54 Arc 3-2 Ch 6 - Deklarasi Perang

"Halo Gin! Kami kembali!"

Sebuah suara perempuan yang begitu semangat dan antusias menemani pintu yang terbuka. Di pintu, terlihat Emir, Inanna, dan yang lain sudah kembali.

Masuknya Emir dan yang lain secara mendadak membuat Shinar dan Ufia terentak.

"Cepat sekali. Belum ada," aku berhenti sejenak, melihat ke jam di ujung ruangan. "Jam tiga. Apa saja yang kalian lakukan?"

"Gin!" Jeanne mendatangi mejaku dengan cepat. "Kamu tidak bilang mereka sudah tahu semua lokasi dan kondisi tempat yang kami datangi. Bahkan, ada beberapa aspek yang mereka lebih paham dibanding kami. Ujung-ujungnya, kami hanya menunjukkan lokasi-lokasi itu pada Emir."

Aku terdiam dan melihat ke orang-orang di dekat pintu, yang kini berjalan dan duduk di sofa. Mereka hanya melempar senyuman padaku.

Ya, Inanna adalah agen gugalanna. Dan orang-orang dari Agade sudah bekerja denganku sebelumnya. Dan aku selalu menanamkan pada mereka bahwa informasi adalah amunisi yang sangat penting. Meski mereka tidak seahli Ibla dalam mengumpulkan informasi sih.

Di lain pihak, belum genap dua tahun sejak Emir menjadi agen schneider. Jadi, wajar kalau Emir tidak tahu banyak.

"Kamu tidak tanya. Dan lagi, aku sudah bilang kan kalau rekan-rekanku ini sudah bekerja di pasar gelap sejak lama. Jadi, wajar kalau mereka–"

"TIDAK! KAMU BELUM BILANG KALAU MEREKA BEKERJA DI PASAR GELAP!" Jeanne menyela.

"... oke, itu kesalahan di bagianku. Hahaha." Aku tertawa kecil. "Tapi, Jeanne, meskipun mereka tahu, mereka tidak pernah mengonfirmasi lokasi dan isinya, kan? Jadi, kunjungan kalian membuat mereka yakin kalau informasi yang dimiliki adalah benar. Iya, kan?"

Aku melempar pandangan ke Mulisu dan yang lain.

Mulisu memulai, "Iya, Lugalgin benar, Jeanne. Kamu membantu kamu untuk mengonfirmasi info yang kami miliki."

"Mulisu benar," Ur menambahkan. "Meskipun kami tahu kalau informasi tersebut adalah 80 persen benar, akan jauh lebih baik kalau tingkat kebenarannya mencapai 100 persen."

"Ya, benar." Mari, Simurrum, dan Uru'a mengangguk-angguk.

"Tapi...."

"Sudahlah Jeanne," Inanna meletakkan tangan di bahu Jeanne. "Kamu benar-benar membantu kami, kok. Terutama Emir karena dia tidak tahu kanan kiri sama sekali. Iya kan, Emir?"

"Iya, benar." Emir menjawab dengan cepat.

"Tapi...."

"Sudah, sudah...."

Inanna menarik Jeanne dan mendudukkannya di sofa.

Baiklah, kembali ke permasalahan.

"Jadi, Shinar, kamu masih mau mendengar alasannya? Ini hanya perkiraanku, ya."

"Ya, aku masih mau mendengarnya. Aku masih penasaran kenapa anak-anak keluarga Cleinhad dibiarkan hidup."

Aku mengembalikan arah pembicaraan ke Shinar. Ketika mendengarku berbicara dengan Shinar, entah kenapa, yang lain menjadi tenang.

"Mungkin," aku memulai jawaban. "Itu adalah cara si pembunuh mencari pengampunan."

"Mencari.... pengampunan?" Shinar sedikit memiringkan kepala.

"Kemungkinan, dia membunuh karena dendam, kan? Mungkin karena keluarga Cleinhad melakukan hal buruk pada orang yang dia kasihi. Jadi, mungkin, dia merasa berhak membalas dendam. Dan, mungkin, oleh karena itu, dia berpikir untuk memberi hak membalas dendam kepada orang-orang sepertimu, orang-orang yang dibiarkan hidup."

"Eh?"

