1 Awal Mula: Kembali ke Tanah Air

Australia, di sebuah rumah sewa yang ditempati 4 mahasiswi ….

"Va, kamu yakin akan pulang ke Indonesia?" tanya Maurin, mahasiswi tahun akhir yang berasal dari Singapore.

Giavana Devira, gadis Indonesia yang sedang diajak bicara itu pun menganggukkan kepalanya dan menjawab, "Yup! Aku memang harus pulang karena untuk apa lagi berlama-lama di sini jika sudah lulus?"

"Duh, enak sekali yang sudah lulus, yah!" Zhao Wenyi yang berasal dari Tiongkok hanya bisa memanyunkan bibirnya ketika teringat dia masih 2 tahun lagi untuk merasakan kelulusan.

Giavana atau yang biasa dipanggil Va itu hanya bisa terkekeh. Kebetulan dia memang lebih dulu lulus dibandingkan teman-temannya. "Makanya, jangan terlalu banyak ambil cuti." Tangannya secara gemas meraih pipi chubby Zhao Wenyi untuk dicubit meski tidak keras. Ia tak mau terkena pasal tindakan anarkis, ya kan?

"Nah, dengarkan itu, Wenyi!" Maurin malah ikut mencubit pipi tembam Zhao Wenyi.

Gadis Tiongkok itu menjauhkan wajahnya dari tangan nakal teman-temannya yang gemar dengan pipinya dan berkata, "Aku tau dan memang kuakui pipiku sungguh menggemaskan, tapi bukan berarti kalian bisa seenaknya menindas aset pentingku ini. Mereka harus tetap kencang dan kenyal."

Mendengar ucapan gadis Tiongkok itu, Giavana dan Maurin makin menubruk Zhao Wenyi sambil menggelitikinya secara kejam sampai Zhao Wenyi harus tertawa sambil menangis memohon ampun.

Keceriaan tiga orang itu memang sudah lama terjalin. Meski ada yang berbeda tahun masuk di universitas, tapi mereka semua merasa cocok satu sama lain.

"Ehh, Ava belum selesai kuliah, yah?" tanya Giavana setelah puas menggelitiki Zhao Wenyi, menanyakan teman mereka yang berasal dari Swedia.

"Sepertinya dia sampai nanti sore. Kenapa, Va?" tanya Maurin.

"Aku hendak mengadakan pesta kecil-kecilan sebelum aku pulang kampung." Giavana memang sudah memiliki ide untuk mengadakan pesta perpisahan sederhana dengan 3 teman dekatnya itu.

"Nanti akan aku chat dia untuk segera pulang sebelum petang."

"Ohh, oke kalau begitu. Thanks!"

.

.

Pada malam harinya, mereka berpesta ala gadis muda di rumah sewa tersebut, jangan bayangkan mengenai pesta liar yang sering dipertontonkan para remaja masa kini. Pesta mereka sangat sederhana dan tidak berlebihan dalam hal minuman beralkohol.

"Va, kau serius tak ingin mencari kerja di sini saja?" tanya Zhao Wenyi.

"Haiyaa … bilang saja kau ingin ditemani sampai kau lulus!" goda Maurin sambil mencubit pipi Zhao Wenyi.

"Yah, itu kan bagus!" kilah Zhao Wenyi.

Sementara itu, Ava dan Giavana hanya terkekeh melihat keributan biasa antara Maurin dan Zhao Wenyi.

Saat dua gadis sedang sibuk berdebat, Ava bertanya ke Giavana, "Va, kenapa tidak ambil pekerjaan yang ditawarkan Tuan Smith waktu itu?"

"Hm, tidak mau. Di perusahaan dia ada Ren." Raut muka Giavana mendadak berubah kecut.

"Rupanya kau masih belum memaafkan dia." Ava mengangkat gelas mungilnya dan meneguk habis isinya sampai dia mengerjap karena alkoholnya cukup keras untuk dia.

"Untuk apa memaafkan lelaki brengsek itu!" Maurin tiba-tiba saja menyela ketika dua tangannya masih ada di pipi Zhao Wenyi.

"Benar! Jangan pernah memaafkan dia! Dia tak pantas mendapatkan maaf darimu, Va!" timpal Zhao Wenyi dengan dua tangan dia berada di antara rambut kacau Maurin.

Sedangkan Giavana hanya terkekeh saja. Ya, sepertinya Maurin dan Zhao Wenyi benar, untuk apa memaafkan lelaki yang sudah menyelingkuhi dirinya? Lelaki seperti itu tidak akan pernah memiliki kesadaran untuk bertobat sampai kapanpun.

Karena selingkuh adalah penyakit kambuhan!

-0-0—00—0-0-

"Kau yakin akan menaiki pesawat itu, Va?" tanya Ava ketika mereka semua mengantar Giavana ke bandara.

Kepala Giavana mengangguk dan wajahnya menjadi sedih ketika dia melihat wajah sedih tiga temannya. Mereka pun berpelukan dan saling berjanji untuk selalu chat minimal seminggu dua kali.

