63 Arc 3-2 Ch 15 - Membangkitkan Pengendalian

"Kenapa kamu memiliknya, Gin? Dan, kenapa kamu meletakkannya di dalam peti arsenal?"

"Rahasia," aku menjawab Mulisu dengan sebuah senyum.

Meskipun aku menjawab Mulisu dengan nada enteng, aku berani menjamin pikirannya sudah merambah semua tempat. Bahkan, pertanyaannya memberi indikasi kalau dia sudah mulai menduga kenapa aku memiliki serum pembangkit ini.

"Ibla, tolong beberapa sabuk. Ikat kepala, dada, bahu, perut, dan pangkal paha Mulisu. Tambah juga sumpal mulut. Lepaskan infus di tangannya dan ganti dengan perban dan kapas."

"Hah?"

"Siap!"

Sementara Mulisu masih bingung, Ibla melaksanakan perintahku dengan cepat.

Untuk yang lain....

"Selain aku dan Ibla, segera tinggalkan ruangan ini!"

Meski baru datang, Inanna dan Emir menurut dan berjalan menuju luar ruangan. Di lain pihak, Illuvia protes.

"Tunggu dulu! Apa yang akan kamu lakukan, Gin?"

"Kamu tidak perlu tahu. Cepat keluar!"

Aku menjawab Illuvia dengan kasar. Bahkan, aku menepuk bahu kirinya, membuatnya merintih kesakitan.

"Nerva, bawa dia keluar sebelum aku berbuat lebih kasar."

"Ba, baik..."

Nerva langsung membawa Illuvia yang merintih kesakitan. Dia hanya melempar pandangan ke arahku untuk sejenak.

Ibla menutup pintu. Kini, yang ada di dalam ruangan ini hanya kami bertiga.

"Kenapa kamu berlaku kasar pada Illuvia?"

"Menurutmu?"

Mulisu hanya tertawa kecil setelah mendengar jawabanku.

Aku tidak akan mengatakannya, tapi aku berhutang pada Illuvia, seperti aku berhutang pada Arde dan Maila. Mereka memberi masa SMA ku ingatan yang indah, tidak seperti sebelum-sebelumnya. Aku bersyukur karena masih bisa merasakan yang disebut sebagai 'masa muda'.

Kalau Illuvia terus menaruh hati padaku, dia akan terlibat pada perang mafia yang akan terjadi antar enam pilar dan intelijen negara. Yang akan terseret bukan hanya dia, tapi juga keluarganya, dan juga dua teman baiknya yang adalah Arde dan Maila. Setidaknya, dengan dia menjauh dariku, kemungkinan untuk dia terlibat di perang ini akan lebih kecil.

Dan, alasan lain adalah, aku tidak mau menambah istri. Praktik poligami adalah hal yang lumrah di Mariander dan Bana'an. Bahkan, kalau aku mau, aku bisa memiliki istri lebih banyak dari Fahren. Tidak ada yang melarangnya. Namun, aku rasa, mentalku tidak akan bisa menanganinya. Emir dan Inanna sudah lebih dari cukup bagiku.

Akhirnya, Mulisu sudah terikat dengan rapat di ranjang pasien. Kalau kakinya tidak lumpuh dan kemampuan motorik tangannya berkurang drastis, Ibla sudah aku suruh mengikatnya juga.

"Kamu tidak menanyakan kenapa aku tampak terburu-buru?"

"Jadi, kenapa?"

Dan dia baru menanyakannya.

"Kasus orang dewasa kehilangan pengendalian sangat langka. Serum pembangkit pun tidak memberi jaminan. Beberapa gagal dibangkitkan, beberapa berhasil."

"Jadi, ada kemungkinan serum itu tidak akan berfungsi?"

"Ya. Untuk menekan kemungkinan gagal, tampaknya, serum ini harus diberikan ketika kondisi orang itu belum prima atau sakit. Dengan kata lain, obat ini hanya akan bekerja kalau aku memberinya padamu ketika kamu lemah. Semakin dekat dengan kematian, persentase keberhasilan akan meningkat."

