51 Arc 3-2 Ch 3 - Lagi, tapi Berbeda

"Kamu kerja di bagian apa di mal ini, Gin?"

"Bagian penanggung jawab pusat informasi dan keamanan."

"Hoh, cocok lah buat kamu yang telinganya dimana-mana."

"Hahaha, bisa saja kamu."

Aku mengobrol ringan dengan Kisu di kafe Ease, di sudut ruangan, dekat jendela. Kisu adalah laki-laki yang menjadi manajer kafe ini. Laki-laki ini memiliki rambut coklat sama sepertiku. Berbeda denganku yang dipotong rapi pendek, Kisu membiarkan rambutnya panjang, diikat di belakang leher, mirip seperti model rambut Ufia.

Dia adalah kakak kelasku ketika SMA. Namun, dia drop out di akhir kelas 2 SMA karena kekurangan dana. Ketika aku menawarinya beasiswa, dari uang pribadiku, dia menolak. Dia berkata, "daripada untukku, lebih baik kamu beri untuk kedua adikku.".

Kisu, selain sebagai kakak kelas, juga juara jujitsu tingkat wilayah Duke Orion. Selama SMA, setidaknya selama dia masih sekolah, aku selalu berlindung di balik namanya. Kalau ada siswa yang bermasalah denganku, dia lah yang akan datang membantuku.

Karena hal ini, banyak teman-teman SMA, lebih tepatnya kakak dan adik kelas, menganggapku pengecut. Namun, aku tidak peduli. Maksudku, saat itu aku masih cukup labil. Akan merepotkan kalau aku tiba-tiba melukai mereka atau membocorkan kemampuanku, kan?

Alasan Kisu setia padaku adalah karena aku sempat membantunya memperoleh izin bekerja paruh waktu di luar waktu sekolah. Keluarga Kisu Miskin. Ayahnya tewas karena kecelakaan. Ibunya, meski sudah bekerja membanting tulang, tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan dua putra dan satu putri.

Di saat itu lah, aku menawarkan konsep kafe yang fokus pada teh ini. Normalnya, jika berbicara kafe, orang akan terpikirkan kopi. Namun, menurutku, teh memiliki potensi yang lebih besar di kerajaan yang tradisi tehnya lebih kentara. Kalau hanya teh biasa, tidak akan menarik. Aku menawarkan racikan antara teh, tanaman herbal, atau bahan lain. Dengan racikan yang bervariasi ini, aroma dan efek yang dihasilkan pun akan bervariasi.

Saat ini, aku mengobrol karena pertemuan awal dengan intelijen kerajaan sudah selesai. Daripada pertemuan, lebih tepat jika disebut pembagian tugas anggota Agade yang bekerja di intelijen. Selain mereka, Jeanne dan Shu En juga kuberi tugas. Tentu saja, tugas mereka berdua berbeda.

Untuk Emir dan Inanna, aku belum memberi mereka tugas. Karena mereka adalah calon istriku, mereka akan sering berada di sekitarku. Dengan kata lain, mereka adalah orang yang akan terpapar bahaya paling sering. Aku harus membuat rencana latihan khusus untuk mereka berdua.

Inanna dan Emir memiliki kekuatan tempur pada jarak jauh yang mematikan, hal ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun, mereka juga harus bisa bertarung dengan jarak dekat. Sebagai anggota Agade, mereka harus bisa menggunakan semua jenis senjata, ini sudah jelas. Meski demikian, mereka tetap membutuhkan satu senjata yang bisa memunculkan seluruh potensi mereka, seperti aku dengan tongkat.

Saat ini, Emir dan Inanna sedang berbelanja, mencari suvenir untuk Ninshubur. Akhir minggu ini giliran kami berkunjung ke rumah Selir Filial untuk kumpul rutin. Di pertemuan itu, aku berencana sekalian membicarakan progres hubunganku dengan Emir, dan juga hubungan Emir dengan keluarganya.

"Ah, padahal baru sebulan lebih kita masuk, kenapa manajemen sudah berpindah tangan?"

"Cih, kenapa sih pengecut itu selalu merepotkan."

"Tapi, itu keputusan Yang Mulia Paduka Raja. Kita tidak bisa menentangnya, kan?"

Tiga suara, yang cukup familier, terdengar. Mereka masuk ke kafe dan memilih tempat duduk yang tidak jauh dariku, hanya berjarak dua meja. Dua laki-laki itu terlihat kesal dan satu perempuan tampak berusaha menenangkan mereka.

Wajar saja mereka berada di mal ini. Aku baru mengetahui hari ini kalau mereka adalah agen schneider juga, baru direkrut bulan lalu, ketika aku bertemu dengan mereka di sini. Dan, aku juga sudah melihat latar belakang mereka.

