62 Arc 3-2 Ch 14 - Keraguan Illuvia

"Untuk keluarga Alhold, aku berharap ayah saja yang mengurus mereka."

"Hah? Aku?"

Ayah tampak sedikit terkejut dengan ucapanku. Menurutku, seharusnya, ini sudah cukup jelas. Apa ayah pura-pura tidak tahu karena ingin mendengar alasanku secara gamblang? Bisa jadi.

"Aku tidak memiliki ingatan indah kalau berkaitan dengan keluarga Alhold. Ketika Om Ian menyerangku beberapa bulan lalu, saat kakek tua itu ingin bertemu, aku mengirim Om Ian ke rumah sakit. Kalau aku mau, saat itu, aku sudah menancapkan pisauku ke kepala Om Ian. Apa ayah menginginkan hal itu."

"Ah, iya juga ya..." Ayah menyetujui ucapanku. "Meski aku tidak bisa membenarkan perlakuan mereka padamu, aku juga tidak bisa menyisihkan mereka begitu saja. Bagaimanapun, mereka masih keluargaku."

"Kalau begitu, semangat ya, Ayah. Jangan sampai aku menghancurkan keluarga Alhold hanya karena ayah tidak bisa mengurus mereka."

"Kalau kamu memang terpaksa menghancurkan keluarga Alhold, ibu tidak akan melarangmu kok Gin. Bahkan, ibu akan dengan senang hati membantumu."

"Ah, Gin, tolong bersabar dulu ya."

Berbeda dengan ayah yang mencoba netral, ibu jelas-jelas berada di pihakku. Sejak keluarga besar memperlakukanku dengan buruk, perlakuan ibu pada mereka juga ikut dingin. Tidak terhitung berapa kali ibu berkonfrontasi dengan keluarga Alhold, mulai dari lempar caci maki sampai berhadapan di bidang pekerjaan.

Ada momen ketika tanganku patah gara-gara perbuatan salah satu anggota keluarga. Hal ini membuat ibu kesal dan dari yang kudengar, di pasar gelap, Akadia merebut semua pekerjaan yang akan didapatkan oleh perusahaan itu, membuatnya bangkrut.

"Ngomong-ngomong bu,"

"Ya, sayang?"

"Seberapa aktif keluarga Alhold di pasar gelap?"

"Dulu mereka sempat aktif, bahkan mencapai tingkat enam pilar. Namun, ketika Akadia naik, mereka turun. Meski mereka menyerang kami, mereka gagal. Ya, itu semua terjadi sebelum kamu terjun ke pasar gelap sih. Dan, sejak saat itu, perlahan-lahan transaksi mereka berkurang. Akhirnya, organisasi mereka dihancurkan oleh mercenary."

"Mercenary? Siapa?"

"Hah? Kamu tidak ingat? Kan kamu dan gurumu yang menghancurkan mereka."

Benarkah? Aku tidak ingat. Kalau aku tidak ingat, berarti organisasi mereka sudah menjadi sangat kecil. Ah, tunggu dulu.

"Apa nama organisasi itu Amber?"

"Nah, itu, kamu ingat."

Ah, ternyata Amber. Saat itu, aku masih setengah acuh tidak acuh dengan informasi pasar gelap, tidak seperti sekarang. Kalau aku tidak tahu, berarti saat itu yang mencari informasi bukan giliranku, mungkin Mulisu atau Ukin. Aku mengingat Amber karena hal lain.

"Ayah, ibu, apa kalian mengetahui identitas anggota Agade?"

"Ibu tidak tahu pasti, tapi kami sudah bisa mempersempit kemungkinannya dari beberapa orang yang dekat denganmu."

Kalau ibu belum tahu pasti, berarti ibu tidak memiliki akses ke Intelijen Kerajaan. Kalau ibu mendapatkan info mengenai "kenalan" yang kubawa sebagai instruktur, ibu pasti sudah mengetahui kalau mereka adalah anggota Agade.

"Kalau begitu, ayah perlu bekerja lebih keras."

"Hah? Apa maksudmu?" Ayah bertanya.

"Ada orang yang memiliki dendam pada keluarga Alhold jauh lebih besar dariku. Dan, kalau dia ingin membalas dendam, aku akan senantiasa membantunya."

***

Akhir minggu sudah berlalu dan hari senin pun datang. Aneh, tidak ada satu pun anggota Agade yang menghubungiku. Yang menghubungiku malah agen schneider yang menyatakan kalau pesan sudah disampaikan pada semua agen yang aktif maupun sedang cuti.