Hasil penelitian yang kubaca menyatakan semakin lemah tubuh seseorang, semakin mudah tubuh orang itu menerima efek benda asing. Dalam hal ini, serum pembangkit adalah benda asing. Kalau tubuh orang itu sudah sehat, antibodinya akan menangkal serum ini.

"Hooh, jadi kalau kamu memberinya padaku kemarin, kemungkinan berhasilnya masih sangat tinggi ya?"

"Iya, benar," aku mengonfirmasi ucapan Mulisu. "Saat aku datang, sebenarnya aku berharap kamu masih belum sadarkan diri. Dengan demikian, persentase keberhasilan masih cukup tinggi. Karena kamu sudah sadarkan diri, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi atau kamu akan sehat duluan."

"Lalu, kenapa aku diikat seperti ini?"

"Menurut hasil penelitian, kamu akan merasakan rasa sakit yang amat sangat. Jadi, kami harus mengikat tubuhmu agar kamu tidak melukai dirimu sendiri. Semakin sehat, rasa sakitnya akan semakin tinggi karena penolakan dari tubuh."

Aku penasaran, apakah rasa sakit yang mereka rasakan sama dengan rasa sakit yang kuterima?

"Ini Gin."

Ibla memberiku sebuah kotak. Aku membuka kotak ini dan melihat sebuah kayu yang di ujungnya terpasang tali. Benda ini adalah kayu yang biasa digunakan untuk menyumpal mulut.

"Kamu tidak ada yang terbuat dari besi dilapisi kain tebal? Kalau kayu, ada kemungkinan Mulisu akan menghancurkannya. Pecahan kayu bisa melukai mulut atau tenggorokannya. Kalau masuk ke tenggorokan, bisa membunuhnya."

"Sayangnya tidak ada. Penyumpal mulut yang aku miliki hanya untuk penyiksaan."

Oke. Kita tidak bisa menggunakannya. Aku melempar kotak ini dan membiarkan Ibla menangkapnya.

"Kalau hanya kain, masih kurang. Kamu bisa melukai bibirmu. Darah yang masuk ke tenggorokan bisa mencegahmu bernafas, menewaskanmu. Jadi..."

Aku berdiri di belakang kasur, di atas kepala Mulisu.

"Mulisu, tolong buka mulutmu,"

Mulisu membuka mulut.

Aku meletakkan tangan kiri, yang berlapis jaket kulit, di mulut Mulisu. Di tangan kananku, sebuah syringe sudah siap. Namun, syringe itu diambil oleh Ibla.

"Biar, aku yang melakukannya. Aku merasa bertanggung jawab karena tidak segera melaporkan ini padamu."

Aku tersenyum, "baiklah. Tolong ya Ibla."

Ibla pun bersiap di kanan kami dengan syringe.

"Mulisu, ini akan sangat menyakitkan. Tolong tahan ya."

"Mmm, mmm mmm."

Aku tidak tahu dia mengatakan apa. Mungkin dia ingin berkata "baik, tenang saja,".

Setelah kami bertukar pandangan untuk sejenak, Ibla menusukkan syringe itu ke leher kanan Mulisu. Perlahan-lahan, aku melihat serum berwarna perak itu berkurang. Dalam waktu beberapa detik, semua serum di dalam syringe itu pun habis.

Beberapa saat berlalu, aku masih menekan tanganku di mulut.

"Mmm?"

Mulisu mengeluarkan suara sejenak. Dia tampak bertanya-tanya. Namun, baru dia mengeluarkan respon seperti itu, sebuah suara sudah terdengar.

"NNGGGGG!!!!!"

Mulisu berteriak sekeras mungkin. Namun, aku terus menekan tanganku di mulut Mulisu. Bukan hanya di mulut Mulisu, aku mencoba menahan kepala Mulisu agar dia tidak bergerak meskipun sudah diikat ke ranjang. Kalau dia bergerak secara liar, lehernya bisa patah.

