61 Arc 3-2 Ch 13 - Ibu dan Anak

Tok tok

"Gin, ini ibu. Tolong buka pintunya."

"Ya, Bu. Sebentar."

Aku bangkit dari kursi dan berjalan ke pintu.

Ada apa ibu datang malam-malam begini? Apa ibu mendengar percakapan kami? Tapi aku tidak melihat satu pun benda yang bisa digunakan sebagai penyadap seperti handphone atau mikrofon di dekat ayah. Di lain pihak, ayah hanya diam di atas kursi.

Aku membuka pintu. "Ya, ada apa bu?"

"Mana ayahmu?"

"Itu, ada di balkon."

Aku minggir, memberi jalan untuk ibu yang masuk dengan wajah merah.

Akhirnya, ayah berdiri dan masuk kembali ke kamar.

"Ah, sayang, sebentar, aku belum selesai berbicara dengan Lugalgin. Aku–"

Bug

Tanpa mengatakan apapun, tiba-tiba ibu memukul ulu hati ayah dengan cukup keras. Namun, tidak terlalu keras sehingga ayah masih sadar.

"Sudah aku bilang kalau ngomong yang bener! Kenapa kamu kalau ngomong ga pernah bener? Ga dulu, ga sekarang, sama saja!"

"Tapi, tapi,"

"Kamu bilang apa kemarin? Father and son time? Father and Son time mu membuatku hampir berhadapan langsung dengan putraku! Apa menurutku aku akan diam saja?"

"Maaf, maaf."

"Aku kan sudah bilang jangan aneh-aneh!"

Ibu tidak berhenti sampai situ. Dia bahkan menginjak kepala ayah sambil memutar-mutar kaki.

Sudah lama sekali aku tidak melihat ibu semarah ini.

"Anu, gin,"

Ung?

Aku menoleh ke pintu, dimana Emir berdiri dengan mengenakan piama. Berbeda dengan di rumah, dimana dia hanya mengenakan atasan putih dan celana dalam, kali ini dia mengenakan piama lengan panjang dan celana panjang berwarna merah muda. Di tangannya, dia membawa sebuah kotak berwarna hitam.

"Anu, kami mendengar semua percakapanmu dan om Barun."

Eh? Benarkah? Aku menoleh kembali ke dalam, memelototi setiap sudut kamar, mencari benda apapun yang mungkin bisa menjadi seperti sepiker atau mikrofon.

"Percuma, kamu tidak akan bisa menemukannya Gin. Aku sudah memasangnya di tubuh ayahmu. Apa yang dia dengar, aku dengar. Aku harus jaga-jaga karena dia terkadang salah ngomong seperti yang barusan."

"Hah?"

Bukan hanya aku, Emir pun terkejut dengan pernyataan ibu.

Sementara Ayah terbaring di lantai, ibu mendekat ke arahku. Tanpa memberiku kesempatan untuk menghindar, dia langsung memelukku erat. Sangat erat.

"Maaf, ayahmu salah bicara. Ibu sama sekali tidak ada niat menanyakan itu semua atau bahkan menghadapkan Akadia dengan Agade."

"I, iya ibu, aku paham. Tapi, bagaimana kalau kita masuk dulu? Aku khawatir ada orang lewat. Malu kan nanti."

"Iya, iya. Ayo kita masuk dulu."

Ibu menarikku ke dalam, tanpa melepaskan pelukan. Emir pun ikut masuk dan menutup pintu.

Akhirnya, kami berempat duduk. Ayah dan Emir menarik kursi ke depan kasur sementara aku dan Ibu duduk di atas kasur. Sementara ayah dan Emir duduk normal, ibu masih memelukku dari samping.

"Ah, ibu, bisa tolong duduk normal? Aku malu ini...."

"Tidak, ibu tidak mau kamu salah paham lagi."

"Iya, iya. Aku akan mendengarkan baik-baik penjelasan dari ibu. Tapi, setidaknya, tolong lepaskan aku dulu."

