5 Be a soft girl? It's easy

Sekarang ia tau Athanasia gadis yang lembut, dan baik hati. Tidak sulit baginya untuk bersikap baik hati, tapi bersikap lembut? apa dia bisa? Victoria bukan gadis yang lembut seperti primadona, tapi dia juga bukan gadis yang kasar.

Athanasia menggeleng pelan, "No no no! You can do it! Be a soft girl? It's easy." ucapnya yakin.

Ya! Sekarang aku adalah Athanasia, jadi bersikaplah seperti Athanasia.

Sedikit banyak ia tau seperti apa gadis itu, meskipun ia harus mencari tau lebih banyak lagi tentangnya. Inilah satu-satunya cara yang Victoria miliki sekarang, mengikuti arus dan menjadi seorang Putri agar ia bisa bertahan. Dan ia akan mencari cara untuk kembali, kembali kedunianya dan kembali kekehidupannya, miliknya.

"Tuan Putri, Yang Mulia Ratu bertanya apakah Anda ingin sarapan bersama atau dikamar?" tanya salah seorang pelayan yang baru saja masuk kedalam kamarnya.

"Bersama, aku akan kesana." jawab Athanasia.

Athanasia mengedarkan pandangannya, ia mencari Olivia. Untuk sekarang ia hanya nyaman bersama pelayannya yang satu itu.

"Apa kau melihat Olivia?" tanyanya pada salah satu pelayan yang sedang membersihkan ranjangnya. Pelayan itu membungkuk hormat dan menjawab, "Dia ada diruang ganti Anda Tuan Putri."

"Bisa tolong kau panggilkan?" ia ingin pergi sendiri, tapi tidak tau dimana ruangannya. Didalam kamar ini terdapat beberapa ruangan, jadi dari pada mencari dari ruangan ke ruangan lebih baik menyuruh pelayan ini untuk memanggil Olivia.

"Tentu, tunggu sebentar saya akan menanggilnya."

Athanasia memilih duduk ditepi ranjang sambil menunggu pelayan memanggilkan Olivia. Ia masih merasa sesak dengan gaunnya yang sangat ketat.

"Ternyata cantik butuh perjuangan. Bagaimana kau bisa tahan seperti ini setiap hari?" gumamnya frustasi. Ingin rasanya ia melepas seluruh gaun beserta lapisannya ini, tapi ia tidak bisa.

Athanasia bangkit untuk mengurangi rasa sesaknya, ia berjalan mendekati meja yang ada disis ranjang. Membuka salah satu laci, Athanasia melihat sebuah buku dengan sampul kayu. Saat ingin mengambil dan melihatnya suara Olivia mengintrupsinya.

"Anda memanggil saya Tuan Putri?" Athanasia berbalik, setelah sebelumnya ia menutup kembali laci meja itu. Nanti ia akan menglihat apa isi buku tadi.

Athanasia mengangguk, "Antar aku keruang makan."

Olivia mengangguk sambil membungkuk hormat, "Tentu, mari Tuan Putri." Ia mempersilahkan Athanasia berjalan lebih dulu.

Sepanjang jalan menuju ruang makan Athanasia tidak henti-hentinya berdecak kagum dengan kemewahan yang dilihatnya. Lorong yang ia lewati penih dengan ukiran dewa dewi yunani kuno, juga terdapat vas bunga porselen dengan berbagai macam bentuk. Sangat indah. Langit-langit lorong pun terdapat lukisan peri, bangunan yang dominan dengan warna emas dan putih.

Athanasia sibuk memperhatikan sekitar, hingga pandangannya jatuh pada sebuah lukisan besar yang berada ditengah lorong. Sepasang suami istri dan gadis kecil berusia lima tahun, mungkin?

Ia berhenti untuk melihat lukisan tersebut, melihat sang Putri berhenti Olivia pun berhenti dan mengikuti arah pandangan majikannya.

"Indah bukan?" ucapnya,

Athanasia mengangguk setuju, lukisan ini benar-benar sangat indah.

"Lukisan itu dibuat saat Anda berusia tepat lima tahun, Yang Mulia Raja dan Ratu sangat senang dengan kelahiran Anda. Jadi setiap tahun mereka akan selalu memanggil pelukis terbaik di Arandelle untuk membuat lukisan kalian bertiga." jelas Olivia

"Jadi ada lukisan lain dari aku berusia satu sampai sekarang?" tanya Athanasia, namun tatapannya masih terpaku pada lukisan.

