23 Teror di Kegelapan

Pistol itu ia raih dengan tangan gemetar. Ia amati dengan tatapan dingin. Sembari bibirnya menggumam pelan. "Apa artinya benda ini bagi diriku, bagaimana menggunakannya pun aku tak bisa..."

Anjing hutan kembali terdengar menggonggong. Kali ini ia tak mau dijajah oleh rasa takut lagi. Ia menatap sekitarnya dengan tatapan tajam. "Kalau aku harus mati ya mati! Tapi aku akan melawan apapun yang terjadi! Rasa takut juga tidak akan pernah bisa menolongku!" Ia mendengus penuh dengan rasa marah.

Ia menggenggam pistol itu erat-erat.

"Kalian keluarlah! Aku tidak takut! Aku akan hadapi kalian! Keluarlah! Keluarlah!" Ia berteriak-teriak bagai orang gila di tengah kesunyian hutan. Lama-lama ia terduduk kembali kelelahan. Lalu terbaring sambil nafas tersengal-sengal.

"Aku ingin keluar dari hutan ini! Itu saja keinginanku!" desisnya. Lalu ia menangis tersedu-sedu.

Tiba-tiba terdengar suara krasak-krusuk di semak-semak di bawahnya.

Gadis itu kembali tersentak bangun dan menatap ke bawah dengan perasaan berdebar-debar.

"Siapa kau! Kalau berani tunjukan mukamu! Jangan cuma bisanya menakut-nakuti!" Ia berteriak keras ke arah bawah. Pistol ia arahkan ke tempat yang ia curigai ada sesuatu yang mengincarnya.

Tangannya kembali gemetar. Rasa takut kembali menghampirinya bagaimanapun ia berusaha memunculkan kemarahannya.

Seuatu perlahan muncul perlahan dari semak-semak. Sesuatu yang memancarkan sepasang larik sinar merah redup. Sesuatu yang hampir sebesar seekor sapi muda.

Sesuatu itu bergerak perlahan menuju ke arah pohon tempat pondok persinggahan Lusia berada.

Gadis itu hampir saja menekan pelatuk pistolnya saat ia melihat sepasang tanduk yang bercabang-cabang dari makhluk mamalia yang baru muncul itu. Ia mengerutkan alis dan menurunkan pistolnya.

"Rusa...? Kau kah itu?" Suaranya tersendat di tenggorokan. Ia bergegas mengambil senter kecil yang ada di atas lantai, lalu menyorotkan sinarnya ke arah binatang yang selama beberapa waktu lalu sempat akrab dengannya.

Binatang itu melenguh pelan, seakan menjawab pertanyaan gadis yang dilanda rasa putus asa itu. Binatang itu kemudian duduk di rerumputan di dekat tubuh lipan raksasa yang menggeletak setengah melingkar tak bergerak-gerak.

"Oh astaga! Kau selalu datang di saat aku memerlukan pertolongan!" Lusia terbelalak gembira. Ia bergegas turun ke bawah setelah sebelumnya menyambar tas dirinya dan juga ransel Hendra.

Dilewatinya dengan cuek lipan raksasa yang menggeletak di bawah pohon. Dengan gembira ia langsung meloncat di hadapan rusa yang sedang duduk itu.

Lalu memeluk leher binatang itu dan menciuminya dengan penuh kerinduan.

"Kau kuanggap sahabatku sekarang! Tidak peduli siapapun dirimu dan apapun yang kau lakukan! Aku benar-benar kesepian di hutan ini! Aku butuh teman!" Lusia memekik-mekik histeris sambil terus memeluk binatang itu. "Kau bau rumput segar! Kamu habis makan ya?" ujarnya sambil membelai kepala binatang itu. Dan ia mengerutkan alis saat melihat kucuran darah pada luka di kaki binatang itu. "Kau... terluka? Siapa yang menyerangmu? Oh astaga! Kasihan sekali! Sini aku obati...!" Lusia bergegas mengambil alat-alat P3K yang ada di dalam ransel Hendra, secepat itu pula ia membubuhkan antibiotik dan membalut kaki rusa itu dengan perban. Luka itu seperti luka gigitan dan tampaknya cukup parah sehingga binatang itu jalannya pun agak pincang. "Aku akan melakukan apapun asal kau selamat karena kau adalah sahabatku," kata Lusia setelah menyelesaikan balutan perbannya.

