5 Arc 1 Ch 5 - Saling Mengancam

Akhirnya ayah, ibu, dan Ninlil sudah berangkat untuk menghadiri acara di istana. Meski semalam aku pulang larut, mungkin lebih tepatnya pagi, ibu tidak mengomel. Mungkin ibu berpikir setelah pulang dari pesta di sekolah, aku menghadiri pesta lain di rumah teman.

Dan lalu, aku, dengan menggunakan alasan kecapekan karena pesta, berhasil menetap di rumah untuk tidur tanpa perlu melakukan kegiatan apapun. Yah, itu rencana awalnya. Namun karena ada pekerjaan tambahan dari Emir, aku terpaksa menyisihkan jadwal yang itu. Sekarang, aku mencari cara mencuci pakaian di internet.

Aku menggunakan komputer di atas meja belajar. Komputer ini bukanlah komputer antik, melainkan komputer normal yang biasa ditemui. Sebuah kotak seukuran bungkus rokok yang menampilkan proyeksi ke dinding untuk layar. Keyboardnya juga proyeksi di atas meja.

Kamarku adalah sebuah kamar yang bisa dibilang standar. Kamar ukuran 4 x 3 meter dengan kasur queen size, lemari logam, meja belajar, dan sebuah jendela yang terhubung dengan balkon.

Rumah kami juga bisa dibilang standar. Kalau dibandingkan dengan rumah saudara dari keluarga Alhold lainnya, rumah kami terlihat seperti gubuk. Sebuah rumah dua lantai terbuat dari aluminium alloy sebagai bahan dasar. Di lantai satu ada ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi lengkap dengan mesin cuci dan pengering, dan satu ruang tamu. Di lantai dua ada tiga kamar tidur. Satu kamar tidur yang paling besar yang adalah milik ayah dan ibu. Kamarku dan Ninlil bersebelahan dan kamar ayah dan ibu di seberang, dipisahkan oleh tangga.

Pakaian igni, jaket, dan celana yang Emir gunakan sudah aku cuci dan kini sedang berada di dalam mesin pengering. Yang sekarang aku cari adalah cara mencuci pakaian dalam. Kalau seandainya keluargaku pulang dan melihat di dalam kamarku ada satu set pakaian dalam perempuan, aku tidak tahu apa komentar mereka. Mungkin mereka akan menjaga jarak dariku. Tidak, mungkin mereka akan langsung mengirimku ke psikiater atau psikolog untuk melakukan terapi.

Aku tahu Emir sudah memberi tahuku cara untuk mencucinya, tapi itu tidak cukup informatif. Dia hanya mengatakan garis besarnya. Aku tidak tahu apakah cara mencucinya direndam dengan detergen dulu atau tidak, berapa rasio air hangat, atau yang lainnya. Dan, apalagi, pakaian dalam ini adalah milik Tuan Putri, keluarga kerajaan. Pakaian dalam ini pastilah barang mahal yang membutuhkan cara mencuci khusus.

Dan benar saja! Akhirnya, aku sampai di website produsennya. Hmm, direndam dengan air hangat kira-kira 40 derajat sebanyak 20 liter yang telah dicampur dengan satu genggam detergen selama 30 menit. Setelah direndam, kain digosok perlahan dengan menggunakan tangan. Pastikan menggunakan sarung tangan plastik ketika menggosok untuk memastikan permukaannya tetap halus. Bilas dengan air hangat dengan suhu yang sama sampai tiga kali. Jangan dikeringkan dengan menggunakan mesin pengering. Harus dikeringkan di bawah sinar matahari sampai kering. Jangan terlalu lama menjemurnya karena akan membuat kainnya berbulu.

Ung, tunggu dulu! Dikeringkan di bawah sinar matahari? Kalau aku mengeringkannya di tempat jemuran pakaian belakang rumah, ada kemungkinan aku akan ketiduran. Kalau ayah, ibu, dan Ninlil pulang ketika aku ketiduran dan melihatnya, aku akan diinterogasi habis-habisan.

Aku melihat ke samping kanan, ke sebuah jendela berukuran 2 x 2 meter. Tampaknya aku masih cukup beruntung karena ruanganku memiliki balkon yang terpisah dari balkon Ninlil. Ya, aku akan menggunakan balkon untuk menjemurnya.

Oke!

