedang dan tombak.

Selain Ukin, ada tiga orang lain. Enlil, lalu ada petarung terkuat Apollo, Karla, dan pemimpin Orion, Constel. Dari tiga orang ini, perhatianku jatuh pada Constel, terutama pada wajahnya yang tampak robek tapi tidak mengeluarkan darah. Tampaknya dia mengenakan topeng silikon.

Delapan lawan empat. Pertarungan ini tidak seru karena aku sudah tahu hasilnya. Namun, setidaknya, aku bisa mendapatkan informasi.

Sebenarnya, saat ini, aku memiliki beberapa pertanyaan. Pertama, kenapa mereka, penyerang, tidak mencoba melempar gedung lain? Apa mereka berpikir kemungkinan menang lebih besar jika langsung menghadapi Ukin dan yang lain? Atau mereka ingin pamer kekuatan?

Dan orang bilang aku pintar? Tidak! Aku tidak pintar! Orang-orang di sekitarku lah yang bodoh. Yah, sudahlah. Daripada menanyakan sesuatu yang mungkin tidak akan terjawab sekarang, lebih baik aku melihat pertarungan ini.

Enlil menyelimuti kedua tangannya dengan sarung tangan besi. Dia membuat sarung tangan besi itu dari logam di lantai. Dengan sarung tangan besi, Enlil menahan semua serangan dari dua penyerang. Salah satu penyerang mundur dan melepaskan tembakan. Namun, Enlil mampu melayani serangan itu dengan mudah.

Sementara tangan kanan Enlil menangkis pedang, tangan kiri menahan tembakan. Dia menggunakan pengendalian untuk mengubah sarung tangan besi di kiri menjadi sebuah perisai. Dengan memiringkan sudut perisai, Enlil membelokkan jalur peluru yang datang.

Meskipun tubuh Enlil terluka cukup parah, gerakannya masih gesit. Tidak salah dia menjadi kepala keluarga Alhold. Dari pertarungan ini, aku bisa melihat dia menggunakan bela diri Wich. Wich adalah bela diri yang fokus pada kekuatan dan kecepatan tangan. Kalau seorang master melepaskan pukulan bertubi-tubi, tangannya tampak menjadi banyak.

Namun, dari yang aku dengar Wich yang sekarang bukanlah bela diri yang utuh. Wich hampir tidak menggunakan kaki. Kekuatan kaki hanya digunakan untuk berdiri di tempat dan bergerak dengan cepat, tidak untuk menyerang. Ada yang bilang Wich yang sesungguhnya juga menggunakan kaki untuk menyerang dan bertahan. Dengan kata lain, Wich yang sekarang adalah versi downgrade.

Akhirnya, satu penyerang tidak sabar dan menyerang dengan gegabah. Enlil memanfaatkan serangan itu. Dia merendah lalu mengangkat tangan beserta badan. Saat itu juga, sebuah tombak muncul dari lantai, menembus dada penyerang.

Melihat kawannya ditembus oleh tombak, penyerang satunya lengah. Enlil tidak melepaskan kesempatan begitu saja. Dia melepas tinju dari jauh, mengirimkan sarung tangan besi. Ketika di udara, sarung tangan besi yang diluncurkan oleh Enlil berubah menjadi mata bor, menancap di dada penyerang.

[Tim tambahan sudah tiba di lokasi.]

Baru saja aku selesai memperhatikan pertarungan Enlil, beberapa layar lain muncul. Bukan muncul. Lebih tepatnya, proyeksi yang sekarang terbagi menjadi 9 bagian. Pada bagian tengah kanan dan tengah kiri, tidak ada tampilan karena yang merekam hanya 7 orang.

"Arahkan masing-masing 2 kamera pada Enlil, Karla dan Constel."

[Baik!]

Sesuai permintaan, kamera pun fokus pada tiga orang itu. Biar aku tidak repot, aku juga mengatur tampilan proyeksinya. Satu kamera yang mengawasi Enlil akan kuletakkan di tengah kanan. Dua kamera yang mengawasi Karla ada di kiri atas dan tengah atas. Constel ditampilkan di kiri tengah dan tengah. Terakhir, Ukin, ditampilkan di kiri bawah dan tengah bawah.

Karla bertarung dengan gaya yang berbeda jika dibandingkan Enlil. Pengendalian Karla berperan cukup besar dalam pertarungan. Sementara dia menggunakan satu toya dengan ujung runcing, beberapa tongkat besi panjang melayang di sekitarnya.

Karla maju menyerang dengan toya di tangan dan beberapa tongkat besi melayang, yang tampak seperti linggis. Bagi lawan, sama saja seperti dia diserang oleh beberapa orang secara bersamaan. Meskipun Karla fokus pada satu musuh, beberapa linggis lain sibuk melayani musuh yang lain. Bahkan, walaupun Karla tidak bergerak, semua linggis yang dia kendalikan akan sibuk menyerang.

Sesekali, lawan mencoba melepas tembakan. Namun, semua tembakan itu mampu ditangkis oleh linggis melayang Karla. Hingga saat ini, tampaknya, Karla hanya bermain-main. Tidak. Kata bermain-main tidak cocok. Lebih tepatnya dia mengukur kemampuan orang yang menyerangnya.

