58 Arc 3-2 Ch 10 - Penolakan

"Bisa tolong kartu identitas?"

"Kami semua atau cukup satu?"

"Cukup satu saja."

"Kalau begitu kartu identitasku saja." Ucapku sambil menyodorkan kartu identitas.

Resepsionis itu mengetik namaku dengan cepat. Setelah selesai, aku diberi sebuah kartu dengan nomor sebagai ganti kartu identitas.

"Kartu identitas Anda akan dikembalikan nanti setelah Anda mengembalikan kartu ini. Untuk ruangan nona Illuvia, Anda cukup menggunakan lift hingga ke lantai lima lalu ke kiri. Di kanan lorong, Anda akan menemui kamar nomor 504."

"Terima kasih,"

Aku memasukkan kartu bernomor itu ke saku jaket dan berjalan ke kiri, menuju lift. Bersama denganku, Emir dan Inanna juga menjenguk. Kalau datang seorang diri, aku khawatir akan memberi harapan palsu pada Illuvia. Oleh karena itu, aku mengajak Emir dan Inanna yang adalah calon istriku. Aku tidak peduli meskipun dia akan kecewa karena aku tidak sendirian.

Karena aku sudah mengenakan sarung tangan kulit, aku bisa menekan tombol lift tanpa khawatir mematikan fungsinya.

Kami bertiga pun masuk ke dalam lift. Di dalam lift, Inanna terus memperhatikanku, hingga akhirnya dia pun mengeluarkan pertanyaan.

"Kamu tahu, gin. Aku hampir tidak pernah memperhatikan, tapi kamu hampir selalu mengenakan sarung tangan, ya? Tapi, tidak selalu."

"Lalu?"

"Bagaimana kamu memutuskan kapan harus memakai sarung tangan?"

Aku jadi ingat pada pertanyaan Emir. Beberapa hari setelah Emir tinggal satu atap denganku, dia juga menanyakan hal yang sama. Maka, kali ini, aku juga akan memberi jawaban yang sama.

"Normalnya, aku akan selalu membawa sarung tangan di kantung jaket atau celana. Ketika masuk ke tempat umum, dimana mesin rotasi dengan pengendalian adalah vital seperti lift atau elevator, ketika di mal atau rumah sakit, aku akan mengenakan sarung tangan. Kalau hanya di taman, tidak."

"Heh, begitu ya."

"Tapi, untuk saat seperti sekarang, ketika mendekati musim dingin, aku akan lebih sering mengenakan sarung tangan walaupun berada di taman."

Sudah hampir akhir tahun. Daun-daun masih berguguran, dan salju pun baru muncul bulan depan, setelah pergantian tahun. Meski demikian, suhu sudah mulai menurun.

Ting

Akhirnya lift berhenti dan kami pun keluar. Kami mengikuti petunjuk resepsionis dan berjalan ke kiri, menyusuri lorong dengan dinding di kanan dan jendela di kiri, hingga menemui kamar nomor 504. Begitu tiba di depan pintu, aku pun mengetok pintu.

Tidak terdengar jawaban atau respon dari dalam ruangan, tapi, dalam waktu singkat, pintu dibuka. Di depan mataku, berdiri seorang perempuan setengah baya dengan yang lebih pendek dariku mengenakan pakaian pelayan.

"Eh? Lugalgin? Kok kamu..."

Nerva tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Dia hanya melihat ke kanan kiri sambil menggigit kuku.

"Bagaimana kondisi Illuvia?"

"Ah, Nona Illuvia sedang tertidur. Namun, kalau kamu mau masuk, silakan."

Meski tampaknya kedatanganku tidak diharapkan, dia tetap mempersilakanku masuk. Kami bertiga pun masuk ke ruangan.

"Permisi."

"Maaf mengganggu."

Emir dan Inanna mengucapkan salam dengan suara pelan, memastikan tidak mengganggu Illuvia yang sedang tertidur.

"Eh?"

"Ya?"

"Ah, maaf. Hanya saja, Anda mirip sekali dengan Nona Illuvia."

"Lugalgin juga mengatakan hal yang sama. Aku juga penasaran dengan teman Lugalgin ini."

Nerva memberi respon yang normal ketika melihat Inanna.

Ruangan ini adalah kamar rawat VIP. Terdapat kamar mandi tepat setelah pintu masuk. Lalu, setelah itu, ada sofa dengan meja rendah, terletak di samping ranjang pasien. Di depan ranjang pasien, terdapat sebuah televisi layar lebar. Di samping kirinya, terdapat sebuah jendela yang terhubung dengan balkon, yang kordennya tertutup.

