1 Kita Bertemu

Malam semakin gelap, langit sudah tak bisa menyisakan sedikit saja terangnya untuk menemani langkah seorang gadis yang tengah menelusuri jalan. Wajah itu masih terlihat datar, kedua kaki jenjangnya ia tapakan satu persatu pada jalanan beraspal. Di samping kiri, kendaran masih berlalu lalang dengan cepat, tapi tak ia hiraukan. Yang ia tatap hanya kegelapan, seolah hal itu sudah menyatu dengan tubuhnya, pada dirinya. Ia tak takut dan tak akan berpaling lagi dari hal-hal gelap. Ia bertahan, bertahun-tahun dan sendirian di dunianya yang bahkan tidak memiliki cahaya meski setitik pun.

Kenyataan seolah mengecam hidup yang ia miliki, kedua mata, tangan, kaki dan seluruh tubuh serasa tak berguna lagi baginya. Semuanya kini terasa sia-sia. Setelah ia, kehilangan cintanya, setelah ia kehilangan poros hidupnya. Malaikat yang selama ini selalu menjaga dan membahagiakannya pergi, jauh, sangat jauh. Dan ketika itu terjadi, dirinya hanya diam tak berkutik. Dia merasa menjadi seorang pengecut yang lemah.

Ia sibakan rambut hitam panjangnya yang baru saja terbang karena sebuah kendaraan melintas cepat, tepat di samping tubuhnya. Menengadah menatap langit, ia pun tersenyum remeh, lalu melihat jam yang melingkar tepat di tangannya. Jam sembilan malam, dan semenjak sepulang sekolah ... dirinya belum sampai di rumah. Hari ini, apa yang akan si Tua itu lakukan? Masih kah dia akan sabar atau---

Belum sempat wanita itu memikirkan perkiraan yang lain, air mata tiba-tiba luruh di kedua pipi. Tanpa ia sadar dan ia tau apa sebabnya ... dia, lagi-lagi menangis. Dadanya amat sesak, hingga ia menepuk-nepuknya selama beberapa kali dengan salah satu tangan yang dikepal kan. Tak tahan, ia memilih duduk di trotoar pinggir jalan, masih menangis tanpa alasan.

Ini sering terjadi, sejak umurnya 12 tahun, saat ia kelas enam sekolah dasar. Setelah sebuah kejadian yang merenggut nyawa sosok yang sangat ia cinta.

Dan setelah itu, Orang-orang menyebut jika dirinya memiliki sebuah gangguan mental yang cukup unik bernama ... Hypophrenia.

Hypophrenia adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan penderitanya tiba-tiba merasakan kesedihan dan menangis tanpa alasan. Dalam keadaan apapun dan di manapun. Biasanya disebabkan karena adanya gangguan hormonal. Efek trauma yang sangat mendalam dan belum dapat hilang termasuk karena pernah kehilangan seseorang yang paling berharga. [1]

Kiya sering menangis secara tiba-tiba, membuat orang lain keheranan dan tak jarang menganggapnya sebagai wanita gila. Tapi sungguh, ia tak peduli, yang dirinya perlukan saat ini hanyalah sebuah ... pelukan.

Ya, Kiya juga bisa memeluk siapapun yang ada di hadapannya. Untuk sekedar mendapat ketenangan, agar tangisnya bisa cepat berhenti dan hatinya pun kembali merasa baik.

"Hiksss ...." Kiya kembali memukul-mukul dadanya. Sesak sekali!

"Hey! Hey! Kenapa?"

Kiya menatap sepatu seseorang yang baru saja berseru kepadanya. Mendogak, ia mencoba menatap si pemilik suara maskulin tersebut.

Polisi!

"Kenapa? Apa ada masalah?"

Kiya menggeleng, mencoba bangun, masih dengan suara tangisan yang keras. Tangannya terulur, menuju pundak sang polisi, mendekatkan diri, ia memeluk badan kekar nan tinggi itu dengan kuat.

"Pehluk ahjah," ujar Kiya di tengah-tengah tangisnya.

Polisi yang masih berhelm itu mengerutkan alis tebal hitamnya bingung. Bocah SMA ini kenapa? Aneh sekali.

"Apa ada orang yang sudah menyakiti kamu?" tanyanya lagi, ia belum berani mengangkat tangan untuk membalas pelukan sang bocah. "Saya sedang bertugas, jadi jangan takut. Jika ada apa-apa kamu bisa bilang, saya akan melindungi kamu. Sudah kewajiban saya."