Pagi ini, sebelum sarapan, aku menelepon Ibla untuk mencari informasi. Saat itu, tampaknya dengan sedikit penyesalan, Ibla menceritakan semua yang terjadi di Sabtu malam. Dia bercerita mengenai Mulisu yang mengubah rencana dan hampir tewas.

Mulisu berhasil kabur dari maut. Namun, sayangnya, dia kehilangan darah terlalu lama, mengalami Hypovolemic Shock. Karena hal ini, jaringan di tangan dan kakinya rusak. Sementara tangan Mulisu mengalami penurunan motorik, yang bisa diperbaiki dengan terapi, kakinya lumpuh total. Selain itu, dokter memperkirakan ada sebagian dari otak Mulisu yang rusak karena kehilangan darah. Jadi, ada kemungkinan pengendalian Mulisu akan hilang, menjadikannya inkompeten.

Ibla sama sekali tidak berani mengabariku karena khawatir aku akan marah. Dia bilang, kalau seandainya Mulisu mundur dan mengikuti perintahku, semua ini tidak akan terjadi.

Kalau Illuvia adalah kenalan Mulisu, aku bisa paham kenapa dia mengubah rencana. Namun, Illuvia adalah temanku. Aku lah yang membuat keputusan untuk meninggalkan Illuvia. Jadi, aku belum bisa paham kenapa Mulisu memutuskan untuk menyelamatkan Illuvia. Mungkin ini berhubungan dengan masa lalu Mulisu. Ya, aku akan menanyakannya lain kali.

Pagi ini, aku pergi ke pelabuhan. Karena butuh cepat, kami mengendarai mobil. Sejak aku pindah, baru satu kali aku menaiki mobil antik model MPV ini, saat awal mengajari Emir cara menyalakan mobil antik. Setelah itu, Emir terkadang keluar mengendarai mobil kalau ada perlu. Lalu, Emir mengajari Inanna. setelah itu, Inanna sering mengendaranya untuk belanja.

Mobil antik tenaga listrik sangat tidak efisien. Isi ulang selama 8 jam hanya bisa untuk jarak 50 Km. Jarak ke pelabuhan sejauh 30 kilometer. Kalau aku menggunakan mobil yang jaraknya lebih dari 25 Km, aku tidak akan bisa pulang. Efisiensi sepeda motor jauh lebih tinggi, lima kali lipat. Isi ulang daya selama 8 jam dapat membawaku hingga 250 Km. Karena itu, aku lebih suka mengendarai sepeda motor.

Namun, untukku, pilihan favorit jatuh pada kendaraan umum. Secara perhitungan ekonomi, kendaraan umum jauh lebih murah. Selain itu, aku bisa mencapai tempat yang jauh sekalipun tanpa perlu mengkhawatirkan kehabisan daya. Yah, semua ini tidak akan menjadi pertimbangan kalau aku bukan inkompeten sih. Namun, tidak ada gunanya juga mempertanyakan hal itu.

Kali ini, Emir yang berada di belakang kemudi. Emir pun melarang Inanna duduk di belakang, jadi, Inanna duduk di depan. Aku duduk di belakang sendiri.

Sebelum ke kantor pelabuhan, kami mampir di gudang karena aku ingin mengambil peti arsenal.

Akhirnya, kami pun tiba di kantor.

"Selamat datang, Pak Lugalgin."

"Kamu bisa mengendarai mobil antik?"

"Ah, maaf saya tidak bisa."

"Apa ada yang bisa?"

"Maaf, tidak bisa."

Ah, repot juga ya. Normalnya, salah satu staf akan memarkirkan kendaraan yang datang, parkir valet. Meski hanya mengajarkan cara menyalakan mobil, tapi akan repot menunjukkannya.

"Ya, sudah Gin," Emir berbicara dari dalam mobil. "Biar aku dan Inanna parkir dulu ke basemen. Kamu langsung saja menemui Mulisu."

"Eh? Aku juga ikut?"

"Iya, aku tidak mau kamu berduaan dengan Lugalgin. Kamu ikut denganku."

"Ehh????"

Sementara Emir menarik Inanna, aku melihat ke staf yang baru datang ini, Ferdinan.

