21 Kegelapan Yang Mematikan

Keduanya mengintip dari dalam gubuk dengan perasaan berdebar. Siapa lagi yang datang?

Orang-orang perusahaan atau orang-orang kampung yang sedang mencari mereka?

Jantung keduanya semakin berdetak kencang saat sebuah motor boat berukuran lebih panjang langsung menghampiri dari arah tengah sungai.

Perahu boat itu melaju pelan tanpa ada lampu, dan langsung menubruk sisi jembatan.

Kendaraan sungai itu langsung berhenti.

Di kegelapan keduanya sulit mengenali siapa-siapa saja yang menjadi penumpang di motor boat itu. Dalam kegelapan mereka hanya melihat sekitar enam orang penumpang duduk di kursi jok. Tak bergerak-gerak.

Hendra sengaja mematikan semua penerangan di tempat itu untuk berjaga-jaga.

Lusia membelalak ketakutan setelah melihat motor boat itu berhenti dengan cara tidak wajar, yaitu menubruk sisi jembatan.

"Siapa mereka, Hen...?!" Ia berbisik pelan.

Hendra menyilangkan telunjuknya di bibir. "Kita lihat saja dulu, sepertinya ada yang tidak beres..." bisik Hendra.

Selama sekian puluh detik tak ada gerakan apa-apa dari orang-orang yang menumpang motor boat itu. Barulah setelah keduanya agak pegal mengintip, perlahan-lahan orang di dalam perahu itu bergerak.

Satu persatu naik ke atas jembatan dengan langkah kaku. Jalannya agak sempoyongan dan pandangan mereka semuanya ke arah gubuk tempat keduanya bersembunyi.

Hendra menggenggam erat pistol di tangannya. Ia terus mengamati orang-orang itu yang terus melangkah mendekati gubuk.

"Oh, Hen...! Bagaimana ini?!" Lusia mendesis ketakutan.

Jembatan berderak-derak terinjak kaki mereka. Samar-samar Hendra mendengar suara desisan bercampur suara geraman dari mulut orang-orang itu. Langkah mereka juga kaku dan sempoyongan.

"Sudah saatnya melarikan diri... Mereka memang orang-orang perusahaan yang ingin menjemput kita, tapi mereka semua sekarang sudah mati, dan mereka semua sekarang sudah jadi mayat hidup...!"

"Oh?!" Lusia terbelalak.

Hendra segera menarik lengan gadis itu. Membawanya lari keluar dari gubuk dan langsung ke dalam hutan.

Sosok-sosok sempoyongan itu menggeram dan berusaha mengejar mereka. Keduanya tersaruk-saruk masuk ke dalam hutan yang tidak mereka kenal.

Lusia masih terbelalak ketakutan.

"Hen... kalau mereka terus mengejar kita, aku tidak sanggup berlari terus begini!" Lusia tertatih-tatih mengikuti langkah cepat Hendra. Ia sempat terjerambab, tapi Hendra dengan tangkas menarik pinggangnya agar gadis itu bisa berdiri lagi.

Berjalan di jalan setapak di dalam hutan lebat bukanlah hal yang gampang. Apalagi di malam hari yang hanya diterangi oleh cahaya senter kecil.

Lusia tercengang saat semakin masuk ke dalam hutan, banyak terdapat gubuk-gubuk kecil di sekitar mereka. Beberapa di antaranya bahkan ada yang berupa rumah panggung semi permanen, namun sebagian besar dalam keadaan lapuk.

"Berhenti saja!" Hendra memperlambat langkahnya si dekat sebuah gubuk yang terletak di atas pohon besar. Ia terengah-engah, tapi terlihat tenang, tak seperti Lusia yang sangat ketakutan.

"Hen... kenapa berhenti? Mereka bisa menyusul kita!" Lusia membelalak.

"Kau mampu terus berlari tak tentu harus kemana?" Hendra bertanya seraya ia menarik lengan Lusia, mengajaknya menaiki tangga menuju ke gubuk di atas pohon.

Lusia langsung menurut. Kendati ia masih merasa cemas menatap keadaan hutan di sekelilingnya.

