5 5

Ia mencabuti rumput-rumput terdekat untuk diberikan kepada rusa itu yang setia menemaninya. Rusa itu memakannya beberapa rumpun tapi menolak yang lainnya karena merasa kenyang. Lusia berusaha tersenyum di tengah kegalauannya.

"Andai kau bisa mengerti bahasaku, aku ingin bertanya ada apa sebenarnya dengan hutan ini? Kemana perginya Hendra, dan... kenapa kau mau menemaniku?" Lusia bertanya seraya menatap mata bening rusa itu yang  terus duduk tak mau jauh-jauh darinya.

Gadis itu terus berusaha berkomunikasi dengan binatang liar berperilaku aneh itu  untuk menghalau keresahan hatinya.

Rusa itu mendongakkan kepalanya seakan-akan mengerti apa yang dibicarakan Lusia.

Dan gadis itu terperangah saat melihat mata hewan itu tampak berkaca-kaca, seperti mengeluarkan air mata. Lalu menunduk saat Lusia memandangnya tak berkedip.

"Kau... menangis?" Gadis itu menatap tak percaya. "Baik, baik! Aku tidak tahu kamu ini sebenarnya siapa. Tapi setidaknya katakan sesuatu yang berguna untukku saat ini," Lusia lalu menepuk-nepuk pelan pipi hewan itu. "Aku harus memastikan bahwa Hendra baik-baik saja, dan segera keluar dari hutan ini. Aku mulai ketakutan..."

Rusa itu melenguh pelan. Ia menengadah sejenak, kemudian pelan-pelan berjalan menuju ke lobang persegi.

Lusia mengikutinya dengan rasa heran. Hewan bukan hanya jinak, tapi juga bisa berkomunikasi dengan caranya sendiri. Jangan-jangan hewan ini sebangsa siluman, pikirnya.

Hewan itu menciumi batu persegi penyangga lubang yang terbuka.

Lusia mengerutkan alis.

"Kau ingin aku menyusul Hendra masuk ke dalam?"

Binatang itu duduk di samping lubang.

"Oke. Mungkin itu maksudmu. Aku sebenarnya takut. Tapi aku ingin memastikan Hendra baik-baik saja," usai berkata itu Lusia pelan-pelan memanjat bibir lubang, lalu turun ke undakan berupa tangga. Hatinya dihantui perasaan was-was. Ada apa di bawah sana? Kenapa Hendra tidak balik-balik?

Dengan jantung berdebar ia turun ke bawah. Matanya membelalak menyapu keremangan di dalam lubang.

"Ooohhh!" Lusia terperanjat. Di bawah sana yang berupa ruangan sempit persegi terlihat Hendra duduk tersandar di dinding dengan mata terpejam. Tak bergerak-gerak, sementara di tengah ruangan terlihat satu benda lain berbentuk persegi sepanjang 2 meter. Benda itu juga terbuat dari batu.

Lusia mengabaikan benda di tengah ruangan itu namun secepatnya menghampiri Hendra yang tengah tersandar.

"Hendra...!" Bingung bercampur cemas ia mengguncang-guncang pundak pemuda itu.

Pemuda itu tak bergerak-gerak. "Hen... bangun, Hen! Bangun!"  ia terus mengguncang-guncangnya, hingga pemuda itu membuka matanya sedikit.

Lusia memekik lega. "Syukurlah kamu masih hidup! Hen, kenapa kamu seperti ini?!"

Ia menarik-narik lengan pemuda itu. Hendra tampak lemah sekali. Wajahnya juga sangat pucat. "Maaf aku tak bisa memberitahumu keadaanku, untunglah kau masuk kemari...." Hendra berkata lirih.

"Apa yang terjadi?" Lusia.berbisik ketakutan. Ia memandang ke sekelilingnya.

Hendra sekuat tenaga mengangkat tangannya untuk menunjuk ke arah benda berbentuk kotak di dalam ruang sempit itu. "Jangan kau dekati benda itu...! Aku... telah berusaha membukanya.... hingga aku seperti ini..."

Lusia cepat menoleh ke arah benda yang ditunjuk. Lalu menatap Hendra dengan bingung bercampur takut. "Apa yang harus kulakukan, Hen? Dan benda itu apa isinya?"

"Seluruh darahku seperti tersedot  saat aku membukanya, untung aku cepat menutupnya kembali, uh..."  pemuda itu berusaha menyandarkan kembali kepalanya ke dinding karena hampir merosot ke lantai.

"Oh..." Lusia semakin ketakutan. "Kita harus keluar dari hutan ini! Ternyata benar apa yang dikatakan orang-orang. Hutan ini memang ada kutukannya," desis Lusia sambil memegang lengan pemuda itu.

Antara takut dan penasaran ia menoleh kembali ke arah batu persegi yang ada di tengah ruangan. "Apa yang kau lihat di dalam benda itu?" bisiknya.

"Sosok wanita telanjang kayaknya, tapi tidak begitu jelas. Sepertinya cuma jasad hanya saja masih utuh... aku hanya sempat melihat... bagian kakinya" Hendra meringis karena kepalanya bertambah pusing.

"Bertahanlah, Hen! Aku berusaha mengeluarkanmu sini. Ini semua salahku," Lusia berusaha memapah pemuda itu.

"Ma kasih, Lus. Tapi kalau kau tak mampu, tinggalkan saja aku di sini. Kau cari Martinus, minta bantuan padanya," ujar Hendra dengan suara pelan. Pemuda itu semakin terkulai, matanya mulai meredup.

"Hen? Hendra...?!" Lusia menepuk-nepuk pipi pemuda itu. "Aduh! Gimana ini? Padahal dia satu-satunya harapanku untuk keluar dari hutan ini!" keluhnya.

Gadis cantik itu terus berusaha menyadarkan Hendra. Ia juga berusaha memapah tubuh pemuda itu, namun terlalu berat hingga jatuh lagi ke lantai. "Ups! Sori, sori...!" Lusia berusaha menelentanglan tubuh Hendra yang jatuh tertelungkup.

Gadis itu kebingungan sendiri. Ia mondar-mandir sejenak, lalu menatap ke atas menuju ke luar lubang. "Gimana caranya mengeluarkan Hendra? Ya ampun! Ini kesulitan tingkat dewa namanya!" Gadis itu menggerutu.

Setelah ditunggu cukup lama Hendra tak siuman juga ia memutuskan untuk keluar dari lubang. Sebelumnya ia menatap takut-takut ke arah batu persegi yang ada di dalam.

Pelan-pelan ia menaiki tangga batu. "Bertahanlah, Hen.... aku sedang mencari bantuan," bisiknya.

Dengan kaki gemetar ia terus melangkah ke luar lubang. Saat berada di luar mendung tebal menyambutnya.

Rusa jinak masih berada di tempat itu. "Kau setia juga rupanya!" sapa Lusia dengan suara bergetar.

avataravatar
Next chapter