72 Arc 3-2 Ch 24 - Tasha, End

Minggu ini spesial double rilis. Kenapa? Baca alasannya di bagian akhir chapter ini

Peringatan 1: Chapter ini 2 kali lebih panjang dari chapter biasanya, butuh waktu ekstra

Peringatan 2: Mature Content, not suitable for children or teenagers under 18 years of age

Peringatan 3: Mautre Content, not suitable for children or teenagers under 18 years of age

Seperti biasa. Kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

============================================================

Beberapa hari kemudian, aku keluar rumah sakit. Ketika keluar rumah sakit, ibu tidak membawaku ke kompleks perumahan Alhold tapi ke arah lain. Saat itu adalah pertama kalinya aku menapakkan kaki di rumah yang baru, rumah yang kini ditempati ibu, ayah, dan Ninlil. Dengan kata lain, rumahku sebelum tinggal dengan Emir dan Inanna.

Sejak saat itu, ayah lebih menurut pada ibu dibandingkan keluarga besar.

Aku dan Ninlil pun pindah sekolah. Yang, sayangnya, masih ada keluarga Alhold. Namun, mereka tidak seagresif dulu. Dan, di lain pihak, teman-temanku kini lebih vokal ketika menentang keluarga Alhold.

Aku sempat mendengar tetangga membicarakan mengenai kasusku. Tampaknya, kasusku akan dibawa ke pengadilan atas kekerasan terhadap anak di bawah umur. Namun, saat itu pengaruh keluarga Alhold masih besar, jadi kasusku tidak pernah mencapai pengadilan. Sebagai gantinya, rumor beredar luas bahwa keluarga Alhold memperlakukan anak-anak dengan sangat buruk.

Rumor tersebut mencemari nama keluarga Alhold. Karenanya, banyak bisnis keluarga Alhold yang gulung tikar. Keluarga Alhold, yang sebelumnya disegani sebagai keluarga dengan kekayaan melimpah, berubah menjadi keluarga dengan kondisi ekonomi pas-pasan. Hal itu juga lah yang membuat teman-teman sekolahku lebih berani terhadap keluarga Alhold.

Di lain pihak, ibu menjadi sangat kaya. Bahkan, ayah bisa memiliki rumah sakit berkat campur tangan ibu.

Menurutku, kehancuran keluarga Alhold adalah hal yang tak terhindarkan. Di saat itu, keluarga Alhold memiliki masalah dengan beberapa bangsawan lokal.

Kalau aku pikir-pikir, saat itu, tanpa disadari aku mulai membuat rencana di kepalaku. Ketika aku pergi ke rumah sakit, sendirian dengan lengan patah, dokter dan perawat pasti memanggil polisi. Dengan kata lain, aku berharap polisi turun tangan dalam kasus itu.

Polisi, yang mengetahui aku berasal dari keluarga Alhold, bersemangat mencari informasi. Aku berani bilang polisi tersebut mencoba menguak semua sejarah hitam keluarga Alhold, dan kebetulan aku lah sejarah hitam itu.

Meskipun tidak bisa diajukan ke pengadilan, tapi dengan bantuan bangsawan, nama baik Alhold dapat dihancurkan. Ditambah ibu dan Akadia, nama baik Alhold tidak terselamatkan sama sekali.

Namun, seperti yang kukatakan sebelumnya, semua itu terjadi begitu saja. Antara instingku sebagai ahli strategi mulai muncul karena terpojok, atau itu semua murni kebetulan.

Satu bulan setelah aku diserang, tanganku sudah hampir sembuh. Dokter cukup terkejut karena normalnya butuh beberapa bulan hingga patah tulang bisa sembuh. Meski demikian, untuk berjaga-jaga, aku masih disuruh menggunakan perban di bahu dan lengan.

Waktu satu bulan, ketika tanganku hampir sembuh, adalah waktu yang sangat kunantikan. Saat hampir sembuh, baru ibu dan Ninlil memperbolehkanku pergi sendirian. Begitu aku mendapatkan waktu sendirian, aku langsung naik bus, menuju pinggir kota.

Aku datang di jam yang sama seperti sebelumnya. Aku tidak tahu apakah hari itu adalah hari berbelanja. Dan, sayangnya bukan. Karena bukan hari belanja, aku pun berjalan ke panti asuhan.

Sepanjang perjalanan, warga sekitar menyapa.

