1 Satu

You've tell me what love is...

And I'm flying so high...

Happiness is real... Happiness is real..

___

Dylan datang dengan wajah kusut dan kantong mata yang sedikit hitam, ia mengantuk setelah bergadang bersama teman sesama artis disebuah pub−tidak mabuk, hanya saja suasana hatinya sedang buruk. Ditambah ketika masuk ke apartemen manajernya, ia melihat begitu banyak wajah-wajah yang ia tidak kenal.

"Lihat apa lo?" tanya Dylan pada seorang gadis yang kebetulan bertemu mata dengannya, ia juga bisa mendengar desisan gadis itu saat menggelengkan kepalanya. Tanpa peduli, Dylan melewati mereka begitu saja dan masuk ke sebuah ruangan dengan kaca yang menutupi setengah dinding pembatas ruangan tersebut. Ruangan tersebut terlalu besar untuk diisi sebuah sofa panjang beludru dan sebuah meja kerja besar lengkap dengan dua kursi saling berhadapan.

Saat masuk ia sudah melihat Alva dan manajer Koh berbincang-bincang di sofa. Ia juga memperhatikan Alva melirik jam tangannya dan siap melemparkan pertanyaan karena sudah lewat lima belas menit dari jadwal. "Kenapa lo baru dateng?"

"Jakarta macet," jawab Dylan enteng. Ia duduk disebuah kursi empuk beroda dan memainkannya dengan memutar tubuhnya bersama kursi tersebut ke kanan dan ke kiri. Ia memperhatikan sekeliling ruangan kerja manajer Koh yang belum lama di renovasi. Dindingnya ditempel wallpaper berwarna krem dengan corak serat-serat.

"Dylan, kamu harus jaga penampilanmu sendiri dong. Jangan bikin penggemarmu kecewa sama kelakuanmu yang seperti ini," Manajer Koh memandang Dylan yang sibuk memainkan kursi kerjanya. Rambutnya kusut, kaos oblong dan celana jins kemarin. "Kamu nggak mandi ya? Bergadang lagi?"

"Ah, sial!" Dylan menggaruk kepalanya dengan kasar. Ia teringat meninggalkan kemeja yang baru ia beli di pub semalam. "Ya, sorry," Dylan bisa melihat manajernya menggeleng sambil menghela napas.

"Alva, kamu yakin mau ambil asisten yang nggak berpengalaman seperti mereka?" Manajer menunjuk menggunakan bolpoinnya ke kaca dua arah yang tepat berada di hadapan mereka. "Kan banyak asisten artis yang berpengalaman, kita tinggal tarik mereka terus kita berikan gaji lebih tinggi."

"Pokoknya gue nggak mau ngajarin asisten baru," seru Dylan. "Itu urusan Alva."

"Alva melayangkan senyumnya, "Nggak apa-apa, serahin aja ke gue."

___

Kirana membetulkan jaket jins-nya dan menariknya ke depan dada−menarik nafasnya dalam-dalam. Ia datang sepuluh menit lebih awal dari jam yang dijanjikan. Ia siap menekan bel pintu apartemen yang sudah berada tepat di hadapannya. Tidak lama saat interkom berbunyi, seorang laki-laki bertubuh gemuk membukakan pintu. Laki-laki itu mengenakan kemeja safari biru dengan motif pohon kelapa. Umurnya kisaran tiga puluhan, ia sangat ramah saat mempersilahkan masuk. Apartemennya tidak terlalu kecil juga tidak terlalu besar. Perabotannya tidak banyak, hanya beberapa hal yang benar-benar penting, tidak ada kehidupan lebih tepatnya. Kirana melihat di ruang tamunya sudah ada beberapa orang yang duduk menunggu. Sepertinya tawaran asisten ini bukan hanya kesempatan bagi dirinya saja. Jangan tanya dirinya mendapat tawaran dari mana. Semua hanya kebetulan. Alva mampir ke salon tempatnya bekerja untuk perawatan wajah. Ya, tentu saja dia orang tenar, penyanyi yang harus menjaga penampilannya. Penampilan adalah hal utama terlebih wajah. Saat itu, salah satu pegawai langganan Alva sedang cuti dan Kirana yang menggantikannya. Ia bercerita tentang tawaran asisten. Dengan percaya diri Kirana menawarkan dirinya, dan disinilah sekarang dirinya berada. Sebuah apartemen berukuran sedang dengan dua kamar, tapi salah satunya dijadikan sebuah kantor kecil dengan kaca ukuran besar yang hampir menutupi setengah dinding pembatas ruangan tersebut.

Kirana mencoba sedikit mengobrol dengan para pesaingnya. Sebagian dari mereka memiliki kenalan yang sudah bekerja lama menjadi seorang asisten artis. Pernyataan mereka sedikit membuat dirinya gusar. Mereka setidaknya sudah mendengar cara kerja asisten seperti apa, walaupun secara teori. Kirana kembali berfokus pada dirinya sendiri, ia tidak ingin kehilangan kesempatan seperti ini. Bekerja sebagai asisten dengan gaji yang tidak kecil seperti di tempatnya bekerja, memang melenceng jauh dari pekerjaannya, tapi keinginannya bekerja untuk sang idola membuatnya merasa kesempatan tidak akan pernah datang dua kali.