"Hanya sampai tujuh belas, yang kedelapan belas mungkin nanti akan dibuat sehari sebelum upacara pelantikan Anda." jawab Olivia,

"Lalu dimana lukisan yang lain? kenapa hanya ada ini?"

"Lukisan yang lain dipajang di galeri kerajaan, lukisan ini Anda minta pada Yang Mulia Raja untuk dipajang disini karna Anda sangat menyukainya dibanding lukisan yang lain. Menurut Anda, Anda paling cantik dilukisan ini dan untuk itu saya tidak setuju. Karna Anda selalu cantik setiap saat." ucap Olivia jujur, Athanasia memang selalu cantik.

Dalam lukisan tersebut, Raja, Ratu serta Putri Athanasia kecil terlihat sangat bahagia. Yang Mulia Raja menggendong Putri Athanasia sedangkan tangan sebelahnya merengkuh pinggang Sang Ratu dengan posesif. Putri kecil itu tampak bahagaia dalam gendongan Sang Raja, ia tersenyum lebar. Sangat menggemaskan, begitu pun dengan Raja dan Ratu yang melihat Athanasia kecil tersenyum, mereka juga ikut tersenyum dalam lukisan itu. Siapa pun yang melihat lukisan itu bisa merasakan ketulusan dan kasih sayang Raja dan Ratu yang sangat besar terhap Putri Athanasia.

Mungkin itu sebabnya Athanasia sangat menyukai lukisan ini, lukisan yang terlihat nyata dan terasa hangat.

"Sepertinya aku tau kenapa dia menyukai lukisan ini, karna aku pun langsung jatuh cinta saat pertama kali melihatnya." gumam Athanasia pelan, sangat pelan sehingga Oliva yang berada dibelakangnya tidak mendengar gumamannya.

Puas melihat lukisan itu Athanasia melanjutkan langkahnya menuju ruang makan, Olivia menunjuk kemana ia harus berbelok. Olivia benar-benar memperhatikan langkah Sang Putri, karna Athanasia berjalan lebeih cepat dari pada biasanya.

Mungkin Tuan Putri tidak ingin membuat Yang Mulia Raja dan Ratu menunggu terlalu lama, pikirnya.

Padahal kenyataannya, Athanasia yang sekarang tidak sabar untuk berjalan terlalu pelan. Bukan karna merasa lapar atau apa, ia suka melakukan semuanya dengan cepat dan berjalan dengan anggun sama sekali bukan gayanya. Meskipun dia harus merubahnya, tapi nanti tidak sekarang. Sekarang dia harus beradaptasi dengan keadaan sekitar terlebih dulu.

****

Kabar sadarnya Athanasia sudah sampai di Istana Utara, tempat tinggal para selir dan dan anaknya. Tapi hanya Ada seorang selir dan putrinya yang menempati Istana tersebut.

"Bagaimana mungkin dia bisa sadar? bukankah kata wanita tua itu jiwanya sudah tersegel disuatu tempat?" gumam seorang wanita cantik berbalut gaun berwarna merah yang sangat mewah, ia adalah Lady Rasta, selir Yang Mulia Raja.

Yang Mulia mengangkat Lady Rasta sebagai selir untuk menghormati permintaan terakhir abdi setianya yang telah wafat. Frederick Marquess, ia adalah Ayah dari Lady Rasta.

"My Lady sarapan sudah selesai, sekarang saatnya kita pergi ke ruang makan." ucap seorang wanita yang berusia sekitar tiga puluh tahun. Ia adalah Deanna, pelayan pribadi Lady Rasta sejak dikediaman Marquess.

Lady Rasta yang sedang menikmati teh krisan namun dengan pikiran yang sedikit membebaninya menatap Deanna dan bertanya "Dimana Luisa?"

"Lady Luisa sedang bersiap My Lady." jawab Deanna sambal membungkuk hormat.

"Katakan padanya untuk cepat, jangan sampai Yang Mulia Raja menunggu dan memberi kesan buruk." perintah Rasta dengan nada angkuhnya.

Lady Rasta memang terkenal angkuh dan sombong dengan semua orang yang dia anggap lebih rendah dari dirinya, namun ia akan menjadi wanita yang lemah lembut dan bersahaja jika ada Yang Mulia Raja. Saat memasuki Istana untuk pertama kalinya, Lady Rasta bertekat untuk menjadi Ratu bagaimana pun caranya.

avataravatar
Next chapter