Sesuai ucapan Nerva, Illuvia tertidur. Dia mengenakan pakaian pasien berwarna putih yang mudah dilepas. Jika tangan kanannya terlihat normal, tangan kirinya tidak. Sikunya ditekuk dan digantungkan ke bahu kanan. Karena pakaian pasien adalah lengan pendek, aku bisa melihat perban yang terbuat dari logam melilit tangan kiri Illuvia.

"Wah, dia benar-benar mirip denganmu, Inanna."

"Iya, kamu benar. Rasanya seperti melihat diriku di cermin."

"Apa jangan-jangan, kalian saudara kembar yang terpisah saat lahir?"

"Ha...ha.... aku tidak bisa benar-benar tertawa karena bisa jadi itu benar, melihat kemiripan wajah kami."

Emir dan Inanna berbisik-bisik, memastikan suaranya tidak membangunkan Illuvia. Namun, aku mendengar semua ucapan mereka.

Sebelumnya, karena penasaran, aku iseng melakukan uji coba DNA dengan menggunakan rambut mereka berdua. Dan, hasilnya adalah, mereka tidak memiliki hubungan darah. Bagaimana aku bisa memiliki rambut Illuvia? Ya, sudahlah. Tidak usah dibahas bagaimana aku bisa memiliki rambutnya.

"Tulang di bahu kiri nona Illuvia hancur. Namun, setidaknya, tidak ada tulang yang perlu digantikan dengan tulang sintetis. Operasi sudah selesai kemarin untuk menyusun letak tulang dan memasang pen. Saat ini, leher nona Illuvia tidak boleh menahan beban apapun selain kepalanya sendiri. Karenanya, tangan kiri nona Illuvia digantung ke bahu kanan."

Tanpa aku meminta, Nerva sudah memberi penjelasan.

"Berapa lama hingga dia sembuh?"

"Tidak terlalu lama. Mungkin beberapa minggu hingga tiga bulan. Namun, sayangnya, setelah itu Nona tidak akan bisa mengangkat tangan kirinya lebih tinggi dari bahu."

"Begitu ya," Aku merespon pelan. "Emir, Inanna, kalian berdua tolong tunggu di sofa sementara aku ingin berbicara dengan Nerva."

"Eh? Kamu yakin?"

"Kalau dia bangun, dan melihat orang asing, apa dia tidak akan panik? Belum lagi melihatku yang mirip dengannya."

Emir dan Inanna merespon bergantian.

"Kalau dia bangun, teriakkan saja namaku. Itu akan membuatnya tenang."

"Ha....aahh....."

Emir dan Inanna merespon dengan setengah hati. Apa mereka cemburu karena Illuvia akan tenang ketika mendengar namaku? Apa mereka merasa tersaingi? Ya, mungkin.

Aku dan Nerva pun keluar dari kamar. Kami berdua sama-sama bersandar di samping pintu, melihat ke jendela di seberang lorong, di depan kami. Hari masih pagi, jam 10. Jadi, matahari masih bersinar dari kanan.

Dua hari lalu, aku dan Ibla menurunkan Nerva dan Illuvia di depan rumah keluarga Nerras. Di saat itu, kami selalu mengenakan topeng. Jadi, Nerva sama sekali tidak tahu kalau aku adalah Sarru.

Aku memberi obat tidur dan obat penahan rasa sakit pada Illuvia saat itu. Jadi, selama perjalanan, dia tertidur. Ketika Nerva menanyakan kenapa aku bersedia mengampuni mereka dan bahkan berbaik hati mengantar hingga kediaman keluarga Nerras, aku menjawab, "Aku sering berbisnis dengan Lugalgin Alhold. Kalau dia tahu aku membunuh teman baiknya, aku khawatir dia tidak akan mau berbisnis lagi denganku.".

Di saat itu, hingga saat ini, aku benar-benar berterima kasih pada keputusan Mulisu untuk tidak membunuh Nerva, yang saat itu adalah Kinum palsu, yang berakibat aku mengetahui kalau Sarru adalah Illuvia. Dia sendiri juga terkejut ketika mengetahui aku mengenal Kinum dan Sarru palsu ini.

