65 Arc 3-2 Ch 17 - Malam dan Pagi Setelahnya

Ahh, akhirnya, kasur.

Siang ini tidak banyak event yang terjadi. Hanya beberapa orang dari fraksi oposisi mencoba membunuhku, yang malah terbunuh olehku dan Inanna. Sayangnya, semua yang terbunuh berasal dari satu keluarga yang sama. Kalau begini, hanya satu keluarga yang akan terpancing.

Di lain pihak, aku cukup kerepotan dengan hilangnya kekuatan Mulisu. Untung aku cepat datang. Setelah dia lumpuh dan kekuatannya bangkit kembali, aku penasaran apakah dia akan semakin kuat atau semakin lemah. Namun, untuk Mulisu.... ya, mungkin aku akan mengurusnya minggu ini juga. Mungkin.

Daripada itu, aku penasaran dengan Emir dan Inanna. Sejak tadi siang, sejak serangan itu, mereka terus berbisik-bisik. Aku kira mereka marah atas apa yang kulakukan pada Inanna dan meminta maaf.

"Tidak, aku tidak marah. Hanya saja, lain kali, jangan di depan umum ya."

Dan, itulah respon Inanna.

Dari nadanya, aku sama sekali tidak mendengar atau bahkan mendapatkan indikasi atau kode kalau dia marah. Ada sesuatu yang lain.

Tok tok

"Gin? Kamu sudah tidur?"

"Belum. Pintunya tidak aku kunci. Masuk saja kalau mau."

"Terima kasih."

Inanna membuka pintu dengan perlahan.

Aku melihat Inanna yang berdiri mengenakan piama kuningnya. Kali ini, anehnya, dia tidak mengenakan piama lengkap seperti biasa. Entah kenapa, kali ini, dia hanya mengenakan atasan piama dan celana dalam, tanpa bra, seperti Emir. Sama seperti Emir, dia juga tidak mengaitkan tiga kancing dari atas. Jadi, aku bisa melihat belahan dadanya.

Rambut hitam Inanna tampak begitu berkilau. Samar-samar, aku bisa mencium bau harum. Apa dia baru mandi? Dugaanku semakin kuat ketika melihat tubuhnya yang terlihat agak lembap. Di lain pihak, wajahnya agak memerah.

Kalau aku tidak peka, aku akan menganggap dia masuk angin atau sakit. Namun, aku tidak sebuta itu. Aku benar-benar tahu maksud dan keinginan Inanna. Tapi, dengan kepribadiannya yang malu-malu, dia tidak akan pernah memintanya secara langsung. Mengirimkan kode adalah hal terbaik yang bisa dia lakukan.

"Inanna, tidak biasanya kamu mengenakan piama seperti itu."

"Ah, ti, tidak apa-apa. Aku hanya ingin mencobanya. Aku melihat Emir, kok kelihatannya nyaman."

"Heh... Jadi, bagaimana? Nyaman tidak?"

"Hehe, jujur, ini nyaman sekali."

Dia mengatakannya sambil menarik piama yang menutupi dadanya, memberi lebih banyak eksposur. Kalau dia menariknya lebih jauh lagi, aku bisa melihat putingnya dengan jelas.

Sekuat tenaga, aku berusaha mengabaikan semua kode yang dia berikan.

"Baguslah kalau itu nyaman untukmu. Namun, ingat, kamu hanya boleh seperti itu di rumah ini ya. Kalau sedang menginap di hotel jangan."

"I, iya, aku juga sadar kok."

Setelah respon itu, suasana menjadi hening untuk sesaat. Dengan poker face, aku berusaha terus menatap ke wajah Inanna.

Inanna, yang menyadari wajahnya kulihat terus, membuang pandangan. Wajahnya semakin merah. Jujur, reaksinya yang malu-malu tersipu itu tampak begitu manis.

"Ngomong-ngomong, kalau habis mandi jam segini, terasa panas sekali ya."