"Ferdinan, kamu ikut mereka. Nanti Emir akan menunjukkan bagaimana menyalakan dan mematikan mobil ini. Kemungkinan, aku akan meninggalkan mobil ini di sini atau mungkin kamu terpaksa mengantarkannya ke rumahku. Ya, kita akan bicarakan itu nanti saja."

"Baik."

Emir pun membawa Inanna dan Ferdinan menuju tempat parkir basemen. Sementara itu, aku pergi ke lantai tiga dengan membawa peti arsenal. Saat mencapai lantai dua, aku berpapasan dengan Ibla. Kami pun berjalan bersama ke lantai tiga.

"Ah, Gin, kamu sudah datang."

"Ya, aku baru datang. Yang lain kemana?"

"Sebagian pulang, sebagian tidur di ruangan mereka masing-masing."

Yang dimaksud ruangan masing-masing adalah ruang kantor dimana nama mereka tercantum. Setiap anggota diposisikan pada satu divisi. Dan pada divisi itu, mereka memiliki ruangan pribadi untuk bekerja atau melakukan hal lainnya.

"Mulisu di ruanganku?"

"Maaf ya. Karena ruangan lain dibutuhkan untuk pekerjaan, kami terpaksa merawat Mulisu di ruanganmu."

Aku sama sekali tidak keberatan. Maksudku, meski kalian mengatakan itu adalah ruanganku, aku baru sekali memasukinya. Bahkan, aku lebih sering berada di ruanganku di Mal, kantor intelijen kerajaan.

"Ngomong-ngomong, kamu kok membawa peti arsenal?"

"Lihat saja nanti."

Akhirnya, kami pun masuk ke ruanganku. Di dalam, terlihat sosok Mulisu dengan rambut tergerai, tidak diikat menjadi dua seperti biasa. Dia hanya mengenakan pakaian pasien berwarna hijau muda. Karena baru dioperasi kemarin Sabtu, jarum infus masih menempel di pergelangan tangan kiri. Dia terbaring di atas kasur.

Di samping kasur, terlihat Illuvia dan Nerva duduk. Saat ini, Nerva sedang menyuapi Mulisu.

Aku tidak terlalu mempermasalahkan soal Illuvia dan Nerva. Aku lebih terkejut Mulisu sudah sadarkan diri. Padahal, menurut Ibla, dia baru lolos dari maut. Bahkan, seharusnya ada sebuah lubang di dadanya yang membuat dokter harus menambal jantung Mulisu.

"Ah, Lugalgin, kamu sudah datang."

"Eh? Lugalgin?"

Sementara Mulisu menyapaku, Illuvia tersentak.

"Ya, aku baru sampai."

Aku berjalan ke sisi lain kasur, ke sebelah kanan Mulisu. Tanpa aku mengatakan apapun, Ibla sudah menyediakan kursi untuk duduk. Aku pun duduk dan meletakkan peti arsenal di lantai.

"Jadi, bagaimana keadaanmu?"

"Ya, tidak bisa bilang baik. Aku tidak bisa merasakan kaki dan tanganku. Jadi, aku tidak bisa bergerak sama sekali. Tanpa bantuan, akan sulit untukku buang air."

Saat berjalan dari pintu ke kursi, aku memperhatikan tangan dan kaki Mulisu. Tangan dan kakinya terlihat tergeletak lemas. Jadi, dia benar-benar setengah lumpuh ya.

"Dan, Lugalgin, maaf."

"Hah?"

"Selain menjadi lumpuh, aku kehilangan pengendalianku. Aku tidak bisa merasakan material apapun. Jadi, tampaknya, aku sudah tidak memiliki peran di Agade maupun di rencanamu. Maafkan aku, Lugalgin."

Ya, aku harus mengakuinya. Kalau Mulisu kehilangan pengendaliannya, hal yang merepotkan akan terjadi. Banyak bagian dari rencanaku yang harus aku ubah. Satu-satunya orang sekaliber Mulisu yang kukenal adalah Ukin. Dan, karena Ukin yang melukai Mulisu, aku ragu dia mau bekerja sama.

"Kalau aku hanya kehilangan pengendalian, dan menjadi inkompeten sepertimu, mungkin aku bisa bekerja keras agar suatu saat bisa menjadi sekuat kamu. Namun, karena tangan dan kakiku pun sudah tidak berfungsi, aku benar-benar tidak bisa melakukan apa pun. Aku hanya akan menjadi beban untukmu dan untuk Agade."