"Hai, Lugalgin, lama tidak jumpa."

"Tanganmu kenapa?"

"Mau menemui Tasha?"

Dan sebagainya. Aku pun menjawab singkat pertanyaan mereka. Karena mereka paham aku ingin segera menemui Tasha, mereka membiarkanku segera pergi.

Akhirnya, aku mencapai pagar panti asuhan. Namun, aku tidak langsung membukanya.

Dalam sebulan, kondisi keluargaku membaik. Ibu tidak sestres dulu. Ninlil pun mulai berkomunikasi dengan ibu dan ayah. Namun, meski demikian, aku merasa ada yang kurang.

Sebelum ibu dan ayah membuatku merasa diterima, selain Ninlil, Tasha dan panti asuhan Sargon sudah menerimaku apa adanya. Mereka memberi kenyamanan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Bahkan, tidak berlebihan kalau aku menganggap mereka adalah keluargaku sebelum ibu dan ayah.

Ya, mereka adalah keluargaku. Aku ingin kembali merasakan hari-hari itu. Benar-benar ingin. Terutama Tasha. Aku ingin melihat senyumnya lagi. Aku ingin mendengar dia berkata, "Ah, selamat datang Lugalgin," dengan tangan terbuka. Dengan sepenuh hati, aku menjulurkan tanganku, mencoba membuka pagar.

Namun, belum sempat tanganku menyentuh pagar, tanganku terhenti. Entahlah, aku takut. Sudah sebulan aku tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Aku takut mereka akan marah. Lebih parah, aku takut mereka sudah melupakanku. Tanpa aku sadari, aku berdiri cukup lama di depan pagar, tanpa melakukan apa pun.

Aku takut, ketika aku masuk mereka akan berkata, "Maaf, ada perlu apa, ya?". Aku benar-benar takut. Tanpa aku sadari, tangan kiriku pun kembali turun. Aku hanya tertunduk.

Padahal, sebelum bertemu Tasha, aku terbiasa sendiri. Aku terbiasa menghabiskan keseharian dengan bertengkar, melawan keluarga Alhold. Aku pun tidak pernah keberatan kalau tidak memiliki teman atau harus hidup seorang diri. Namun, kini, aku tidak menginginkannya. Aku tidak ingin berpisah dengan Tasha.

"Lugalgin?"

"Eh?"

Sebuah suara yang begitu indah menggema di telingaku. Aku tidak mungkin salah. itu adalah suara yang begitu kunanti-nanti. Suara yang begitu kurindukan.

Perlahan, aku mengangkat wajah, melihat ke balik pagar. Dan, benar, seorang perempuan berambut coklat yang lembut bagaikan sutra sudah terlihat. Mata bulatnya terus memandangku, yang perlahan berkaca-kaca.

"Ah, Ta, Tasha. Ma-maafkan aku. Sebulan ini aku–"

"Lugalgin!"

Tanpa menungguku menyelesaikan ucapan, Tasha membuka pagar. Dengan cepat, dia melompat, meraih tubuhku dalam pelukannya.

"Aku merindukanmu, Lugalgin. Maaf aku karena tidak bisa menjengukmu."

Hah?

"Menjenguk?"

Tasha melepaskan pelukannya. "Iya, aku mendengar rumor kalau tangan kananmu patah karena perlakuan buruk keluarga Alhold."

Ketika Tasha melihat ke lengan kananku, matanya semakin berkaca-kaca. Tidak hanya berkaca-kaca, bahkan air mata sudah mengalir. Dia kembali memelukku.

"Maafkan aku, Lugalgin."

Saat itu, tanpa berpikir, tubuhku bergerak dengan sendirinya. Aku meraih tubuh Tasha dengan tangan kiri, membelai punggung Tasha.

"Kamu tidak salah apa pun. Kamu tidak perlu meminta maaf. Justru aku ingin berterima kasih karena kamu sudah bersedia menunggu dan menyambutku. Aku benar-benar berterima kasih."

"Lugalgin...."

Di saat itu waktu terasa terhenti. Berada dalam pelukan Tasha, aku merasa begitu tenang dan damai. Dengan tubuhku, aku bisa merasakan kehangatan tubuh Tasha yang perlahan merambah. Aku ingin momen itu bertahan untuk selamanya.

Namun, sayangnya, tidak.

"Akhirnya! Kak Lugalgin dan Kak Tasha Jadian."

"Suit suit."