Inanna mengatakan itu sambil membuka satu kancing lagi. Kini, hanya satu kancing yang menahan piama Inanna, tepat di depan pusarnya.

Ugh, ini bukan kode lagi. Ini sudah instruksi. Dia benar-benar go all out. Dan, tidak bisa kupungkiri, aku sudah tegang.

"Oya, apa obatnya sudah bereaksi?"

"Hah? Obat?"

Tiba-tiba saja, dari balik pintu, muncul kepala Emir. Sama seperti Inanna, rambut merahnya tampak berkilau. Namun, dia jauh lebih berani daripada Inanna. Kalau Inanna masih ada satu kancing terkait, Emir sama sekali tidak mengancingkan piamanya, membiarkan tubuh bagian depannya terlihat dengan jelas. Kulitnya pun tampak sedikit berkilau, sama seperti rambutnya.

Aku terpaku pada kata Obat yang dikatakan oleh Emir.

"Obat? Jangan-jangan..."

"Yap, benar. Sebenarnya, Inanna tidak mencoba bumbu baru. Yang dia masukkan adalah obat perangsang yang kumiliki."

Oke, itu tidak lucu. Aku memiliki beberapa pertanyaan, seperti dari sejak kapan Emir memiliki obat perangsang, kenapa dia memilikinya, dan lain sebagainya.

"Obat itu tidak langsung bereaksi, tapi butuh waktu sekitar dua sampai tiga jam. Namun, tentu saja, ada cara lain untuk membuatnya bereaksi lebih cepat, yaitu dengan meningkatkan tensimu. Dengan kata lain, kami mencoba merangsangmu melalui pandangan, seperti sekarang."

Sambil mengatakan itu semua, Emir masuk ke kamarku. Dia menarik Inanna. Perlahan, dia menutup pintu.

"Ah, Emir, bisa tolong kamu pikirkan baik-baik? Kamu masih putri dari Fahren, Raja kerajaan ini. Kalau kamu hamil sebelum menikah, akan repot, kan?"

"Hehehe, tidak masalah. Aku memang putri, anak perempuan, dari ayah. Namun, aku bukan lagi tuan putri. Jadi, tidak akan ada yang memperhatikan atau pun sadar."

Alasan macam apa itu?

"Ah, kalau begitu, setidaknya, biar aku beli pengaman dulu. Sebisa mungkin, kita harus menghindari kemungkinan kalian hamil."

"Tidak. Kalau aku membiarkanmu pergi, kamu pasti akan kabur. Dan lagi... jangan khawatir, hari ini aku aman kok."

Tidak, meskipun ini hari aman, tidak ada jaminan 100 persen kamu tidak akan hamil. Namun, aku ragu bisa meyakinkan Emir. Matanya sudah menatapku lekat-lekat, seperti pemburu melihat mangsa. Bahkan, sesekali, dia menjilat ujung bibirnya.

"Inanna..."

"Maaf, Gin. Tapi, setelah tadi siang, badanku terasa aneh. Aku, menginginkannya. Aku ingin kamu mempermainkan tubuhku lagi. Jadi, tolong menurut saja ya."

What the... Inanna, kamu berubah total. Di awal kamu bilang maaf dan di akhir pun masih bilang tolong. Namun, nadamu bukanlah nada orang yang meminta maaf dan meminta tolong, tapi memaksa.

Kemana Inanna yang biasanya pasif dan anteng? Sekarang, seolah-olah kamu sedang bertarung. Sifatmu yang satu sudah muncul ke permukaan.

Aku ingin berdiri dan kabur. Namun, dengan posisi yang tegang, aku ragu bisa berbuat banyak. Pergerakanku akan sangat terbatas karena sebagian besar tenaga fokus di situ. Selain itu, tampaknya, obat yang diberi oleh Emir membuat pandanganku, dan tubuhku, lebih fokus dengan tubuh mereka berdua, melihat dua buah gunung yang terus bergejolak setiap mereka melangkah.