Dengan menggunakan tali yang aku ikat pada dua kursi, sekarang, pakaian dalam Emir sedang dalam proses pengeringan. Di atas meja belajar, pakaian igni, jaket, dan celana Emir yang sudah kering dan disetrika telah terlipat rapi. Tinggal menunggu pakaian dalamnya kering dan tugasku pun selesai untuk hari ini.

Ahh. Saatnya tidur. Dengan pikiran itu, aku merebahkan tubuh di atas kasur.

Tring tring tring

Ung? Siapa yang meneleponku? Apa mereka melupakan sesuatu? Atau temanku?

Kenapa aku tidak berpikir ini dari klienku? Karena nada deringnya standar bawaan, berarti ini bukan dari klienku. Kalau yang meneleponku adalah klien, akan terdengar sebuah adalah sebuah alunan lagu jazz klasik atau rock, tergantung dari siapa.

Dengan setengah hati, aku berjalan menuju meja belajar.

Ung? Sebuah nomor yang tidak aku kenal. Aku menjadi waspada. Aku membuka laci di bawah meja belajar dan mengambil smartphone yang satu lagi, mencoba mengecek nomor telepon ini. Tidak ada. Lalu, aku mengambil handphone model candybar untuk mengecek nomor lagi. Tidak ada juga. Lalu siapa yang meneleponku?

Ahh, kali orang salah sambung. Aku abaikan saja.

Aku menekan tombol silent di layar dan kembali ke atas kasur. Baru saja merebahkan tubuh di atas kasur, smartphoneku kembali berbunyi. Aku berjalan dan melihat nomor yang sama menghubungi kembali. Kalau orangnya menelepon lagi, mungkin dia benar-benar ada keperluan denganku.

Aku menekan tombol angkat dan smartphone ini membuat sebuah proyeksi di dinding, dimana layar komputerku sebelumnya berada. Aku duduk di kursi di depan meja belajar untuk menghadap ke penelepon.

[LAMA BANGET NGANGKATNYA!]

Tiba-tiba sebuah teriakan, atau lebih tepatnya bentakan, muncul di layar. Aku yang mendengar bentakan itu refleks langsung mundur. Di layar itu, aku melihat sebuah sosok perempuan mengenakan gaun dan bando berwarna putih, sebuah gaun yang entah berapa lapis. Gaun putihnya hampir menyatu dengan warna kulitnya yang berwarna putih salju. Di belakangnya, terlihat rambut merah membara yang terburai.

"Tu-Tuan Putri Emir? Kalau boleh saya tahu, ada keperluan apa sehingga saya mendapatkan kehormatan untuk menerima telepon langsung dari Tuan Putri?"

[Sudah, gak usah formalitas. Saat ini ga ada orang lain selain aku. Tempat dudukku juga terpisah dari sopir, jadi dia ga bisa dengar.]

Akhirnya aku bisa membuang formalitasku. Normalnya kalau kejadian semalam, dimana dia memberiku pakaian dalamnya untuk dicuci, aku mungkin masih sedikit sungkan dan ragu untuk membuang formalitas. Namun, karena kejadian itu, aku jadi kehilangan semua hormatku padanya. Sekarang, di pandanganku, dia hanyalah cewek tomboi.

"Baiklah. Jadi, ada perlu apa? Tunggu! Sebelum itu, dari mana kamu mendapatkan nomor telepon ini? Seharusnya kamu hanya mengetahui nomor teleponku yang lain. Dan ini, nomor telepon siapa?"

[Hehe, tadi aku bertemu dengan adikmu dan meminta nomor teleponmu. Dan ini nomor telepon pribadiku. Cuma teman dekat dan keluargaku yang tahu.]

"Woi! Gapapa nih kamu meneleponku menggunakan nomor ini?"

[Gapapa, santai saja. Adikmu juga sudah kuberi nomor telepon ini kok.]

Ahh, orang ini. Dia terlalu mengentengkan segala hal. Meski aku sudah tidak menganggapnya sebagai Tuan Putri lagi, tapi kalau dia adalah seorang Tuan Putri sama sekali tidak berubah. Dia harus lebih berhati-hati dengan hal seperti ini.

"Lalu? Ada perlu apa? Bukankah seharusnya kamu berada di istana? Menghadiri battle royale? Kok kamu berada di dalam mobil?"

[Tenang saja, acara intinya masih nanti sore, sekitar jam lima, kok. Masih sempat untuk menjemputmu. Sekarang, aku sedang dalam perjalanan menuju rumahmu.]

Hah?