Tanpa aku sadari, aku berkali-kali mengatakan kata "mungkin". Kali ini, aku mengatakan semua "mungkin" itu bukan karena ingin menutupi yang sebenarnya dari Jeanne, Ufia, dan Shu En, tapi karena aku sendiri ragu.

Apa aku benar-benar memberikan hak untuk membalas dendam pada mereka? Kalau itu benar, apa itu berarti aku berharap salah seorang dari mereka untuk mengakhiri hidupku? Apakah aku benar-benar mencari pengampunan?

Entahlah. Ketika aku mengingat keluarga Cleinhad dan anak-anak yang kubiarkan hidup, semua pertanyaan itu muncul. Pada akhirnya, semua itu hanyalah alasan yang kubuat untuk membenarkan Ketidaktahuanku kenapa aku hanya membunuh orang-orang yang berusia di atas 16 tahun.

"Lugalgin, apa kamu serius?"

Tidak kuduga, orang yang pertama mengkhawatirkanku adalah Mulisu. Tidak. Bukan yang pertama mengkhawatirkanku, tapi yang pertama menanyakan pikiranku, dan mungkin kondisiku. Semuanya mengkhawatirkanku. Mereka menunjukkan wajah yang masam, terutama Emir dan Inanna.

"Entahlah. Seperti yang kalian dengar, itu semua hanyalah kemungkinan. Hanyalah teori. Bahkan, teori tanpa dasar."

Diluar dugaanku, Shinar ikut murung setelah mendengar jawabanku. Di saat itu, aku bisa melihat bibirnya bergerak, menggumam, tapi tidak mengeluarkan suara. Meski dia tidak mengeluarkan suara, aku bisa membaca gerakan bibirnya.

"Maafkan kami."

Kata-kata itulah yang kubaca dari bibir Shinar. Dan, saat ini, aku sedikit menyesal karena membaca gerakan bibir Shinar. Kalau kamu meminta maaf, justru akan membuatku merasa bersalah. Aku berharap kamu adalah perempuan sombong dan congkak seperti dua saudaramu itu. Kalau kamu seperti mereka, rasa bersalah tidak akan pernah muncul di benakku.

Tok tok

Meski pintu terbuka, seorang laki-laki datang mengetuk. Namanya adalah Mario, agen schneider.

"Maaf, Tuan Lugalgin, ini permintaan Anda."

"Ah, ya, silakan masuk."

Mario masuk dan memberiku sebuah map. Di dalam map itu, terdapat dua lembar surat yang membutuhkan tanda tanganku.

Surat ini adalah surat peringatan untuk semua orang yang tidak menandatangani surat pernyataan kesetiaan. Surat ini mengatakan kalau mereka tidak menyatakan kesetiaan padaku, dalam waktu satu bulan mereka akan dirumahkan dan dilarang melakukan semua hal yang berhubungan dengan intelijen Bana'an. Dan, tentu saja, semua gaji dan tunjangan yang mereka dan keluarga terima akan dihentikan.

Dua bulan setelah dirumahkan, jika mereka masih tidak mau menyatakan kesetiaan, mereka akan dihentikan sebagai intelijen.

Pemberhentian sebagai intelijen bukanlah hal yang bisa disepelekan begitu saja. Rentang waktu yang mereka lalui ketika mengabdi sebagai agen akan dianggap sebagai kosong, atau pengangguran. Jadi, jika ada orang yang telah menjadi agen selama 10 tahun, dia akan dianggap menganggur selama 10 tahun.

Kerajaan tidak akan mengakui pengabdiannya karena dia dihentikan secara tidak hormat. Dan, karena intelijen Bana'an tersebar di seluruh elemen masyarakat, dan juga perusahaan-perusahaan, hal ini akan membuat mereka tidak mampu mendapatkan pekerjaan.

Ketika hal ini terjadi, satu-satunya jalan yang bisa diambil oleh agen-agen ini adalah berpaling ke pasar gelap. Dan, ketika hal itu terjadi, dia akan resmi menjadi musuh kerajaan. Di saat itu, aku bisa membunuhnya tanpa melanggar perjanjianku karena dia bukan lagi agen.

Konsep pemberhentian dan memojokkan agen ini tidak hanya diterapkan di Bana'an. Kerajaan dan negara lain juga menerapkan konsep ini jika ada agen yang terbukti berkhianat.

