6 6

Setelah ditunggu cukup lama Hendra tak siuman juga ia memutuskan untuk keluar dari lubang. Sebelumnya ia menatap takut-takut ke arah batu persegi yang ada di dalam.

Pelan-pelan ia menaiki tangga batu. "Bertahanlah, Hen.... aku sedang mencari bantuan," bisiknya.

Dengan kaki gemetar ia terus melangkah ke luar lubang. Saat berada di luar mendung tebal menyambutnya.

Rusa jinak masih berada di tempat itu. "Kau setia juga rupanya!" sapa Lusia dengan suara bergetar.

Petir menggelegar,  ia cepat-cepat melangkah menuju ke arah tepi sungai. Di mana keberadaan motor boat dan pengemudinya, di situlah ia menuju.

Perjalanan setengah berlari selama sepuluh menit terasa sangat panjang bagi Lusia. Tapi ia langsung terpana kecewa ketika sampai di tepi sungai dirinya tak menemukan siapa-siapa di situ, selain dari motor boat yang tertambat pada sebatang pohon kecil.

Berkali-kali ia mengedarkan pandangannya berkeliling, tapi ia tak menemukan sang motoris berada di situ.

"Ya ampun! Kemana ya, Dia?" Lusia mengeluh kecewa. Ia ingin berteriak memanggil-manggil tapi takut kalau suaranya mengundang penghuni lain di hutan tak terjamah itu.

Sejenak ia berdiri mematung, bingung harus melakukan apa. Nafasnya terasa sesak.

Pikiran buruk menghampirinya. Jangan-jangan Martinus dimakan binatang buas...?

Matanya nyalang ke arah motor boat. Secara logika seharusnya Martinus tidak boleh jauh-jauh dari tempat ini karena ia ditugaskan untuk mengantar pulang pergi mereka.

Pohon-pohon besar, daun-daunnya yang rimbun, serta hembusan angin yang lencang seakan-akan berkata kepada dirinya agar dia harus segera meninggalkan tempat itu.

"Bagaimana mungkin? Aku tak bisa meninggalkan Hendra sendirian di tempat ini!" rutuknya kesal. "Kemana sih perginya si pengemudi sialan itu?!"

Dengan pandangan lelah, akhirnya ia terduduk putus asa di bawah sebatang pohon rindang. Seraya memandang kosong ke arah motor boat yang tertambat.

"Seandainya Hendra dan Martinus ada di sini, dan aku bisa pulang, aku bersumpah tak akan datang lagi ke tempat ini," desisnya.

Matanya terus memandang kesana kemari. Lalu pandangannya terhenti pada sebatang pohon besar yang tak jauh darinya.

Di sebalik pohon itu tampak sebilah lengan terkulai di atas rerumputan. Gadis itu memicingkan matanya.

Lengan siapa itu...?

Pasti lengan Martinus!

Lusia maju perlahan-lahan sambil memicingkan matanya. Apakah pengemudi itu tertidur?

Langkah demi langkah ia mendekat. Pundak pemuda berbadan kurus itu mulai kelihatan. Lusia segera menjamah pundaknya.

Saat disentuh, tubuh Martinus di balik pohon itu langsung ambruk ke tanah.

Lusia terpana....

Derik berikutnya ia memekik ngeri.

"Haaaaaahhhh...!"

Ia menatap tak percaya. Matanya membelalak ketakutan.

Tubuh pemuda kurus itu berlumuran darah. Isi perutnya berhamburan di luar tubuhnya.

Lusia spontan berlari ke tepi sungai. Di sana ia muntah-muntah sambil berjongkok di dekat motor boat.

                        ***

Om Doni terlihat bingung. Ia beberapa kali menghubungi Hendra melalui ponsel, tapi tak ada respon dari pemuda bawahannya itu.

Rina juga terlihat gelisah. Gadis itu malah seperti hendak menangis. Ia berkali-kali hendak menghubungi Lusia, tapi tak ada nada sambung.

Sejumlah staff perusahaan berseragam abu-abu tampak serba salah di hadapan mereka. Mereka hanya bisa terdiam sambil saling berpandangan.

"Seandainya kami tahu Pak Hendra ke sana, kami akan mencegahnya, pak..." salah seorang staff membuka suara.

"Dia bahkan bersama teman keponakanku," pungkas Om Doni. "Oh, ya? Kau juga ikut-ikutan percaya dengan bualan omong kosong itu?" Om Doni menatap staff yang berbicara itu dengan tatapan tajam.

"Maaf, Pak Doni. Perkara tanah terlarang itu bukan hanya mencuat pada saat sengketa lahan saja, tapi itu sudah ada sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu..."

"Kupikir di sana memang tak ada sinyal kali," sahut Om Doni lagi. "Itulah sebabnya mereka tak bisa dihubungi."