Kiya menggelengkan kepala, tangisnya baru sedikit mereda. Selain karena pelukan yang terasa nyaman, aroma maskulin yang menguar dari tubuh yang kini dirinya peluk juga memberikan efek tenang pada Kiya. Kiya sangat suka, biasanya, dia tak seberuntung ini ketika harus memeluk seseorang. Sesekali, Kiya mendapati laki-laki yang dia peluk, tapi tak ada seorang pun yang memiliki tubuh keras berotot, tegap dan tinggi. Bahkan kini kaki Kiya harus berjenggit agar ia bisa menyimpan kepala di bahu lebar sang pemilik.

Kiya melepaskan pelukan, saat merasa dirinya sudah membaik. Dan saat keduanya bersitatap ... Kiya baru menyadari, polisi di hadapannya sangat ....

Tampan! Serta terlihat masih muda.

Cahaya kuning lembut menemani suasana mereka kini, dari lampu jalanan yang menjulang tinggi, dari lalu lalang kendaraan yang tak bisa berhenti, semuanya nampak sempurna dan Kiya terpesona.

"Adek kenapa?"

"Abang polisi?"

"Iya ... saya polisi. Adek kenapa nangis di pinggir jalan?"

Kiya menelan ludah, mengalihkan pandangan pada name tag yang tertera di dada sandarable milik laki-laki yang kini ada di hadapannya. Di sana tertulis sebuah nama Arsakha Hakim. Nama yang sangat tampan, persis seperti sang pemilik. Kiya kini memang tak menangis, tapi jujur, ia ingin kembali memeluk tubuh itu lagi, merasakan nyaman dan hangatnya sekali lagi.

"Adek?!" teriaknya sedikit keras, karena barusan Kiya melamun.

"Saya nggak apa-apa, Abang," jawab Kiya malu-malu. Tersipu dengan perhatian dari aparat negara tersebut.

Padahal, Sakha---begitu orang-orang memanggilnya---memang harus memperhatikan semua hal yang ada di sekitar, apalagi kini ia tengah bertugas.

"Tapi kenapa tadi kamu menangis?"

Kiya menggeleng, dirinya sendiri 'kan tidak tau apa penyebab ia menangis barusan. "Nggak tau."

"Jangan bohong, kalau memang ada yang macam-macam sama Adek, bisa lapor ke saya. Jangan takut."

"Saya nggak diapa-apain Abang. Saya emang udah biasa tiba-tiba nangis."

Sakha terkekeh kecil sembari menatap mata bening bocah di hadapannya tidak percaya. "Mana ada orang yang kayak gitu."

"Abang nggak tau? Berati Abang bodoh!"

Kali ini, bukan tatapan sedikit mengejek yang Kiya dapati. Tapi tatapan mata tak percaya, yang bisa Kiya lihat dengan jelas dari sorot mata polisi tersebut.

"Kamu bilang apa, bocah? Saya bodoh? Kamu kali yang terlalu ngayal, nggak ada di dunia ini orang menangis tanpa sebab."

"Abang bener-bener harus sekolah lagi," ujar Kiya cuek, sembari menghapus cairan yang keluar dari hidung mancungnya dengan punggung tangan.

"Kamu ...!" Sakha mengerutkan kening heran. "Kamu diancam apa sama orang-orang yang jahatin kamu. Ayo jujur. Dan, kenapa anak SMA dengan seragamnya, wanita pula, masih berkeliaran di jam segini kalau memang tidak ada kasus."

"Udah saya bilang, saya nggak kenapa-kenapa Abang." Kiya lalu mengulurkan sebelah tanganya. "Lebih baik sekarang kita kenalan, halo, nama saya Azkiya Faaiza. Biasa dipanggil Kiya. Kalau Abang mau manggil saya sayang bisa, tapi nanti, kalau kita udah halal."

Sakha menganga, menatap wajah cuek di hadapannya. Sakha sungguh bingung dengan situasi ini. Apa ... barusan ia digombali oleh gadis ingusan?

"Kamu sepertinya kurang waras. Cepat pulang, saya masih harus menjalankan tugas," ucap Sakha cuek lalu kembali berjalan ke arah motor besar berwarna putih biru khas polisi.

Laki-laki itu menekan tombol stater, lalu menarik gas dan mulai melaju pelan. Namun sesaat kemudian, matanya membola ketika mendapati sebuah suara debuman. Dan saat melirik pada sepion ... seseorang tengah bergulingan di atas aspal, berjarak beberapa meter dari sebuah motor yang tergeletak.

Astaga ....

[1] dikutip dari https://dosenpsikologi.com/hypophrenia

Assalamu'alaikum guys, saya penulis baru di Webnovel, semoga kalian bisa menikmati karya-karya saya ke depannya, terimakasih ...

avataravatar
Next chapter