28 Kebingungan Lusia

Perempuan itu masih tetap tersedu-sedu.

Lusia menghela nafas. Ia menepuk pundak perempuan lusuh berpakaian pengantin itu. "Tak ada gunanya bersikap melankolis di sini. Hutan ini sangat ganas, ada hal-hal mengerikan tak terduga akan kita alami, jadi bersikap tegarlah!" katanya. Ia melirik ke arah gaun berumbai perempuan itu. "Ada baiknya kita potong saja gaunmu. Dalam situasi begini akan menyulitkan kalau mempertahankan bawahan panjang begitu," lanjutnya. Ia agak khawatir jika kerepotan berlari membawa orang yang bergaun panjang.

Perempuan itu menengadah. Ia menatap khawatir ke arah rusa besar yang sedang duduk santai di dekat Lusia.

"Sejak tadi hewan itu duduk di situ? Apa ia tidak berbahaya?" tanyanya.

"Ia jinak. Bahkan ia sudah lama berada di dekatku," jawab Lusia.

Perempuan itu agak bingung. Ia terus menatap rusa itu seperti tak percaya. "Aneh, hewan hutan bisa jinak. Tapi memandangnya membuat perutku lapar. Kalau di kampung kami biasanya rusa seperti ini akan dimasak beramai-ramai jika berhasil ditangkap...."

"Eeeee...! Enak saja! Jangan macam-macam ya! Hewan itu sudah menjadi milikku!" Lusia cepat menyela dengan nada jengkel. Ia bergegas mengeluarkan beberapa bungkus mie instant dan roti yang tidak jadi dimakannya dari dalam ransel Hendra. "Kalau kamu lapar makan saja yang ini. Jangan rusa itu. Dia masih hidup! Tidak layak santap!" ujarnya sambil melemparkan makanan ringan itu ke arah gadis bernama Seruni itu. Ia takut sekali kalau rusa itu diapa-apain oleh si gadis kampung.

Gadis kampung itu tersenyum kecut. "Jangan khawatir, Kak. Aku bukan harimau yang suka menyantap hewan hidup-hidup," katanya.

Ia bergegas mengambilnya dan memakan roti itu dengan lahap. Rasa laparnya setelah berjam-jam bersembunyi membuatnya makan tanpa memperhatikan lagi Lusia yang terus memandangnya.

"Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Lusia. "Oh ya, kenapa hal itu sampai terjadi pada kampungmu?" selidiknya.

Seruni menghentikan makannya. Ia agak keselek. Lusia cepat-cepat menyorongkan air mineral yang ada di tangannya.

"Ma kasih kak, aku gak nyangka menemukan orang baik di hutan ini," katanya, lantas meneguk air itu cepat-cepat. Ia kemudian memandang heran ke arah Lusia. "Oh ya, kenapa kakak bisa ada di tempat ini...?"

"Ceritanya panjang. Kau belum menjawab pertanyaanku," sela Lusia.

Seruni seperti berpikir. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, pulang ke kampung aku gak berani, di sana tidak aman. Mayat hidup bermunculan dari mana-mana dan berusaha membunuh siapa saja yang ditemui," jawabnya dengan wajah ngeri.

Lusia mengerutkan alis. "Kau tahu penyebabnya apa?"

Seruni terdiam. Seperti trauma. "Kata orang-orang, sebelum mereka kutemukan mati terbunuh, kutukan telah terjadi karena ada yang membangkitkannya. Aku juga kurang begitu paham, tapi orang-orang tua dulu juga pernah menceritakan yang kuanggap hanya seperti dongeng pengantar tidur, " jawabnya.

"Oh?" jantung Lusia berdebar-debar mendengarnya. Ia makin penasaran ingin tahu lebih jauh tentang kutukan itu. Tapi sekaligus kecewa karena jalan untuk keluar dari hutan itu telah tertutup.

Tadinya ia berkeinginan untuk pergi ke kampung gadis itu guna mencari jalan menuju ke perusahaan Om Doni. Tapi sepertinya rencana itu mesti ia batalkan dengan satu alasan yang pasti.

Bayangkan. Seruni yang penduduk kampung saja tidak berani pulang ke kampungnya sendiri.

Mayat hidup berkeliaran!

Astaga! Hal itu hanya terjadi dalam film-film horor yang ia tonton selama ini. Tapi kini benar-benar menjadi nyata!

"Cerita apa orang tua kalian?!" Lusia mendesak.

Seruni terdiam. "Apakah ini penting buat kakak?"

"Ya. Sangat penting! Aku ingin tahu asal-usul kutukan hutan ini. Siapa tahu dengan mengetahui asal usulnya kita bisa membatalkannya," jawab Lusia.

"Aneh, kakak. Bagaimana mungkin kita bisa menghilangkan kutukannya? Selamat dari kutukan ini saja kita belum tentu bisa!"

"Kalau aku tahu sumber dari kutukan itu, mungkin aku bisa!"

"Tidak mungkin! Kutukan ini benar-benar kuat! Tak ada yang mampu melawannya. Orang paling sakti pun tidak bisa..."

"Aku yakin bisa! Kita lihat saja nanti!" Lusia terus mendesak.

Seruni terpana. Ia menatap Lusia dengan pandangan tak percaya.

Lusia terus mendesaknya. "Dengar Seruni. Kalau kita hanya ketakutan dan berlari kesana kemari, tak akan bisa menyelesaikan masalah. Kutukan ini akan terus-menerus mengejar kita sampai kita mati kelelahan. Kita harus bisa melawannya kalau ingin tetap hidup..."

Perempuan itu masih tetap terpana. Ia mengerjab-ngerjabkan matanya. "Kakak ini orang dari mana sih? Sejak dulu saja tak ada orang yang mampu mengatasi kutukan ini, apalagi kakak!" perempuan itu tetap berkeras.

Lusia terdiam. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Bagaimanapun mengungkapkan keadaan dirinya yang sebenarnya, atau apa yang telah ia lakukan akan mengundang bahaya tersendiri.

Dialah penyebab semuanya ini!

Tapi tampaknya perempuan itu adalah satu-satunya peninggalan penduduk kampung!

Bagaimana mungkin dia membahayakan? Lusia tersenyum geli sendiri.

"Oh, hm. Menurutmu siapa kira-kira orang yang telah membangkitkan kutukan ini?" Ia bertanya hati-hati. Memancing.

Seruni menggeleng. "Tidak tahu siapa, mungkin ada orang kurang waras coba-coba berani memasuki hutan terlarang. Mungkin penduduk desa luar," katanya.

Lusia merengut dongkol. Tapi ia tak berani berkomentar lagi.

"Kurang waras....?" Ia menggumam sendiri dengan suara pelan. Ia lalu memandang rusa yang masih asik merumput, kemudian menatap lagi ke arah si perempuan yang masih duduk di bawah pohon. Tampaknya ia mengantuk karena semalaman tidak tidur dan melarikan diri. Ditambah lagi perutnya terasa kenyang setelah makan roti dan mi instan tanpa direbus.

Matanya menatap sekelilingnya, yang berupa hutan lebat dan angker. Tiba-tiba muncul satu kesadaran dalam dirinya. Ia tiba-tiba ketakutan, dan langsung merenggut lengan Seruni.

"Oh tidak! Ini tidak boleh terjadi! Kita harus segera pergi ke kampungmu! Kita harus pergi sekarang juga!" Lusia menyentak panik.

Seruni kebingungan. "Kenapa kak? Bukankah di kampungku tidak aman...?"

avataravatar
Next chapter