64 Arc 3-2 Ch 16 - Perang Internal Dimulai

"Hanya memar. Tulang tanganmu tidak patah atau pun retak."

Ah, tidak jadi retak ya ternyata.

Seorang laki-laki dengan menggunakan pakaian dan jaket kasual menyingkirkan rontgen portabel yang dia pegang. Karena tanganku diperban dengan karet sebelum dirontgen, aku tidak perlu khawatir alat itu menyentuh kulitku.

Laki-laki ini membereskan alat-alat yang dia bawa. Dia adalah satu dari lima ahli kesehatan intelijen kerajaan yang ditempatkan di kota ini. Kebetulan, dia yang paling dekat dari mal ini ketika aku menelepon.

Tidak ada faktor yang mencolok dari laki-laki ini. Rambut dan mata coklat yang generik, kaca mata, dan rambut pendek. Benar-benar mudah dilupakan. Namun, aku tidak melupakan sosok dan namanya begitu saja. Namanya adalah Julius Narcis dari keluarga Narcis. Ketika mendengar nama keluarganya aku teringat pada bunga bernama Narcissu. Ya, itu tidak penting.

Tanpa mengatakan hal lain, Julius langsung pergi dari ruangan ini.

"Terima kasih ya."

Julius hanya melambaikan satu tangan tanpa jawaban. Dia bahkan tidak membalikkan badan. Sok keren sekali.

"Hah, kamu itu ada-ada saja, Gin. Tiba-tiba saja datang meminta pemeriksaan. Pakai ngomong hanya ingin lihat-lihat lagi. Ngomong-ngomong, kamu belum cerita kok tanganmu sampai seperti itu."

"Hah? Apa kamu tidak bisa melihatnya?" aku mengangkat tangan kiri.

"Aku tahu itu bekas gigitan. Tapi kamu digigit siapa, atau apa?"

"Oh, itu," aku kira dia tidak tahu kalau ini bekas gigitan.

Aku pun menceritakan tentang Mulisu yang kehilangan pengendalian dan aku yang membangkitkannya. Tentu saja, aku tidak mengatakan kalau Mulisu melakukan aktivitasnya sebagai anggota Agade. Aku hanya bilang dia tiba-tiba diserang oleh Ukin.

"Ukin? Apa yang kamu maksud Ukin yang dulu adalah murid Lacuna?"

"Ya, benar sekali. Ukin yang itu."

Aku membenarkan pertanyaan Shu En. Sejak Lacuna pergi, hanya Ukin yang menyebarkan nama sebagai penerus Lacuna. Orang-orang pun mengenalnya sebagai murid Lacuna.

Di lain pihak, aku sempat hiatus selama dua tahun. Dan Mulisu pun aktif sebagai anggota Agade. Meski rumor beredar kalau Lacuna memiliki tiga murid di kerajaan ini, tapi, tidak ada yang tahu identitasnya. Hanya identitas Ukin yang muncul ke permukaan.

Bagi agen schneider, Ukin adalah berita terburuk yang mungkin terdengar. Banyak agen dan orang pasar gelap yang tewas karena berhadapan dengan Ukin. Tanpa adanya Lacuna atau dua murid Lacuna yang identitasnya tidak diketahui, secara praktik, Ukin adalah orang paling liar.

Shu En menggunakan kata liar, bukan kuat. Hal ini karena Ukin memang bukan orang terkuat di kerajaan ini. Namun, permasalahannya adalah, Ukin tidak tergabung dalam mafia atau organisasi apapun. Jadi, Ukin bagaikan anjing liar yang akan menggigit siapa saja.

"Ya, sudahlah, tidak usah dibahas lagi." Aku membawa topik baru. "Jadi, Shu En, bagaimana? Sudah ada orang yang melayangkan protes?"

"Daripada menanyakan sudah ada yang melayangkan protes, mungkin akan lebih cocok kalau kamu bertanya ada yang tidak melayangkan protes atau tidak."

"Eh? Ada yang tidak melayangkan protes?"

Shu En terdiam sambil memijat kening.

Hahaha, aku berani bertaruh dia pasti ingin mengeluh, mengatakan "kenapa tidak tanya itu dari awal?".

"Jadi, ada yang tidak melayangkan protes?" Aku mengganti pertanyaan, sambil menahan tawa.

"Sebentar.... aku cari dulu. Print out nya tercampur dengan dokumen yang lain."

Shu En berjalan ke meja pendek, di antara sofa, dimana ada banyak sekali dokumen dan map. Dia meminta Ur dan yang lain membantunya mencari satu map. Emir dan Inanna pun ikut membantu. Di lain pihak aku terdiam, mencoba memikirkan hal lain.

"Shu En, sambil kamu mencari itu, aku ingin bertanya."