Di belakang tiga orang itu, dua perempuan jelita berambut merah membara dan hitam berkilau berhenti di sampingku, Emir dan Inanna. Mereka membawa dua tas karton.

Tampaknya, mereka bertiga terlampau kesal hingga tidak menyadari keberadaan Emir dan Inanna. Ah, agen macam apa mereka.

"Gin, kami sudah selesai membeli suvenirnya. Ayo pulang."

"Terima kasih sudah menemani Lugalgin sementara kami berbelanja."

Sementara Emir langsung berbicara padaku, Inanna mengucapkan terima kasih pada Kisu.

"Tidak masalah, justru aku yang harus berterima kasih. Kalau kalian tidak berbelanja, dia pasti hanya akan beli teh herbal untuk dibungkus, tidak akan duduk seperti ini. Berkat kalian, aku bisa mengobrol dengannya. Apalagi, tampaknya, dia akan semakin sibuk setelah ini."

Kisu berkata enteng sambil berkedip ke arahku.

Dia selalu tajam, dari dulu. Dia pasti sudah menyadari kalau apa yang kukatakan, mengenai pekerjaanku, tidak sepenuhnya tepat. Ada alasan mengapa kafe ini semakin sukses bahkan berkembang hingga menyewa dua ruangan di kanan kiri.

Kisu sudah mencamkan ucapanku kalau Inanna dan Emir tidak mau diperlakukan seperti tuan putri. Oleh karena itu, Kisu menggunakan nada dan kata kasual ke Inanna.

"Ya, ke depannya, kalau aku sempat, atau kebetulan sedang ada istirahat, aku akan berkunjung ke kafe ini."

"Sering-sering ya."

Alasan lain aku tidak mau sering-sering mengunjungi tempat ini adalah karena khawatir. Aku khawatir Kisu, dan kafe ini, terseret ke konflik yang berhubungan denganku. Seperti sekarang.

"Jadi ini ya, rakyat jelata inkompeten yang tidak tahu diri."

Der, laki-laki dengan rambut hitam potongan rapi, berdiri di samping Kisu. Rambutnya begitu rapi dan tampak bercahaya, hasil diberi minyak.

"Dasar munafik! Kau bilang sudah menolak posisi itu. Tapi, apa ini? Kau justru mendapatkan posisi yang lebih tinggi."

Kutha, laki-laki yang dari penampilannya bukan bangsawan, rambut dan mata coklat, tapi masih bangsawan, juga ikut protes.

Tampaknya, mereka baru menyadari kehadiran kami ketika mendengar namaku diucapkan.

"Der! Kutha! Kalian di hadapan Tuan Putri Inanna!"

Perempuan dengan fitur generik tapi bangsawan, Shinar, mencoba menghentikan dua laki-laki ini.

Der melihat ke arah Inanna. "Aku tidak perlu memberi hormat pada tuan putri yang dijual oleh selir tanpa harta."

Inanna diam saja mendengar caci maki Der. Di lain pihak, Emir mengepalkan tangan. Kalau aku tidak menahan tangan Emir, dia pasti sudah menonjok wajah Der.

Aku berdiri. "Kisu, maaf ya."

"Tidak apa-apa. Santai saja."

"Kalau kalian memiliki masalah, kita selesaikan di luar."

Aku berjalan keluar sambil menarik Emir yang emosi. Inanna mengikuti tanpa mengatakan apapun.

"Heh, mau kabur kemana kau!"

"Kau takut orang melihat cara kotormu itu? Hah?"

"Der! Kutha!"

Mereka bertiga pun mengikuti kami.

Aku berjalan cepat, tidak memedulikan protes dan caci maki yang terus dilontarkan oleh Der dan Kutha. Di lain pihak, tangan Emir semakin sulit ditahan. Kalau telapak kami tidak bersentuhan, seperti sekarang, aku khawatir dia sudah menggunakan pengendaliannya.

Sementara tangan kananku menahan Emir, tangan kiriku mengambil smartphone. Aku harus mempersiapkan segalanya.

Di lain pihak, aku cukup bersyukur karena sebagian amarah dua laki-laki ini masih bisa ditekan oleh Shinar. Kalau tidak, bukan hanya caci maki yang melayang ke arah kami, tapi juga berbagai macam benda.

Akhirnya, kami tiba di sebuah taman yang agak jauh dari mal. Pada akhir minggu, taman ini akan ramai, digunakan sebagai event atau konser lokal. Pada hari biasa, tidak berfungsi apapun. Dan karena matahari mulai terbenam, tempat ini menjadi sepi.

Begitu tiba, aku pun melepas tangan Emir.

"Gin, titip."