Perlahan, tapi pasti, Emir dan Inanna mendatangiku yang terduduk di kasur.

Tampaknya, tanpa aku sadari, tadi siang aku sudah membuka kotak pandora.

"Ah, um, setidaknya, biarkan aku menelepon seseorang dulu, ya."

***

Ahh, badanku. Berapa kali kami melakukannya? Aku tidak tahu. Ingatanku benar-benar kabur.

Di samping kanan dan kiri, di dalam selimut bersamaku, terbaring Inanna dan Emir. Mereka tidak mengenakan apapun. Atasan piama dan celana dalam mereka tergeletak di lantai. Sebuah senyum lebar dari ujung pipi menempel di wajah mereka. Tidak tampak sedikit pun otot yang tegang, wajah mereka benar-benar lepas. Tampaknya mereka sangat bahagia dengan progres ini.

Aku berusaha pergi dari kasur dengan gerakan sehalus mungkin, berusaha agar tidak membangunkan mereka. Perlahan, aku menarik diri masuk ke dalam selimut. Sambil menarik badan dari bawah selimut, aku disuguhi pemandangan tubuh kedua calon istriku.

Akhirnya, aku berhasil keluar dari bawah selimut tanpa membangunkan Emir dan Inanna. Aku pun mengambil pakaian ganti dari dalam lemari. Sekarang waktunya ke kamar mandi dan membersihkan badan. Badanku terasa agak lengket gara-gara berkeringat semalaman.

Belum ada satu minggu sejak aku mengganti seprai dan selimut, tapi, mengingat semua yang kami lakukan semalam, tentu saja aku harus mengganti seprainya hari ini juga.

Selain itu, aku juga harus bernegosiasi pada ibu. Kalau seperti ini, mau tidak mau, aku harus mempercepat tanggal pernikahan dengan Emir. Kalau mereka tiba-tiba jadi liar lagi di lain hari, kemungkinan mereka hamil akan semakin tinggi.

Akan lebih praktis kalau pernikahan mereka berdua dilangsungkan di hari yang sama, tapi aku agak sangsi dengan hal ini. Pernikahan ini adalah sesuatu yang mereka nantikan, sebuah kenangan yang seharusnya terindah dan akan selalu dikenang sepanjang hidup mereka.

Aku tidak mau mereka harus berbagi momen itu dengan orang lain. Kalau memikirkan hal ini, keputusan yang paling tepat, tentu saja, membuat tanggal pernikahan mereka berbeda.

Yang repot adalah, meyakinkan ibu. Sampai saat ini, ibu lebih condong kalau aku monogami saja. Dengan kata lain, aku cukup menikahi Inanna dan mengembalikan Emir ke keluarganya. Namun, aku tidak mau melakukan hal itu.

Kalau aku tidak menjadikan Emir sebagai istriku, dia tidak akan memiliki tempat untuk pulang, mengingat status dia sebagai tuan putri sudah dicabut. Selain itu, beberapa bulan ini, aku hanya mengajarinya untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik. Dengan kata lain, pekerjaan rumah, berbelanja, merawat diri, mengatur keuangan, dan lain sebagainya.

Namun, sayangnya, aku tidak mengajarinya untuk mencari uang. Meski Emir bilang tabungannya masih banyak, tapi aku tidak yakin uang itu bisa bertahan dalam waktu lama. Aku khawatir dia mencoba bisnis-bisnis yang tampak menggiurkan tapi rentan gagal, seperti jual beli mata uang asing atau saham. Tanpa pemahaman yang mendalam, aku bisa membayangkan semua tabungan Emir ludes kurang dari seminggu.

Namun, kurasa, semua itu hanyalah alasan untukku membenarkan rasa sayangku. Karena, pada akhirnya, semua itu sesederhana aku menyayanginya.

