53 Arc 3-2 Ch 5 - Kembali Lagi

Setelah insiden tadi, agen schneider yang bekerja di bawahku membawa pergi agen yang menyerang. Shinar dan dua saudaranya juga dibawa pergi. Aku ingin bilang kedua temannya, tapi agak aneh mengatakan mereka teman setelah mengetahui kalau mereka adalah saudara.

Saat ini, aku sedang menyiapkan makan malam sementara Emir dan Inanna mandi. Tubuh dan pakaian mereka penuh kotoran, debu, dan darah setelah serangan tadi. Di lain pihak, aku yang tidak bertarung sama sekali masih bersih. Jadi, aku menyuruh mereka mandi sementara aku memasak.

Tugas memasak sering diambil alih oleh Inanna. Emir terkadang memasak juga, tapi masih di bawah pengawasan Inanna. Dan, sejak Inanna datang, aku sudah jarang sekali memasak seperti sekarang. Untuk menu malam ini, aku memutuskan membuat nasi goreng dengan sosis dan tumis sayur.

"Ah, baunya harum sekali...."

Suara Emir terdengar di pintu dapur. Selain Emir, terlihat Inanna juga berdiri di pintu.

"Kalian siapkan piringnya dulu. Ini hampir selesai."

"Baikkk!!!"

Mereka berdua membawa beberapa piring dan mulai menyiapkan meja. Karena sudah malam, mereka berdua sudah mengenakan piama. Lebih tepatnya setengah piama.

Aku tidak tahu sejak kapan, tapi tampaknya Inanna sudah ketularan Emir. Kini, mereka berdua hanya mengenakan celana dalam dan atasan piama, tanpa bra. Emir, dengan rambut merah membaranya, tampak lebih lunak dengan piama berwarna pink. Di lain pihak, Inanna terlihat lebih netral dengan piama berwarna kuning.

Aku tahu kalau aku adalah calon suami mereka, tapi apa mereka tidak bisa menahan diri sedikit? Salah-salah, instingku sebagai lelaki bisa menguasai dan..... tidak. Aku rasa itu tidak mungkin terjadi. Kalau instingku tidak dapat kukendalikan, aku pasti sudah melakukannya dengan Emir sejak lama.

"Terima kasih atas makanannya."

Emir dan Inanna mengucap syukur setelah makan. Malam ini kami bisa makan dengan tenang seperti malam-malam lain. Aku bersyukur karena masih bisa menjalani malam normal seperti ini.

"Sudah. Biar kami saja," Ucap Inanna.

Aku menerima tawaran dan pindah ke ruang keluarga sementara mereka pergi ke dapur, membersihkan piring dan peralatan masak. Aku menyalakan televisi, menonton saluran berita.

"Gin? Boleh aku bertanya?" Emir berteriak dari dapur.

"Tidak biasanya kamu meminta izin." Aku menjawab dengan nada tinggi. "Tapi, ya silakan. Ada apa?"

"Perempuan tadi. Apa yang terjadi dengannya? Kenapa dia tiba-tiba histeris seperti itu?"

Aku terdiam sejenak. "Kamu baru menanyakannya sekarang?"

"Awalnya, aku mengira dia histeris hanya kamu memancarkan aura haus darah dan niat membunuh. Namun, setelah kupikir-pikir lagi, mungkin bukan itu alasannya. Maksudku, dua temannya dan semua agen di dekatmu pingsan, kan? Kenapa dia malah histeris?"

Dia cukup tajam, tapi lambat dalam berpikir. Aku penasaran, prioritas pikirannya itu kemana sih?

"Inanna, menurutmu?" Aku mengarahkan pertanyaan itu ke orang lain, Inanna.

"Hmm..... satu-satunya hal yang terpikir olehku adalah dia pernah merasakan aura haus darah dan membunuhmu, gin. Jadi, semacam trauma? Mungkin ketika pertama merasakannya, dulu, dia pingsan. Namun, untuk yang kedua, dia sudah sedikit lebih kebal, tapi tubuhnya masih mengingat sensasi dan rasa takut yang dirasakan saat itu. Apa perkiraanku benar?"

"Yap, benar." Aku membenarkan Inanna. "Dan–"

Emir menyela, "apa itu berarti, perempuan itu adalah keluarga Cleinhad?"