"Akhirnya!"

Suara anak-anak dari dalam panti asuhan memecahkan suasana. Tasha yang sadar menjadi tontonan pun langsung melepaskanku. Dia membuang mukanya yang merona.

"Sudah, sudah, jangan ganggu Kak Tasha dan Kak Lugalgin," Bu Aria bertutur di belakang anak-anak. "Ayo, Lugalgin, kita makan siang bersama."

"Baik Bu Aria."

Siang itu, sejak sebulan yang lalu, aku kembali menghabiskan makan siang dengan Tasha dan penghuni panti asuhan Sargon.

Setelah itu, hari-hari berjalan normal. Tidak! Aku harus bilang, hidup berjalan indah. Di pagi sampai siang, aku menghabiskan waktu di sekolah. Meski terkadang ada anak keluarga Alhold yang menggangguku, saat itu teman-temanku bersedia menolong.

Di siang hari, aku pergi ke panti asuhan Sargon, menghabiskan waktu dengan Tasha dan para penghuni.

Di sore hari, aku menjemput Ninlil. Dulu, Ninlil tidak memiliki satu pun teman. Dia akan selalu bertengkar dengan temannya ketika mereka mengatakan aku adalah sampah dan aib keluarga Alhold. Kini, teman-teman Ninlil mampu menerima Ninlil, dan aku, apa adanya. Oleh karenanya, dia sekarang memiliki teman.

Di saat makan malam, kami membicarakan hari yang telah kami lalui. Ibu mampu mendengar cerita kami di sekolah dengan senyum lebar. Ninlil pun semakin dekat dengan ibu. Untuk ayah, saat itu Ninlil belum terlalu dekat dengan ayah.

Setelah makan, aku mengerjakan tugas sekolah dan belajar. Terkadang, Ninlil datang ke kamarku, meminta bantuan mengerjakan tugas.

Hari ke hari, aku pun semakin dekat dengan Tasha. Akhirnya, ketika aku menginjak bangku SMP, aku memberanikan diri, menyatakan perasaan pada Tasha yang sudah kelas 3 SMP. Dia menerima pernyataan cintaku. Akhirnya, setelah empat tahun bersama, aku resmi menjadi pacar Tasha.

Meski tidak kami tidak satu SMP, aku tetap bahagia. Seringkali, di malam minggu, aku meminta izin untuk pergi keluar. Aku tidak pernah mengatakan kalau aku pergi kencan dengan Tasha. Bahkan, aku belum pernah menyebutkan mengenai panti asuhan Sargon ke orang lain.

Meski aku berkali-kali keluar di malam minggu, ibu tidak pernah mengejar alasannya. Mungkin ibu menyadari kalau aku sudah punya pacar dan membiarkannya.

Di lain pihak, justru Ninlil yang meminta penjelasan. Akhirnya, pada suatu malam, aku pun menceritakan mengenai panti asuhan Sargon dan Tasha pada Ninlil.

Tidak kuduga, Ninlil menerima ceritaku begitu saja. Justru, Ninlil ingin ikut denganku mengunjungi panti asuhan Sargon.

Aku tidak mengiyakannya begitu saja. Aku mengatakan pada Ninlil kalau aku membutuhkan persetujuan mereka dulu, dan dia setuju.

Namun, sayangnya, hari ketika Ninlil bertemu dengan Tasha dan penghuni panti asuhan Sargon tidak akan pernah terjadi.

Hari selanjutnya, panti asuhan Sargon telah menghilang. Yang aku maksud menghilang bukan bangunannya. Bangunannya masih ada di situ, tapi papan tulisannya sudah tidak ada. Ketika aku mengetuk pintu, yang membuka adalah orang yang tidak aku kenal.

Aku berjalan ke sekitar, bermaksud mencari tahu apa yang terjadi. Pintu demi pintu aku ketuk. Toko demi toko aku datangi. Namun anehnya, aku tidak mengenal seorang pun yang ada di situ. Bukan hanya panti asuhan, semua orang di tempat itu telah menghilang, berganti menjadi orang lain.

Aku bingung, putus asa. Di saat itu, sebuah mobil polisi datang. Mereka bilang polisi telah mendapat laporan ada anak aneh yang mengetuk semua pintu warga. Namun, aku tidak menduga apa yang terjadi. Di dalam mobil polisi, mereka ingin aku pergi, melupakan semua yang pernah terjadi. Anggap aku tidak pernah datang ke tempat itu.