Tunggu dulu, tunggu dulu. Aku butuh sedikit waktu untuk mencernanya. Istana berada di Ibukota Karia, yang memang berada di kota sebelah. Kalau menggunakan jalur udara seperti pengendaliannya atau kendaraan udara, seperti pesawat atau helikopter, maka jarak itu dapat ditempuh kurang dari satu jam.

Namun, kalau Emir menggunakan mobil, yang adalah jalur darat, mungkin membutuhkan waktu tiga hingga empat jam termasuk kemacetan dan lalu lintas. Dengan begitu, aku sampai pada satu kesimpulan.

"Jangan bilang kamu sudah dalam perjalanan dari bandara menuju ke rumahku?"

[Yup, tepat sekaliiii....!!!]

Emir menjawabku dengan riang dan enteng.

Ahh, perempuan ini, aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Dan lagi, apa yang dia mau? Apa dia mau mengambil pakaiannya sekarang juga?

"Kalau kamu mau mengambil pakaianmu, pakaianmu belum kering."

Aku mengambil smartphoneku dan mengarahkannya ke balkon. Ketika aku melakukannya, smartphoneku memperkecil proyeksi menjadi seukuran buku tulis berukuran A5. Proyeksinya juga berpindah ke udara seolah-olah ada layar di udara.

[Wah, kelihatannya kamu mencucinya dengan benar. Terima kasih ya! Tapi aku bisa mengambil pakaianku kapan saja. Tujuanku sekarang bukan untuk mengambil pakaian.]

"Hah? Lalu?"

Aku kembali meletakkan handphoneku di atas meja dan proyeksinya kembali membesar di dinding.

[Aku kan sudah bilang. Aku datang untuk menjemputmu.]

"Hah?"

[Penjelasannya nanti saja sekalian. Sekarang aku mau bertanya. Kamu punya senjata tidak?]

"Ung, kamu mau menahanku?"

[TIDAK! SUDAH JAWAB! KAMU PUNYA SENJATA TIDAK?]

Dasar temperamental.

Aku hanya bisa menghela nafas dan menjawabnya.

"Iya, aku punya senjata, tapi aku tidak membawanya saat ini."

[Lalu, dimana senjatamu?]

"Di gudang dekat pelabuhan. Kira-kira setengah jam lewat jalur darat dari rumahku."

[Kalau begitu kita akan ke situ setelah aku menjemputmu! Kamu juga siap-siap!]

"Ah, aku tidak perlu mengenakan pakaian rapi atau pakaian pesta?"

[Hah? Kamu kan nanti datang sebagai peserta, bukan penonton.]

"...Hah?"

Tidak lama setelah mengakhiri telepon, akhirnya Emir datang dan aku masuk ke dalam mobilnya. Singkat cerita, dia ingin aku berpartisipasi dalam battle royale. Battle royale adalah sebuah pertandingan antar kesatria pribadi para keluarga kerajaan, Regal Knight. Semua Regal Knight akan berada di dalam arena dalam waktu yang bersamaan dan yang bertahan hingga akhir adalah pemenangnya.

Kalau aku tidak salah, Paduka Raja memiliki satu permaisuri dan enam selir. Permaisuri memiliki dua putri dan tiga putra, termasuk Emir. Lalu total keturunan dari selir sebanyak enam belas orang, sepuluh laki-laki dan enam perempuan. Total keluarga kerajaan, tidak menghitung raja, permaisuri, dan selir, adalah dua puluh satu orang. Kalau semua keluarga kerajaan sudah memiliki Regal Knight, maka sebanyak dua puluh satu Regal Knight akan berada di dalam arena.

Saat ini, Emir adalah satu-satunya dalam keluarga kerajaan yang belum menunjuk kesatria pribadinya, Regal Knightnya. Dengan kata lain, dia menunjukku untuk menjadi Regal Knight.

Dan, bagaimana reaksiku?

"Tidak! Tidak! Tidak! Aku. Tidak. Mau. Aku tidak mau menjadi Regal Knight!"

"Hah? Kenapa? Menjadi Regal Knight adalah sebuah kehormatan yang besar. Apalagi aku adalah putri dari permaisuri, bukan selir."

"Tidak! Tidak! Tidak! Bahkan walaupun Tuan Putri Yurika yang memintaku, aku akan tetap menolaknya!"

"Eh, kamu kenal kak Yurika?"

Ups, aku keceplosan.

