71 Arc 3-2 Ch 23 - Tasha, Start

Minggu ini spesial double rilis. Kenapa? Baca alasannya di bagian akhir Arc 3-2 Ch 24

Seperti biasa. Kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

============================================================

Aku masih bisa mengingat pertemuan itu seperti kemarin. Di siang itu, ketika sedang mencari tempat makan siang, aku melihat sosok seorang perempuan, mengenakan celana pendek dan blus biru, berjalan dengan banyak kantong plastik. Bukan satu. Bukan dua. Dia membawa enam kantong plastik di kedua tangan.

Rambut coklat panjangnya terlihat begitu halus, terburai, bagaikan sutra yang ditiup oleh angin. Mata coklat, bulat bola pingpong, yang menunjukkan sebuah cahaya yang tidak pernah aku lihat. Namun, dari semua itu, yang paling memukauku adalah senyumnya. Meskipun dia tampak kesusahan dan kelelahan, dengan pakaian basah karena keringat, senyum masih terkembang lebar di wajahnya.

Untukku yang sejak kecil dimusuhi oleh keluarga besar dan tetangga, aku penasaran apa yang membuatnya dapat tersenyum begitu lebar. Namun, hal itu aku kesampingkan.

Di saat itu, ketika dia lewat di depan, aku langsung meraih tangan kirinya dan mengambil tiga tas plastik.

"Eh?"

"Pasti berat, kan? Biar aku bantu."

"Eh? Ah? Terima kasih."

Dia sempat kehilangan senyum ketika aku mengambil tas plastik di tangannya. Namun, senyum itu kembali muncul ketika kami berjalan ke satu arah.

"Siapa kamu? Aku belum pernah melihatmu di sini."

"Namaku Lugalgin Alhold. Aku sedang mengisi waktu sebelum nanti sore harus menjemput adikku."

"Ah... Alhold? Maksudmu dari keluarga Alhold itu?"

"Ya, dari keluarga Alhold itu. Tapi jangan salah sangka. Aku bukanlah anak berbakat atau spesial. Aku seorang inkompeten, aku tidak memiliki pengendalian."

"Ah... maaf."

"Tidak apa."

Saat itu, aku menyadari kalau dia meminta maaf setelah memperhatikan tubuhku yang penuh bekas luka dan memar.

Suasana menjadi sedikit canggung setelah itu. Namun, dalam perjalanan, aku berhasil mendapatkan informasi mengenainya. Nama perempuan itu adalah Tasha. Saat itu, aku berusia 8 tahun dan dia 10 tahun, lebih tua dua tahun dariku. Dia tidak memiliki nama keluarga karena yatim piatu. Saat itu, dia tinggal di panti asuhan dengan belasan anak lain.

Panti asuhan tempat Tasha tinggal bukanlah bangunan tua dan setengah hancur seperti di film yang penuh dengan klise. Namun, tidak juga mewah. Hanya rumah luas normal. Bahkan, kalau tidak ada papan yang menuliskan "Panti Asuhan Sargon", aku tidak akan pernah tahu kalau bangunan ini panti asuhan.

"Kakak kembali!"

"Kak Ta–"

Aku masih ingat ekspresi anak-anak di panti asuhan itu yang terdiam ketika melihatku. Padahal, mereka sudah setengah menyapa Tasha.

"Ah, perkenalkan, anak laki-laki ini adalah Lugalgin. Dia... kesepian. Jadi, aku mengajaknya main kesini."

Dengan kebohongan, Tasha berhasil membuat anak-anak menerimaku. Aku cukup terkejut bagaimana anak-anak di tempat itu bisa menerimaku dengan mudah. Maksudku, aku tidak pernah diterima oleh keluarga Alhold. Bahkan, di sekolah, aku harus menunjukkan sebuah pencapaian baru bisa diterima.

Saat itu adalah pertama kalinya aku bisa diterima oleh seseorang begitu saja. Selain Ninlil, ibu, dan ayah tentu saja.

Anak-anak di panti asuhan itu masih kecil. Selain Tasha, yang paling tua masih satu tahun lebih muda dariku. Untuk pengurus, hanya ada satu ibu-ibu setengah baya, bernama Bu Aria, dan Tasha. Meski Tasha adalah penghuni panti asuhan itu, dia juga menjadi pengurus karena memang kekurangan tenaga.

"Biar aku bantu masak. Memasak untuk anak sebanyak ini akan merepotkan, kan?"

"Eh? Tapi–"

"Bayar saja aku dengan makan siang. Aku tadi sebenarnya sedang cari makan.

Tasha kembali tersenyum. "Baiklah, kalau itu maumu."

Di siang itu, aku membantu Tasha memasak. Selain membantunya memasak, aku juga memotong-motong sayuran yang tidak dimasak, meracik bumbu, dan menggiling daging yang dicampur dengan bumbu dan sayur.