"Janji?"

"Janji."

"Oke lah."

Ibu pun melepaskan pelukannya.

Hahaha, meski aku bisa menentang ayah dengan terbuka, tampaknya jalan untuk aku bisa menentang ibu masih sangat jauh. Atau bahkan, aku tidak akan pernah bisa menentang ibu.

Setelah kupikir-pikir, tanpa kusadari, hubunganku dengan Emir dan Inanna agak mirip dengan ayah dan ibu. Hanya saja, posisinya terbalik. Kalau Emir dan Inanna berada di posisi ayah, dimana mereka selalu menurut, aku berada di posisi ibu sebagai orang yang memimpin dan memerintah.

"Sekarang kembali ke permasalahan utama," Ibu membuka kembali diskusi. "Gin, kami tidak mempermasalahkan kamu yang sudah membersihkan keluarga Cleinhad. Aku bahkan tidak mempermasalahkan ketika kamu melempar semua panti asuhan itu ke perusahaan ibu, kan?"

Yup, ucapan ibu semakin memperkuat pernyataan ayah kalau mereka memang mengetahui segala yang kulakukan.

Kalau tentang kemampuanku, sebenarnya cukup normal kalau mereka tahu. Anggap kemampuanku sudah bangkit semasa balita. Di saat itu, ayah dan ibu pasti masih sering memandikanku. Di saat mengalami kontak denganku, mereka pasti kehilangan pengendaliannya, kan?

Ibu melanjutkan, "kami hanya ingin tahu rencanamu setelah ini apa. Aku ingin memastikan agar Akadia dan Agade tidak saling berseteru."

"Ah, maaf," Emir mengangkat tangan.

"Ya?"

"Hii...." Emir sedikit mundur ketika mendapat respon dari ibu. Namun, dia memberanikan diri. "A, anu, maaf. Aku tidak tahu pokok permasalahannya. Kalau boleh, mungkin bisa sedikit dijelaskan? Apa hubungan antara Tante Yueni dengan Akadia?"

"Hah...." ibu menghela nafas sambil memegang pelipis. "Ini lah alasan kenapa aku lebih menyukai Inanna. Kamu agen schneider, kan? Harusnya kamu sudah bisa menyimpulkannya dari ucapanku."

"Bu, jangan membandingkan Emir dengan Inanna. Mereka berbeda." Aku sedikit membela Emir.

Hingga saat ini, hanya penentangan kecil seperti ini yang bisa kulakukan pada ibu.

"Sederhananya," Aku mencoba menyederhanakan penjelasan. "Akadia, satu dari enam pilar, adalah organisasi yang dimiliki dan dipimpin oleh ibu. Dan ke depannya, karena aku sudah menghidupkan Agade kembali, ibu khawatir kepentingan Agade dan Akadia akan bergesekan, menyebabkan perseteruan."

"Ah....ah....."

"Ya, sederhananya seperti itu. Kamu dengar, Inanna?"

Ibu melihat ke arahku. Tidak. Lebih tepatnya, ibu melihat ke saku bajuku. Padahal, aku sama sekali tidak menyentuh benda di dalam saku ini atau membiarkan layar atau lampunya menyala.

"Bagaimana ibu bisa tahu?"

"Insting perempuan."

....oke, aku tidak akan menanyakannya lebih lanjut.

Aku pun mengeluarkan sebuah handphone dari dalam saku. Handphone ini bukanlah handphone layar sentuh atau smartphone, tapi handphone monokrom sekecil kartu atm dan setebal beberapa mili.

Aku menekan sebuah tombol, mengubah mode handphone menjadi handsfree. "Oke, Inanna, kamu sudah bisa langsung ngomong."

[Maafkan aku, ibu Yueni. Aku juga tidak benar-benar tahu seluk beluk masalahnya ketika Lugalgin tiba-tiba menelepon. Dan, dia juga menelepon melalui ibu, tidak langsung ke aku.]

"Tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, kamu sudah tahu belum kalau Lugalgin sempat mengancam akan menembak adikmu?"

[Ya, ibu sudah menceritakannya. Meski aku ingin sedikit marah, tapi aku tidak mempermasalahkannya lagi karena ibu dan Ninshubur bisa keluar dengan selamat.]

"Kalau kamu mau marah atau menghajarku, aku siap menerimanya saat di rumah."

[Tidak. Aku tidak ada niatan. Bahkan, justru ibu yang memintaku untuk tidak marah dan memaafkanmu.]

Ya, aku tidak pernah benar-benar berusaha menyembunyikan fakta kalau aku sempat mengancam selir Filial. Dan, kalau dia mau marah, tentu saja aku akan menerimanya.

"Eh, kenapa Inanna dihubungi tapi aku tidak?"

"Emir, kamu mirip dengan ayah. Kamu pintar, tapi tidak ahli dalam memilih kata-kata. Jadi, aku berencana hanya akan memberi tahumu nanti setelah semua ini selesai. Aku khawatir kamu akan menimbulkan kesalahpahaman, seperti ayah."

Aku dan ibu melempar pandangan ke ayah, yang membuang pandangan.

Oke, kembali ke masalah utama.

"Jadi, ibu, sebenarnya, rencanaku membangkitkan Agade hanyalah untuk mencari inkompeten lain dan membantu tugasku di Intelijen Kerajaan."

"Untuk mencari inkompeten lain, ibu paham. Untuk membantu tugasmu di intelijen kerajaan, bisa tolong detailnya?"

"Sederhananya," aku menjelaskan. "Aku ingin membuat intelijen kerajaan menjadi pihak yang dianggap di pasar gelap. Dengan demikian, peraturan mengenai kuota transaksi ilegal maksimal setiap bulan dapat diberlakukan kembali."

"Dan, apa yang akan kamu gunakan untuk meyakinkan enam pilar mau menerima aturan itu?"

"Sederhana saja. Pertama, aku akan meningkatkan kekuatan tempur Intelijen Kerajaan. Kedua, aku akan membuat agar intelijen berperan sebagai pengatur dan mediator semua aktivitas di pasar gelap."

"Oke, masih terlihat mudah. Kalau tujuan yang pertama berhasil tercapai, maka tujuan yang kedua bisa tercapai. Apalagi, kalau satu dari enam pilar, yang adalah Agade sudah setuju, tinggal masalah lobi dan negosiasi dengan enam pilar yang lain. Dan, kalau tujuannya itu, aku bisa membuat Akadia bekerja sama juga."

Saat ini, hanya aku dan ibu yang berbicara. Ayah, Emir, dan Inanna terdiam. Mereka tidak berani menyela. Daripada ibu dan anak, saat ini, pembicaraan kami lebih seperti negosiasi antara pemimpin Agade dan pemimpin Akadia. Dan, di dalamnya, posisi Intelijen Kerajaan hanya seperti bagian atau divisi dari Agade.

"Kalau Akadia, yang sebagian besar transaksinya adalah transaksi resmi, jelas tidak akan memiliki masalah. Yang repot adalah organisasi seperti Apollo dan Orion. Sebagian besar transaksi mereka adalah transaksi tidak resmi, ilegal. Oleh karenanya, aku yakin mereka akan menolak hingga titik darah penghabisan."

"Kalau itu terjadi, ibu dan kamu hanya cukup menghancurkan mereka, kan? Dengan sumber daya Akadia, Agade, dan Intelijen Kerajaan, ibu rasa hal itu bukanlah hal yang sulit."

Ya, memang benar sih. Sebelum aku melanjutkan perbincangan dengan ibu lebih jauh, aku menjelaskan mengenai Akadia ke Emir dan Inanna.

Meski Akadia adalah organisasi yang bergerak di pasar gelap, mereka tidak banyak melakukan transaksi ilegal. Yang dilakukan Akadia hanyalah sebatas pengaturan mengenai pekerjaan pembangunan atau pekerjaan lain yang didanai oleh Kerajaan. Terkadang ada pekerjaan lain seperti menyelundupkan atau menjual barang tanpa cukai, tapi jumlahnya tidak seberapa.

