17 17

Hendra termangu bingung di lantai gubuk diamuk berbagai pikiran. Sementara Lusia terbaring di sisi nya dalam keadaan tidur nyenyak.

Gadis berkulit putih itu memang terlihat depresi dan kelelahan sehingga ia langsung tertidur tatkala berbaring di lantai.

Pandangan Hendra beralih ke arah si gadis desa yang masih terlihat merawat neneknya yang sedang tertidur. Gadis remaja yang wajahnya tak kalah cantik dengan Lusia itu sama sekali tak terlihat lelah dan mengantuk. Ia hanya asik mengamati wajah neneknya yang tubuhnya bertutup kain selimut.

"Kau tampaknya sayang sekali dengan nenekmu..." sapa Hendra.

"Karena dia sesosok kuyang apakah dia bukan nenekku?" Tanya si gadis desa. Ia berpaling ke arah Hendra sambil tersenyum.

Pemuda itu nyengir. Gadis desa itu melirik ke arah Lusia yang sedang tertidur. "Anak yang manja..." gumamnya.

"Siapa?" Hendra mengerutkan alis.

"Kekasihmu kah dia?" gadis desa itu bertanya lagi. Hendra bingung harus menjawab apa, ia memang melihat gelagat kalau gadis seperjalanannya itu menyukainya, namun pemuda itu tak berani mengambil keputusan sebegitu cepatnya. Ada satu pertimbangan yang membuatnya menahan diri. Ia hanya menarik nafas panjang tatkala mendapat pertanyaan seperti itu.

"Eng... entahlah, kami baru saja saling mengenal," jawab Hendra sekenanya.

"Tapi dia sepertinya sangat menyukaimu," sahut gadis desa itu lagi. Gadis itu menatap lama ke arahnya. Lalu tersenyum. "Jangan suka mempermainkan perasaan wanita, itu saranku."

Anjing hutan terdengar melolong. Suasana di hutan itu sunyi sekali. Hendra menarik nafas berkali-kali. "Terima kasih atas sarannya, tapi aku belum bisa memikirkan masalah cinta saat ini. Aku hanya ingin kami segera bisa keluar dari situasi ini. Aku benar-benar bingung..."

"Kalian bisa saja pulang kalau kalian mau, tapi harus menghilangkan dulu pengaruh kutukan hutan itu pada diri kalian..." kata gadis desa itu lagi.

Hendra membelalak. "Benarkah? Bagaimana caranya? Aku benar-benar ingin pulang. Rekan-rekanku pasti mencemaskan kami!" mata Hendra berbinar-binar. Harapannya kembali membuncah. Ia menatap gadis desa itu dengan penuh pengharapan.

"Aku akan katakan caranya. Tapi jawab dulu pertanyaanku dengan jujur, karena cara itu tergantung dari apa yang kalian lakukan sehingga sampai di hutan terlarang," jawab si gadis desa.

Pemuda itu mengangguk.

"Apakah kalian tersesat ataukah kalian memang sengaja memasuki hutan terlarang?" tanya si gadis desa.

Hendra menjawab cepat. "Ya. Kami memang sengaja memasuki nya. Kalau memang itu suatu kesalahan, kami meminta maaf..."

Gadis desa itu terpana sejenak mendengar jawaban Hendra. Agak lama ia menatap pemuda itu sembari memicingkan mata. Hendra merasa seakan-akan ia sedang dihakimi oleh tatapan tajam itu.

"Sudah kuduga..." gumam si gadis desa sambil geleng-geleng kepala. Ekspresinya menjadi datar. "Kalian sudah melakukan kesalahan besar, ini ibarat nasi sudah menjadi bubur."

"Aku minta maaf!" kata Hendra lagi. "Aku benar-benar menyesal..."

"Aku bukan orang yang tepat untuk dimintai maaf, tapi kepada penduduk desa lah kata maaf itu tertuju. Karena malam ini sudah kupastikan akan terjadi huru-hara yang berakhir pada banjir darah."

"Oh?" Hendra terenyak. "Apa yang terjadi?"

Gadis desa itu bergegas keluar rumah. Tak mau menjawab pertanyaan Hendra. Pemuda itu menyusulnya. Penasaran. Gadis itu memandang langit malam saat berada di luar rumah.

"Apa yang kau..." pertanyaan Hendra terhenti saat ia ikut memandang ke langit.