Melalui rekaman, meski aku tidak mendengar suara Karla, aku bisa membaca pergerakan bibirnya.

"Kenapa kalian tidak menggunakan pengendalian? Antara Akadia meremehkanku atau mereka hanya uji ombak?"

Karena aku tidak yakin yang lain bisa membaca pergerakan bibir Karla, aku mengatakannya dengan kencang.

Aku juga setuju dengan ucapan Karla. Kenapa para penyerang ini tidak menggunakan pengendalian?

Kalimat itu adalah ucapan terakhir yang Karla katakan sebelum mengakhiri pertarungan. Hanya dengan satu jentikan jari, dia mengirim semua linggis ke tubuh penyerang, menembus dari berbagai arah.

"Kalau lawanku lemah, seperti ini, aku akan berbaik hati membunuh kalian dengan cepat, tanpa rasa sakit."

Sekali lagi, aku mengatakan ucapan Karla dengan keras.

Baik, saatnya mengalihkan perhati–aw... aku hampir lupa kalau Constel terkenal dengan tali bajanya.

"Ninlil, kamu jangan lihat." Aku mencoba menutup kedua mata Ninlil.

"Terlambat! Aku sudah lihat!"

Ninlil menerima tanganku dan meletakkannya di bahu.

Baiklah, aku akui kalau aku terlambat. Namun, tetap saja, aku menutupi pandangan Ninlil.

"Tetap tidak boleh!"

Pemandangan ini sangat, aku ulangi, sangat tidak nyaman dilihat, baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Kedua lawan Constel kini tidak bisa memberi perlawanan sama sekali. Tali baja yang menyelimuti kedua tangan Constel bergerak seperti tentakel. Satu tali baja terpisah menjadi beberapa tali kecil, memasuki telinga, hidung, mulut, dubur dan organ vital kedua orang itu, tidak peduli baik yang laki-laki maupun perempuan. Mereka berdua ditelanjangi dan disiksa.

Kedua orang itu bahkan tidak mampu berteriak. Mulut mereka dimasuki kabel baja yang pasti membuat bernafas menjadi sulit. Mereka berdua menangis, mengeluarkan air mata tanpa henti.

Semua orang di tempat ini, kecuali aku dan Ninlil, mengalihkan pandangan. Kalau Ninlil mau mengalihkan pandangannya, aku tidak akan perlu menutup matanya. Namun, dia terus berusaha menurunkan tanganku dari matanya. Tentu saja aku tidak membiarkannya.

Akhirnya kabel baja yang masuk keluar dari dalam tubuh mereka. Perut mereka berlubang, menunjukkan kabel baja yang menggeliat. Kedua bola mata mereka pun lepas, ditusuk dari dalam.

Aku merasa kasihan pada orang-orang ini. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah berharap mereka pingsan sebelum kabel baja itu menembus tubuh mereka.

Setelah memastikan kedua lawannya tewas, Constel melemparkan tubuh tanpa nyawa itu ke tanah. Karena lokasi tubuh sudah fix, aku mengatur proyeksi agar melakukan sensor pada tubuh tak bernyawa itu.

Aku bergerak dengan cepat karena harus melepas tangan dari mata Ninlil.

"Adegan yang baru saja sudah kusensor. Sekarang kita fokus pada Ukin."

Empat perempuan yang sebelumnya mengalihkan pandangan kembali melihat ke proyeksi.

Sekarang pandangan kami semua fokus pada satu orang, Ukin. Saat ini, dia bertarung seperti Karla, membiarkan pedang yang dia kendalikan melayani lawan. Namun, berbeda dengan Karla yang mengepung lawan dengan banyak senjata, Ukin hanya menggunakan satu pedang, melayang, untuk melayani lawannya.

Sementara pedangnya melayani dua lawan, dia berbicara dengan sekretaris. Karena dia membelakangi kamera, aku tidak bisa membaca bibirnya.

Perasaanku tidak enak. Dan, benar saja. Tiba-tiba di proyeksi tengah bawah, Ukin memandang ke sini. Dia melihat ke arah kamera.

"Agen Schneider, mundur! Sekarang! Tinggalkan semua benda yang kalian bawa! Cepat!"

Tidak ada perubahan di proyeksi, jadi aku tidak tahu apakah agen yang bertugas berhasil mundur atau tidak.

"Shu En, status!"

[Mereka sudah pergi. Semua agen langsung pergi secepat mungkin ketika mendengarmu berteriak.]

"Mendengarku?"

[Ya, aku menyambungkan teleponmu ke jaringan komunikasi mereka. Komunikasi ini satu arah, jadi hanya bisa dari kamu ke mereka.]

Meski aku ingin protes, menginginkan komunikasi dua arah, tapi aku menahannya.

Tidak lama setelah para agen dikonfirmasi mundur, gambar Ukin membesar. Bukan membesar, Ukin tampak mendatangi salah satu alat perekam. Dia melayang dan mendarat di depan kamera, di proyeksi tengah bawah.