Oke, Emir cepat mengambil kesimpulan, dan tepat.

"Ya, benar. Meskipun bukan dari keluarga utama, dia adalah anggota keluarga besar Cleinhad."

"Ah, begitu ya."

Setelah respon itu, suasana kembali tenang, kecuali suara televisi. Tidak lama kemudian, Emir dan Inanna duduk di sampingku. Emir di kiri, Inanna di kanan.

"Sudah larut, kalian tidak tidur? Apalagi kalian sudah mengenakan piama, kan?"

"Hehe, tidak, kami ingin duduk di sini dulu." Emir menjawab.

"Boleh?" Inanna menambahkan, meminta konfirmasi.

"Silakan. Ini rumah kalian juga, kan?"

"Terima kasih, gin."

Padahal aku hanya memberi mereka jawaban sesederhana ini, tapi aku bisa melihat sebuah senyum dan kebahagiaan di wajah mereka. Ketika melihat mereka bahagia, entah kenapa aku juga ikut bahagia. Suasana ini, aku berharap bisa bertahan lebih lama.

Apa ini yang ayah dan ibu rasakan ketika mereka berdua saja?

Ngomong-ngomong soal ayah dan ibu, aku sudah jarang mendengar kabar dari Ninlil. Apa dia baik-baik saja di sekolah? Semoga dia tidak dibully karena aku. Maksudku, meski aku menang battle royale, menyelamatkan ibu dan adik Inanna, menghentikan aksi terorisme, semua itu kulakukan dengan cara yang licik. Atau bahasa halusnya, strategi.

Aku khawatir dia dibully karena kakaknya tidak dapat menyelesaikan sesuatu secara jantan. Aku akan menanyakannya akhir minggu ini ketika kami berkunjung.

Ketika pikiranku masih melayang entah kemana, aku merasakan sesuatu menumpu pada bahu kanan.

Aku menoleh ke kanan dan melihat Inanna sudah tertidur, menumpu pada badanku.

"Hehehe, Inanna tampak kelelahan." Emir tertawa kecil.

"Kamu juga. Matamu sudah mulai lemas kayak zombi itu. Sudah waktunya kamu istirahat juga."

"Kalau begitu, terima kasih ya, Lugalgin."

Emir menyandarkan kepala dan badannya padaku. Kini, Inanna dan Emir menumpu padaku di kanan dan kiri.

"Sama-sama."

***

Hari berikutnya, aku kembali ke kantor. Hari ini, aku memutuskan untuk memeriksa dokumen perekrutan yang ditinggalkan oleh keluarga Azzaha. Meski manajemen mereka buruk, mungkin aku bisa mendapat satu atau dua siswa berbakat seperti Emir. Ya, meski rasanya seperti mencari jarum dalam jerami, sih.

Emir dan Inanna sedang berjalan-jalan bersama anggota Agade yang menjadi instruktur, mendatangi beberapa fasilitas yang dimiliki intelijen kerajaan seperti gudang senjata, tempat berlatih, aula, dojo, dan sebagainya. Shu En dan Jeanne pergi bersama mereka, tentu saja.

Tok tok

"Ya, masuk,"

Aku merespon suara ketukan pintu.

Setelah balasanku, dua perempuan masuk ke ruangan. Yang satu adalah perempuan yang kemarin histeris dan yang satu adalah perempuan yang sudah tidak kutemui selama.... satu bulan? Perempuan itu adalah Ufia. Dia mengenakan celana pendek dengan kaos hitam dan rompi. Seperti biasa, rambutnya diikat di belakang leher seperti ekor. Shinar mengenakan celana jeans biru dan kemeja putih.

"Maaf, Lugalgin, apa kami bisa meminta waktumu?"

"Aku tidak keberatan, masuk saja."

Mereka berdua pun masuk setelah menutup pintu.

Aku masih terus membuka dokumen demi dokumen. Sudah agak lama mereka masuk, tapi mereka masih belum mengatakan apapun. Bahkan, mereka berdua masih berdiri di depan meja.

"Kenapa kalian masih berdiri? Silakan duduk."

"Terima kasih."

Ufia yang pertama merespon dan duduk. Shinar hanya mengikuti setelah itu.