Sayuran yang sudah dipotong cukup ditambahkan dengan bumbu dan direbus. Lalu, daging giling bisa langsung digoreng sebagai lauk. Dengan demikian, Tasha tidak akan kerepotan untuk malam itu dan keesokan paginya.

Setelah memasak, aku diajak makan siang bersama anak-anak. Kami semua makan di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk semua anak-anak makan bersama.

Aku makan bersama Tasha dan bu Aria. Kami makan dengan normal. Sedikit percakapan tanpa arah atau arti kadang muncul, tapi mereka tidak pernah menanyakan latar belakang atau keadaanku. Ya, bekas luka dan memar yang ada di sekujur tubuh sudah memberi sedikit gambaran, sih.

Namun, meskipun suasana makan normal, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Sebelumnya, aku hanya memiliki tiga tempat makan yaitu di rumah, di luar, atau di sekolah.

Ketika makan di rumah, ayah dan ibu tidak pernah berbicara. Namun, itu masih mending karena mereka terkadang keluar dari ruang makan hanya untuk bertengkar.

Kalau di luar, aku akan makan di restoran seorang diri. Tidak jarang ada orang mencoba memerasku. Maksudku, anak kecil, makan sendirian di rumah makan. Orang-orang pasti mengira aku punya banyak uang untuk diperas. Aku tidak pernah merasa aman ketika makan di luar.

Yang ketiga adalah di kamar mandi. Bekal makanan ringan, yang kubawa untuk jam istirahat, tidak pernah bisa kumakan di kelas. Kalau dikelas, pasti ada anak dari keluarga Alhold yang tiba-tiba mengambil makananku lalu membuangnya. Jadi, pilihan jatuh pada kamar mandi.

Teman-teman yang tidak memusuhiku, meski merasa iba, tidak berani terlibat begitu saja. Meski mereka tahu aku tidak salah, aku adalah anak bermasalah yang sering bertengkar dengan murid maupun guru.

Oleh karena itu, siang itu, di panti asuhan Sargon, adalah momen pertama aku bisa makan dengan tenang, tanpa perlu khawatir soal keamanan atau pertengkaran.

Dan, tanpa aku sadari, air mata menetes.

Tasha dan bu Aria hanya mengusap punggungku, tanpa mengatakan apa pun. Meski mereka tidak mengatakan apapun, aku seolah bisa mendengar, "kamu telah melakukannya dengan baik". Bukan hanya Tasha dan bu Aria, anak-anak di ruangan itu pun melihatku. Beberapa anak yang dekat ikut mengusapku.

"Kak Lugalgin, kalau mau, Kakak bisa main ke sini lagi."

"Iya, benar. Kakak bisa main ke sini lagi."

Merespon semua ucapan mereka, aku hanya bisa mengatakan dua patah kata.

"Terima kasih. Terima kasih."

Hanya dua patah kata itu yang berkali-kali muncul dari mulutku.

Setelah selesai makan, kami pun beres-beres. Sementara bu Aria mengantar anak-anak tidur siang, aku mencuci piring bersama Tasha.

"Jadi, apa aku boleh datang ke sini lagi?"

"Apa kamu perlu bertanya lagi? Anak-anak sudah mengatakannya kan tadi."

"Aku ingin meminta konfirmasi darimu."

"Hah..." Tasha menghela nafas. "Tentu saja boleh. Aku tidak bisa menolak permintaan dari anak yang baru saja menangis, kan?"

"Hahaha, aku jadi malu. Ngomong-ngomong," Aku membawa topik baru. "Kenapa tadi kamu tidak menggunakan kekuatan pengendalian? Maksudku, dengan pengendalian kamu bisa membawa barang-barang itu dengan mudah, kan?"

"Ah, itu. Mungkin kamu tidak tahu, tapi di panti asuhan, melakukan sesuatu tanpa pengendalian adalah hal yang normal."

"Heee.... Kenapa?"

"Mudah saja. Terlalu banyak anak, terlalu banyak jenis pengendalian. Kami tidak bisa membeli perabotan dengan berbagai macam material. Terlalu mahal."

"Aku kira, panti asuhan justru berlatih untuk mengendalikan semua material."

"Beberapa panti asuhan seperti itu. Namun, biasanya panti asuhan seperti itu memiliki pengurus atau pemilik yang berhubungan dengan kepolisian atau militer. Panti asuhan yang normal seperti Sargon tidak melakukannya."

Hmm, begitu ya.

"Dan lagi," Tasha menambahkan, "kalau terlalu sering menggunakan pengendalian, staminamu akan lebih cepat habis. Jadi, kami sendiri juga melatih agar anak-anak ini menjadi kuat."