Emir langsung memberi tas karton yang dia pegang padaku dan melayangkan sebuah tinju ke wajah Der. Tubuh Der pun melayang beberapa meter dan terjatuh. Terlihat hidungnya mengeluarkan darah. Aku berani bilang hidungnya sudah patah.

"Berani-beraninya kau menghina Inan–"

Bletak

"Aduh!" Emir langsung jongkok sambil memegangi kepalanya. "Lugalgin, sakit."

"Hah..." Aku menghela nafas. "Emir, kamu ini agen schneider, kamu harus belajar menekan emosimu. Kalau aku tidak menahanmu, kamu pasti sudah melepaskan tinju itu di kafe kan?"

"I, itu..."

"Dengar, sebagai intelijen, kamu harus memiliki kepala dingin. Tidak peduli seburuk apapun hinaan orang padamu dan orang di dekatmu, kamu harus memastikan tidak menunjukkan kekesalan di depan publik. Kalau seandainya kamu dalam misi infiltrasi, identitasmu akan mudah diketahui."

"Ma, maaf....."

Emir meminta maaf sambil memegangi kepalanya yang aku pukul. Terlihat sedikit air mata di ujung kelopaknya.

Aku menghela nafas berat.

"Emir," Inanna merendahkan badan di sebelah Emir. "Terima kasih ya sudah membelaku. Aku tidak akan menegurmu karena itu sudah tugas Lugalgin. Aku hanya akan berterima kasih."

"Te-terima kasih, Inanna."

"Kalian! Kami masih ada di–"

Syut

Sebuah suara angin terdengar, diikuti dengan tanah yang sedikit berhamburan ke udara. Di jalurnya, terlihat pipi Kutha yang tergores, mengeluarkan darah.

Angin itu berasal dari peluru yang dikendalikan oleh Inanna. Selama perjalanan, Inanna beberapa kali membuang sampah kertas dan plastik. Di dalam sampah yang dia buang, terdapat beberapa butir peluru. Ketika dua laki-laki dan Shinar sudah melewati tempat sampat tersebut, Inanna menggunakan pengendalian pada peluru yang dia buang.

Aku mengetahuinya karena Inanna sempat menceritakan semua taktik yang pernah dia gunakan. Dan taktik itu adalah salah satunya.

Jadi, saat ini, ada beberapa peluru melayang di udara, yang kami tidak tahu ada dimana. Kalau salah satu dari mereka adalah pengendali timah, maka mereka akan mampu menyadari keberadaan semua peluru yang disebar Inanna. Sayangnya, tidak. Dan, mereka pasti sadar kalau sudah dikepung oleh peluru.

Di saat seperti ini, aku kembali diingatkan betapa tidak berdayanya aku tanpa rencana dan strategi. Kalau saat ini Inanna adalah musuh, dia sudah mampu menyarangkan peluru ke tubuhku, mencabut nyawaku.

"Ku-kumohon maafkan mereka. Mereka hanya sedang marah. Mereka sama sekali tidak serius dengan ucapan mereka."

Shinar langsung berdiri di depanku dan membungkuk.

"Kamu tidak memiliki kewajiban ataupun hak untuk meminta maaf," aku melemparkan pandangan pada dua laki-laki di belakang Shinar. "Mereka lah yang harus meminta maaf."

Dua laki-laki itu hanya terdiam dan menggertakkan gigi.

Di saat seperti ini, kalau Lacuna, dia akan menyulut rokok dan berkata, "tidak ingin meminta maaf? Jangan salahkan aku atas apa yang akan terjadi, ya.". Sayangnya, aku tidak merokok. Jadi, aku akan mengatakan hal lain.

"Biar kutebak. Kalian, siang tadi, berencana ikut protes dengan agen schneider yang lain. Namun, sayangnya, kalian justru tidak mampu berbuat apa pun ketika berhadapan dengan rekan-rekanku, yang berakibat pada terakumulasinya kekesalan kalian."

Mereka tidak menjawab, masih menggertakkan gigi.

Aku tidak memedulikan dua laki-laki itu dan memilih untuk berbicara pada Shinar, perempuan di depanku ini.

"Jadi, Shinar, apa kau masih ingin aku menerima posisi sebagai instruktur dan menyeleksi orang-orang yang berpotensi menjadi agen schneider?"

Shinar membelalakkan mata, "Anda mengingat nama saya?"

Pemilihan kata dan nada bicaranya sangat formal, seolah di sedang berbicara dengan atasannya. Ahh, iya, aku kan memang atasannya.

"Ya, aku mengingatmu. Sekarang, jawab pertanyaanku."

"Ah, ya, baik," Shinar menurut. "Ya, saya masih berkeinginan demikian."