Seluruh ranjang bergetar hebat. Badan dan pinggang Mulisu yang masih normal pun bergerak liar, meronta. Bahkan, sabuk yang mengikat Mulisu tampak mulai melar.

"IBLA! TAHAN TUBUH MULISU!"

"BAIK!"

Ibla mengikuti ucapanku dan menahan tubuh Mulisu.

Entah beruntung atau apa, karena kaki dan tangan Mulisu tidak bisa bergerak, kami berdua sudah cukup untuk menahannya. Kalau tidak, mungkin akan butuh empat orang lain untuk menahannya.

Karena aku mengenakan jaket kulit, tidak terlihat perubahan warna. Namun, darah sudah menetes dari lengan jaket. Bahkan, aku bisa merasakan gigitan Mulisu hingga ke tulang. Aku harap dia tidak mematahkan tulangku.

Mulisu terus mencoba berteriak, tapi tanganku mencegahnya. Matanya terus membelalak, mencoba menahan rasa sakit itu. Air mata mengalir dengan deras dari kedua matanya.

"GIN? ADA APA?"

Tiba-tiba pintu digedor.

"JANGAN MASUK! TETAP DILUAR!"

Aku tidak tahu dan tidak peduli siapa yang mengedor pintu. Aku tidak punya waktu untuk memikirkannya.

Di tengah proses, benda-benda di ruangan ini juga ikut bergetar. Kasur, jendela, alat makan logam, dan lain sebagainya. Bahkan, mungkin, ruangan ini yang memiliki rangka baja juga ikut bergetar. Tampaknya, serum pembangkit memaksa pengendalian Mulisu keluar.

Dari laporan penelitian, harusnya rasa sakit ini hanya terjadi kurang dari satu menit. Dan benar, aku melihat jam dinding belum bergerak. Bahkan, aku melihat detiknya bergerak sangat lambat.

Tik tik tik

Seharusnya, aku tidak mendengar suara jam berdetik di balik suara teriakan Mulisu. Tapi, entah kenapa, suara itu muncul. Saat ini, suara dan pergerakan jarum jam terdengar dan terlihat begitu lambat. Aku terus dan terus menahan Mulisu, sambil melihat ke arah jam.

Akhirnya, waktu satu menit pun berlalu. Aku tidak lagi merasakan gigitan Mulisu di tangan. Benda-benda pun berhenti bergetar.

Mulisu pun berhenti bergerak dengan liar. Baju pasien yang dia kenakan sudah basah kuyup oleh keringat. Bahkan hampir transparan. Namun, dia masih berusaha mengejar nafasnya dengan tersengal-sengal.

Aku menyingkirkan tanganku agar dia bisa bernafas lebih mudah. Bukan hanya Mulisu yang mengejar nafas, aku juga sama. Pakaianku pun juga basah kuyup oleh keringat. Padahal, aku hanya menahan kepala dan mulut Mulisu. Aku tidak menyangka akan selelah ini. Aku tidak yakin apakah aku lelah fisik, atau mental, atau keduanya.

"Ibla, tolong kamu ambilkan tembaga. Kita harus segera mengecek apakah serum ini berhasil atau tidak."

"Ti, tidak perlu," Mulisu menyela. "Aku... bisa... aluminium."

Mungkin Mulisu ingin mengatakan "aku juga bisa mengendalikan aluminium". Meski aluminium bukan pengendalian utamanya, selama Mulisu sudah memelajarinya, dia pasti bisa melakukannya.

Aluminium di ruangan ini adalah.... banyak. Ada sendok, garpu, rangka jendela, tiang infus, dan lainnya. Kalau begitu, aku tidak perlu mencari lagi.

Mulisu menoleh ke kanan, ke tiang infus. Tanpa pemberitahuan apapun, tiang itu melayang.

"Kekuatan....ku.... kembali."

Setelahnya, tiang infus tersebut langsung terjatuh dengan suara keras.