"Maaf, aku sambi membaca."

"Tidak apa-apa. Kami yang merepotkan."

"Jadi, ada apa?"

Aku tidak mendengar respon dengan cepat. Aku sesekali melirik, melihat mereka yang saling melempar pandangan. Aku kembali ke dokumen-dokumen ini.

Akhirnya, setelah beberapa saat, sebuah suara terdengar.

"Gin," Ufia memulai pembicaraan. "Apa benar kalau ada agen yang sudah tanda tangan berkhianat, kamu tidak segan-segan untuk membersihkan seluruh keluarga agen tersebut dan juga seluruh keluarga agen yang sejak awal tidak tunduk padamu?"

"Apa kamu mendengarnya dari Jeanne?"

"I, iya..."

Ketika melihat Ufia yang seperti ini, aku jadi teringat Ufia yang dulu masih kaku. Kalau Ufia yang dulu, dia pasti sudah menegurku karena memanggil Jeanne tanpa gelar tuan putri.

"Aku tidak sepenuhnya mengelak, tapi aku juga tidak sepenuhnya membenarkan. Anggap tergantung sikon, situasi dan kondisi, ketika hal itu terjadi. Tapi, tetap saja, lebih baik tidak ada pengkhianat karena kita tidak tahu sikon di masa depan, kan?"

"Situasi dan kondisi?"

Ufia tidak sepenuhnya mampu mencerna ucapanku, dan aku pun tidak ada niat menjelaskan. Di lain pihak, aku justru memberi peringatan.

"Pada daftar tanda tangan, ada empat orang dari keluarga Alhold yang juga tanda tangan. Dan, menurutmu, apa mereka benar-benar akan memberikan kesetiaan mereka padaku?"

"Itu.... tidak mungkin."

"Kan?" Aku setuju dengan ucapan Ufia. "Dengan kata lain, ada kemungkinan mereka menandatanganinya dengan tujuan membuatku lengah, lalu menyerang. Kalau berhasil, selain mendapatkan posisi di intelijen kerajaan, mereka juga akan mendapatkan nama di keluarga Alhold."

Ufia tidak menyanggah ucapanku sama sekali. Dia sendiri juga setuju dengan ucapanku.

"Jadi, Ufia, selain sebagai agen schneider, kamu juga bertugas menjaga agar mereka tidak sampai mengkhianatiku. Kalau sampai terjadi, aku akan dengan senang hati membersihkan keluarga Alhold, termasuk kamu dan keluargamu. Terkecuali keluargaku tentu saja. Hehe."

Aku sedikit tertawa ketika membayangkan momen dimana aku membantai keluarga besarku datang. Ya, kemungkinan saat itu datang cukup kecil sih menurutku. Kenapa? Karena masih ada ayah. Aku memiliki beberapa dugaan mengenai ayah. Namun, karena dia sudah sangat baik padaku, aku berusaha mengesampingkan dugaan itu.

"Ya, aku mengerti."

Ufia menjawab dengan tegas, tanpa keraguan sama sekali.

Aku lihat dia sudah siap dengan tugas yang harus dia emban.

"Lalu, Shinar, apa yang kau mau?"

"Ah, itu, anu,"

"Aku bahkan terkejut kau masih mau menemuiku tanpa kedua saudaramu itu. Apa kau tidak takut kubunuh?"

Shinar terdiam sejenak. Saat ini, satu-satunya suara yang kudengar adalah suara kertas dibolak-balik olehku.

"Kalau kau mau membunuhku, kamu pasti sudah melakukannya di malam itu, kan?"

"Jangan salah." Aku menolak pernyataan Shinar. "Aku tidak membunuhmu karena saat itu usiamu masih terlalu muda. Kalau saat itu kau sudah berusia di atas 16 tahun, bisa kupastikan kau tewas."

"I, itu....."

Shinar tidak mampu meneruskan pernyataannya. Dia hanya menunduk.

"Jadi, sekali lagi, aku bertanya, apa yang kau mau?"

"Aku masih belum berubah pikiran. Aku ingin tahu kenapa hal itu terhadap keluargaku, terhadap keluarga Cleinhad."