Namun, ternyata, Mulisu tidak mempermasalahkan nama Agade, Kinum, dan Sarru yang digunakan oleh Illuvia. Begitu juga dengan yang lain. Bahkan, mereka bilang, kalau tahu yang menggunakan nama Kinum, Sarru, dan Agade adalah teman baikku, mereka akan membiarkannya begitu saja. Sampai-sampai, Ur meminta maaf karena sempat mengancam akan membunuh Nerva dan Illuvia.

Terkadang, aku tidak paham dengan jalan pikir mereka. Ya, sudahlah. Sekarang bukan saatnya aku memikirkan hal itu.

"Jadi, Nerva, ada yang ingin kamu katakan padaku? Apa kamu bisa membayangkan, bagaimana terkejutnya aku ketika pagi ini mendapat panggilan dari klienku yang tiba-tiba meminta maaf? Bahkan, dia langsung mengirimkan sejumlah uang ke rekeningku sebagai permintaan maaf."

Tentu saja, itu semua adalah bohong.

"Itu...." Nerva membuang wajah. "Apa saja yang orang itu katakan?"

"Dia hanya mengatakan kalau dia telah menghancurkan bahu Illuvia yang kini dirawat di rumah sakit ini, di kamar ini."

"Begitu ya...."

Sebenarnya, informasi mengenai tempat Illuvia dirawat kudapat dari Ibla.

"Nerva,"

"Ya?"

Aku melihat Nerva sempat terentak. Bahkan, dia hampir melompat ketika aku memanggilnya.

"Bisa tolong kamu ceritakan kenapa Illuvia terlibat di dunia pasar gelap? Bahkan hingga berhadapan dengan salah satu orang paling berbahaya di pasar gelap? Bukankah seharusnya dia kuliah di Karia? Kenapa dia dirawat di sini?"

Nerva masih membuang muka. Setelah sedikit waktu berlalu, akhirnya dia menoleh ke arahku.

"Kamu juga bersalah dalam hal ini."

"Hah?"

Nerva memulai ceritanya. Ini semua dimulai sekitar enam bulan lalu, ketika berita mengenai Emir menjadi rakyat jelata dan mulai tinggal satu rumah denganku mulai beredar. Media menyebutnya sebagai "reverse cinderella".

Diluar, tidak tampak ada perubahan pada Illuvia. Dia masih kuliah, sesekali menelepon keluarga atau teman SMA, bermain bersama teman kuliah, dan sebagainya. Namun, sebenarnya, Illuvia mengalami depresi berat. Hanya Nerva, yang tinggal satu apartemen sebagai pelayannya, yang tahu.

Ketika di apartemen, Illuvia terlihat sering melamun, atau tiduran di atas kasur tanpa melakukan apa pun hingga berjam-jam. Selama itu, pandangannya pun kosong. Terkadang, dia memanggil namaku.

Nerva, yang sejak muda ditugasi untuk menjadi pelayan pribadi Illuvia, menjadi khawatir. Dia sempat berpikir untuk menghubungiku, tapi dilarang oleh Illuvia.

Tiba-tiba saja, suatu ketika, sebuah paket datang ke apartemen mereka. Ketika paket itu tiba, Illuvia tampak senang. Nerva memperkirakan paket itu adalah barang belanjaan Illuvia. Nerva sempat terkejut ketika melihat isi paket itu, yang adalah topeng dan jubah. Di saat itu, tiba-tiba saja, Illuvia mengatakan ingin menjadi sosok bernama Sarru dan merasakan dunia pasar gelap.

Nerva juga sempat berkecimpung di pasar gelap, tapi dia sudah lama pensiun. Di lain pihak, Suami Nerva yang juga adalah pelayan di keluarga Nerras, masih cukup aktif di pasar gelap. Dia meminta suaminya mengumpulkan informasi mengenai sosok bernama Sarru.

Di saat itu, Nerva mendapati Sarru, dan pasangannya Kinum, adalah satu dari beberapa sosok paling berbahaya dan ditakuti di pasar gelap. Kalau mereka turun sebagai sosok paling ditakuti, orang-orang tidak akan macam-macam.

Dan, di saat itu, sebuah sosok misterius, yang mengenakan masker bandana dan hoodie menemui mereka. Sosok itu mendikte apa yang harus mereka lakukan untuk bisa menggantikan sosok Sarru dan Kinum palsu ini. Dan, langkah pertama, adalah mendeklarasikan kemunculan mereka pada kerajaan, yang kebetulan sedang menyebarkan rumor kalau Bana'an dan Mariander sedang berperang.