Mereka menurunkanku di halte.

Aku terduduk di halte. Hanya terduduk, diam. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Siang berganti sore. Sore berganti malam. Aku bahkan tidak menyadari kalau saat itu hujan.

Tiba-tiba saja Ninlil muncul dari bus. Aku tidak bisa mengingat apa yang dia katakan saat itu. Pikiranku benar-benar kosong.

Ketika sadar, aku sudah berada di rumah, di atas kasur. Malam itu, Ninlil tidur bersamaku. Tampaknya, Ninlil berusaha menenangkanku.

Keesokan harinya, ibu dan ayah bertanya ada apa denganku. Ninlil tidak menjawab. Di saat itu, entah apa yang merasukiku, aku bisa mengembangkan sebuah senyum dan memberi sebuah jawaban dengan tenang.

"Tidak apa-apa kok. tidak terjadi apa-apa."

Ayah dan ibu tidak mengejar lebih jauh.

Di sekolah pun aku berlaku normal, seolah tidak terjadi apa-apa. Di hari yang sama, sebuah video baru menyebar. Ya, aku adalah remaja laki-laki yang sehat. Yang aku maksud video baru adalah video porno, adegan dewasa.

Setelah menerima video itu, tentu saja, aku tidak melihatnya langsung. Aku baru menontonnya di malam hari, ketika yang lain sudah tidur.

Aku memasang headset, memastikan komputer tidak mengeluarkan handphone.

Malam itu adalah malam penyesalan. Di malam itu, aku rasanya amat sangat ingin mengakhiri hidupku.

Video itu termasuk dalam kategori gangbang, tipe video amatir, dengan angle kamera yang berantakan. Suaranya pun tidak menggunakan mikrofon khusus, hanya mikrofon handphone atau perekam videonya.

Namun, bukan itu semua yang menjadi perhatian utamaku. Yang menjadi perhatian utamaku adalah pemeran perempuan di dalam video itu. Aku mengenal rambut yang dipermainkan itu. Aku mengenal suara yang berkali-kali berteriak "hentikan, tolong berhenti" di headsetku. Wajah itu adalah wajah dari perempuan yang kucintai dan kukasihi sepenuh hati, Tasha.

Video itu memperlihatkan jelas bagaimana para laki-laki brengsek itu mempermainkan Tasha, lalu merenggut kegadisannya dengan paksa.

Tasha terus dan terus menangis, hingga akhirnya dia berhenti mengeluarkan suara. Matanya tidak lagi menunjukkan cahaya. seolah-olah dia telah mati. Namun, tubuhnya masih bergetar.

Rasanya, sangat ingin aku berteriak malam itu, melampiaskan semua kemarahan, kesedihan, dan kekesalan. Namun, entah kenapa aku tidak melakukannya. Aku hanya menggertakkan gigi.

Meski membencinya, aku harus memutar ulang video itu. Aku mencatat semua hal ada di dalam video itu. Mulai dari ciri-ciri setiap orang yang terlibat, furnitur, kemungkinan lokasi, dan lain sebagainya.

Malam itu, aku menahan semua perasaan dan kemarahanku.

Tidak hanya di video, aku mengingat-ingat polisi yang menyuruhku bungkam. Mungkin, suatu saat nanti, wajah mereka akan berguna.

Hanya berbekal video, ingatan, dan hasil pengamatanku, aku mulai mencari informasi. Bagi anak SMP, mencari informasi mengenai sumber video porno bukanlah hal yang mudah. Di saat itu, aku mulai memiliki kehidupan ganda, kehidupan sekolah normal di siang hari, dan kehidupan liar di malam hari.

Aku mulai mendekati anak-anak berandal, bergabung dengan geng motor. Di geng motor, aku yang punya pengalaman bertengkar sejak kecil menaiki peringkat dengan cepat. Dalam waktu singkat, aku sudah menjadi satu dari empat panglima geng.

Ketika menjadi satu dari empat panglima, aku dikenalkan dengan kelompok yang bekerja sama dengan kami. Tidak, bukan bekerja sama. Lebih tepatnya, kelompok itu merekrut orang-orang kuat dari geng motor.