"Yang kami takutkan begini pak. Warga ternyata ada yang mengetahui kalau orang bapak ada yang pergi ke tanah terlarang. Mereka berusaha mencegahnya agar tidak ada yang kesana..." sela salah seorang staff.

Om Doni mengerutkan alis. "Maksudmu...?"

"Mereka marah besar, Pak. Bagi warga masalah tanah terlarang adalah harga mati. Jadi tak ada seorangpun yang boleh menerobos ke sana, apapun alasannya..."

"Justru kedatangan Hendra ke sana adalah untuk membuktikan kalau legenda tanah terlarang adalah omong kosong belaka!" Om Doni terlihat emosi.

Para staff yang tadi tersengar kasak-kusuk semuanya terdiam.

"Dengar. Aku tak mau sampai terjadi apa-apa dengan orang-orangku. Segera kirim aparat untuk menjemput mereka di tanah terlarang. Kalau sampai warga berbuat yang tidak-tidak terhadap mereka, silakan saja berhadapan dengan aparat!"

"Baik, Pak."

Para staff perusahaan itu segera bergegas keluar dari ruang pertemuan.

Om Doni geleng-geleng kepala. Lalu tersandar di kursinya sambil menghembuskan nafas panjang.

"Lusia, aku sudah melarangnya, tapi dia nekad juga," kata Rina dengan wajah sedih. "Semoga saja mereka baik-baik saja..."

"Aku tidak khawatir dengan keangkeran hutan itu karena itu hanya omong kosong. Yang kukhawatirkan adalah warga yang sedang marah," sahut Om Doni. "Tapi tenang saja. Aku sudah kirimkan orang untuk menjemput mereka."

"Ini semua karena salahku. Aku yang membawa Lusia ke tempat ini," Rina  mendesah. Ada rasa sesal di hatinya. "Kalau sampai terjadi apa-apa pada dirinya, aku tidak bisa memaafkan diriku..." desisnya.

                      ***

Lusia merasakan perutnya agak lega setelah muntah-muntah. Ia kembali ke daratan namun agak jauh dari tubuh Martinus yang terlihat mengerikan.

Tak berani memandang Martinus yang sudah tidak bernyawa. Ia hanya duduk terdiam di bawah pohon. Wajahnya terlihat pucat karena menahan takut dan mual.

Baru saja akan berdiri dan melangkah pergi, telinganya mendengar suara deru mesin perahu dari kejauhan.

Nguuuuunggg...

Ia menajamkan pendengaran. Suara perahu itu semakin mendekat.

Lusia segera menyembunyikan diri di balik pohon. Ia mengintip dengan perasaan was-was. Siapa orang yang berani datang ke tempat ini? Pikirnya.

Suara deru mesin semakin mendekat. Lalu terlihat sebuah perahu mesin kecil berisikan tiga orang penumpang berwajah sangar.

"Di sini tempatnya! Mereka singgah di tempat ini! Berhenti, berhenti!" Salah seorang di perahu terdengar berteriak.

Mesin perahu segera dihentikan. Seseorang menambatkan perahu di salah satu ranting pohon.

Ketiganya memandang motor boat yang tertambat dengan tatapan penuh kebencian.

"Sudah dikatakan jangan ganggu tanah keramat! Eh, mereka malah memasukinya!" Seseorang terdengar mengutuk-ngutuk.

Lusia semakin merapatkan dirinya ke balik pohon. Jantungnya berdebar-debar.

Ketiga orang itu segera naik ke daratan. Namun sebelum beranjak,  salah satunya sempat-sempatnya  menendang motor boat, tapi kemudian ia menjerit dan berjalan terpincang-puncang.

Teman-temannya yang lain memandangnya dengan bingung.

"Ngapain juga menendang benda mati? Ujung-ujungnya nanti kakimu yang bengkak!" sang teman segera membopongnya melangkah.

"Aku benci sekali dengan orang-orang perusahaan itu! Mereka datang untuk membangkitkan kutukan yang sudah kita jaga selama turun-temurun!" dengus si pincang.

"Cari saja dulu mereka. Kalau masih ada di sekitar sini, bunuh saja sekalian. Tapi kalau mereka sudah masuk tanah terlarang biarkan saja. Toh mereka bakal mati sendiri...!"

Mata Lusia membelalak dalam persembunyiannya. Separah inikah situasi yang ia hadapi?

Ia menutup mulutnya. Matanya mulai berkaca-kaca.

Orang-orang itu mulai berkeliling mencari-cari. Lusia menahan nafasnya. Jantungnya semakin berdetak kencang.

Salah seorang memandang ke arah ia bersembunyi, lalu berjalan pelan-pelan ke arahnya. Sambil terus memandang kesana-kemari.

Lama lama posisinya semakin mendekat, bahkan kini posisinya sekitar dua meter dari pohon tempat ia berlindung.