Lalu, langkah kaki Giavana pun mulai meninggalkan ketiganya yang menahan tangis. Mereka sangat dekat selama berkuliah di Australia. Sebagai sesama mahasiswi dari belahan negara lain yang berkelana ke benua kanguru untuk menimba ilmu, mereka terikat satu sama lain atas dasar kesamaan nasib, jauh dari rumah dan orang tua.

.

.

Perjalanan dari Australia menuju Indonesia tidak memakan waktu lama. Makanya, pada hari itu pula Giavana tiba di rumahnya.

"Hm …." Ia menarik napas panjang seakan sedang merangkum sebanyak mungkin udara Indonesia begitu kakinya menapak di tanah air.

Tak mau berlama-lama di bandara hanya untuk bertingkah melankolis aneh, ia pun bergegas masuk ke taksi yang banyak tersedia di depan bandara dan berharap ibu dan kakaknya di rumah sudah menanti dirinya.

.

.

"Yuhuu …." Suara ceria bersemangat dilantunkan Giavana ketika dia sudah turun dari taksi dan berada di depan pagar rumahnya. Astaga, rasanya dia sungguh rindu akan aroma panas, gerah dan semilir bau asap knalpot. Dia jarang mendapatkan itu di Australia selama beberapa tahun ini.

"Ehh! Sudah pulang! Bocah Aussie sudah datang, Lyn!" Terdengar seruan dari dalam rumah sebelum akhirnya sosok penyeru itu muncul dari pintu depan yang dibuka. Beliau adalah Jena Amirta atau akrab dipanggil Bu Jen oleh warga sekitar rumah.

"Mama aku yang paling cuantiikk!" Giavana segera saja melebarkan senyumnya saat melihat sang ibu berjalan cepat ke gerbang depan untuk membukakan pintu bagi putri bungsunya.

Di belakang Beliau, ada suara terdengar, "Si Bontot sudah datang, yah Ma?"

"Kak Lyn!" seru Giavana ketika mendengar suara yang sangat dia rindukan. Tak lupa tangannya melambai gila ke atas ketika melihat sosok kakaknya, Rhaelida Magdalyn, atau yang biasa dipanggil Lyn itu muncul.

Segera, setelah pintu dibuka, maka Giavana pun menghambur ke pelukan ibu dan kakak perempuannya. Mereka saling riuh menyapa dan meluapkan kerinduan. Ini karena Giavana begitu jarang pulang ke tanah air.

Bukannya gadis itu kejam pada keluarganya, tapi dia tidak mau uangnya habis terpakai hanya untuk tiket pesawat saja, karena keuangan keluarga itu mulai merosot semenjak sang ayah wafat karena sakit jantung ketika Giavana baru saja memulai tahun pertamanya kuliah di Australia.

Tadinya Giavana berniat putus kuliah saja dan kembali ke Indonesia jika ekonomi keluarga berangsur tipis, namun ibu dan kakak perempuannya melarang dia pulang dan harus terus melanjutkan kuliah.

Dulu, ayah Giavana, Pak Dhanuarga Amirta, seorang kepala kantor di salah satu kantor pemerintah daerah. Meski bukan merupakan kantor berlahan 'basah', namun Pak Amirta menginginkan anak bungsunya untuk melanjutkan kuliah di luar negeri setelah anak sulungnya didiagnosa dokter mengidap penyakit jantung bawaan.

Ya, kakak perempuan Giavana memang sudah memiliki riwayat sakit jantung semenjak kecil sehingga dia lebih banyak di rumah dan tidak mungkin jauh-jauh dari orang tua. Yang diketahui Giavana adalah bahwa penyakit jantung bawaan yang diidap kakaknya adalah Kardiomiopati atau lemah jantung dan memiliki kecenderungan pada gejala Kardiomiopati Takotsubo (Brokenheart Syndrome), yang menyebabkan Magdalyn tak boleh terlalu senang atau terlalu sedih agar tidak memicu lemah jantungnya.

Oleh karena itu, Giavana lah yang dirayu untuk meneruskan pendidikan di Australia dengan harapan nantinya bisa mendapatkan pekerjaan yang sangat layak untuk membantu keluarga.

Dan mungkin Pak Amirta sudah memiliki firasat akan kematiannya, tak heran dia ngotot menginginkan putrinya sekolah di luar negeri untuk masa depannya.

"Wah! Aku kangen masakan Mama! Hari ini Mama masak apa?" tanya Giavana sambil memasuki rumah bersama ibu dan kakaknya.

"Ada udang tepung, ada juga sarden bumbu saos merah kesukaanmu."

"Wuaaahh! Itu favoritku semua! Terima kasih yah, Ma!"

"Ehh, apa kau tahu kabar hebat belakangan ini?"

"Apa, Ma?"

"Kakakmu akan menikah!"

Mata Giavana melebar dengan senyum dari telinga satu ke telinga lainnya.

"Mama, ihh …." Magdalyn tersipu.

avataravatar
Next chapter