Mereka menaiki tangga menuju rumah pohon yang ternyata cukup mudah dinaiki.

Sesampai di gubuk atas pohon Hendra segera meletakkan ranselnya, sementara Lusia tersandar kelelahan di dinding gubuk.

"Kalau mereka mayat hidup beneran kurasa mereka kesulitan menaiki tangga ini," kata Hendra.

Ia mengambil sesuatu dari dalam ranselnya. Ternyata sebuah lampu charge kecil, yang ketika dinyalakan cahayanya redup namun cukup untuk menerangi sekitar mereka.

Lusia sudah agak tenang sekarang setelah sebelumnya sempat panik. Ia menarik nafas panjang.

Selama beberapa saat lama nya mereka berdiam diri, tidak terdengar sesuatu yang mencurigakan di hutan itu.

"Romantis sekali lampu mu..." Lusia tersenyum seraya memandang pemuda itu.

"Kalau kau mau ambil saja untukmu," kata Hendra. "Oh, aku janji akan memberikannya untuk selepas kita keluar dari hutan ini."

"Kau yakin kita bisa keluar dari hutan ini, Hen?"

"Kenapa tidak? Cuma aku yang tak yakin apakah setelah kita kembali ke area perusahaan semuanya baik-baik saja?"

Lusia tertegun.

"Kau pikir mereka semua tidak dalam keadaan baik-baik saja?"

Hendra mengangguk. "Kau mendengar sesuatu bukan, saat kontak ponsel dengan temanmu?"

Lusia menarik nafas panjang. "Aku tidak tahu bagaimana nasib Rina sekarang. Aku sangat sedih..."

"Sudahlah! Kau istirahat saja dahulu! Biar aku yang menjagamu malam ini," kata Hendra.

Lusia tersenyum. "Aku sebenarnya ngantuk dan lelah, tapi aku cemas sekali membayangkan seandainya aku tertidur tahu-tahu aku malah dikerumunin zombie." kata gadis itu sambil nyengir.

"Zombie setahuku tak bisa memanjat," kata Hendra.

"Dari mana kau tahu?"

"Dari filem..."

"Ini bukan filem! Apa pasti sama?" Lusia tertawa.

Terdengar suara krosak-krusuk di semak-semak.

Lusia kembali terbelalak tegang.

"Apa itu orang-orang perusahaan tadi, Hen?" Lusia berbisik. Tubuhnya terasa kaku karena kembali ketakutan.

Hendra bergegas mematikan lampu charge. Suasana menjadi gelap gulita.

"Hen... kok....!"

"Aku matiin, adanya cahaya menarik perhatian makhluk-makhluk yang ada di sini..." bisik Hendra.

Pemuda itu menggeragap dalam kegelapan mencari senjata api nya. Setelah menemukan ia berdiri dengan sikap waspada memandang ke bawah, mengamati keadaan di bawah sana dengan bantuan cahaya rembulan.

Semak-semak dan pepohonan di bawah mereka tampak bergerak-gerak. Pemuda itu terus menajamkan penglihatannya.

Sesuatu yang sangat besar berwarna gelap tampak merayap menyusur di antara pepohonan. Sesuatu yang bersekat-sekat, berkilat dan memiliki kaki-kaki yang sangat banyak. Beruas-ruas berwarna kekuningan.

Hendra membelalak. Ia tidak tahu sesuatu itu apa, otaknya memancarkan sinyal berbahaya.

Apa itu kelabang?

Tak mungkin kelabang sebesar itu!

Sesuatu itu terus meluncur! Meliuk-liuk di antara pepohonan dan mengeluarkan suara berdesing!

Lusia terpaku tegang, ikut memandang ke bawah. Dan ia ikut terbelalak saat menatap sesuatu yang bergerak di antara pepohonan itu mulai merayap menaiki pohon tempat mereka bersembunyi.

Sesuatu yang memanjang sebesar pohon kelapa itu merayap pelan dengan kaki-kaki nya yang beruas menuju ke arah mereka.

Hendra segera mengarahkan pistolnya.

avataravatar
Next chapter