3 Bangunan Misterius di Dalam Hutan

Martinus sang motoris terlihat gelisah di kursi kemudi motor boat yang dikemudikannya. Ia berkali-kali menengok memandang ke dalam hutan di tepi sungai, di mana Hendra dan Lusia menghilang di balik pepohonan. Tidak muncul-muncul juga.

Ia melirik jam di ponselnya. Sudah pukul 10.30, berarti sudah satu jam Hendra dan Lusia memasuki hutan itu.  Belum ada tanda-tanda kemunculannya keduanya.

Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal ia menggumam pelan: "Apa mereka tidak takut kalau kutukan hutan ini benar-benar nyata? Ah, orang kota selalu tidak mau percaya hal-hal begituan. Apalagi kalau sekolahnya tinggi," gerutunya.

Angin bertiup sepoi-sepoi, pria bertubuh kurus itu terpejam beberapa saat, menikmati angin yang cukup dingin. Bahkan karena nikmatnya ia sampai bersandar di jok kemudi sambil bersiul pelan.

Makin lama matanya makin mengantuk, dan ia seperti sulit untuk membuka matanya.

Akhirnya ia tertidur bagaikan orang terkapar mabok minuman keras. Tanpa ia menyadari air sungai yang semula berwarna bening kecoklatan perlahan-lahan berubah warna menjadi merah dan semakin merah....

Burung-burung liar yang semula berada di are hutan dan bersembunyi di balik pepohonan terlihat beterbangan ke angkasa seperti ketakutan.

Dari dalam air, di dekat motor boat tiba-tiba muncul sebilah tangan, separuh tulang belulang, bergerak-gerak memperlihatkan ruas-ruas jarinya yang terkoyak-koyak.

Jari-jari tangan yang sudah membusuk!

Jari jemari itu mencengkeram bagian roda motor boat. Menariknya hingga kendaraan air itu bergerak ke belakang.

Martinus yang tertidur di jok depan sontak terbangun merasakan ada keanehan gerakan pada motor boat nya.

"Hoi! Siapa...." ia celingukan kesana-kemari mencari-cari siapa yang menggerakkan benda bermesin itu. Ia semula menyangka itu adalah ulah Lusia atau Hendra, namun tidak ia temukan siapa-siapa di situ.

Tapi ia mendengar kecipak aneh di air di dekatnya.  Apa ini ulah ikan atau buaya? Pikirnya dengan jantung deg-degan.

Ia memandang sekelilingnya kembali, lalu menengok dengan hati-hati ke bawah air. Badannya terus dicondongkan ke bawah karena penasaran melihat bayangan hitam tak dikenal di dalam air. Terus mengamati dengan kening berkerut.

Bayangan di air itu semakin membesar, membesar seperti sesuatu bergerak mendekati permukaan.

Martinus membelalak. Ia bergegas menarik tubuhnya kembali dan duduk di jok motor boat  dengan nafas tersengal-sengal.

"Astaga! Ini berarti ada yang tidak beres! Kurasa apa yang diyakini warga itu benar! Hutan ini pasti ada kutukannya!"

Pemuda bertubuh kurus itu melompat ke daratan. Matanya nyalang kesana-kemari mencari-cari Lusia dan Hendra.

Langkahnya ragu-ragu menyusuri hutan. Antara takut dan bingung.

"Pak Hendra....! Pak Hendra...!"

Agak jauh ke dalam hutan, Hendra dan Lusia justru menemukan sesuatu yang menarik perhatian mereka.

Selain menemukan seekor rusa berkelakuan jinak, keduanya juga menemukan tumpukan bebatuan yang terlihat aneh bagi mereka.

Tumpukan bebatuan berbentuk persegi itu tersembunyi di balik rimbunan hutan. Luasnya hampir sebesar lapangan futsal.

Rusa jinak yang selalu berada di dekat mereka itu terlihat membaringkan diri di tanah. Memakan rumput dengan santainya tanpa mempedulikan keberadaan Lusia dan Hendra yang dilanda bingung bercampur takjub.

Hendra mencoba menyibakkan sedikit semak-semak yang menutupi bebatuan itu. Matanya nanar menatap bebatuan persegi yang tersusun secara rapi menyerupai bangunan acak.

Tampaknya batuan misterius itu tak pernah terjamah selama puluhan tahun. Berlumut namun terlihat kokoh. Susunannya tak beraturan namun membentuk bentangan persegi seperti sengaja disusun pada masa lampau.

Hendra terpaku beberapa saat. Matanya nyaris tak berkedip. Ia terus menggosok-gosok lumut dari salah satu balok batu. Wajahnya tampak serius.

"Apa artinya ini, Hen?" Lusia datang mendekat. Diabaikannya rusa jinak yang sedang duduk merumput di belakang mereka.

Hendra menggeleng. "Aku tidak tahu. Ini seperti bangunan, entah bangunan apa, dan entah kapan dibuatnya..." Henda memfokuskan pandangannya memandangi batu-batu persegi yang tersusun menyerupai undakan-undakan tangga itu. "Jangan-jangan dugaan kita benar... ini adalah situs peninggalan masa lampau yang sengaja disembunyikan oleh warga, entah apa maksud mereka menyembunyikan ini..."

"Barangkali mereka menyembunyikan harta karun, Hen!" Lusia matanya berbinar-binar, berusaha menebak.

