22 Tewasnya Hendra

Hendra terus membidikkan senjatanya ke kepala makhluk yang memandangnya dengan tajam itu. Tangannya gemetar, namun cengkeraman jarinya kepada senjata itu semakin keras.

Bagian depan tubuh bersekat-sekat makhluk itu sedikit meliuk ke atas, seperti ancang-ancang hendak menerkam. Air liurnya yang berupa lendir menetes-netes dari mulutnya yang bertaring kecil, seperti bisa nya yang siap hendak digunakan.

"Astaga! Matilah kita!" Lusia berbisik ketakutan.

"Kau mundurlah, jika sampai terjadi apa-apa denganku..." suara Hendra agak tersendat. "Aku yakin kamu wanita yang tegar yang bisa menghadapi situasi apapun..."

"Hen... apa maksudmu???" Lusia semakin merasa ketakutan.

"Peluru di dalam senjata ini cuma ada tiga. Mudah-mudahan satu saja sudah cukup... yang dua lagi cadangan untuk kau pegang..." ia mengarahkan ujung senjata itu tepat di bagian tengah antara kedua mata makhluk itu.

Ssshhhh....

Terdengar desisan keras.

DOR!

Sekali menarik pelatuk, terdengar letusan dahsyat dari senjata yang dipegang Hendra. Suaranya menggema di dalam hutan.

Makhluk itu tak bergeming. Hanya terpaku dengan matanya yang menyala merah menatap keduanya.

"Dia tak mempan peluru..." Lusia mendesah tak percaya.

Tapi beberapa saat kemudian keduanya melihat cairan bening kehitaman mengucur dari lobang yang tercipta di antara kedua mata makhluk raksasa itu.

Kaki-kaki nya yang menancap di pohon terlihat bergetar lalu lunglai. Beberapa saat kemudian makhluk raksasa itu menggelosor jatuh ke tanah.

Gedebug! Krosak!

Makhluk itu menggeliat-geliat di tanah sebentar, lalu diam. Tak bergerak-gerak.

Lusia masih terpaku tegang. "Matikah dia, Hen?"

"Mungkin... sepertinya ya..." Hendra nasih agak kurang yakin. Ia terus menatap makhluk ganjil berukuran kurang lebih dua puluh meter itu.

Makhluk itu masih menggeletak di sela pepohonan dengan posisi setengah menggulungkan diri.

Lusia sampai bergidik.

"Aku tak bisa membayangkan kalau kita sampai digigitnya. Sedangkan sebesar jari kelingkingpun bisa mematikan racunnya," desis Lusia dengan perasaan ngeri.

"Aku merasa lambat atau cepat kita akan mati di hutan ini..." desah Lusia putus asa. Ia berpegangan pada sisi pagar pondok tempat mereka bernaung.

"Kamu ngomong apa sih?" Hendra mengerutkan alis. Ditatapnya gadis itu yang wajahnya kembali memucat ketakutan.

"Aku merasa kita tak mampu mengatasi keganasan hutan ini. Semuanya serba aneh dan tidak terkendali," ucap Lusia terengah. "Aku tidak tahu binatang besar apa lagi yang kita hadapi. Lipan saja sebesar ini, bagaimana dengan harimau? Buaya? Kalajengking? Lintah?" saat mengatakan itu Lusia merasakan bulu kuduknya merinding.

Ia terduduk di lantai pondok dengan mata menatap kosong.

Hendra kembali menyalakan lampu charger. Cahayanya menerangi sekeliling mereka. Ia menatap gadis itu yang wajahnya kian pias. "Selama ada aku di sini, aku akan berusaha melindungimu," kata Hendra.

"Andai itu kau ucapkan dalam situasi normal aku akan sangat bahagia mendengarnya," Lusia lagi- lagi menggumam putus asa.

Petir sekali lagi menyambar di langit. Cahaya nya menerangi sekitar hutan.

Tiba-tiba pondok yang mereka tumpangi terasa bergetar. Keduanya merasa terombang-ambing, dan Lusia memandang ke bawah dengan ketakutan.

Ada makhluk serupa kali ini berusaha merayap ke arah pondok. Kali ini ukurannya lebih besar!

Lusia terbelalak.

"Jangan panik, dan jangan melakukan gerakan apa-apa..." Hendra berbisik dan kembali mengarahkan moncong senjatanya ke arah makhluk itu.

"Sisa berapa peluru mu, Hen..." Lusia bertanya dengan tubuh gemetar.

"Sisa dua, tenang saja, mungkin tinggal satu siluman yang ini..." Hendra terus membidik.

Namun belum lagi ia sempat menekan pelatuk pistolnya, tiba-tiba dari arah atas mereka merayap pula mekhluk raksasa yang lain yang merayap di antara pepohonan.

"Hendraaaaaa....!" Lusia memekik ketakutan tatkala lipan raksasa di antara pepohonan itu langsung menyambar tubuh Hendra yang tengah menggenggam pistolnya. Tubuh pemuda itu seketika lenyap di dalam gulungan tubuh makhluk beruas-ruas itu yang seketika menjatuhkan tubuhnya ke tanah, lalu membawa pergi pemuda itu dengan menggelindingkan tubuhnya yang bergulung seperti roda.

Lusia terpaku dengan membelalak.

Kedua makhluk mengerikan itu pergi dengan sendirinya, membiarkan Lusia termangu tak percaya.

"Hendra...?" Lusia mendesah lirih, sulit mempercayai dengan apa yang dilihatnya.

Sulit percaya kalau Hendra telah menghilang disergap makhluk melata raksasa itu. Dan sulit juga percaya bahwa ia kini sendirian saja di hutan itu.

Sendiri menghadapi semua kengerian yang ia tidak tahu bentuk kengerian apa lagi yang bakal ia hadapi di hutan terkutuk ini!

"Hendraaaaa....!" Ia sekali lagi berteriak histeris memanggil teman seperjalanannya itu. Berharap ada sahutan dari Hendra, dan berharap itu semua hanya candaan pemuda itu.

Candaan?

Tidak mungkin!

Pemuda itu memang betul-betul telah lenyap dibawa makhluk-makhluk mengerikan itu. Mungkin saja ia kini telah tewas!

Gadis itu terduduk lunglai di lantai pondok. Matanya menatap kosong kegelapan di sekelilingnya.

"Hendra... kau di mana?" Lusia kembali mendesah. Masih tak percaya. Air mata mengalir di kedua pipinya.

Ia terbaring di lantai pondok di atas pohon itu. Mengusap kedua pipi nya yang basah. Isaknya tertahan di dada.

Tak ada guna nya menangis Lusia! Tak akan menolongmu, dan tak ada tempat untuk mengadu! Pikirnya.

Hendra adalah satu-satunya harapan untuk keluar dari hutan ini, tapi ternyata pemuda itupun kini telah menjadi korban kutukan di hutan itu. Akankah dirinya akan menjadi korban berikutnya?

Lusia merasakan telapak kakinya menjadi dingin mengingat hal itu. Apalagi sayup-sayup dikejauhan ia mendengar suara lolongan anjing memilukan.

Lusia menoleh pelan ke sampingnya. Di situ tergeletak senjata api milik Hendra yang tertinggal. Senjata itu menggeletak seakan-akan memberi pesan bahwa dirinya harus mengambil alih benda itu sepeninggal pemiliknya sesuai pesan Hendra untuk terakhir kali nya.

avataravatar
Next chapter