26 Siapakah Dirimu Rusa?

Gadis itu mengerutkan alis. Antara takut dan penasaran. Peti-peti yang entah isinya apa itu kini semuanya terkuak.

Lama ia menatap kotak-kotak kayu yang terbuka dengan sendirinya itu. Jantungnya kembali berdetak.

"Monster apalagi yang keluar dari dalam peti itu? Aku sudah jenuh dengan semua kengerian ini...!" Desisnya sambil mata melotot.

Beberapa detik ia menunggu, namun ada terjadi apa-apa, selain peti-peti itu yang tetap terbuka.

Lusia menarik nafas sejenak. Kotak-kotak itu sepertinya kosong melompong, cuma ada satu yang berisi sesuatu, tapi Lusia tak berani segera mendekatinya.

Si rusa melenguh pelan, lalu mendekati satu kotak yang ada isinya. Binatang itu memandang ke dalam kotak. Lama terpaku di sana sambil mengendus-endus di sana.

"Biasanya jika kau memperhatikan sesuatu, pasti ada sesuatu yang istimewa..." Lusia berbisik. Ia pelan-pelan menghampiri kotak yang menarik perhatian si rusa aneh. Jantungnya kembali berdebar-debar.

Dari dalam kotak memancar cahaya redup kebiruan. Lusia mendekatinya dengan kening berkerut.

Ada sesuatu yang memancarkan cahaya aneh itu dari dalam kotak. Sebuah benda sebesar jari telunjuk berwarna bening. Benda itu terus mengeluarkan cahaya berdenyut-denyut.

Gadis itu memandang takjub sekaligus bingung. Rasa penasaran membuatnya memberanikan diri untuk lebih mendekati.

Lama ia mengamati benda itu, namun tak menemukan jawaban benda apa yang dilihatnya. Yang ia rasa hanya perasaan amarah dan kebencian saat terus menatap benda bercahaya itu.

Ia cepat-cepat memalingkan wajahnya, dan pengaruh benda itupun hilang.

Cepat-cepat ia menutup kembali kotak kayu itu hingga cahaya nya tidak terlihat lagi. Mungkin ini sejenis benda sihir...! pikirnya.

Perhatiannya kini beralih kepada kotak-kotak lain yang ukurannya lebih besar.

Kali ini ia terkejut. Sosok-sosok tubuh mungil tergeletak di dalamnya. Seperti sosok anak kecil, tapi sudah mengering dan mengerut, berwarna coklat kehitaman.

Ia membelalakkan mata. Lalu mundur salangkah. Di sekitar sosok-sosok kecil yang terbaring itu terdapat sejumlah alat-alat kuno seperti pisau tembaga, paku besar berkarat dan sebongkah logam berbentuk bulat, juga dalam keadaan berkarat.

Dan ia terkejut saat sekilas terlihat pemandangan mengerikan. Sosok-sosok itu berubah menjadi anak kecil telanjang yang berkeloyotan berlumuran darah, pada bagian leher mereka seperti ada bekas sayatan yang terus mengucurkan darah segar.

"Argh! Ngeeekkk!" anak-anak di dalam kotak itu berteriak sekarat sambil menggelepar-gelepar kesakitan, lalu terdiam seakan-akan sudah mati.

Lusia terpaku dengan jantung berdetak lencang. Matanya membelalak dengan tatapan nanar. Pemandangan itu kembali berubah seperti sedia kala, berupa sosok-sosok kecil yang mengerut.

Lusia terenyak. "Apa maksud semua ini?" Ia mendesis dengan nafas terengah-engah.

Ia mundur dengan perasaan ngeri.

Berikutnya ia mendengar suara-suara lenguhan sekarat di sekitarnya. Ia berpaling dan terkejut mendapati tulang belulang yang menggantung di pepohonan berubah menjadi sosok-sosok pria dan wanita telanjang dalam keadaan terikat dan tergantung di pepohonan. Mereka juga dalam keadaan berlumuran darah karena luka-luka sayatan pada leher dan perut mereka.

"Oohhh! Hhrrrkkk! Grrkkk!" Mereka berteriak-teriak kesakitan sambil matanya melotot menatap Lusia seakan minta tolong kepadanya. Sebagian bahkan ada yang melambaikan tangannya ke arah dirinya.