[Halo, Gin? Apa kamu mendengarku?]

"Ya, aku mendengarmu," aku menjawab meski tahu Ukin tidak bisa mendengar.

Sambil melihat ke arah Ukin, sesekali, aku melirik ke layar di kiri bawah, melihat nasib dua orang terakhir. Akhirnya, mereka tidak bisa kabur dari takdir dan tewas.

[Sebelum berbicara, aku ingin bertanya, apa kau yang memberi mereka pedang dan tombak itu? Pedang yang kukendalikan terasa hilang sejenak ketika bersinggungan dengan senjata mereka.]

Hah?

[Bukan hanya itu. Bahkan, sekarang, asistenku mengatakan dia tidak bisa mengetahui material apa yang digunakan pada kedua senjata itu. Aku pun sama sekali tidak bisa merasakannya ketika melawan mereka, seolah senjata itu hanya ilusi mata.]

Tidak mungkin!

[Yah, aku tahu kamu tidak bisa memberi jawaban. Namun, sebelum itu, aku ingin mengatakan terima kasih karena kamu telah memberi senjata itu secara cuma-cuma pada kami. Sekali lagi, terima kasih ya.]

This is not good.

Di saat itu, sebuah alunan musik rock terdengar.

Suara ini berasal dari telefon lain. Aku merogoh saku dan mengambil telepon model candybar berwarna hitam. Telepon ini tersambung pada saluran yang tidak bisa disadap dan bisa melewati blok sinyal. Telepon ini lah yang kugunakan untuk berkomunikasi dengan Selir Filial, True One, dan beberapa klien VVIP.

Aku tidak perlu melihat layar untuk mengetahui siapa yang menelepon. Setiap orang memiliki nada dering masing-masing.

[Halo, Gin, apa kamu butuh bantuan untuk mengambil senjata-senjata itu?]

"Kamu ada di lokasi?"

[Apa kamu perlu bertanya?]

Tidak perlu. Kalau dia menawarkan, pasti dia ada di tempat itu. Dan, karena tampaknya dia tahu isi ucapan Ukin, dia pasti menyadap saluran komunikasi intelijen.

Di satu sisi, aku prihatin dengan saluran komunikasi intelijen yang bisa disadap. Di sisi lain, aku lega karena kelemahan ini memberiku kesempatan.

"Apa yang kamu inginkan?"

Tidak usah basa-basi. Aku langsung menanyakan apa yang dia mau.

[Kuota transaksi kami tiap bulan ditambah 10 persen.]

"Lima persen. Ambil atau tidak?"

[Baiklah, lima persen. Senang berbisnis denganmu.]

Laki-laki ini tidak menawar lebih tinggi. Berarti, sejak awal, targetnya memang lima persen, bukan sepuluh persen.

Sial! Aku sudah ditipu. Namun, aku tidak peduli. Bagiku, saat ini, mendapatkan senjata-senjata itu adalah prioritas utama.

Tiba-tiba saja, terlihat kepulan asap di beberapa tempat pada proyeksi. Asap itu tidak berasal dari api atau debu yang beterbangan, tapi dari granat.

[Hah?]

Ukin terperanjat. Meski tampak terkejut, dia tidak beranjak dari depan kamera. Dia hanya mengalihkan pandangan.

Dalam waktu singkat, akhirnya, asap yang sempat muncul pun menghilang. Bukan hanya asap yang menghilang, jasad dan semua senjata yang dibawa oleh penyerang pun juga menghilang.

[Tampaknya kamu sudah merencanakan ini semua ya? Kamu memang benar-benar cerdik.]

Tidak. Bukan aku yang merencanakan semua itu. Kamu salah kira.

Setelah melihat ke arah rekan-rekannya sejenak, Ukin kembali mengalihkan pandangan ke kamera. Meski sempat terperanjat, kini dia tampak normal lagi. Sebuah senyum terkembang lebar di wajahnya.

[Yah, itu tidak penting. Intinya, sekarang, aku beraliansi dengan keluarga Alhold, Apollo, Orion, dan agen yang kau rumahkan. Mari kita mulai pestanya.]

Bersambung

============================================================

Halo Semuanya. Hingga chapter ini, masih belum ketahuan siapakah sosok "aku" di 2 chapter sebelumnya. Apakah ibu Illuvia? Atau ibu lain? Apakah akan jadi jalur harem? Atau tidak? Wkwkwkwk, nantikan jawabannya di chapter-chapter yang akan datang.

Pada bagian Constel, dia menggunakan kabel baja sebagai pengendalian. Apa yang kalian bayangkan kalau bukan tentakel? Kelihatannya author kebanyakan baca doujinshi. Hahaha.

Di akhir chapter ini, terlihat bagaimana Ukin mengira Lugalgin sudah merencanakan semuanya padahal belum. Hahaha. Sudah lama sekali sejak Author membuat Lugalgin tampak keren dan perhitungan padahal sebenarnya tidak. Rasanya cukup fresh.

Dan, seperti biasa, Author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜 / QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri.

Atau bisa juga kalian search twitternya. User Id artisnya @QYSThree

Terima kasih :D

avataravatar
Next chapter