Jawaban itu sudah ada di sana ketika terlihat semburat cahaya kemerahan di langit. Seperti seakan-akan cahaya senja padahal sudah malam hari.

"Aneh... ada apa dengan langit ini?" Hendra bertanya kebingungan. Gadis desa itu berpaling ke arahnya. "Peristiwa dua ratus tahun yang lalu kembali terulang. Tepatnya mulai malam ini..." ia menatap tajam ke arah Hendra. "Kau lah yang membangkitkan kutukan ini!"

Hendra terpaku. Ia diam seribu bahasa. Kembali ia menatap langit yang semakin memerah.

"Apa yang harus kulakukan?" Hendra mendesah dengan lidah kelu. Ia menatap si gadis desa dengan tatapan bingung. "Kau sepertinya banyak mengetahui masalah ini. Siapa kau sebenarnya? Aku tak yakin kau penduduk asli daerah ini, mungkin kau lebih istimewa dari sekedar gadis desa biasa..."

"Aku memang bukan penduduk desa. Bahkan aku bukan golongan manusia seperti kalian..." gadis desa itu menjawab, yang jawabannya membuat Hendra tambah tercengang.

"Bukan manusia? Maksudmu..." Hendra menatap sekujur tubuh gadis itu dengan sikap waspada. Astaga! Jangan-jangan benar dugaan Lusia kalau gadis ini sebenarnya bukan manusia!

"Oh, maaf! Bukan maksudku menyinggungmu!"

"Tidak apa-apa... bangsa kami bukan orang yang mudah tersinggung seperti bangsa kalian..." gadis itu tersenyum. Matanya menyemburatkan cahaya kebiruan yang berpendar-pendar di kegelapan.

Hendra mundur selangkah. Jantungnya berdebat-debar. Tapi gadis itu bersikap biasa-biasa saja.

"Aku bangsa peri yang dibuang ke dunia manusia karena kesalahanku, tapi saat ini aku ingin menebusnya."

Gadis itu kembali memandang langit. Ia tampak merenung. "Kalau kau ingin jalan pulang, ambillah jalan setapak di belakang rumah kami ini, ikuti nalurimu, ia akan membimbingmu menemukan jalan tembus ke lokasi yang kau inginkan, dan jika kau ingin menghentikan kutukan itu... kau harus kembali ke sana untuk melakukan sesuatu," katanya. "Tapi bolehkah aku meminta bantuanmu?"

"Oh, apa saja boleh!" jawab pemuda itu spontan. "Aku ingin memberikan rasa terima kasih karena menunjukkan jalan pulang," Hendra nyengir.

Gadis itu tersenyum."Ikhlas, gak?"

"Ya ikhlas. Memang apa?" jantung Hendra berdebar-debar. Busyet! Kenapa ia langsung mengiayakan? Siapa tahu peri berwajah cantik itu ingin memgambil nyawa nya!

"Aku kehabisan stok darah untuk makanan nenekku. Kalau lama tidak meminumnya dia akan mati."

"Oh!" Hendra terbelalak. "J-jadi... kau mau mengambil darahku??"

Gadis itu mengangguk seraya tersenyum. "Gak sakit, cuma mengambil sedikit saja, ikhlas gak...?"

"I-ikhlas. Tapi jangan sampai s-sakit ya..." Hendra menjawab gugup.

Gadis itu menggeleng. Ia mendekati pemuda itu. Merengkuh pundak nya, lantas mengangakan bibirnya yang ranum. Baru saat itu Hendra melihat ada sepasang taring kecil di sudut giginya yang rapi. Tidak menyeramkan tapi justru menambah cantik gadis desa itu.

"Apa... kau sejenis... vampir...?" Hendra bertanya gugup saat gadis itu mulai menggigit lehernya. Hendra memejamkan mata.

Tidak begitu terasa sakit ketika gadis itu menghunjamkan taringnya ke leher Hendra. Memang ada sedikit rasa perih, tapi tak kentara. Terdengar suara menyeruput darahnya disedot mulut mungil gadis itu.

Sesudah itu si gadis melepaskan gigitannya. Mulutnya berlumuran darah.

"Ma kasih..." desisnya.

"Hendra...?!" terdengar jeritan kaget dari arah gubuk. Ternyata Lusia yang menatap mereka dengan tatapan kaget bercampur cemburu. Gadis teman seperjalanannya itu menatapnya dengan membelalakkan mata.

"Ini tak seperti yang kau duga, Lusia,"

avataravatar
Next chapter