Aku melihat ke wajah Mulisu dari atasnya. Dia masih bernafas, hanya menutup matanya. Entah dia tidak sadarkan diri, atau pingsan, atau hanya tertidur setelah melewati satu menit rasa sakit itu. Namun, melihat wajahnya yang tersenyum, aku berani bertaruh dia hanya tidur.

"Gin, boleh aku bertanya?"

"Ya?"

"Kenapa kamu menyuruh yang lain keluar? Padahal, kalau ada mereka, kita berdua tidak akan terlalu kerepotan menahan tubuh Mulisu."

"Ibla, jangan lupa kalau Mulisu adalah orang terkuat di Agade. Apa menurutmu kita bisa menunjukkan pemandangan ini, dimana Mulisu sedang lemah, pada orang lain?"

Aku tersenyum sambil menyeka air mata di pipi Mulisu. Aku harus memastikan tidak ada bekas air mata di wajahnya.

"Sekarang, kamu boleh membiarkan mereka masuk."

Aku melepas jaket dan menggulung lengan baju. Bagian bawah tangan kiriku sudah agak bengkak. Darah pun mengalir dengan cukup deras. Aku melihat ke lengan jaket. Dan, benar saja, bagian yang digigit Mulisu sudah robek, bahkan hampir terlepas.

Aku mencoba memegang tangan kiri dan merasakan rasa sakit yang menjalar. Namun, aku masih bisa menggerakkan tanganku. Skenario paling buruk, retak. Skenario paling baik, hanya memar. Yang jelas, sudah terjadi pendarahan.

"GIN!"

Emir dan Inanna langsung menghampiriku. Mereka melihat tangan kiriku dengan wajah yang tertekuk.

Di lain pihak, Illuvia hanya melihat ke arah Mulisu. Dia pasti ingin berteriak dan mencaci makiku. Namun, tampaknya dia terdiam karena melihat Mulisu yang tertidur dengan senyum dan tanganku yang mengeluarkan darah.

"Tidak usah perhatikan tanganku. Yang penting pengendalian Mulisu sudah kembali."

"EH?"

Ekspresi Emir dan Inanna berubah drastis ketika mendengar ucapanku.

"Ibla, segera minta seseorang untuk mengganti perban di tangan Mulisu dan pasang kembali infusnya. Aku ingin kamu mengantarku ke kota."

Aku berjalan meninggalkan ruangan ini dengan diikuti Emir, Inanna, dan Ibla. Tanpa aku mengatakan apapun, Inanna sudah mengambil jaketku yang tergeletak di lantai.

"Gin, kamu mau masuk kerja?" Emir bertanya.

"Bagaimana kalau kamu istirahat dulu, gin? Tanganmu butuh dirawat. Dan lagi, pakaianmu sudah basah kuyup oleh keringat, kan?"

Inanna memeriksa seluruh tubuhku yang tidak mengenakan jaket. Di balik kemejaku, masih ada satu lapis kaos. Namun, tampaknya, kaos ini tidak mampu menahan keringatku agar tidak menyentuh kemeja.

"Tidak apa," aku menjawab singkat. "Inanna, tolong ambilkan handphoneku di dalam jaket."

"Tapi Gin...."

Meski Inanna tampak ingin protes, dia masih memberikan handphoneku.

Dengan handphone ini, aku membuat panggilan.

"Halo, Shu En, aku ingin kamu menyiapkan perawatan untukku di kantor."

[Hah? Perawatan? Ada apa? Kok tiba-tiba sekali?]

"Karena agen schneider dan intelijen negara tidak akan dirawat di fasilitas publik, anggap aku ingin melihat perawatan yang akan didapat."

[Ah.... baiklah?]

"Bagus. Jemput aku di taman dekat rumahku dalam waktu 30 menit."