Oleh karena itu, menerima pekerjaan sebagai intelijen bagaikan pedang bermata dua. Di satu pihak, semua kehidupan dan kebutuhanmu, bahkan hingga yang tersier, pasti akan dipenuhi oleh Kerajaan dan Negara. Namun, kalau kau berkhianat atau tampak korupsi, hanya penderitaan yang menanti.

Ya, meski para bangsawan itu akan terpojok karena hal yang lain sih.

Aku menandatangani dua lembar surat dan mengembalikan satu lembar pada Mario. Satu lembar yang lain kupegang sebagai arsip.

"Aku ingin surat ini mencapai mereka semua minggu ini.... yang berarti tinggal empat hari termasuk hari minggu. Apa kalian sanggup?"

Karena dokumen ini tidak boleh diemail, untuk menghindari peretasan, hasil scan hanya dikirim melalui flash drive yang diantar oleh agen lain. Jadi, akan sulit untuk menyebarkan surat ini dalam waktu singkat. Namun, aku tidak melihat keraguan itu di wajah Mario.

"Untuk yang dalam negeri, besok lusa bisa dipastikan mencapai mereka. Untuk yang luar negeri, sebagian Sabtu, sebagian lagi Minggu."

Aku tersenyum. "Bagus."

Mario pun pergi meninggalkan ruangan.

"Surat apa itu gin?"

"Mau lihat?"

Aku memberi surat yang kutandatangani ke Ufia, yang disalurkan ke Jeanne dan lalu ke Shu En.

Kalian memberi surat itu ke Shu En begitu saja tanpa membacanya? Apa kalian tidak penasaran dengan isinya.

"Hoo, kamu memberi mereka tenggat waktu ya."

"Ya, benar sekali." Aku merespon. "Aku tidak mau memperpanjang urusan ini. Tiga bulan adalah batas waktu untuk masalah ketidaktaatan mereka. Meski menurutku tiga bulan terlalu lama."

"Biar kutebak," Mulisu masuk. "Pasti surat itu menyatakan kalau orang-orang yang tidak menyatakan kesetiaan dan ketaatan pada Lugalgin hingga tenggat waktu habis, mereka akan diberhentikan, kan?"

"Ya, benar sekali." Shu En merespon Mulisu enteng.

"Tapi, apa itu tidak percuma?" Mari merespon.

"Eh?" Mulisu dan Shu En merespon bersamaan.

"Mereka yang tidak menurut kan rata-rata bangsawan. Apa itu akan memiliki efek? Maksudku, meski tidak memiliki pekerjaan, harta dari keluarga mereka masih melimpah, kan? Apalagi ka- Lugalgin memang dibenci bangsawan. Jadi, menurutku, itu tidak akan membuat mereka jera."

"Kamu benar," Simurrum merespon.

"Tapi salah," Uru'a menambahkan.

Simurrum, Uru'a, kenapa kalian berkata seperti itu? Kalian kira kalian anak kembar?

"Eh? Maksudnya?"

"Begini, biar aku jelaskan," Shu En mengambil alih. "Untuk orang-orang seperti mereka, finansial memang bukanlah masalah utama. Mereka memiliki sesuatu yang lain yang akan diinjak-injak Lugalgin jika mereka diberhentikan, yaitu harga diri mereka sebagai bangsawan.

"Mereka mungkin akan tenang jika yang memberhentikan adalah Yang Mulia Paduka Raja, tapi karena yang memberhentikan mereka adalah Lugalgin, rakyat jelata yang seharusnya di bawah mereka, mereka akan merasa harga diri mereka dilangkahi, diinjak-injak, bahkan diludahi. Dan, tidak mungkin mereka diam saja."

"Ohh.... begitu ya."

Secara konsep, penjelasan Shu En tidaklah salah. Namun, pemilihan katanya, terutama pada bagian diinjak-injak, dilangkahi, dan diludahi, apa tidak terlalu berlebihan? Kamu mengatakannya seolah-olah aku lah pihak yang jahat di sini.

"Namun, dengan surat itu," Ufia melempar pandangan ke arahku. "Lugalgin, kamu seperti mendeklarasikan perang pada orang-orang yang tidak taat."