"Ya?"

"Kamu dari sekolah militer kan? Bukan sekolah kesatria."

"Bukankah kamu sudah mengecek latar belakangku? Tapi, ya, sudahlah, biar aku jawab. Iya, aku dari sekolah militer."

Sebagai catatan, sekolah militer dan sekolah kesatria berada di bawah manajemen yang berbeda. Sekolah kesatria berada di manajemen keamanan internal. Dengan kata lain, kepolisian dan prajurit. Di lain pihak, sekolah militer berada di bawah manajemen keamanan eksternal kerajaan. Dengan kata lain, tentara.

Selain menegakkan hukum, kepolisian juga harus menjaga citra. Oleh karena itu, kode etik kesatria harus dipegang teguh. Di lain pihak, militer hanya bertugas melaksanakan perintah untuk menjaga pertahanan kerajaan. Cara apapun diperbolehkan.

Hal ini pun juga memiliki efek yang besar di masyarakat. Masyarakat menjadi memandang kepolisian dan sekolah kesatria sebagai sesuatu yang terhormat sedangkan militer sebagai tempatnya orang licik dan penuh akal bulus. Dan, tentu saja, bangsawan lebih memilih sekolah kesatria karena mereka harus menjaga citra.

Selain itu, alumni dan siswa sekolah kesatria dan militer juga selalu berselisih. Bahkan, aku cukup terkejut melihat ekspresi Shu En yang bisa memberi jawaban dengan santai. Normalnya, kalau mereka disamakan atau kamu bingung mereka lulusan mana, mereka akan langsung menjawab "jangan samakan aku dengan sekolah itu!".

Ya, terkadang aku bertemu beberapa orang unik sih. Salah satunya adalah Regal Knight tuan putri Yurika, Zage.

"Saat manajemen masih dipegang keluarga Cleinhad, mereka merekrut siapa pun yang tampak menjanjikan tidak peduli apakah dia berasal dari sekolah kesatria, sekolah militer, sekolah sipil, atau siapa pun. Aku penasaran kenapa kalian tidak protes ketika keluarga Azzaha memilih untuk hanya mengambil orang-orang dari sekolah kesatria."

"Apa menurutmu kami memiliki kekuatan? Dia ditunjuk langsung oleh Yang Mulia Paduka Raja. Kami tidak bisa menentangnya, kan? Dan lagi, sebagian dari agen schneider berasal dari keluarga bangsawan dan sekolah kesatria. Tentu saja kami menjadi minoritas, seperti saat ini."

Aku jadi mempertanyakan alasan keluarga Azzaha dipilih. Apakah keputusan itu adalah keputusan Fahren sendiri? Atau keputusan penasihatnya? Atau saran permaisurinya? Ya, itu tidak mengubah fakta kalau di akhir, Fahren lah yang membuat keputusan.

Kembali ke masalah sekolah. Meskipun pendidikan sekolah kesatria dan sekolah militer sudah dimulai pada jenjang setingkat SMP, mereka tidak pernah dikirim ke medan perang atau menekan pemberontakan secara langsung. Maksimal hanya melihat kantor kepolisian atau markas militer.

"Ngomong-ngomong, Gin, kamu mau merekrut dan melatih anak-anak ini menjadi mata-mata?"

"Kan aku sudah bilang kemarin kemarin. Iya, aku ingin merekrut dan melatih mereka. Sederhananya, aku ingin mendirikan sekolah intelijen. Kalau merekrut mereka, mereka masih akan memiliki doktrin sekolah sebelumnya. Ke depannya, hal ini akan membuat internal lebih mudah pecah, seperti sekarang. Oleh karena itu, setidaknya, sekarang kita akan merekrut mereka sebelum doktrin merasuk ke jiwa mereka."

Orang pasti bilang aku adalah penyebab perpecahan yang terjadi sekarang. Namun, sebenarnya, aku hanyalah pemicu. Potensi perpecahan telah ada bahkan sebelum aku datang.

"Kamu bilang sederhananya, tapi kan tidak semudah itu, Fergusso. Ah! Ini dia!"

Akhirnya Shu En menemukan print out daftar yang dicari. Dia pun memberikannya padaku sementara yang lain kembali memeriksa dokumen.

"Heh, banyak juga. Ada sembilan orang yang tidak melayangkan protes."

Kalau orang normal melihat angka ini, mereka pasti akan bilang ini angka yang amat sangat sedikit. Bahkan, angka ini tidak sampai satu per seribu. Sebenarnya, ada kemungkinan orang lain yang ingin diam saja, menerima. Namun, mungkin, mereka mendapat tekanan dari rekan mereka.