Di saat itu, Nerva pun menyerang Emir dan yang lain ketika mereka latihan, ketika aku berada di Mariander. Setelah itu, mereka mulai aktif di pasar gelap sebagai Sarru dan Kinum. Sederhananya, mereka hanya bermain-main seperti jual beli senjata, bertarung dengan organisasi lain, dan lain sebagainya.

Nerva sama sekali tidak menduga kalau Agade yang asli, beserta Sarru dan Kinum, akan muncul karena merasa terganggu. Dia mengira Sarru, Kinum, dan Agade telah tewas dan hancur.

Di sini, aku juga mencari informasi mengenai senjata yang digunakan oleh Illuvia. Karena Illuvia berusaha meniru Sarru, yang adalah aku, dia pun membawa peti di punggungnya yang berisi belasan senjata.

Dari banyak peniru Sarru, hanya Illuvia yang bisa meniru dengan baik karena teknik yang dia gunakan untuk menghilangkan pengendalian lain. Rumor menyatakan, Sarru memiliki suatu alat yang membuat dia dan orang sekitar tidak bisa menggunakan pengendalian. Dan, ironisnya, yang mengajarkan teknik itu pada Illuvia adalah aku.

Semasa SMA, pertengkaran antar siswa sering terjadi. Tidak jarang juga siswa menggunakan pengendalian mereka dalam perkelahian. Sebagai Ketua Badan Eksekutif, dia harus bisa melerai pertengkaran yang terjadi.

Karena dia mahir memainkan musik dan bisa menyetel alat musik, aku memberinya arahan agar dia membuat semacam garpu tala dari kuarsa. Garpu tala ini harus digetarkan dengan frekuensi tertentu, membuat benda dalam radius tertentu tidak dapat dikendalikan karena menyerap getaran itu.

Konsepnya aku kembangkan dari buku, tentu saja. Padahal, saat itu aku hanya coba-coba, tidak kusangka Illuvia akan berhasil melakukannya. Namun, aku sama sekali tidak menduga kalau dia akan menggunakannya sekarang, apalagi untuk meniruku.

"Lalu, apa yang membuat dia betah di pasar gelap?"

Nerva tidak langsung menjawab. Dia agak ragu, tapi aku terus mendesak. Akhirnya, dia pun menurut.

"Nona merasa, ketika berada di pasar gelap bisa melupakan semua kewajibannya sebagai bangsawan. Di pasar gelap, nona merasa bebas. Bahkan, nona sempat berencana untuk mengumpulkan uang dan keberanian agar bisa meninggalkan status bangsawan dan menjadi istrimu."

"Apa dia tidak sadar kalau aku sudah memiliki calon istri?"

"Nona tidak masalah walaupun hanya menjadi nomor tiga atau nomor empat. Selama bisa bersama denganmu, dia berpikir sudah cukup."

Itu bukanlah jawaban yang kuinginkan. Sama sekali bukan jawaban yang kuinginkan. Kalau begini, semua yang kulakukan selama beberapa bulan ini akan menjadi sia-sia.

Dalam waktu beberapa bulan, aku terkadang masih berhubungan dengan Arde dan Maila. Namun, komunikasi dengan Illuvia adalah yang paling minimal karena aku ingin dia segera melupakanku, move on, dan mencari orang lain. Bahkan, aku hampir tidak mengontak Illuvia sama sekali.

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan, Lugalgin?"

"Saat ini? Yang bisa kulakukan hanyalah meminta maaf pada klienku karena sudah membuatnya repot. Meski dia meminta maaf dulu, kalian sudah menggunakan namanya dan organisasinya jadi aku tetap harus meminta maaf dan memberi sedikit ganti rugi."

Ya, semua hal mengenai klien dan meminta maaf itu hanyalah kebohongan sih. Aku tidak memedulikannya sama sekali dan anggota Agade juga tidak mempermasalahkannya setelah mengetahui kalau Illuvia adalah teman baikku.

"Bagaimana dengan Nona?"

"Aku akan membiarkannya."

"Kamu akan membiarkannya begitu saja? Apa kamu tidak merasa bertanggung jawab?"

"Aku merasa bertanggung jawab karena sudah mengajarkan teknik penghilang pengendalian itu. Namun, hanya itu. Soal perasaannya, aku tidak bisa bertanggung jawab terhadap apa yang ada di luar kuasaku."

Momen tiga tahun yang kulewati sebagai siswa SMA Eksas terlintas di benakku. Di saat itu, aku teringat ketika aku masih mengenakan seragam, bersenda gurau dengan Arde, Maila, Illuvia, dan juga teman-teman sekelas.