Gadis itu melirik jam tangannya dan tanpa terasa ia sudah duduk di sana selama dua puluh lima menit. Bukan waktu yang lama, tapi cukup lama menunggu ketika salah satu dari mereka belum ada yang dipanggil untuk sesi wawancara.

Kirana berpaling pada suara bantingan pintu yang cukup mengejutkannya. Ia melihat seorang laki-laki masuk dengan wajah suram dan penampilan kusut.

"Lihat apa lo?"

Laki-laki itu bertanya dengan kasar, Kirana cukup terkejut dan hanya mendesis. Ia buru-buru menunduk dan melirik dengan matanya. "Wajah orang itu nggak asing ternyata,"

"Ya iya lah, dia kan Dylan." Bisik seorang wanita yang duduk di sebelah Kirana. Perawakannya kurus tapi terlihat gesit. Mendengar cibiran wanita itu membuat Kirana hanya tersenyum. Bukan itu maksudnya, cuma aja rasanya pernah ketemu sama dia sebelumnya.

Saat sibuk dengan dunianya sendiri dan lamunannya, satu per satu peserta sudah meninggalkan ruang tamu untuk wawancara, dan mereka pulang dengan wajah masam. Apa sesulit itukah untuk menjadi asisten? Bukankah seperti sekretaris hanya saja lebih kasar pekerjaannya? Yah, Kirana terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri sampai tiba gilirannya.

"Halo?" Sapa Alva. Senyumnya mengembang dengan deretan giginya yang putih dan rapi. Ia benar-benar bisa melelehkan hati wanita yang melihatnya. Ia mempersilahkan Kirana duduk di sebuah kursi tepat di depannya dan hanya dibatasi sebuah meja kerja. Kirana dengan cepat juga menyapu ruangan tersebut dengan matanya. Di dindingnya tidak banyak figura, hanya ada beberapa foto mereka dan jam dinding, itu pun terlihat seperti hadiah dari sponsor. Ia melihat pria bertubuh gemuk yang membukakan pintu untuknya tadi sedang duduk di sebuah sofa sambil memperhatikan mereka bertiga. Di sebelah Alva duduk laki-laki yang tidak ramah tadi. "Ternyata kamu datang juga, Kirana?"

"Halo, saya Kirana Ayu." Kirana kembali memperkenalkan dirinya kembali pada dua laki-laki yang ada di ruangan itu.

"Baiklah Kirana," kata laki-laki gemuk itu yang ternyata adalah manajer mereka. Dengan tawanya ia juga memperkenalkan laki-laki kusut yang ada di sebelahnya, walaupun tanpa dikenalkan Kirana sudah mengetahui. Bagaimana tidak? Dia adalah Dylan pranawa, partner duet Alva antoni. Patut diakui, bahwa lagu ciptaannya semua membuat setiap album mereka melejit. Tapi tidak dipungkiri juga karena perfoma dan suara Alva yang luar biasa. Entah mengapa mereka benar-benar sangat saling melengkapi saat bernyanyi dan itu membuat Kirana merasa kagum.

"Menjadi asisten nggak sesulit kedengarannya sih, gampang kok, cuma ya memang agak repot."

"Harus selalu siap saat diperlukan. Satu kali dua puluh empat jam," sambung Dylan sambil mencondongkan tubuhnya.

"Nggak kayak gitu juga," Alva tersenyum dan dengan sabar ia menjelaskan lebih rinci seperti apa pekerjaan asisten itu sebenarnya. Tidak terlalu sulit, hanya saja ketahanan fisik harus lebih dijaga. Dan Kirana siap melakukan itu semua, demi Alva. Kapan lagi ia bisa dekat dengan artis favoritnya? Tidak butuh lama untuk Kirana menjawab 'iya'.

"Kamu bisa baca dulu surat perjanjian ini," laki-laki bertubuh gemuk yang dipanggil Koh memberikan beberapa lembar kertas untuk dibaca dan dipelajari. Isi surat tersebut lebih mirip surat kontrak perjanjian kerjasama dengan pasal-pasal yang harus dipatuhi. Hak dan kewajiban sebagai asiten tertulis sangat jelas di dalamnya. Pemecatan secara sepihak oleh pihak manajemen bisa saja terjadi jika pelanggaran yang dilakukan sangat fatal dan harus selalu mejaga kerahasiaan artisnya dari siapapun. Cukup berat.

"Kamu siap dengan semua yang tertulis disana, Kirana Ayu?" tanya manajer yang memanggil namanya dengan lengkap.

"Kirana melirik ke arah Alva untuk sesaat. "Iya, aku siap."

Dylan menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Okelah, gue sih ikut kalian aja."

Dengan ditanda tangani surat perjanjiannya itu Kirana tidak tahu kalau kehidupannya akan banyak berubah.

avataravatar
Next chapter