Hendra mengedikkan bahu nya. "Entahlah. Tapi kalau harta karun kurasa bukan. Untuk apa harta karun disembunyikan? Mending dibagi-bagi, ha ha ha," pemuda itu tertawa sejenak, lalu pelan-pelan mengelilingi bebatuan tersebut karena rasa penasaran.

Ia terus mengarahkan kameranya ke semua sudut bebatuan. Lusia mengekor  dari belakang.

"Apapun bangunan ini, yang pasti kita sudah menemukan sesuatu yang luar biasa. Ini situs sejarah! Kita jadi terkenal!" Lusia memekik tanpa sadar.

Mereka terus asik berkeliling mengamati bebatuan bersusun tersebut. Dari bagian tepi nya hingga ke bagian tengah yang berbentuk agak cembung segi empat dengan penutup batu pipih di atasnya.

Hendra mengerutkan alis. Ia mendekati bagian tengah yang agak ganjil itu. Berukuran sekitat empat meter persegi.

Kini keduanya berada di dekat batuan persegi itu.

"Ini seperti tempat menyimpan sesuatu..." Hendra berbisik. Ia berjongkok, memeriksa lebih dekat. "Isi nya apa ya? Sepertinya ini bisa di buka..." pemuda itu memegang batu pipih yang sepertinya penutup dari sususan batu persegi itu.

"Hati-hati, Hen! Kita tidak tahu isinya... jangan-jangan isinya laptop!" Lusia membelalak sambil tersenyum.

Hendra tertawa. "Dibuka apa enggak? Aku jadi penasaran nih!" Hendra menatap ke arah Lusia.

Lusia mengedikkan bahu. "Ya terserah kamu aja, tapi kalau apa-apa aku gak bertanggung jawab! Siapa tahu isi nya janda!" Lusia mengingatkan sambil tersenyum masam.

Hendra pelan-pelan berusaha menggeser batu pipih persegi itu, tapi rupanya terlalu berat hingga ia terengah-engah.

Terdengar rusa jinak di belakang mereka melenguh gelisah. Hewan itu berdiri, berjalan kesana kemari sambil melenguh-lenguh ke arah mereka.

Lusia menoleh ke belakang. Keningnya berkerut. Ia menoleh lagi ke arah Hendra yang berhenti menggeser batu itu.

"Si rusa tiba-tiba ribut. Ada apa ya, Hen?" Bisik Lusia.

"Mungkin ada ular berbisa atau binatang buas mendekat," sahut Hendra. Ia mengelap kucuran keringat di keningnya. Kemudian menatap kembali ke arah batu persegi di tengah bangunan itu. "Sampai sekarang aku masih bingung, ada apa sebenarnya dengan kawasan terlarang ini? Kita tidak menemukan kutukan seperti apa, tapi ada beberapa kejanggalan malah, misalnya bangunan misterius ini dan juga...." Hendra sejenak menoleh ke arah rusa itu yang kini duduk tenang kembali. "Binatang itu. Dia terlalu jinak untuk seekor hewan hutan. Di luar batas normal," tambahnya.

Usai berkata begitu Hendra kembali menyentuhkan tangannya ke penutup batu persegi, berniat untuk kembali membuka nya.

Dan rusa itu lagi-lagi kembali melenguh gelisah ke arah mereka.

Hendra dan Lusia saling berpandangan.

"Rusa yang manis, kamu kenapa?" Lusia menatap ke arah hewan itu. Dan lagi-lagi hewan itu terlihat tenang saat Hendra melepaskan tangannya dari penutup batu persegi. Pemuda tampan itu mengerutkan alisnya. "Kurasa ada hubungan antara sentuhan terhadap batu ini dan sikap binatang itu..." Hendra mengambil kesimpulan.

"Ada yang janggal kurasa...?" Lusia berbisik gamang. Ia menatap ke arah batu persegi yang tak jadi dibuka Hendra.

Hendra semakin penasaran. Ia memegang kembali penutup batu persegi itu, lalu dengan sekuat tenaga ia mendorongnya ke samping.

Sret!

Batu pipih itu sedikit bergeser. Terlihat celah kecil di antara penutup dan batu persegi. Pemuda itu tampak terengah-engah karena penutup itu sangat berat. Tapi ia sedikit puas karena ada sedikit keberhasilan dari upayanya.

Lusia.menatapnya terbelalak.

"Apa perlu kubantu, Hen?"

"Gak usah. Ini terlalu berat. Kamu rekam saja apa yang kulakukan. Biar jadi dokumentasi tentang perjalanan kita," Hendra tampak makin bersemangat. Tangannya kembali.menggeser batu penutup itu. Celahnya semakin terbuka.

Bau apek dan aneh menyeruak. Persis seperti bau ruangan tertutup yang lama tak dibuka.

Hendra menahan nafasnya sejenak. Ia mendekatkan wajahnya ke celah yang separuh terbuka.

Cahaya matahari yang menyeruak masuk membuat kondisi di dalam benda persegi itu terlihat lebih jelas. Seperti  gorong-gorong menuju ke arah bawah.

Hendra terbelalak.

"Astaga! Ini seperti.sumur. Tapi aku tak tahu persis untuk apa ini dibuat."  usai berkata begitu Hendra kembali menggeser batu pipih itu hingga terbuka semakin lebar. Dan terlihat undakan-undakan tangga menuju ke bawah.

Hendra terpaku bingung. "Dugaanku semakin kuat, kalau bebatuan ini sengaja dibuat. Tapi yang aku tidak mengerti kenapa ini sengaja disembunyikan dan ditutup rapat-rapat oleh warga?"

avataravatar
Next chapter