Alasan kenapa aku bilang besar karena aku memperkirakan mungkin hanya ada dua atau tiga orang yang tidak protes. Orang-orang yang direkrut oleh keluarga Azzaha adalah bangsawan dan siswa sekolah kesatria.

Relasi dan komunikasi adalah hal yang penting bagi sekolah kesatria dan bangsawan. Kalau sampai ketahuan mereka tidak protes, maka relasinya dengan bangsawan yang lain akan menjadi buruk. Kalau hal ini terjadi, kehidupan orang-orang ini pun akan menjadi sulit ke depannya.

Di lain pihak, bisa saja orang-orang ini hanya pura-pura. Ada kemungkinan mereka pura-pura. Lalu, setelah mendapat kepercayaanku, mereka akan berkhianat. Setelah itu, citra mereka pun akan meroket di mata bangsawan lain.

Ya, sudahlah. Kita lihat saja nanti.

"Shu En, aku ingin menemui orang-orang ini. Suruh mereka menemuiku.... bagaimana kalau besok kamis? Tiga hari lagi."

"Oke...."

"Untuk sekarang...."

Aku berdiri dan berjalan ke ujung ruangan, ke tempat peti arsenal terletak. Sebenarnya, aku hanya ingin membawa pisau kecil atau pistol seperti biasa. Namun, karena pagi ini sudah mengambil peti arsenal, ya sudah, aku bawa saja sekalian.

Dari dalam peti, aku mengambil sebuah senapan laras panjang dan menutupnya lagi. Senapan ini bukan senapan anti tank atau magnum sniper rifle, hanya senapan biasa dengan kaliber 7,62 mm.

"Eh? Gin, kamu ngapain?"

Aku tidak menjawab pertanyaan Shu En, hanya mendengung dengan santai dan menuju ke jendela. Ketika sudah sampai, aku menggeser jendela dan menuju balkon. Dengan cepat, aku meletakkan jari di pelatuk dan menekan bagian belakang senapan ke bahu kanan.

Melalui teleskop senapan, aku melihat dua orang yang juga melihat melalui teleskop. Dua orang ini memisahkan pandangan dari teleskop, tampak penasaran.

Tanpa mengatakan apapun, aku melepas dua tembakan dan... Head shot.

"Gin?"

Inanna memanggilku, tapi aku biar aku abaikan dulu.

Orang ketiga muncul. Dia mencoba meraih senapan yang ada di dekat dua orang itu. Sayang sekali, dia tidak berhasil meraihnya. Dalam satu nafas, aku berhasil melubangi mata kanannya.

Tadi, ketika dijemput Shu En dengan mobil, aku mendapati beberapa rumah tampak aneh. Lebih tepatnya, orang di dalamnya aneh. Aku memperhatikan, mereka melihat ke jalan sambil berusaha sembunyi di balik korden. Kalau hanya satu, aku tidak akan penasaran. Namun, karena aku melihatnya beberapa kali, aku menyimpulkan mereka menungguku.

Jadi, baru saja, aku mencoba memastikan beberapa rumah itu. Tidak kuduga, pada salah satu rumah, aku melihat mereka menggunakan teleskop. Di dekat mereka, sebuah senapan sudah siap. Aku mengenal wajah mereka sebagai agen schneider di kota ini. Jadi, tanpa pikir panjang, aku pun langsung melepaskan tembakan.

Sambil melepas pandangan dari teleskop, aku melangkah mundur. Suara tumpul pun terdengar di balkon. Suara tumpul itu berasal dari beton balkon yang dihantam oleh peluru.

Tanpa memedulikan suara-suara yang terus bermunculan, aku kembali ke dalam kantor.

"Oke, jadi–"

Tanpa membiarkanku selesai berbicara, Inanna sudah berlari ke balkon. Semenjak Inanna pergi ke balkon, tidak terdengar lagi suara tumpul antara peluru dengan beton.

Bagi pengendali timah seperti Inanna, dia memiliki keunggulan dalam pertarungan senjata api. Hampir semua peluru yang diproduksi di dunia ini terbuat dari timah. Hanya peluru pesanan khusus yang tidak terbuat dari timah. Dia dapat menghentikan semua peluru yang datang dan mengembalikannya.

Tapi, perempuan ini, hah..... aku hanya menghela nafas. Ya, sekalian lah. Aku ingin mencoba sesuatu.

"Inanna,"

"Hauhh...."

Suara yang lemah lembut terdengar dari bibir Inanna. Sosok yang sebelumnya berdiri gagah itu kini langsung membungkuk, berusaha meringkuk.

Hmm, kenyal dan lembut sekali.

"Gin, tolong tidak di depan umum."

Inanna menoleh ke arahku dengan perlahan. Wajahnya benar-benar merah merona. Nafasnya pun tersengal-sengal.