Kelompok itu adalah salah satu Mafia kecil yang aktif di Haria dan sekitarnya, bernama Under. Sejak saat itu, aku mulai beraktivitas di pasar gelap sebagai anggotanya. Di Under lah aku mengenal mengenai tingkat-tingkat mafia, kuota transaksi, dan suplai anak-anak. Dan, di saat itu lah aku baru memahami ucapan ibu saat di rumah sakit.

Namun, aku tidak terlalu memedulikan ucapan ibu di rumah sakit. Perhatianku terpusat pada bagian suplai anak-anak, aku langsung menduga kalau hilangnya Tasha dan panti asuhan Sargon berhubungan dengan itu semua. Ketika aku mentraktir atasan dengan bir, aku mendapatkan informasi yang lebih banyak.

Untuk mafia, suplai anak-anak adalah sesuatu yang sangat penting, vital. Dari situ, aku mendengar kenapa orang-orang membutuhkan anak-anak. Namun, yang paling penting adalah aku tahu siapa dalang dibalik semuanya. Ada satu pihak yang menetapkan tingkat organisasi atau mafia, kuota transaksi, dan memastikan setiap organisasi menurut dengan iming-iming suplai anak-anak Pihak itu adalah penanggung jawab intelijen kerajaan saat itu, Keluarga Cleinhad.

Saat bekerja di bawah Under, aku juga mencari identitas setiap laki-laki yang ada di video itu. Akhirnya, aku menemukan identitas laki-laki yang ada di video. Dia tergabung di organisasi lain, jadi aku tidak bisa bergerak dengan leluasa. Namun, aku menemukan lokasi rumah bordir organisasi itu.

Awalnya, aku berencana mengajak senior dari Under masuk ke rumah bordir tersebut. Sebelum masuk, tentu saja, aku mengumpulkan mengenai informasi lingkungan sekitarnya. Kalau misal kabur lewat jendela timur, harus lari kemana, luas lorong, jarak lorong dengan markas Under, dan lain sebagainya. Di saat mencari informasi lingkungan rumah bordir inilah, pencarianku terhenti.

Di lorong belakang rumah, aku melihat dua tubuh. Dari informasi yang kukumpulkan, dua hari sekali akan ada orang yang berjalan ke belakang rumah, mengumpulkan tubuh psk yang overdosis, tewas.

Ketika melihat dua tubuh itu, entah kenapa, dadaku terasa begitu sesak. Bahkan, untuk berdiri pun terasa sangat sulit. Saat itu, aku tidak mau mengakuinya, tapi aku mengenal salah satu tubuh itu. Aku telah membelai rambutnya yang halus. Dan lagi, aku lebih tidak mau mengakuinya, aku mengenal lekuk tubuhnya dari video yang kutonton.

Meski aku tidak mau mengakuinya, saat itu, tubuhku bergerak dengan sendirinya. Dengan berat hati, aku membalikkan salah satu tubuh. Benar saja, salah satu tubuh itu adalah Tasha. Mulutnya berbuih. tidak terhitung berapa banyak bekas suntik di leher, lengan, dan dadanya. Mata coklat indahnya tidak dapat kutemukan dimana pun, hanya mata putih yang membelalak. Kehangatan yang dulu kurasakan, yang selalu menenangkanku, tidak ada lagi. Tubuhnya kini sedingin es.

Aku terlambat. Kalau saja seandainya aku datang seminggu lebih awal, mungkin aku masih bisa menyelamatkan Tasha. Kalau saja aku langsung mendatangi rumah bordir itu, mungkin aku masih bisa menyelamatkan Tasha. Kalau dan mungkin. Di saat itu, pikiranku hanya terisi oleh dua hal itu.

Aku membawa tubuh Tasha dan tubuh perempuan yang satu lagi ke pinggir kota, ke sebuah pemakaman. Makam itu memang khusus untuk orang-orang yang tidak bisa dimakamkan melalui jalur normal. Banyak jasad mafia dimakamkan di sini.

Dengan mengeluarkan sejumlah uang, aku memandikan Tasha, membelikannya gaun, dan sebuah peti mati. Tepat sebelum dia dikuburkan, aku memberikan satu hal yang belum pernah kuberi pada siapa pun. Aku menciumnya tepat di bibir sebagai perpisahan.

Saat Tasha dimakamkan, aku bersumpah, aku akan menghancurkan pihak yang bertanggung jawab atas kematian Tasha. Tidak berhenti pada organisasi yang membuat Tasha menjadi PSK, tapi juga pihak yang menculik Tasha, Keluarga Cleinhad.