"GIN!" Tiba-tiba saja Illuvia berteriak. "Kalau kamu membutuhkan orang, biar aku yang menggantikan Mulisu. Aku akan menjadi anggota Agade. Aku akan melakukan segalanya. Namun, tolong, jangan kamu telantarkan Mulisu. Aku mohon. Dia sudah mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan kami."

Aku melihat Illuvia baik-baik. Aku bisa melihat tubuhnya yang bergetar ketika berbicara denganku. Tampaknya, aku menjadi sosok yang ditakuti olehnya.

Aku tidak tahu apakah ini disebabkan oleh ucapanku sebelum pergi, beberapa hari lalu, atau ada orang lain yang mengatakan sesuatu padanya. Kalau Ibla dan Mulisu mengatakan rencana awal adalah aku membiarkan Ukin membunuhnya, aku paham. Dan, tidak perlu ditanyakan lagi, dia pasti sudah mendengar kalau aku adalah Sarru.

Selain rasa takut, aku juga melihat dia sedikit mengernyitkan pelipis. Tampaknya dia menahan rasa sakit karena bahunya yang sudah aku hancurkan.

"Illuvia, kamu pikir kamu siapa bisa menggantikan Mulisu?"

"U..."

"Mulisu adalah orang terkuat di Agade, setara denganku. Kamu sudah kalah dariku dalam waktu kurang dari lima menit. Kalau saat itu aku serius, tidak memberimu kesempatan bergerak, aku sudah memisahkan kepalamu dari badan kurang dari satu menit."

Ketika aku mengatakannya, Illuvia langsung memegangi leher. Illuvia tertunduk. Belum lama dia diam, sebuah respon muncul darinya.

"Apakah Lugalgin yang baik hati adalah palsu? Apakah Lugalgin yang kucintai dengan sepenuh hati selama 3 tahun tidak pernah ada? Apakah Lugalgin yang kucintai karena kebaikannya dan kehangatannya dalam berkata tidak pernah ada?"

Illuvia menatapku dengan sepenuh hati. Aku tidak bisa melihat rasa kasih sayang dan kebaikan yang biasanya terpancar dari matanya. Saat ini, tampaknya, hatinya goyah. Mungkin dia belum bisa menerima kalau aku berencana meninggalkannya begitu saja. Mungkin, dia berharap, Ibla dan Mulisu berbohong.

"Sebuah kalimat yang berani mengingat kamu lah penyebab semua ini."

Illuvia terdiam, tidak memberi respon.

Aku melanjutkan, "kalau kamu tidak terjun ke pasar gelap, kita tidak akan pernah berseteru. Dan, kalau kita tidak berseteru, Mulisu tidak perlu melindungimu. Dengan kata lain, kejadian di Sabtu malam disebabkan oleh kecerobohanmu. Apa kamu sadar itu?"

"I, itu..."

"Selama tiga tahun, kamu selalu ceroboh dan berpikiran pendek. Kalau tidak ada aku, Arde, dan Maila, aku yakin kepengurusanmu akan hancur pada semester pertama. Kami bertiga harus memastikan kamu tidak melakukan hal di luar kebutuhan. Kami adalah pengekangmu."

"Lu, Lugalgin..."

"Aku sudah berkali-kali mengatakan ini padamu, kan? Kamu mendengarkan tidak?"

"Tapi... tapi..."

"Illuvia," Mulisu menyela. "Aku tidak tahu hubunganmu dengan Lugalgin di masa lalu. Namun, apa yang akan terjadi padaku adalah hak Lugalgin. Aku tidak menjalankan perintah Lugalgin, maka, normal kalau aku menerima konsekuensinya.

"Tapi," Illuvia masih bersikeras, "Lugalgin yang aku kenal tidak akan meninggalkanmu begitu saja. Tidak! Lugalgin yang aku kenal pasti akan memindahkanku dari rumah sakit itu sebelum dia menyerang. Kalau Lugalgin melakukan itu, kamu tidak akan terluka seperti sekarang."

Aku tidak ingin memberi komentar pada ucapan Illuvia.

Mulisu melanjutkan, "kalau Lugalgin melakukan itu, kami tidak akan pernah tahu siapa sosok yang mendatangimu."

"Tapi... tapi..."