Semisal ada proyek pembangunan jalan antar kota, Akadia akan bermain di balik layar untuk menentukan siapa peserta dan pemenang tender. Semua pemimpin perusahaan yang terlibat adalah penanggung jawab langsung di organisasi Akadia.

Kalau dilihat sekilas, Akadia lebih seperti kepada lingkar atau perkumpulan orang-orang yang berpengaruh di perusahaan dan pemerintah. Yang memastikan posisi Akadia sebagai organisasi pasar gelap adalah mereka memiliki personil keamanan. Personil keamanan ini bukanlah orang-orang yang bisa diabaikan. Aku bisa bilang mereka sekuat Agade, atau lebih kuat.

Meski tidak ada bukti tertulis, tapi semua pemimpin perusahaan tahu dan meyakini kalau ibu adalah salah satu pendiri dan supervisor bayangan. Dengan demikian, ibu akan memiliki suara dalam setiap pembuatan keputusan.

Kalau seandainya ada perusahaan yang tidak puas dengan pembagian proyek tanpa alasan yang jelas atau kuat, dan mereka mengancam membelot, perusahaan itu pun akan dihancurkan oleh Akadia, baik secara legal maupun ilegal.

Di saat itu aku terdiam sejenak.

Ibu tersenyum "Hehe, kamu baru menyadarinya ya, Gin?"

"Ya, aku baru menyadarinya. Tidak aku duga akan seperti ini. Apel memang jatuh tidak jauh dari pohonnya."

"Ah, ibu bangga deh!"

Tiba-tiba saja ibu kembali memelukku.

Iya, ibu, aku paham kalau ibu bangga. Bisa tolong lepaskan pelukannya? Aku malu dilihat Emir. Kali ini, tanpa aku perlu mengatakannya, ibu sudah melepaskan pelukan.

"Apa maksud kalian?" Ayah bertanya.

"Biar aku saja, bu,"

Aku menjelaskan mengenai isi pikiranku pada Ayah, Emir, dan Inanna. Sederhananya, apa yang kuinginkan dari Intelijen Kerajaan adalah sama seperti Akadia. Kalau Akadia mengawasi, mengatur, dan membagi pemenangan lelang dan proyek kerajaan, aku ingin Intelijen Kerajaan mengawasi, mengatur, dan membagi transaksi ilegal yang terjadi di pasar gelap.

"Kalau begitu, secara tidak langsung, kita bisa menekan angka kriminalitas, kan?" Emir merespon dengan semangat.

[Emir benar. Secara tidak langsung, hal ini dapat menekan angka kriminalitas. Tapi, itu kalau semuanya lancar.]

"Eh?" Emir sedikit tersentak ketika mendengar respon Inanna.

"Seperti kata Inanna, ini sama sekali tidak mudah," Ayah menambahkan. "Sebelum Intelijen Kerajaan bisa mencapai titik itu, berapa banyak orang yang akan menjadi korban?"

Ucapan ayah benar. Pada dasarnya, nanti ketika aku mendeklarasikan Intelijen Kerajaan sebagai pengawas dan pengatur transaksi, pasar gelap akan terpisah menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah kubu yang tidak keberatan, seperti Akadia dan Agade, dan kubu kedua adalah kubu yang menentang, seperti Apollo dan Orion.

Di antara dua kubu tersebut, perang gangster tidak akan terhindarkan. Dan, tentu saja, collateral damage atau kerusakan tambahan akan terjadi. Kerusakan tambahan yang aku maksud tentu saja adalah orang normal yang tidak terlibat dalam pasar gelap.