Setidaknya aku punya satu hal yang bisa kubanggakan saat ini, yaitu kemampuan poker face. Aku akan mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Tidak, itu hanya seumpama. Intinya, kalau aku menjadi Regal Knightmu, aku harus sering berada di dekatmu untuk menjagamu, kan? Dengan kata lain aku pengawal pribadimu. Dan aku yakin pasti banyak sekali orang yang mencoba membunuhmu. Mengingat aku tidak memiliki kemampuan pengendalian, aku bisa mati cepat."

"Jadi kamu tidak mau mengorbankan dirimu untukku, Tuan Putri Emir, Putri kerajaan ini?"

"Tentu saja aku tidak mau! Aku masih sayang nyawaku."

Kalau saja seandainya ada orang lain yang mendengar ucapanku, pasti aku sudah dilaporkan pada pihak berwenang dan dieksekusi minggu ini juga. Normalnya, bersumpah memberikan kesetiaan pada keluarga kerajaan adalah sesuatu yang harus. Jika aku menyatakan tidak mau mengorbankan diri untuk keluarga kerajaan, maka sama saja aku telah mengkhianati kerajaan ini.

"Kamu yakin?"

Setelah mengatakan itu, Emir mengambil smartphone dari tas kecil di tangan dan lalu menekan tombol di layar. Dari smartphonenya, aku bisa mendengar suara rekaman perbincangan kami yang sebelumnya.   

Sial! Tuan putri ini licik juga. Namun aku tidak akan kalah.

Aku mengeluarkan handphone dari dalam saku dan membuat sebuah telepon.

"Hah? Kamu menelepon siapa?"

"Kenalanku. Kelihatannya hidupku di kerajaan ini sudah selesai. Jadi aku berpikir untuk pergi ke Republik Dominia."

"Eh, kamu akan meninggalkan keluargamu?"

"Aku tidak punya pilihan lain."

"Eh, jangan!"

Emir yang mendengarnya langsung menghampiriku, mencoba mengambil smartphone di tangan. Aku menahan Emir dengan tangan kanan sementara tangan kiri masih memegang smartphone. Mobil ini menjadi sangat gaduh.

"Halo, Keni? Iya, aku mau pindah ke Republik Dominia. Masukkan saja dalam tagihanku, nanti aku bayar. Malam ini bisa?"

"Iya, iya, iya, aku minta maaf! Aku tidak akan melaporkanmu!"

Aku terdiam sejenak.

"Sebentar ya Ken." Aku mengalihkan pandangan. "Aku tidak yakin dengan ucapanmu. Hapus dulu rekamannya."

"Ba-baik..."

Emir yang putus asa pun menunjukkan layar smartphonenya sambil menghapus rekaman yang baru dia perdengarkan.

"Maaf, Keni, tampaknya tidak jadi. Ya, maaf ya. Nanti aku akan memberi sesuatu sebagai permintaan maaf."

Aku menutup telepon. Tentu saja itu hanya sandiwara. Yang aku lakukan adalah menelepon mesin penjawab otomatis yang sudah aku setel agar memperdengarkan rekaman suara orang lain. Aku tidak benar-benar menelepon kolegaku untuk segera pindah ke Republik Dominia. Meskipun sebenarnya kalau mau, aku bisa melakukannya.

"Jadi, karena aku tidak akan bertarung, bisa tolong putar mobil ini dan kembalikan aku pulang?"

"Tapi.....tapi..."

Emir masih ragu untuk menuruti ucapanku. Ketika dia menunjukkan ekspresi yang ragu seperti sekarang, dia sebenarnya sangat imut dan manis. Kalau dia seperti ini terus, bukan tidak mungkin aku akan memujanya seperti aku memuja tuan putri Yurika.

"Dan lagi, apa alasanmu tidak memiliki Regal Knight?"

"Habis, tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkanku. Kamu orang pertama yang mampu mengalahkanku. Bahkan membuatku..."

Emir tidak melanjutkan ucapannya. Dia membuang pandangan.

Aku tahu apa yang ingin dia katakan. Dia ingin mengatakan aku adalah orang pertama yang mampu membuatnya ketakutan sampai dia mengompol. Dia tidak ingin mengatakannya karena merasa malu.

Kalau begini, aku jadi merasa bersalah.

"Baiklah, aku akan berpartisipasi dalam pertandingan ini, tapi aku memiliki beberapa syarat."

Bersambung

avataravatar
Next chapter