Aku mandi sambil memikirkan semua itu. Kini, aku sudah selesai mandi dan berjalan kembali ke kamar, hanya dengan handuk menutupi pinggang hingga lutut. Karena aku menggunakan kamar mandi di lantai dua, aku tidak perlu khawatir orang lain melihatku.

"GIIINNNN????"

Tepat sebelum aku masuk kamar, sebuah teriakan, atau mungkin panggilan, terdengar dari dalam kamar.

Aku menjawab sambil membuka pintu, "Ya, Emir, ada apa?"

"To, tolong, aku ga bisa berdiri."

Di dalam kamar, aku melihat Emir yang sudah tergeletak di lantai, di samping kasur. Di lain pihak, Inanna masih di atas kasur. Dia berusaha mengangkat badan dengan menggunakan siku sebagai tumpuan. Namun, dia tidak bisa berdiri juga.

Sementara tubuh telanjang bulat Inanna masih tertutup oleh selimut, tubuh Emir terekspos di lantai.

"Hah...."

Aku menghampiri Emir dan menggendongnya. Dengan perlahan, aku mengembalikannya ke atas kasur.

"Mungkin akan butuh waktu agar kalian bisa berjalan. Kalau tidak nanti siang, ya nanti sore."

"Eh?"

Emir dan Inanna merespon bersamaan. Pandangan mereka berdua pun terus melekat padaku, tampak tidak percaya.

"Kalian kira berapa kali kita melakukannya tadi malam? Aku bahkan tidak bisa benar-benar ingat. Kalau kalian melakukannya terlalu intens. Efeknya ya jadi seperti sekarang, kalian susah berdiri karena pinggang dan selangkangan kalian terlalu lelah."

Sambil mengambil dan memakai baju dari lemari, aku memberi penjelasan.

Ya, tadi malam adalah pengalaman pertama kalian sih. Wajar kalau kalian tidak tahu. Kalian terlalu bersemangat. Atau kalau aku bilang, terlalu liar. Dan, tentu saja, aku tidak akan mengatakannya terang-terangan.

"Lain kali, jangan mendadak lagi ya. Setidaknya, biarkan aku membuat persiapan. Kan repot kalau seandainya kita diserang saat kalian tidak bisa bergerak seperti sekarang. Ya, kalau hanya satu atau dua kali, sesi singkat, tidak masalah. Tapi, kalau sesi panjang, tolong pikir baik-baik dulu."

"Hehe, tapi, Gin, kalau kami bilang dulu, kamu pasti akan berusaha menghindar, kan? Kamu pasti akan membuat janji dan 1001 alasan."

Ya, dugaan Emir tidak salah. Kalau mereka bilang dulu, aku pasti akan berusaha menghindar habis-habisan. Jadi, dengan kata lain, ucapanku hanyalah sebuah bualan.

"Gin, maaf, tapi, terima kasih. Kamu sudah mau mengabulkan permintaan kami."

Di lain pihak Inanna justru mengucapkan maaf terima kasih. Kali ini, dia sudah kembali pasif.

Aku sedikit menoleh ke belakang, melihat Inanna yang tersipu menutupi setengah wajahnya di balik selimut. Ah, wajahnya benar-benar manis kalau sedang tersipu. Kalau efek obat yang mereka beri semalam masih ada, pasti sekarang aku sudah naik ke atas ranjang lagi.

"Ngomong-ngomong, Gin, tadi malam bukan pertama kalinya kamu melakukannya, kan? Kamu kelihatannya tahu apa yang harus dilakukan."

"...aku akan menyiapkan sarapan. Kalian tunggu saja dulu di sini."

Aku berusaha menghindari pertanyaan Inanna. Meski sebenarnya aku bisa saja berbohong dengan poker face, tapi aku tidak mau melakukannya. Sebisa mungkin, aku tidak ingin berbohong pada kedua calon istriku ini.

"Gin?"