Binatang itu menatapnya agak lama. Seperti berpikir.

"Aku ingin membawamu ke kota jika aku berhasil keluar dari hutan ini. Kau tidak layak tinggal di hutan yang kejam ini," kata Lusia.

Terdengar lenguhan pelan dari rusa itu. Ia menggoyang-goyangkan tanduknya yang bercabang-cabang.

"Hm, kau berusaha berkomunikasi denganku, tapi aku tak paham bahasamu. Mungkin perlu waktu untuk bisa memahamimu," Lusia untuk kali pertama tersenyum.

Ia lama menatap mata bening hewan hutan yang jinak itu. "Ada sesuatu nampaknya. Kau selalu datang jika aku membutuhkan pertolongan. Atau setidaknya aku merasa sendirian di hutan ini. Kau ini sebenarnya siapa? Atau siapa yang mengutusmu?"

Dan Lusia lagi-lagi melihat mata hewan itu berkaca-kaca begitu ia selesai dengan pertanyaannya. Sama seperti perjumpaan mereka sebelumnya.

"Ayolah! Aku harus tahu latar belakangmu! Kurasa kau mengerti kata-kataku, tapi kau tak bisa menjelaskannya..." ia menatap tajam bola mata rusa itu.

Rusa itu menundukkan kepalanya. Lalu merebahkan tubuhnya dengan malas di atas rerumputan.

Terdengar suara gemuruh di kejauhan. Lusia menajamkan pendengarannya.

Suara itu terdengar semakin mendekat. Ia membelalakkan matanya. "Apa itu...?" ia mendesah bingung.

Dan Lusia berteriak terkejut tatkala menyadari tanah di sekitar mereka digenangi banjir. Dan banjir itu terus semakin meninggi dengan arus yang deras.

Airnya terus meninggi hingga kini mencapai lutut kaki gadis itu.

"Banjir bandang!" Lusia berteriak panik. "Kita harus naik ke tempat yang lebih tinggi!"

Ia dengan panik segera menaiki tangga menuju pondok di atas pohon. Sesampainya di atas ia menarap ke arah rusa yang masih berada di bawah sambil menatap ke arahnya.

"Ayolah ikut aku! Kau tak bisa berenang bukan?" Ia menjulurkan tangannya.

Hewan itu melenguh, tapi tak juga beranjak, sedangkan kakinya sudah mulai terendam air sebatas dada.

"Aku kurang mengerti apakah rusa memanjat tempat yang lebih tinggi atau tidak...?" Lusia bergumam.

Air semakin naik dengan cepat. Kini tingginya bahkan mencapai anak tangga tertinggi dari pondok di atas pohon.

Rusa itu terlihat mengapung dan berusaha memanjat ke pondok. Lusia menjerit panik melihat air yang begitu cepat meluap. Ia menggenggam erat tanduk rusa itu dan berusaha sekuat tenaga menariknya ke atas. Hewan itu juga terlihat terseret oleh arus yang deras.

"Aku akan terus memegangmu! Aku tak mau kehilanganmu! Aku baru saja kehilangan teman!" Lusia masih menjerit-jerit panik sambil terus memegang ujung tanduk rusa itu.

Rusa itu akhirnya berhasil menjejak ke lantai pondok, namun seiring dengan itu air juga semakin meninggi hingga mencapai lantai bangunan.

"Aduh! Gimana ini?!" Lusia semakin bingung. Ia dengan tegang memandangi air yang semakin deras meninggi menggenangi hutan itu. Ia tetap merangkul leher rusa itu seakan-akan takut kehilangan hewan yang telah berkali-kali menolongnya.

avataravatar
Next chapter