Meski untukku, sejak dua setengah tahun yang lalu, kehidupanku sudah terasa hampa, tapi aku tidak bisa memungkiri kalau waktu yang kuhabiskan bersama mereka adalah waktu yang indah.

Aku kembali membuka mulutku.

"Semasa SMA, perlakukanku pada semua perempuan adalah sama. Illuvia pun mengetahui dan menyadari hal ini. Sayangnya, dia masih memutuskan untuk mempertahankan perasaannya padaku. Padahal, aku sudah berkali-kali menolaknya dengan tegas. Padahal, aku sudah berkali-kali memintanya untuk mencari laki-laki lain."

"Dan kamu pikir nona akan menurut begitu saja? Apa kamu tidak bisa memahami perasaan perempuan?"

"Sayangnya, aku tidak bisa. Dan, aku pun tidak bisa merespon perasaan Illuvia."

"Tapi–"

"Kalau begitu, apa kamu punya saran lain? Apa kamu juga akan menyarankan dia untuk meninggalkan keluarga Nerras begitu saja? Berbeda dengan Raja Fahren dan Raja Arid yang memiliki banyak putri, keluarga Nerras hanya memiliki satu putra dan satu putri. Menurutmu, bagaimana jadinya keluarga Nerras ke depannya kalau Illuvia meninggalkan keluarga Nerras? Dan, bagaimana perasaan kedua orang tua Illuvia? Apa kamu sudah memikirkannya?"

"I, itu...."

Aku mengambil handphone dari saku dan lihat sudah jam 11 lewat.

"Aku harus pergi. Jam 1 aku harus naik pesawat untuk pergi ke ibukota. Untuk uangnya, nanti akan aku transfer ke rekeningmu. Aku tidak peduli mau kamu apakan uang itu. Uang itu adalah hak kalian."

Aku membuka pintu dan kembali masuk.

Ketika aku masuk, terlihat Emir dan Inanna yang duduk di sofa pengunjung. Mereka hanya melihat ke arahku dengan wajah datar. Di lain pihak, Illuvia masih terlihat tidur.

Aku paham dengan ekspresi datar Emir dan Inanna, tapi aku tidak berencana melakukan apa pun.

"Ayo, Emir, Inanna, kita pulang. Kita harus segera pergi kalau tidak mau ketinggalan pesawat."

"Oke."

"Baik."

Emir dan Inanna pun bangkit, menghampiriku.

"Illuvia, aku harap ini adalah yang terakhir kalinya. Tapi, maaf, aku tidak bisa menerima dan merespon perasaanmu. Semoga kamu dapat menemukan laki-laki lain yang lebih pantas untukmu."

Setelah mengatakan kalimat itu, aku pun pergi meninggalkan ruangan.

"Gin, apa kamu yakin kamu ingin membiarkan dia begitu saja?"

"Iya, Emir benar. Apa kamu tidak..."

Berbeda dengan Emir yang mampu mengucapkan pikirannya begitu saja, Inanna masih ragu. Dia menundukkan wajahnya.

Aku tersenyum dan mengusap rambut Emir dan Inanna.

"Aku sudah memiliki kalian. Dan, kalian sudah lebih dari cukup untukku."

Meski aku ingin semuanya berakhir di sini. Sayangnya, hal ini belum selesai begitu saja.

***

"Nona, mereka sudah pergi."

Aku pun membuka mata setelah mendengar ucapan Nerva.

Akhirnya, dia pergi. Tampaknya, baik dia dan kedua calon istrinya tahu kalau aku sudah terbangun dan pura-pura tidur. Maksudku, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku berharap dia lah yang akan menemaniku, tapi tidak. Dia justru menyuruh kedua calon istrinya.

Aku tahu karena dia berkali-kali mengatakannya padaku. Selain aku berasal dari keluarga bangsawan, dia sendiri tidak memiliki perasaan romantis padaku. Aku tahu semua itu.

Selama tiga tahun bersama, sudah tidak terhitung berapa kali dia menolakku. Namun, entah kenapa, kali ini terasa paling menyakitkan. Dadaku terasa begitu sesak. Walaupun aku tidak menginginkannya, air mataku pun mengalir. Bahkan, saat ini, rasa sakit di bahu kiriku sama sekali tidak terasa.

Aku tidak ingin melihat wajah Nerva, atau siapa pun. Aku memalingkan wajah ke kiri, ke jendela yang tertutup oleh korden.

Bersambung

avataravatar
Next chapter