***

Aku memasukkan handphone yang baru saja menerima telepon dari Lugalgin. Saat ini aku, Ur, Mari, Simurrum, dan Uru'a sedang memilah-milah dokumen. Kami mencoba mencari siswa SMA atau SMP yang mungkin berpotensi menjadi agen schneider. Menurut Lugalgin, memulai pendidikan mata-mata setelah mereka lulus pendidikan setingkat SMA kurang efektif.

Pribadi, aku tidak menginginkan anak kecil untuk terjun ke dunia mata-mata. Saat aku menyebutkan hal itu pada Lugalgin, dia mempertanyakan tentang sekolah kesatria dan sekolah militer yang pendidikannya dimulai sejak umur SMP. Ucapannya membuatku terdiam.

"Siapa itu?"

Ur, laki-laki pendek berambut hitam, bertanya padaku. Aku selalu ingin bertanya nama keluarga Ur, tapi Lugalgin melarangku. Kalau dari peringatan Lugalgin, aku memperkirakan Ur sudah dibuang oleh keluarganya, mungkin setelah kalah dalam perebutan warisan.

"Lugalgin," aku menjawab. "Dia bilang ingin melihat perawatan non publik yang akan didapatkan oleh agen schneider."

"Ka–Lugalgin mengatakan itu? Apa dia terluka?"

"Entahlah, aku tidak yakin. Bisa saja dia hanya membawa orang lain yang terluka, atau mungkin hanya ingin melihat-lihat."

"Ah, untunglah."

Entah berapa kali Mari membenarkan panggilannya pada Lugalgin. Perempuan pendek ini selalu hampir memanggil Lugalgin dengan kak atau kakak. Aku rasa, tidak akan ada yang keberatan kalau kamu memanggil Lugalgin dengan Kak.

"Ngomong-ngomong, kenapa dia meneleponku? Kenapa bukan kalian?"

"Lugalgin tidak tahu kalau hari ini kami di sini."

"Hari ini, kami mengatakan pada Ibla, yang mungkin dilanjutkan pada Lugalgin, kalau kami pulang."

Simurrum dan Uru'a saling melanjutkan kalimat. Mereka seperti partner saja.

"Kalian lanjutkan pencariannya ya. Aku mau mengurus permintaan Lugalgin."

"Oke!"

Mereka berempat menjawabku bersamaan sementara aku pergi meninggalkan ruangan.

Sebelumnya, aku hanya bisa berbicara akrab dengan Mulisu. Namun, setelah melalui beberapa hari bersama, aku mendapati mereka berempat mudah diajak berbicara. Bahkan, Simurrum dan Uru'a yang tampilannya seperti berandal jalanan adalah orang yang mudah diajak berbicara.

Namun, aku masih belum tahu asal mereka semua. Ketika aku bertanya pada Mulisu, dia hanya menjawab, "Anggap saja kami kenalan Lugalgin di pasar gelap. Dan, mereka berhutang nyawa pada Lugalgin,".

Sejauh yang aku periksa, Lugalgin hanya aktif di pasar gelap sebagai penjual barang antik. Tidak ada info lain. Namun, aku melihat nama Lugalgin sebagai satu orang yang dekat dengan salah satu perempuan yang dijual oleh keluarga Cleinhad.

Aku kekurangan data, tapi instingku mengatakan dia memiliki hubungan dengan pembantaian keluarga Cleinhad. Mungkin dia meminta bantuan keluarga Alhold atau membayar mercenary untuk melakukannya. Entahlah, aku tidak yakin.

Namun, aku bisa bilang kalau dia tidak lemah. Dia mampu menyelamatkan Selir Filial tanpa luka parah. Dia, sendirian, melawan puluhan orang di gedung itu. Dia sama sekali tidak lemah.

Aku sangat penasaran dengan Lugalgin. Namun, instingku mengatakan lebih baik aku tidak mencari informasi lebih jauh. Oleh karena itu, aku menanti hingga Lugalgin menceritakannya padaku secara langsung. Ya, aku hanya bisa berharap.

Untuk sekarang, aku hanya perlu menyiapkan perawatan yang dia minta.

Bersambung

avataravatar
Next chapter