"Nona," Nerva masuk. "Mungkin ini bukan tempat saya. Namun, saya berani mengatakan kalau saya bisa mengetahui sedikit karakteristik orang lain. Dan, karakteristik yang saya lihat adalah Tuan Lugalgin tidak akan membiarkan orang yang penting baginya tersakiti. Maaf kalau saya lancang. Namun, menurut saya, hal ini menunjukkan bahwa di mata tuan Lugalgin, Nona Mulisu lebih penting dari Nona Illuvia."

Illuvia terdiam ketika mendengar ucapan Nerva. Dia kembali menundukkan kepalanya.

"I, itu...."

Heh, aku tidak menduga Nerva akan mengatakan hal itu. Mengingat dia membiarkan Illuvia terjun ke pasar gelap, aku kira dia akan membela Illuvia. Ya, mungkin dia sedikit merasa bersalah. Secara tidak langsung, dia lah yang memberi dukungan untuk Illuvia terjun ke Pasar Gelap.

"Hai Mulisu! Kamu sudah sadar?"

Tiba-tiba saja Emir dan Inanna masuk. Siapa yang baru saja berteriak keras tanpa beban? Tentu saja Emir.

"Huh? Kenapa kok diam semua?"

Terkadang, aku benar-benar iri dengan sifat polosnya itu. Kalau ini adalah komik, dia pasti adalah tokoh utamanya.

Emir dan Inanna pun masuk. Ibla menyiapkan dua kursi untuk mereka duduk di sebelah kananku.

"Mulisu, kamu bilang kamu menjadi inkompeten. Memangnya kamu sudah mencoba serum pembangkit pengendalian? Meskipun amat sangat jarang, tapi ada catatan kasus seperti ini terjadi sebelumnya. Dan, serum pembangkit akan menyelesaikan masalah ini dengan mudah. Ya, meski serum pembangkit ini tidak akan mengembalikan kakimu sih. Untuk tangan, hanya butuh usaha."

Di saat itu, mata Mulisu membelalak. Bukan hanya Mulisu, Illuvia dan Nerva juga sama. Aku yakin Ibla juga melakukan hal yang sama di belakangku. Emir dan Inanna, mereka hanya memiringkan kepala, belum paham.

Ya, aku paham sih kenapa mereka terkejut. Seperti yang kukatakan, kasus orang dewasa kehilangan kekuatan adalah amat sangat jarang, mungkin hanya beberapa. Ditambah, untuk orang-orang yang mampu membangkitkan pengendaliannya secara alami, mereka akan benar-benar melupakan keberadaan serum pembangkit.

Aku mulai mempertanyakan kompetensi dokter yang menangani Mulisu. Namun, kalau aku mempertanyakannya, mungkin dia hanya akan menjawab, "kalian hanya membayarku untuk mencegahnya tewas, kan? Kenapa aku harus memberi tahu hal itu? Kalau kalian mau tahu juga, tentu saja ada harga informasi,". Ya, dokter yang bekerja di pasar gelap rata-rata seperti itu sih.

"Kalau begitu, biar aku segera mencari serum itu."

"Kalau kamu pesan sekarang, lewat jalur belakang, baru enam bulan lagi serum itu akan datang. Kalau jalur resmi, kamu tidak akan bisa mendapatkannya karena serum ini terbatas pada pasien khusus dan anak-anak.

"Dan, serum ini memiliki masa efektif pemakaian satu tahun. Lebih dari satu tahun, serum ini akan kadaluwarsa dan tidak bisa digunakan lagi, membuatnya sangat langka. Jadi, kalau mencari di lelang pasar gelap, harganya tidak karuan. Dulu, aku bahkan harus menjual 10 unit sepeda motor untuk bisa mendapatkannya di lelang pasar gelap."

"Eh?"

Ibla hanya mengaga. Bukan hanya Ibla, yang lain pun juga mengaga.

Aku tidak peduli dengan yang lain, tapi Ibla, kemampuanmu sebagai informan masih kurang kalau kamu tidak mengetahui hal ini. Ya, aku tidak menyalahkanmu sih.

Aku membuka peti arsenal. Di dalam peti, terlihat belasan senjata tajam dan senjata api. Namun, aku tidak melihat ke bagian bawah peti. Yang aku lihat adalah bagian belakang tutup peti ini. Di dalamnya, aku membuka sebuah kotak kecil yang menempel.

Di dalam kotak kecil itu, terdapat empat buah tabung syringe lengkap dengan injector. Aku pun mengambil injector dan satu buah tabung syringe.

"Untuk sekarang, Kita akan menggunakan stok pribadiku."

Bersambung

avataravatar
Next chapter