8 8

"Banyak hal terjadi di tepi sungai... Lusia menatap Hendra dengan tatapan prihatin. "Kau baik-baik saja, Hendra?"

Pemuda itu mengangguk. "Aku baik-baik saja. Oh ya, sebaiknya kau cepat-cepat keluar dari ruangan ini. Aku ingin menutup benda persegi itu. Tampaknya benda itulah yang menyebabkan aku seperti ini," Hendra menunjuk benda persegi yang ada di tengah ruangan.

Lusia melihat ke arah benda yang ditunjuk pemuda itu. Penutupnya tampak semakin terkuak. Ia mengerutkan alis.

"Jangan katakan hal-hal yang buruk lagi, Hen... aku sudah lelah mendengarnya. Aku baru saja hampir mati terbunuh, dan Martinus kutemukan sudah tak bernyawa di tepi sungai..." Lusia mendesah.

Hendra terperangah. Ia menatap Lusia seakan tak percaya.

"Kau tidak bicara main-main, bukan?"

"Untuk apa aku main-main? Hen, kita harus cepat-cepat keluar dari hutan ini. Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres di hutan ini sehingga warga mati-matian menjaganya."

Hendra menghela nafas. "Pak Doni pasti tidak senang mendengarnya..." desahnya.

"Mungkin saja Om Doni tidak senang mendengarnya, tapi bagiku cukup satu nyawa saja sudah yang menjadi korban, tak perlu ada korban yang lain!" Lusia cepat-cepat memegang lengan Hendra. Menyeretnya menyuruhnya berdiri.

"Lepaskan aku. Aku akan berusaha berjalan sendiri. Kau cukup mengawasi aku saja kalau-kalau aku terjatuh, yang pasti aku ingin menutup benda itu dulu," Hendra tersenyum.

"Jangan sentuh benda itu, Hen...!" Lusia melotot khawatir. Ia menoleh lagi ke arah benda persegi di tengah ruangan.

Celah terbuka di benda itu justru terlihat semakin melebar. Dan penutupnya perlahan-lahan bergerak sendiri. Ada cahaya kemerahan berpendar-pendar di dalamnya.

"Oh, Hen...! Jangan buang-buang waktu! Kurasa benda itulah pusat dari kutukan di hutan ini!" Lusia menjerit panik.

Hendra terhuyung-huyung melangkah bersusah-payah dibantu oleh Lusia. Mereka mulai mencapai undakan tangga.

Penutup benda itu semakin bergeser. Lusia melotot melihatnya. Ia semakin berusaha mati-matian menyeret Hendra keluar dari ruangan itu.

Beberapa saat kemudian mereka telah berada di luar ruangan. Hendra terguling di lantai batu, namun tenaganya semakin pulih.

Lusia bergegas menggeser penutup lubang, namun tenaganya tak cukup hingga ia terengah-engah.

"Hen! Kita harus menutup lubang ini! Aku mulai melihat alasan kenapa warga melarang orang-orang datang ke tempat ini!" Lusia menjerit panik.

Hendra dengan kaki terseret-seret berusaha menghampiri lubang dan membantu gadis itu menutupnya.

Terengah-engah, di tengah tiupan angin kencang yang tiba-tiba berhembus,  mereka akhirnya berhasil juga menutup rapat lubang itu seperti semula.

Kedua nya tersandar di tepi lubang dengan nafas terengah-engah.

"Kita kayaknya sudah melakukan hal yang fatal, Hen! Mungkin inilah yang ditakutkan orang-orang jika ada yang menjamah hutan ini, meskipun kita tidak tahu itu apa..." Lusia mendesah.

"Aku minta maaf padamu, karena telah meyakinkanmu bahwa hutan ini tidak ada apa-apanya," kata Hendra.

Angin berhembus semakin kencang. Bahkan menyerupai angin topan. Suaranya menderu-deru menghempas sela-sela pepohonan dan dedaunan. Membuat Hendra dan Lusia kebingungan.

"Hen... aku takut!" Lusia tampak menggigil karena angin itu juga terasa dingin di tubuhnya.

"Kita akan segera pergi dari tempat ini, kau jangan takut!" Hendra meraih lengan Lusia sambil tersenyum untuk menghibur gadis itu.

avataravatar
Next chapter