"Ooohhhh...!" Lusia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ia mundur selangkah demi selangkah. Pemandangan itu berubah lagi seperti semula. Hanya tulang-belulang yang menggantung di ranting pepohonan.

Lusia terengah-engah karena perasaan ngeri. "Tempat ini seperti tempat penyiksaan atau ritual sesembahan tumbal..." desisnya.

Ia berpaling ke arah rusa yang kembali sibuk merumput. Ia cemberut sebal. "Hei! Aku ketakutan kau malah sibuk makan!" Gerutunya sambil mencubit bagian perut hewan itu.

Bergegas ia menutupi kembali penutup peti-peti itu, takut kalau-kalau peti yang terbuka mengundang pemandangan-pemandangan aneh yang baru saja dilihatnya.

Rusa itu melenguh pelan, dan memandangnya dengan ekpresi lucu seakan-akan mengejeknya.

Gadis itu terduduk di bawah pohon. "Ada sesuatu yang sangat tidak beres dengan hutan terlarang. Pantas saja orang-orang kampung melarang siapapun masuk ke kawasan ini..." gumamnya kepada diri sendiri.

Ia teringat kembali ucapan nenek kuyang dan cucunya yang mengungkapkan bahwa hutan ini menyimpan sesuatu yang menyebabkan adanya kutukan sehingga orang-orang dilarang untuk memasukinya. Kutukan yang menyebabkan hutan ini dirahasiakan selamanya dari orang-orang luar.

Kecuali mereka berdua yang telah menjamahnya!

"Hendra sudah mati... apakah aku giliran berikutnya?" Ia menggumam miris. Ia berpaling menatap rusa yang sejak awal setia menemaninya. "Aku harus berjalan dan menemukan perkampungan sebelum malam tiba, kalau tidak aku bisa terjebak di hutan ini selamanya, atau aku akan mati," katanya dengan hati gamang.

Ia sebenarnya sudah mulai putus asa, namun saat menatap mata rusa yang kerap berkaca-kaca itu, semangat hidupnya berkobar kembali.

"Kau belum mengungkapkan jati dirimu yang sebenarnya. Maukah memberikan petunjuk padaku? Aku yakin kau bukan hewan biasa. Kau bersikap dan berpikir seperti seorang manusia!" Lusia menatap tajam hewan yang berkali-kali menyelamatkannya itu.

Anehnya setiap kali ia menanyakan perihal hewan itu, selalu dijawab dengan tatapan berkaca-kaca dan tertunduk lesu.

Lusia mendekatinya. Ia duduk bersimpuh di dekat hewan yang hanpir seukuran sapi dewasa itu. Membelai lehernya dengan perasaan haru.

"Teman, aku merasa saat ini tak ada gunanya berharap terlalu banyak untuk bisa hidup. Mungkin sebentar lagi aku akan mati, hanya tinggal menunggu waktu. Tapi setidaknya aku ingin sekali tahu siapa dirimu agar aku tidak mati penasaran...." ia berbisik. Dan kembali ia sesenggukan menangis. "Kau tahu bagaimana rasanya kalau ajal kita sudah di ujung tanduk? Inilah yang kurasakan saat ini," suara Lusia bagai tersendat di tenggorokan.

Rusa itu menjilati tangannya, sambil sesekali menatap dirinya dengan mata beningnya yang berkaca-kaca.

"Andai aku selamat juga, maukah kau ikut tinggal denganku? Kau adalah hewan paling istimewa yang pernah kutemui dalam hidupku..." bisiknya.

Habis berkata begitu ia kembali terduduk tersandar di pohon dan menangis tersedu-sedu. Tak dipedulikannya roti dan mie instan yang berserakan di dekat ransel Hendra. Ia menangis menumpahkan rasa sedih dan ketakutannya.

Karena kelelahan dan depresi tanpa disadarinya ia jatuh tertidur sembari memeluk leher rusa yang sejak tadi hanya diam menatapnya.

Di dalam mimpinya Lusia merasakan berjalan sendirian di kawasan hutan perbukitan. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah rumah megah bak.kerajaan di masa lalu.

Terlihat seorang pemuda tampan mengendap-endap di antara pepohonan mengintai rumaj bak istana di tengah hutan itu.

avataravatar
Next chapter