31 Siapa di Atas Loteng?

Lusia makan dengan lahap. Perutnya sangat lapar karena berjam-jam tidak menemukan makanan, dan hampir semalaman juga tidak tidur.

Ia tidak peduli seberapa besar bahaya yang ia temui bersama Seruni di kampung itu, yang jelas ia telah menemukan tempat yang layak untuk makan dan tidur.

Dan sejauh itu ia bahkan tidak peduli dengan banyaknya mayat-mayat penduduk bergelimpangan, seperti habis terjadi peperangan di kampung itu. Hanya Seruni yang terlihat masih begitu trauma. Ia hanya makan sedikit, sementara Lusia sudah beberapa kali menambah nasi, dan duduk bersimpuh di lantai menikmati piring nasinya.

Usai menyantap makanannya dan perutnya terasa kenyang, Lusia menatap Seruni yang duduk termenung di atas tikar dapur. Perempuan itu tampak beberapa kali menarik nafas panjang. Seperti menyesalkan sesuatu.

Lusia ikut-ikutan menghela nafas. "Apa yang kau pikirkan setelah kejadian yang menimpamu, Seruni?" Ia bertanya.

"Masa depanku terasa gelap..." jawab Seruni lirih. Ada butiran bening mengalir di sudut matanya. "Tadinya kupikir setelah perkawinanku akan akan hidup sederhana tapi bahagia. Membantu suami jadi petani, punya anak dan membesarkannya, lalu tua dan melihat anak-anakku menikah lagi, mungkin juga aku akan jadi nenek-nenek... tapi setelah semua ini terjadi, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dan bagaimana masa depanku lagi..." ia menyapu butiran air matanya. "Kupikir hidupku akan sesederhana itu. Kami orang kampung tak punya pikiran yang muluk-muluk... yang penting kami bisa makan..."

"Seruni, kita tidak bisa menduga apa yang bakal terjadi. Bisa saja sesuatu yang buruk terjadi, tapi itu semua mungkin ada hikmahnya," Lusia tenggorokannya terasa tercekat saat ia mengatakan itu. Ia lagi-lagi dihantui perasaan bersalah.

"Kamu jangan khawatir. Kalau semua penduduk kampung ini musnah, kau bisa ikut aku ke kota. Kau bisa tinggal bersamaku," ajak Lusia.

"Ma kasih, kak. Kamu sangat baik padaku. Aku tak bisa membayangkan seandainya aku tak bertemu denganku..." Seruni memaksakan diri untuk tersenyum.

Ia lalu bangkit berdiri. Menghampiri Lusia lalu memeluk gadis itu seraya menangis tersedu-sedu. Lusia merasa serba salah. Perempuan itu mencurahkan isi hatinya kepada dirinya yang sebenarnya akar penyebab semua bencana itu terjadi.

"Tapi kalau bisa aku ingin tetap tinggal di kampung ini. Di sini aku dilahirkan, di sini pula aku mati..." Seruni bagai tak berminat dengan tawaran Lusia.

"Dengan kampung sesunyi ini? Itu juga kalau kutukan ini sudah berakhir. Kalau tidak? Untuk keluar dari kampung ini saja aku masih bingung memikirkannya," tandas Lusia.

"Aku akan usahakan cari jalan keluar untuk kakak, tapi aku akan tetap di sini," tegas Seruni.

Lusia geleng-geleng kepala. "Aku tak akan biarkan kau tinggal sendiri di kampung ini, aku akan bertanggung jawab..." Lusia tak jadi meneruskan kata-katanya.

"Maksud kakak apa?" Seruni mengerutkan alis.

Lusia menelan ludah.

"Kau tidak bertanya kenapa aku sampai ada di kampung ini?"

Seruni menggeleng. "Orang dari kota masuk ke kampung ini adalah hal yang wajar," jawabnya. "Kenapa kakak menanyakan hal itu?"

Lusia menggelengkan kepalanya. "Kedatanganku ke sini adalah hal yang tidak wajar," kata Lusia. "Tapi sudahlah. Aku malas membahas itu. Yang penting sekarang adalah kita harus keluar dari sini dalam keadaan hidup."

Lusia bergegas ke arah jendela. Memandang keluar, ke arah tumpukan mayat-mayat warga kampung. Tapi mayat-mayat itu sudah tak ada lagi di sana. Ia mengerutkan alis.

Ia berpaling ke arah Seruni. "Kau tidak ingin lihat ke arah luar sana? Mayat-mayat itu sudah tidak ada lagi..."

Seruni tercengang. Ia cepat menghampiri jendela. Memandang ke arah luar. Mayat-mayat itu memang sudah tidak ada lagi di sana. Ia mundur kembali ke dalam rumah. "Siapa yang mengangkuti mereka?" ia bergumam merasa takut.

Lusia terus memandang ke arah luar. "Atau siapa yang memakan mereka? Atau lebih buruk lagi... kemana mereka pergi...?" Lusia bertanya dengan setengah berbisik. "Yang jelas ada sesuatu yang hidup selain mayat-mayat itu. Atau.. mayat-mayat itu sendiri yang berjalan dengan kaki mereka sendiri?!" Ia meringis.

"Kakak membuatku takut!" Seruni berdesis.

"Rumah ini ada lantai dua nya kan? Tutupi saja dulu semua pintu, terus kita naik ke atas loteng," kata Lusia. Ia bergegas menutup pintu dapur, lantas berlari ke ruangan depan yang jaraknya sekitar lima belas meter dari dapur.

Rumah itu memang tergolong besar, dan banyak memiliki jendela pada sisi-sisi nya.

Saat Lusia berada di ruangan tamu, ia melongok ke halaman depan. Di situ semula ada beberapa tubuh warga yang tewas bersimbah darah, kini sudah tidak ada lagi.

Ia bergegas menutup pintu, dan juga jendela-jendela yang ada di sampingnya.

"Ada senjata lain di rumah ini? Parang dan tombak misalnya selain yang kudapatkan tadi?" Lusia bertanya dengan perasaan tegang sambil terus memeriksa jendela-jendela yang ada di rumah itu.

Seruni menggeleng. "Kampung ini aman sejak dulu, senjata tidak begitu diperlukan..."

"Ya sudah. Kita naik ke loteng saja sekarang. Senjata-senjata itu sebenarnya sangat kita perlukan saat ini..."

"Itulah masalahnya kak, aku tidak mau kembali dulu ke kampung ini..."

Lusia mendelik. "Iya, masalahnya di hutan juga tidak ada tempat kita berlindung!" Ia bergegas menaiki tangga loteng. Seruni mengikutinya dengan bingung bercampur ketakutan. "Sementara kita sembunyi saja di lontengmu. Pengalamanku makhluk-makhluk itu gak bisa menjangkau tempat yang lebih tinggi. Selain kita bisa lebih mudah memantau keadaan dari atas," ia langsung mendahului tuan rumah menuju ke atas.

Pintu ruang atas ia buka tergesa-gesa, dan ia menerobos masuk sementara Seruni menyusulnya di belakang.

"Oohhh...!" langkah Lusia langsung terhenti saat berada di ambang pintu masuk. Matanya membelalak.

Di dalam ruang loteng berukuran 10 x 8 meter itu, di sudut ruangan berdiri seorang kakek renta berpakaian compang-camping memegang sebilah parang, tampak siaga dan memandang tajam ke arahnya. Kakek tua itu seperti waspada dan mengancam Lusia yang berdiri terpaku di ambang pintu.

avataravatar
Next chapter