Selain itu, aku juga harus mencari anak-anak penghuni panti asuhan Sargon. Tasha tidak akan mau aku meninggalkan mereka begitu saja.

Setelah Tasha selesai dimakamkan, aku juga memakamkan perempuan yang kutemukan bersama Tasha. Setelah melakukan pencarian wajah dan informasi, aku mendapati perempuan itu juga sebelumnya penghuni panti asuhan, sama seperti Tasha.

Namun, berbeda dengan kasus Tasha dimana seluruh panti asuhan menghilang, perempuan itu baru menghilang setelah keluar. Jadi, panti asuhan tempatnya tumbuh menganggap kalau perempuan itu masih hidup, bekerja entah dimana. Dan, aku tidak memiliki niatan untuk memberi tahu panti asuhan tersebut.

Satu bulan setelah aku menemukan jasad Tasha, Under akan naik tingkat. Meski seluruh rekan dan senior Under bahagia, aku tidak. Dalam waktu satu bulan, aku tidak ada progres sama sekali. Aku tidak mendapatkan informasi mengenai penghuni panti asuhan Sargon sama sekali.

Dan lagi, dalam sebulan itu, aku menyadari betapa lemahnya aku. Sebagai inkompeten, aku benar-benar bergantung pada tangan dan kaki. Ketika lawan dapat mengendalikan lebih dari lima senjata, aku hanya mampu menggunakan dua senjata, maksimal.

Aku juga tidak mau menggunakan kekuatan penghilang. Kalau aku menggunakannya, aku khawatir organisasi lain akan menganggapku sebagai ancaman dan mengincar nyawaku. Kalau itu terjadi, bisa-bisa aku tewas sebelum menemukan anak-anak dari panti asuhan Sargon.

Malam itu, dengan menggunakan aula markas, Under mengadakan pesta perayaan. Sayangnya, Under tidak bisa naik tingkat. Tepat sebelum pemimpin mendeklarasikan kenaikan tingkat, kami diserang. Yang menyerang Under bukanlah mafia lain, tapi hanya satu orang, satu mercenary. Mercenary itu adalah seorang perempuan dengan rambut perak, Lacuna.

Ketika aku melihat pergerakan Lacuna yang begitu cepat dan mematikan, aku terkesima. Dia mampu membunuh lawan-lawannya, yang adalah anggota Under dengan sangat mudah. Lacuna adalah One-Man-Army yang sesungguhnya. Dan, yang lebih mengesankan, dia hampir tidak menggunakan pengendalian. Dia murni menggunakan bela diri dan senjata.

Ketika dia membantai anggota Under, aku bersembunyi di antara tubuh tak bernyawa. Aku tidak tahu berapa lama aku bersembunyi. Namun, ketika selesai, Lacuna berteriak.

"Keluar kau! Aku tahu kau masih hidup."

Mendengar teriakan Lacuna, aku langsung menyingkirkan badan-badan yang menutupiku, muncul ke atas.

"Hooh, berani juga kau keluar. Padahal, kalau kau pura-pura mati, ka–"

"Kumohon, jadikan aku muridmu."

"....hah?"

***

"Dan, itulah cerita hidupku sebelum bertemu Lacuna. Cerita mulai dari masa kecil, lalu tentang Tasha, perempuan yang kukasihi."

Emir dan Inanna, yang hanya mengenakan celana dalam dan atasan piama, tidak memberi respon. Mereka berdua terdiam, menutup mulut dengan kedua tangan, pipi lembap, dan mata memerah bengkak.

Kami duduk di sofa. Sementara aku duduk sendirian, mereka duduk bersebelahan.

"Ma, maafkan aku, Gin. Aku... aku tidak tahu hidupmu se..."

Inanna berusaha memberi respon. Namun, dia tidak mampu memberi respon dengan benar, suaranya sesenggukan.

Aku menuangkan air putih dan membantunya minum. Sementara tangan kiriku memegangi gelas, tangan kanan mengusap punggung Inanna.

"Kamu tidak perlu meminta maaf. Kamu tidak salah apa-apa."

"Tidak, aku... minta maaf. Apalagi, aku sudah berulang kali, mencoba mengikutimu."

"Sudah kubilang kamu tidak salah. Kamu juga tidak tahu apa-apa saat itu."