Heeh, perempuan ini benar-benar sesuatu. Pikiranku belum berubah mengenainya. Kalau ini adalah sebuah komik, dia pasti adalah tokoh utamanya. Kapan lagi kamu bisa menemui orang yang bisa meredam dendamnya dan bahkan mencari penjelasan.

"Ini adalah satu alasan kenapa kamu masih hidup."

"Eh?"

"Ufia,"

"Ya?"

"Apa yang kamu ketahui mengenai keluarga Cleinhad?"

"Ung, mereka adalah lini depan pertahanan kerajaan ini menghadapi pasar gelap....?"

Aku terdiam sejenak dan melihat ke arah Ufia. Bahkan tanganku berhenti bergerak.

"Kenapa kamu tampak ragu dengan jawabanmu sendiri?"

"Ya, Gin. Maksudku, belum ada satu tahun sejak aku menjadi agen schneider. Dan sebelum itu, aku menghabiskan waktu di sekolah kesatria, bukan di pasar gelap. Apa yang kamu harapkan?"

Iya juga sih. Tapi, apa tidak masalah agen tidak mengetahui info dasar seperti ini?

Setelah itu, aku mulai menceritakan apa yang dilakukan oleh keluarga Cleinhad sejak generasi dulu, mengenai praktik jual beli manusia, human traffickng, dan sistem pasar gelap yang mereka terapkan, termasuk efek yang terjadi. Setelah aku mengatakan itu semua, dua perempuan ini hanya terdiam dengan mata terbelalak.

"Jadi, ada pertanyaan?"

"Apa itu benar-benar terjadi, Gin?" Ufia bertanya.

"Ya, itu benar-benar terjadi."

"Jadi, Lugalgin," Shinar menambahkan. "Apakah hal itu terjadi karena ada pihak yang ingin menuntut keadilan? Apa benar demikian?"

Sejak awal, dia terus berusaha untuk tidak menyebutkan kalau aku yang membantai keluarganya. Tampaknya, dia tidak ingin Ufia tahu masalah pribadinya.

Tapi, perempuan ini cukup ngaco.

"Itu bukanlah sebuah keadilan. Aku yakin insiden itu terjadi hanya karena ada pihak yang dilukai dan ingin membalas dendam. Kalau seandainya hal itu tidak menimpa pihak tersebut, mungkin keluarga Cleinhad masih hidup hingga saat ini. Ya, aku bisa bilang mereka berurusan dengan orang yang salah."

"Dendam.... ya."

Ketika aku melihat reaksi dua perempuan ini, aku bisa melihat keraguan pada diri mereka. Mata mereka masih melihat tanpa arah. Bahkan mereka menoleh tak teratur dengan mulut yang setengah terbuka.

Di lain pihak, aku menceritakan itu semua seolah-olah aku bercerita mengenai menu makan siangku, tidak ada yang spesial.

Reaksi mereka adalah hal yang normal. Maksudku, tidak mungkin pembantaian besar-besaran terhadap salah satu keluarga bangsawan terkuat di negeri ini adalah hal yang normal. Apalagi, seharusnya, orang akan berpikir apa yang kulakukan adalah terlalu jauh.

Namun, aku tidak memedulikan itu semua. Aku hanya melakukan apa yang kumau, tidak lebih dan tidak kurang.

"Lalu, kenapa kau aku dibiarkan hidup di saat itu?" Shinar masih terus mengejar penjelasan.

Aku menghela nafas, "menurutku, karena kalian masih muda. Aku mendengar, di keluarga Cleinhad, ada peraturan yang menyatakan setiap anggota keluarga yang mencapai usia 16 tahun akan diberi tahu kenyataan ini, dengan harapan mereka tidak melakukan hal bodoh di luar keluarga dan bisa meneruskan pengabdian keluarga dan–"

"Tidak!" Shinar menyela. "Aku tidak percaya. Aku tidak percaya dibiarkan hidup begitu saja hanya karena belum mencapai 16 tahu. Pasti ada alasan lain, kan?"

Perempuan ini tidak mau menerima penjelasanku begitu saja, tidak seperti Ufia. Ya, karena ini menyangkut keluarganya sendiri, tidak heran sih kalau dia bersikeras.

"Baiklah. Aku akan menjawabnya. Alasan lain yang memungkinkan adalah–"

Bersambung

avataravatar
Next chapter