Anggap serangan Agade pada Apollo beberapa hari lalu terjadi di kota, tidak terhitung berapa banyak rumah dan orang yang akan terseret. Dan, saat itu, kami hanya menyerang orang-orang bawah Apollo sehingga pertarungan terlihat berat sebelah. Kalau Apollo berencana menurunkan orang-orang terbaiknya, kerusakan yang terjadi karena pertarungan Apollo dan Agade akan semakin parah.

"Hah, seandainya saja mafia di kerajaan ini menganut kebijakan yang mewajibkan semua perselisihan diatasi oleh mercenary, maka perang gangster bisa dihindari."

"Kalau itu terjadi, maka kerajaan ini akan menjadi surga untuk mercenary. Mengatur mercenary akan jauh lebih merepotkan daripada mengatur organisasi."

"Ya, kamu benar juga sih Gin." Tiba-tiba saja ibu mengatakan hal yang di luar topik. "Oke, kembali ke topik. Jadi, dengan begini, Agade tidak akan menyerang Akadia, kan?"

"Selama Akadia tidak menarik ucapannya, maka ya, Agade tidak akan menyerang Akadia."

Setelah aku mengatakan itu, ibu menghembuskan nafas panjang. Tampaknya dia lega karena tidak perlu berseteru denganku. Bukan hanya ibu, aku juga lega karena tidak perlu berseteru dengannya.

"Lalu, ucapanmu mengenai membasmi semua kriminalitas termasuk Akadia itu?"

"Aku hanya mencoba memenuhi komplain ayah."

"Tidak, ayahmu tidak komplain. Iya, kan?" Ibu melirik ke ayah.

"I, iya, ayah tidak komplain."

Ayah benar-benar tunduk pada ibu. Aku tidak mengatakan hubungan ayah dan ibu adalah hubungan yang normal dan umum di kerajaan ini. Salah satu hal yang membuat perempuan memiliki kekuatan lebih, di kerajaan ini, adalah perempuan memiliki hak untuk menolak negosiasi sedangkan laki-laki tidak.

Syarat itu hanya berlaku untuk orang yang sudah menikah. Jadi, di masa depan ketika aku sudah menikah, kalau ada bangsawan datang ke rumahku, yang memiliki hak untuk menolak dan bernegosiasi adalah Emir dan Inanna, bukan aku.

Untuk keluarga yang memang perempuannya memegang kuasa, seperti ibu dan ayah, kebudayaan ini sangat membantu. Namun, kebudayaan ini tidak membantuku di masa depan dimana otak keluarga adalah aku, bukan Emir atau Inanna.

Tampaknya aku harus mengagendakan untuk mendidik Emir dan Inanna dalam hal negosiasi dan sebagainya.

"Oke, jadi, masalah pasar gelap sudah selesai. Lugalgin, apa yang akan kamu lakukan mengenai Kerajaan ini, Mariander, dan juga keluarga Alhold?"

Ah, aku sedang tidak ingin memikirkan beberapa hal itu. Kenapa ibu harus membawanya sih?

Aku hanya terdiam sambil memegangi kepala.

"Oya, putra ibu kok tiba-tiba begini. Kamu tidak seperti Sarru yang terkenal selalu memikirkan dan merencanakan segalanya."

"Sayangnya, Sarru belum berusia 20 tahun. Hah...." Aku hanya bisa menghela nafas sambil menjelaskan semua progres. "Untuk Kerajaan ini, aku akan memikirkannya setelah Intelijen sudah mencapai tujuan. Untuk Mariander, aku baru bisa mengetahui progresnya bulan depan. Untuk Keluarga Alhold–"

[Eh? Apa maksudmu dengan progres Mariander?]

"Inanna, maaf, aku berencana akan menjelaskannya padamu bulan depan, sekalian saat aku mendengar laporan progres dari yang bersangkutan. Sementara ini, tolong bersabar ya."

[....]

Inanna tidak memberi respon. Aku paham kekhawatirannya, tapi aku tidak mau memberi penjelasan untuk saat ini karena informasi yang kuterima masih belum penuh.

"Untuk keluarga Alhold...."

Bersambung

avataravatar
Next chapter