Kalau rasa bersalah Inanna saja sudah sebesar ini, aku tidak bisa membayangkan rasa bersalah Emir. Maksudku, dia adalah putri Kerajaan ini. Ditambah lagi, keluarga Cleinhad beroperasi dengan izin dari ayahnya, Fahren.

"Gi-Gin, aku... aku... aku..."

"Sshh... sshh... sshh...."

Aku langsung meraih Emir sebelum dia sempat mencoba berbicara lebih jauh. Kini, aku meraih kedua calon istriku dalam pelukan, mencoba menenangkan mereka.

"Kalian tidak salah. Kalian tidak salah apa-apa. Tarik nafas, tenang...."

"Uaahhh....."

"Waa....."

Efek yang terjadi justru sebaliknya. Mereka berdua menangis di pelukanku.

Ahh... dua calon istriku ini memang tidak tertolong lagi.

Aku terus memeluk dan mengusap punggung mereka. Ini adalah urusanku dengan kerajaan Bana'an. Mereka tidak perlu merasa bersalah. Namun, aku paham sih. Orang sebaik mereka pasti akan merasa iba padaku.

Setelah beberapa saat, akhirnya mereka berdua berhenti menangis. Kami kembali ke posisi semula, aku duduk sendiri di seberang mereka berdua.

"Jadi, biar aku ulangi. Itulah cerita hidupku sebelum bertemu Lacuna."

Emir merespon pertama, "sekarang aku paham kenapa kamu tampak tidak menghormati ayahmu."

"Masalah hormat... bagaimana ya..." Aku bingung memberi respon. "Kelihatannya sih memang tidak. Aku selalu menggunakan ayah sebagai kambing hitam atas sesuatu seperti masalah kostum di pesta inaugurasi. Namun, bagaimanapun juga, dia ayahku. Entahlah, aku sendiri tidak terlalu memedulikan hubunganku dengan ayah. Selama dia tidak mengganggu, aku akan membiarkannya."

"Gin," Inanna masuk. "Ibu dan ayahmu sudah tahu soal ini, tapi bagaimana dengan Ninlil? Kamu dulu menjanjikan ingin mengenalkannya pada Tasha, kan?"

"Aku belum pernah menceritakan ini pada Ninlil. Jujur, aku khawatir. Maksudku, kalau kalian saja merasa bersalah seperti ini, aku tidak bisa membayangkan bagaimana Ninlil akan merespon. Sekal lagi, aku khawatir."

Ninlil orangnya penurut, pendiam, dan dia juga sangat baik. Kalau Ninlil mendengar semua ini, aku tidak tahu akan sebesar apa perasaan bersalahnya. Dia pasti akan menyalahkan dirinya karena merasa tidak sensitif dan tidak mengetahui penderitaan yang kualami.

Padahal, kalau bukan karena Ninlil, aku pasti sudah kabur dari rumah sejak lama. Dan, kalau aku kabur dari rumah, mungkin aku akan tewas sebelum menginjak usia lima tahun. Kalau itu terjadi, aku tidak akan pernah bertemu dengan Tasha.

Kalau suatu saat nanti tiba momen dimana aku harus menceritakan ini pada Ninlil, aku justru ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Berkat dia, aku bisa bertahan hidup hingga akhirnya bertemu dengan Tasha.

"Jadi, apakah ceritaku sudah memuaskan kalian, wahai para anggota Agade?"

[Hahaha, maaf ya Gin, kami menguping.]

[Ini ide Mulisu! Salahkan dia!]

[HEI!]

Sebuah suara statis terdengar dari bawah sofa.

Inanna dan Emir sama-sama mengalihkan pandangan.

"Kalian tidak perlu merasa bersalah. Aku sudah tahu sejak awal kalau kalian menguping, kok."

[Hahaha, tampaknya memang percuma mencoba mencuri dari Lugalgin, walaupun hanya mencuri dengar.]

[Sekali lagi, kami minta maaf, Gin.]

"Iya, iya, aku paham kok. Sekarang, matikan ya. Aku ingin berbicara dengan kedua calon istriku. Urusan keluarga."

[Baik!]

Semua anggota Agade menjawab secara bersamaan.

Setelahnya, Emir mengambil benda silinder seukuran bolpoin dan menekan tombol di ujungnya.

"Sekarang, apa yang ingin kalian lakukan?"

"Huh?"

Emir dan Inanna memiringkan kepala, menunjukkan kebingungannya.