Lusia mulai bimbang untuk menentukan apakah ia lari saja atau tetap bersembunyi hingga dirinya ditemukan. Jantungnya semakin berdetak kencang.

Itu adalah pilihan yang sama-sama beresiko!

Sembunyi, akan tetap ditemukan lalu dibunuh.

Lari? Sama saja! Tetap akan dikejar sampai dapat, ujung-ujungnya akan dibunuh juga!

Lusia ingin menangis saja di tempat ia bersembunyi.

Dilihatnya orang itu tidak hanya mencari-cari. Tapi juga menggenggam parangnya dan menebaskannya kesana-kemari. Menyingkirkan semak-semak kecil yang menghalanginya. Matanya menjelajah liar kesana kemari.

Dan kini...

Orang itu tinggal sejengkal jaraknya dari dirinya!

Gadis itu ambil ancang-ancang. Ia akan melarikan diri sekuatnya jika orang itu menemukannya. Atau ia akan melawan!

Mati melawan lebih terhormat dari pada mati dalam keadaan pasrah dan memelas-melas minta diampuni. Hasilnya toh sama saja! Ya mati juga!

Orang itu menebaskan parangnya lagi memapas semak belukar. Dan hampir saja mengenai lengan Lusia yang sedang menutup mulutnya.

Gadis itu menjerit kaget. Dan langsung ambil langkah seribu menuju ke arah hutan.

Orang itu terperangah sesaat karena terkejut. Tapi hanya beberapa detik ia langsung berteriak. "Aku menemukannya! Ia lari ke dalam hutan! Cepat kejar!"

Lusia berlari melebihi kemampuan normalnya. Ia bagaikan melayang di udara saat mengayunkan kakinya dengan ketakutan yang mencapai puncak.

Namun kecepatan penuh itu tak selalu membawa keuntungan baginya. Kakinya tak terkontrol hingga menyepak akar pohon yang membentang di hadapannya.

Dengan satu teriakan putus asa gadis itu terjungkal ke rerumputan dalam posisi tengkurap.

Secepat kilat ia membalikkan tubuhnya, tapi ketiga orang bersenjata tajam itu telah tiba di hadapannya. Mereka bersiap menebaskan parangnya ke arah tibuh gadis berkulit putih itu.

Lusia menjerit putus asa seraya menutup matanya dengan kedua tangan.

Biar saja! Mungkin ini akhir hidupku! Pikirnya sedih.

Sekian detik memejamkan mata dengan pasrah. Tapi tak ada sesuatu yang terjadi.

Yang terdengar hanya desis heran ketiga orang itu. Salah satunya bahkan berkata dengan nada terkejut. "Astaga! Dia seorang perempuan cantik...!"

Lusia perlahan membuka matanya dengan ketakutan. Ia tak melihat gerakan orang itu untuk membacoknya. Yang ia lihat ketiga orang itu meletakkan parang masing-masing, lalu dengan penuh kekaguman dan minat aneh terus memandangi dirinya.

"Hei... kau orang perusahaan itu ya? Kenapa kau berani ke sini? Mana teman-temanmu?"

Lusia menggeleng. Ia tak berani berbicara. Takut salah ucap yang ujung-ujungnya bisa berakibat fatal.

Ketiga orang itu saling berpandangan, lalu sama-sama tersenyum. "Dia ketakutan sekali..." bisik salah satunya yang berbaju hitam. Ia lalu menatap Lusia dengan pandangan lembut. "Jangan takut. Kami tak akan menyakitimu..." desisnya seraya tersenyum. "Kau akan mendapatkan sentuhan lembut dariku, ha ha ha."

Lusia mengendus bahaya lain mengintai dirinya selain kemungkinan untuk dibunuh. Ketiga orang itu tampaknya.... seperti golongan orang-orang yang sulit mendapat surat SKCK di kepolisian!

Ia berdiri dengan sikap waspada. Tapi orang itu juga ikut waspada  dengan secepatnya mengelilingi dirinya.

"Perempuan cantik semlohay merupakan pemandangan langka di tengah hutan belantara...!" desis salah satunya dengan wajah gembira. "Jadi, membunuhnya merupakan sebuah kebodohan yang tak termaafkan sepanjang sejarah!"

Srek!

Tiba-tiba terdengar suara gemerisik di antara pepohonan. Suara yang menyiratkan ada orang lain di tempat itu selain mereka. Dan itu cukup mencurigakan bagi para pengepung Lusia.

"Heh? Coba kau periksa... siapa pengintip sialan itu! Jangan-jangan teman wanita ini juga!" perintah salah seorang.

"Enak aja! Di saat aku memeriksanya, kau sudah menikmati santapanmu ini!" protes satu yang lainnya.

avataravatar
Next chapter