Tunggu, aku hanya meremas dadanya, kenapa dia tampak sangat terangsang? Oke, oke. Aku, tahan dulu! Aku, tahan dulu!

Aku terus mencoba meyakinkan diri ini agar tidak berlaku lebih jauh, menekan libido yang berusaha menguasai tubuhku.

"Maaf, aku terpaksa. Aku belum tahu cara untuk mengembalikanmu dari mode bertarung. Namun, aku harus langsung menarikmu. Bagaimana kalau mereka sudah menyelidiki latar belakangmu dan menyiapkan peluru khusus yang tidak terbuat dari timah? Kemungkinan itu sangat besar. Kamu beruntung sekali mereka belum melakukannya."

"Ma, maaf."

Aku berusaha menekan libidoku dengan sedikit kemarahan. Maaf ya Inanna, aku terpaksa sedikit meninggikan nadaku. Kalau tidak, aku akan kesulitan melanjutkan hari.

Di lain pihak, terlihat sedikit air mata di ujung kelopak Inanna. Masih merendahkan badan, aku berusaha menarik Inanna kembali ke ruangan.

"Shu En–"

"Aku sudah menyuruh orang untuk segera memeriksa sekitar," Sela Shu En sambil dengan handphone di tangannya.

Ibu-ibu ini gerak cepat, ya.

Aku kembali duduk di kursi dan meletakkan senapan di atas meja. Di lain pihak, Inanna berjalan menuju sofa.

Aku melihat wajah Inanna masih merona. Nafasnya sudah terlihat normal, tapi masih sedikit tersengal. Sesekali, dia melempar pandang padaku. Namun, entah kenapa, dia langsung mengalihkan matanya ketika pandangan kami bertemu.

Sial! Reaksi perempuan ini benar-benar menggoda libidoku. Aku harus segera membawa topik baru. Topik yang serius agar aku bisa menekan libido di tubuh ini.

"Oke, jadi, biar aku simpulkan keadaanku, atau keadaan kita, saat ini." Aku menekan nada bicara. "Berkat surat edaran itu, secara tidak langsung, aku sudah menyatakan perang dengan mereka. Perang ini tidak terbatas aku melawan mereka, tapi mencakup agen schneider yang mendukungku dan melawanku. Dan, tentu saja, pembunuhan adalah hal normal, kan? Jadi, aku sarankan kalian siaga. Amankan diri dan keluarga kalian."

"BAIK!"

Shu En menjawabku dengan semangat berkobar. Namun, setelah itu, dia terdiam. Dia melihat ke sekitar, ke orang-orang yang masih melihat-lihat dokumen. Orang-orang itu tampak acuh tak acuh dengan pernyataanku.

Hanya Emir dan Inanna yang tidak melihat dokumen. Entah sejak kapan, mereka sudah memisahkan diri dan ngobrol di pojok ruangan. Um, Emir, Inanna, apa yang kalian bicarakan?

"Um, kok, semuanya tidak ada respon?"

"Tanpa perlu Ka–Lugalgin mengatakannya, kami sudah tahu. Dan lagi, kami tidak memiliki keluarga. Jadi, kami hanya perlu menjaga diri."

Mari adalah orang pertama yang merespon Shu En. Dia menjawab Shu En dengan mata masih melekat di dokumen.

"Ah, begitu ya. Maaf..." Shu En menurunkan pandangan.

Alasan Shu En meminta maaf adalah karena dia merasa tidak enak dengan ucapan Mari. Ucapan Mari jelas-jelas menyatakan kalau saat ini Mari dan yang lain adalah sebatang kara, tanpa keluarga.

"Tidak apa-apa. Santai saja. Aku sudah menganggap tiga orang bodoh ini keluargaku kok. Ka– Lugalgin, Emir, dan Inanna juga sudah aku anggap sebagai keluarga."

Di lain pihak, Mari menjawab dengan enteng.

Mari, kalau kamu mau memanggilku dengan sebutan Kakak, aku sama sekali tidak keberatan. Entah kenapa, aku merasa kasihan setiap mendengarnya memperbaiki panggilanku.

"Shu En, kamu tidak perlu mengkhawatirkan keluargaku. Kamu hanya perlu mengkhawatirkan dirimu dan keluargamu. Dan tolong kabari orang-orang yang sudah menyatakan kesetiaan padaku."

"Oke,"

Berbeda dari sebelumnya, tidak terlihat lagi sisa-sisa jawaban Shu En yang bergelora. Sekarang, dia menjawab dengan nada normal.

Di lain pihak, aku justru penasaran dengan Emir dan Inanna yang mengobrol, dengan suara pelan, di ujung ruangan. Ya, aku benar-benar penasaran. Atau mungkin, lebih tepatnya, khawatir.

Bersambung

avataravatar
Next chapter