***

Malam tiba dan kami pun pulang. Namun, ketika tiba di rumah, ada hal yang benar-benar merepotkan terjadi.

Tepat di depan pintu rumah, di dalam halaman, terlihat beberapa orang terikat dalam kondisi pingsan. Ikatan mereka sederhana, menggunakan ikatan kabel di jempol.

Gaya mengikat ini sangat aku kenal.

"Hey, apa kalian masih hidup?"

Sementara aku membuat panggilan melalui smartphone, Emir mencolek-colek orang-orang itu. Di lain pihak, Inanna tidak peduli dan langsung masuk rumah.

"Gin, aku akan menyiapkan makan malam. Emir, bantu aku."

"Oke."

"Ya, terima kasih, Inanna, Emir."

Akhirnya, setelah beberapa kali berbunyi, teleponku menyambung.

[Ya, Lugalgin, ada apa?]

"Ibla, bisa tolong jangan membuang sampah di depan rumah orang?"

[Ah, maaf. Aku belum sempat membawa sampah-sampah itu setelah membersihkan halaman rumahmu. Sampahnya terlalu banyak sih, tadi. Nanti aku akan mengambilnya. Tinggalkan saja di depan rumah.]

Ah, jadi mereka ada di halaman rumah ya? Aku terkejut tidak ada seorang pun yang berusaha masuk. Kalau mereka masuk dan tewas oleh perangkap, pekerjaanku akan jauh lebih mudah. Maksudku, bukan salahku kan kalau mereka tewas oleh perangkap yang kupasang untuk menghalau penjahat.

Aku melangkahi orang-orang yang pingsan ini dan masuk ke rumah. Seperti ucapan Ibla, dia akan mengambilnya nanti.

[Ngomong-ngomong, Gin, sebelum kamu tutup, aku ingin melaporkan sesuatu.]

"Sesuatu?"

Aku melepas jaket dan meletakkannya di sofa. Sementara itu, di dapur, Inanna dan Emir sedang menyiapkan makan malam.

[Jadi, kami sudah menemukan organisasi yang menggunakan nama Agade.]

"Lalu, apa yang kamu mau?"

[Lugalgin, aku tahu kalau kamu tidak peduli dengan nama Agade yang digunakan organisasi lain. Dan kami pun berusaha sebaik mungkin untuk tidak memedulikannya. Namun, sayangnya, kami tidak bisa.]

"Oke, jelaskan."

Sambil menunggu makan malam siap, aku mendengarkan cerita Ibla. Pada dasarnya, mereka menganggap nama Agade adalah sebuah hadiah dariku untuk mereka. Ketika ada orang lain yang menggunakan nama Agade begitu saja, sebenarnya mereka marah dan ingin segera meringkus orang-orang itu. Namun, mereka menahan diri.

Mereka berpikir nama Agade tidak memiliki arti selama mereka bisa berguna untukku. Namun, meskipun secara logika mereka sudah menerimanya, perasaan mereka tidak bisa. Mereka benar-benar tidak terima ada orang lain menggunakan nama Agade tanpa izin. Apalagi orang-orang yang tidak mereka kenal.

"Jadi, kalian ingin meringkus Agade palsu ini dan mengklaim kembali nama Agade?"

[Kami tidak benar-benar ingin mengklaim nama Agade atau menggunakannya kembali. Kami hanya tidak mau nama Agade digunakan oleh orang lain. Hanya itu. Maksudku, itu adalah pemberianmu. Kami tidak mau orang lain merebutnya begitu saja.]

Pemberianku dan tidak mau orang lain merebutnya begitu saja, ya.

Ketika mendengar kalimat ini, aku jadi sedikit terdiam, teringat ketika orang lain mengatakan hal yang sama padaku.

Semenjak berurusan dengan Fahren, aku jadi sering teringat pada masa-masa itu. Banyak sekali hal yang mengingatkanku pada kenangan-kenangan itu. Apa aku semakin sentimen? Bisa jadi.

"Baiklah, aku izinkan."

[Benarkah? Terima kasih, Lugalgin.]

"Tapi, aku ingin ikut juga, dengan membawa serta Inanna dan Emir. Aku ingin menunjukkan pada mereka bagaimana kalian, atau mungkin kita, bertarung ketika sedang serius."

Bersambung

avataravatar
Next chapter