Dan, tampaknya, Emir juga sudah menyadarinya.

"Aku ke dapur dulu. Kalau ada apa-apa teriak saja. Dan, Emir, tolong masuk ke selimut. Kalau kamu di luar selimut terus, nanti kamu bisa sakit. Akan lebih baik lagi kalau kalian mengenakan piama kalian."

"Gin!"

Aku mengabaikan panggilan Emir dan keluar dari kamar, menuju ke dapur. Begitu aku sampai di bawah, aku sudah disambut oleh perempuan berambut merah dan coklat yang bercampur, selang-seling. Umma mengalihkan pandangan dari smartphonenya ke arahku.

Ketika melihatku masuk ke dapur, Umma langsung meletakkan handphone di sofa dan menghampiriku.

"Jadi, bagaimana? Mereka puas?"

"Saat ini, mereka tidak bisa berdiri. Menurutmu?"

"Hihihi, mereka benar-benar bersemangat ya. Kamu juga, staminamu hebat juga bisa melayani dua orang dalam satu waktu."

Kami mengobrol ringan sambil aku menyiapkan sarapan. Sarapan pagi yang kusiapkan tidak terlalu berat, hanya nasi dengan omelet dan teh. Tentu saja, aku menyiapkan madu yang disiapkan di cangkir terpisah untuk Emir. Untuk Inanna, dia lebih suka mencampur teh dengan krimer.

"Maaf ya, Umma. Malam-malam aku tiba-tiba menelepon dan memintamu berjaga. Dan, pasti canggung juga karena kamu bisa mendengar semuanya."

"Hahaha, tidak apa-apa. Aku tidak keberatan."

Semalam, sebelum melakukannya dengan Emir dan Inanna, aku menelepon Umma agar dia berjaga. Semalam, pikiran Emir dan Inanna terlalu fokus pada berhubungan seks, aku ragu mereka akan merasakan atau menyadari kalau ada orang lain, atau lebih tepatnya musuh, datang.

Di lain pihak, obat perangsang yang mereka beri membuatku tidak bisa mengerahkan tenaga di tempat lain.

"Kamu mau kopi atau teh?"

"Kopi saja. Hitam ya."

"Oke,"

Normalnya, anggota Agade akan menolak kalau aku mau membuatkan sesuatu untuk mereka. Mereka akan bilang "biar aku saja yang membuat, kamu duduk saja Gin.". Hanya Mulisu yang akan menerima perlakuanku begitu saja.

Namun, untunglah, kalau secara personal mereka tidak sekeras kepala itu.

"Sebenarnya, tadi malam, aku hampir menghubungi Ninmar. Namun, aku berhasil ingat di saat-saat terakhir."

"Wah, untunglah. Meski sudah dua tahun lebih berlalu, Ninmar masih belum sembuh dari traumanya. Bahkan, belum ada perkembangan." Umma terus memberi penjelasan. "Berbeda denganku yang hanya dipaksa melayani pemimpin mafia, hanya satu orang, dia dipaksa melayani semua orang di organisasi itu, tidak peduli laki-laki maupun perempuan. Aku tidak bisa membayangkan tekanan yang dia alami, dipaksa melayani banyak orang dalam satu waktu."

"Sungguh malang nasibnya..."

"Aku harap Ibla segera memulai gerakannya. Kalau dibiarkan begini terus, aku khawatir Ninmar tidak akan membuka hatinya pada siapa pun."

"Hah? Ibla?"

"Iya, Ibla. Kamu belum tahu?"

Aku baru bertemu kalian beberapa bulan, sejak lama hiatus. Apa yang kalian harapkan? Dan lagi, aku terlalu sibuk dengan urusan lain. Aku terpaksa mengabaikan hubungan antar personal di internal Agade. Namun, Ibla dan Ninmar ya.

"Umma, aku ingin dengar semua hal mengenai Ibla dan Ninmar."

Bersambung

avataravatar
Next chapter