Selama mencuci piring, aku mendapatkan informasi yang cukup berharga. Namun, bagiku, bukan itu yang penting. Kalau dia bersedia mengobrol hal-hal tidak penting seperti itu denganku, berarti dia merasa nyaman denganku. Iya kan?

Selesai mencuci piring, aku memberi arahan cara memasak sayur dan daging giling yang sudah kusiapkan.

"Kamu bisa memasak, lalu juga sudah membuat persiapan untuk makan malam dan besok sarapan. Apa aku salah kalau bilang kamu terbiasa melakukan pekerjaan rumah?"

"Hahaha. Setiap pagi, aku harus menyiapkan sarapan, kotak camilan, dan makan siang untuk adikku. Jadi, sambil masak makan malam, aku menyiapkan makanan siap masak untuk pagi. Dan, untuk pekerjaan rumah, sejak adikku lahir sampai sekarang, aku lah yang lebih sering melakukannya."

"Ah, begitu ya... Maaf."

Tasha menjawabku dengan suara pelan. Aku sadar benar kalau, saat itu, dia merasa bersalah.

Akhirnya, kami selesai mencuci piring dan pergi ke ruang tamu. Di ruang tamu, hanya terdapat dua pasang sofa yang dipisahkan oleh meja kayu. Selain dua hal itu, terdapat satu jam yang terpasang di atas pintu. Kami pun duduk di sofa, bersebelahan.

"Ngomong-ngomong, kamu harus menjemput adikmu jam berapa?"

"Jam 3.15 aku harus sudah di halte. Butuh 45 menit untuk bus mencapai sekolahnya dari sini."

"Masih lama ya berarti. Masih satu jam lebih."

"Ya, beg–eh?"

Tanpa memberi aba-aba ataupun peringatan, Tasha langsung menarikku. Dia memaksaku untuk menggunakan pangkuannya sebagai bantal. Di depanku, di atas tubuh, terlihat Tasha yang membungkukkan tubuh.

Itu adalah momen pertama aku bisa sangat dekat dengan perempuan. Meski aku tidak bisa melihat wajahku, kemungkinan besar, pipiku pasti merona saat itu.

"Kamu istirahat saja dulu."

"Tapi–"

"Kalau kamu tertidur, aku akan membangunkanmu. Aku tidak akan membiarkan adikmu menunggu terlalu lama."

Tampaknya, Tasha benar-benar paham kalau saat itu aku mengkhawatirkan Ninlil. Dan memang benar, kalau aku tertidur dan terlambat, aku khawatir Ninlil akan menangis.

Tanpa meminta izin, Tasha membelai dan mengelus-elus rambutku dengan lembut. Samar-samar, aku mendengar Tasha mendengung, meninabobokanku. Sejak aku mengenal sekitar, itu adalah pertama kalinya aku diperlakukan dengan lembut. Meski aku masih memiliki orang tua, aku tidak pernah mendapatkan perlakuan tersebut dari mereka.

Benar saja, aku tertidur dan Tasha membangunkanku tepat waktu.

Sejak hari itu, selama dua tahun ke depan, hampir setiap siang aku pergi ke panti asuhan Sargon. Kalau di akhir minggu, aku harus menemani Ninlil mengerjakan tugas sekolah. Jadi, aku tidak pernah pergi ke panti asuhan Sargon di akhir minggu.

Namun, yang jelas, setelah mengenal Tasha dan anak-anak di panti asuhan, hidupku jadi terasa lebih indah, meski sebenarnya hanya beberapa jam per hari.

Siang demi siang, kuhabiskan bersama Tasha. Kami melakukan banyak hal mulai mengantar tidur anak-anak, bermain kelereng, atau sekadar mengobrol.

Perlahan tapi pasti, sebagai cowok yang paling tua di panti asuhan, hubunganku dengan Tasha pun semakin dekat. Anak-anak panti asuhan mulai mendorong agar aku segera menyatakan perasaan.

Aku yang dulu belum seberani aku yang sekarang. Maksudku, Tasha adalah cinta pertamaku. Tentu aku bingung apa yang harus dilakukan. Bahkan, aku pun tidak yakin apakah aku benar-benar mencintai Tasha. Bisa saja kan aku hanya mengaguminya karena dia perempuan pertama yang baik padaku. Ya, setelah ibu dan Ninlil sih.

Saat itu, karena terlalu fokus pada Tasha, aku mulai lengah. Aku sama sekali tidak sadar kalau anak-anak Alhold, aku ulangi, sama sekali sadar kalau mereka benci melihatku yang tersenyum lebar. Ketika pulang, mereka mengeroyokku. Saat itu, beberapa guru yang dikeluarkan juga ikut mengeroyok. Serangan mereka saat itu berhasil membuat lengan kananku patah.