"Dan, aku akan mengulangi pertanyaan itu lagi. Apa alasan dari keinginanmu tersebut?"

"I... itu..."

Sama seperti sebelumnya, perempuan ini tidak mau menjawab. Dia hanya mengalihkan pandangan ke sekitar.

"Gin, jangan maksa cewek."

"Maaf ya, dik, Lugalgin mungkin terlihat mengerikan, tapi dia tidak berniat buruk kok. Dia hanya ingin tahu."

Emir dan Inanna sudah berdiri di samping kanan dan kiriku. Sementara Emir mengeluh padaku, Inanna mencoba berbicara pada Shinar. Tampaknya Emir sudah pulih dan kemarahannya pada dua laki-laki itu sudah reda.

"Ti, tidak apa. Saya juga yang salah," Shinar menjawab Inanna, lalu melihat ke arahku. "Alasannya adalah karena saya ingin agar Anda melatih saya."

"Hm?"

"Eh?"

Sementara aku sedikit mengangkat alis kanan, Emir dan Inanna langsung mengarahkan pandangan padaku. Aku akan mengabaikan pandangan mereka untuk saat ini.

"Dengar, aku tidak akan melatih siapa pun."

"Eh?"

"Kenapa kau terkejut? Saat ini, aku adalah pemimpin, kan? Tugasku adalah melakukan manajemen organisasi ini, memastikan semuanya berjalan sesuai tujuan dan fungsi, tidak serta merta menjadi alat pengangkat status bagi kalian, bangsawan. Jadi, aku tidak perlu menjadi instruktur dan melatih agen-agen baru seperti kalian."

Ketika aku mengatakan hal itu, pelipis Shinar sedikit berkedut.

"Dari ucapanku, bagian mana yang kamu tidak setuju?"

"Ti-tidak, saya tidak."

"Apa bagian alat pengangkat status?"

Shinar tidak menjawab, dan tidak ada reaksi apapun di wajahnya.

"Atau pada bagian aku mengatakan agen baru seperti kalian?"

"Ti-ti–"

"Atau pada bagian aku tidak perlu menjadi instruktur?"

Akhirnya, pelipis Shinar kembali berkedut.

Heh, ternyata bagian ini yang membuatnya tersinggung. Seperti ucapan Emir dan Inanna, tidak baik kalau aku terus memaksa. Namun, saat ini, aku harus memperpanjang percakapan ini. Emir dan Inanna pun tampaknya berpikir demikian.

Mereka baru menyadarinya ya.

"Kenapa kamu ingin menjadikanku instruktur?"

"I-itu...."

"Kamu tidak bisa menjawab selain itu...itu,,,? Hah?"

"Ma-maaf."

"Padahal, kalau alasanmu cukup menarik, mungkin aku akan mempertimbangkannya."

"Eh?"

"Dan kalian." Aku melemparkan pandangan pada dua laki-laki yang berdiri lemas di belakang Shinar. "Aku masih tidak paham kenapa kalian kesal. Apa kalian kesal karena sekarang tidak bisa naik status dengan mudah? Atau sebatas kesal karena organisasi ini dipimpin oleh rakyat jelata inkompeten sepertiku, bukan orang berbakat ataupun bangsawan?"

Mereka tetap tidak menjawab, hanya menggertakkan gigi. Di lain pihak Shinar meletakkan kedua tangannya di depan dada dengan pandangan tajam. Tampaknya, dia mencoba mengukuhkan hatinya. Sayangnya, aku tidak bisa melakukan itu sekarang.

Aku berbisik, "Emir, Inanna, menurut kalian ada berapa orang?"

"Aku merasakan lima belas orang,"

"Eh? Aku hanya merasakan tiga belas orang."

Inanna lebih baik dibanding Emir. Tapi, Emir juga tidak terlalu buruk.

"Jawaban yang tepat adalah jawaban Inanna. Emir, kamu masih butuh latihan. Ada empat orang yang berdiri berdekatan, jadi keberadaan mereka seperti hanya dua orang."

Alasan lain aku memilih tempat yang cukup sepi adalah karena hal ini. Semenjak tiga orang ini masuk ke kafe, aku merasakan kehadiran lima belas orang lain. Kemungkinan, tiga orang di depanku ini tidak mengetahui kalau mereka sedang diikuti, dan dimanfaatkan.

Aku melihat ke langit yang telah kehilangan cahaya matahari sepenuhnya. Kini, lampu adalah sumber cahaya di tempat ini.

Aku mengambil smartphone dan mengecek teks yang baru masuk. Teks ini memberi sebuah senyuman di wajahku.

"Baiklah, kalian boleh beraksi."

Bersambung

avataravatar
Next chapter