"Maksudku, aku belum bisa move on dari Tasha. Aku bahkan tidak yakin rasa sayangku pada kalian sebesar rasa sayangku pada Tasha. Di sini, justru aku yang merasa bersalah pada kalian."

Emir dan Inanna saling memandang. Tidak lama kemudian, mereka tertawa kencang.

Sebenarnya, aku sudah mengenal kedua calon istriku dengan baik. Jadi, sebenarnya, aku sudah tahu respon yang akan mereka beri. Namun, aku membutuhkan konfirmasi. Aku ingin mendengarnya langsung dari mulut mereka.

"Kami tidak keberatan," Emir dan Inanna menjawab bersamaan.

Emir yang pertama berbicara, "Kamu belum move on dari Tasha? Ayolah. Kami tidak akan mempermasalahkan hal itu. Kami tahu kalau kamu sudah berusaha menyayangi kami dengan setulus hati. Kami tidak akan mengambil tempat Tasha di hatimu karena kami bukan penggantinya. Kami hanya ingin kamu menyisakan tempat untuk kami."

"Dan lagi," Inanna menambahkan, "kalau jalan pikiran kami serendah itu, kami tidak akan pernah setuju dengan poligami, yaitu kamu menikahi kami berdua, kan? Jangan remehkan tuan putri. Sejak lahir, kami sudah dilatih untuk menerima itu semua."

Well, aku tidak pernah meremehkan kalian. Aku hanya membutuhkan konfirmasi. Di lain pihak, aku agak prihatin dengan latihan yang kalian terima.

"Gin, kami akan selalu menyayangimu."

***

Aku melepas headset dari telinga. Tanpa cahaya, aku mendengarkan semua cerita itu. Dan sekarang, aku tidak yakin apakah keputusanku untuk menguping adalah benar. Ternyata, selama ini, ada sebuah kisah yang sangat memilukan yang tidak kuketahui.

Aku tidak bisa membendung semua kesedihanku. Tanpa bisa kukendalikan, air mata mulai menetes.

"Kakak, maafkan Ninlil, Kak."

Bersambung

============================================================

Halo Semuanya. Akhirnya, sudah sampai after credit.

Wew. Pada awalnya, author hanya berniat membuat ch 23. Namun, sampai di tengah, pikiran author ga tenang sama sekali. Author ga tega ama Lugalgin. Author ingin agar Lugalgin menyegerakan cerita masa lalunya, kembali ke masa dimana dia lebih damai bersama Emir dan Inanna.

Alasan lain, demi kesehatan mental Author. Chapter ini berasa penyiksaaan.

Author sudah merencanakan chapter ini jauh-jauh hari. Namun, tidak peduli bagaimanapun caranya author berusaha mempersiapkan diri, Author tidak mampu.

Untuk saat ini, chapter ini adalah chapter tersulit bagi author. Mengingat ini menggunakan sudut pandang orang pertama, author harus merasakan apa yang Lugalgin rasakan. Bahkan, untuk riset, author membaca doujinshi NTR. Fuck. Oh, God.

Kalau ada yang nonton anime Re:Creator, author ga akan kaget kalo Lugalgin muncul ke dunia nyata dan mencoba membunuh Author. Saat ini, Lugalgin adalah karakter kedua, buatan Author, dimana MC nya mengalami kehilangan orang yang dikasihi.

Untuk karakter pertama adalah Ubara di Oversystem, yang dipublikasikan di webcomic, tapi..... ya, sudahlah.

Setelah menyelesaikan chapter ini, tampaknya Author tidak akan membuat cerita prequel mengenai perpisahan Lugalgin dengan Tasha. Author gak kuat. Mental Author lemah. Tapi, mungkin, di masa depan akan ada chapter ekstra yang berisi cerita ringan dan bahagia Lugalgin dan Tasha.

Anyway, chapter ini menutup arc 3-2. Di Arc 3-2 ini, Author memang sejak awal berencana membuka sebagian besar kartu Lugalgin dan menutup plothole. Beberapa penjelasan mengenai kehidupan Lugalgin pun terbuka, seperti kenapa Lugalgin tidak menghormati ayahnya, kenapa Barun menuruti Yueni, dan lain sebagainya.

Minggu depan akan memasuki Arc 3-3. Main plot akan kembali berjalan.

Dan, seperti biasa, pada bagian akhir, author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri.

Terima kasih ( : (

avataravatar
Next chapter