Setelah menyerang, dan melihat tanganku patah, mereka langsung kabur. Di saat itu, aku tidak memiliki kepercayaan pada ayah maupun keluarga Alhold. Jadi, pilihan pulang langsung aku coret. Rumah, yang berada di kompleks perumahan keluarga Alhold, adalah tempat paling tidak aman untukku.

Dengan pertimbangan tersebut, aku memutuskan untuk pergi rumah sakit dengan bus, sendirian. Tentu saja sopir busnya panik dan menginjak gas sedalam mungkin. Bahkan dia mengantarkanku sampai ke lobi.

Ketika sampai rumah sakit, aku dilarikan ke UGD. Untungnya, patah di lenganku tidak parah, tidak perlu operasi. Dokter bilang gips saja sudah cukup.

Setelah selesai mengobatiku, seorang perawat bertanya apa ada pihak yang bisa dihubungi. Aku mengatakan kantor ibu. Pada awalnya, perawat bersikeras supaya dia yang berbicara dan aku istirahat saja. Di lain pihak, aku bersikeras ingin berbicara pada ibu. Akhirnya, perawat mengalah dan membiarkanku berbicara.

Aku masih teringat percakapan kami saat itu.

"Ibu, Lugalgin minta maaf."

"Ya? Kenapa Lugalgin minta Maaf?

"Hari ini, Lugalgin tidak bisa menjemput Ninlil. Ibu bisa menjemputnya?"

[Eh? Tidak bisa? Kenapa?]

"Lugalgin sedang berada di rumah sakit kota. Tangan Lugalgin patah. Biasa, anak-anak keluarga Alhold."

Saat itu, tidak ada balasan dari ibu. Aku tahu ibu belum menutup telepon, tapi aku tidak meneruskan pembicaraan. Aku memberikan telepon pada perawat, yang melanjutkan perbincangan.

Setelah menerima telepon, perawat itu pergi. Tidak lama kemudian, perawat itu datang bersama dokter dan laki-laki berseragam. Perawat dan dokter bilang kalau laki-laki berseragam itu dari pihak kepolisian.

Pak polisi tidak hanya meminta keterangan mengenai penyebab tanganku patah, tapi juga meminta detail hidup sehari-hari yang kujalani. Tentu saja, aku menjawab dengan jujur semua hal buruk yang kualami. Setelah satu jam, akhirnya pak polisi itu puas dan meninggalkanku. Dokter dan perawat memintaku untuk tidur, dan aku menurut.

Ketika dimintai keterangan, aku sama sekali tidak menyebutkan soal panti asuhan Sargon. Aku tidak mau menyeret Tasha dan yang lain dalam masalahku.

Agak lama setelah aku dimintai keterangan, akhirnya ibu dan Ninlil datang. Aku teringat benar. Saat itu, ibu langsung masuk dan memelukku erat-erat.

Ibu menangis sambil berkata, "maafkan ibu, Lugalgin. Maafkan ibu, Lugalgin."

Ibu mengatakannya berkali-kali. Bukan hanya ibu yang menangis, Ninlil juga di ujung kasur.

Di saat itu, aku merasa bersalah karena telah membuat ibu dan Ninlil menangis.

Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak melihat ayah saat itu. Mungkin dia tidak dihubungi oleh ibu. Atau mungkin dia dipanggil oleh kepala keluarga.

Siang itu, aku tidak bisa datang ke panti asuhan. Malam pun harus aku habiskan di rumah sakit.

Malam itu, Ninlil tidur di kasur pengunjung, di sebelah kasurku. Aku, yang pura-pura tidur, mendengar ibu yang berbicara melalui telepon.

"Barun, hari ini, aku sudah membuat beberapa perjanjian kerja yang akan ditandatangani perusahaan milik keluargamu dibatalkan, dan aku tidak akan berhenti sampai di sini."

Ibu berhenti sejenak. Aku mendengar suara lain di telepon, tapi tidak cukup jelas.

"Tidak! Ini sudah lebih dari cukup!" Ibu berteriak, "Barun, selama ini aku mencoba sabar, menerima semuanya. Tapi, aku tidak diam saja. Bertahun-tahun lamanya, aku menumbuhkan Akadia hingga memiliki peringkat Enam Pilar demi hari ini. Karena, aku tahu saat ini pasti akan terjadi cepat atau lambat."

Saat itu, aku tidak tahu apa itu Akadia atau Enam Pilar. Namun, aku terus mendengarkan ibu.

"Aku akan pergi meninggalkan tempat terkutuk itu dan pindah ke tengah kota. Aku akan membawa Lugalgin dan Ninlil. Kalau kamu mau mencegahku, aku akan menganggap keluarga Alhold sebagai musuh Akadia."

Bersambung

============================================================

Halo Semuanya. Seperti yang author bilang di bagian awal, minggu ini double release, jadi silakan lanjut.

Dan, seperti biasa, pada bagian akhir, author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri.

Terima kasih :D

avataravatar
Next chapter