15 15

Hendra terpaku.

Baginya cerita nenek berujud kuyang itu bagai dongeng pengantar tidur, tapi ia terus merasa penasaran untuk mengikuti kelanjutannya.

"Kekisruhan itu berbuntut panjang..." si nenek kembali melanjutkan. "Pembunuhan demi pembunuhan terus terjadi di antara semua pengikutnya. Mereka saling bantai, saling culik anak, dan dendam terus berkecamuk, sementara sang dewi sendiri memanfaatkan keadaan itu dengan memungut jasad-jasad mereka yang telah mati karena pertikaian, untuk dia santap...!"

Hendra dan Lusia terpaku ngeri. Sejenak tak ada yang berbicara di antara mereka.

Sang nenek mengatur nafasnya agar lebih tenang. " Tahu tidak, apa yang kemudian terjadi?" ia mendesis. "Kekacauan yang terus menerus terjadi, suatu saat membuat para pengikut itu sadar, bahwa mereka selama ini dikibuli mentah-mentah oleh orang yang mereka anggap dewa, sesungguhnya dewi itu adalah penjelmaan iblis yang menyerupai bidadari...!"

Kuyang yang tengah terbaring itu kembali merasa sesak nafasnya. "Aku lama sekali tak bertemu tubuhku..." keluhnya. Kepalanya berputar kanan kiri dengan gelisah. Si gadis desa kembali meminumkan cairah merah ke bibirnya sang nenek.

"Kalau nenek tidak mampu, nanti saja meneruskan ceritanya," kata Hendra. Sedikit merasa iba melihat kondisi sang nenek yang seperti kepayahan.

"Aku masih mampu..." desis sang nenek. Ia memejamkan matanya beberapa saat. "Ini penting agar kau tahu, masalahnya mungkin umurku tidak lama lagi. Paling tidak kau harus menyampaikannya kepada orang-orang bahwa kutukan itu harus dibatalkan bila terlanjur terjadi..."

Hendra menahan nafas.

"Maksud nenek...?" Pemuda itu terlihat tegang.

"Semua penduduk akan mati mengenasksn jika itu terjadi, mungkin sampai tujuh turunan mereka menanggungnya, karena sang dewi ingin bangkit kembali dari kematiannya dan membalas dendam terhadap orang-orang yang telah membunuhnya, termasuk keturunannya..."

Hendra tersandar di dinding. Tubuhnya mulai berkeringat dingin. "Aku ingin tahu, dengan cara apa ia terbunuh? Bukankah ia sangat digdaya..?"

"Ia tewas diracun yang dimasukkan ke dalam jasad tumbal yang ingin dimakannya..." si nenek mendesis. "Dan jasadnya dikubur dengan ritual dan bangunan tertentu agar ia tak bisa bangkit untuk menebar kutukannya..."

Hendra mengangguk-angguk. Bulu kuduknya merinding. Nalarnya memang tidak menerima mentah-mentah begitu saja apa yang diceritakan si nenek. Tapi setidaknya ada sedikit bukti yang mengarah pada kebenaran "dongeng" yang diceritakan nenek itu, yang dirasanya sinkron dengan apa yang ia temukan di tanah terlarang.

"Sesuatu yang sudah mati akan dibangkitkan sebagai alat untuk membalaskan dendam..." si nenek berkata lirih, lalu matanya terpejam. Tak bergerak-gerak lagi, namun jantung dan paru-paru nya masih berdenyut-denyut.

"Nenek akan beristirahat..." kata si gadis desa dengan nada lirih. Ia menyelimutkan kain lusuh ke isi perut sang nenek. Kemudian bangkit berdiri. "Kalian tunggulah, aku akan pergi ke dalam hutan untuk mencari sesuatu buat kita makan," katanya kemudian.

Hendra buru-buru mencegahnya. "Tak usahlah, dik! Kami bawa makanan sendiri. Nanti kita bisa bersama-sama menikmatinya," Hendra segera membuka ransel yang sejak tadi ia bawa. Mengeluarkan beragam bekal makanan yang sengaja ia bawa dari perusahaan.

Lusia terlihat meninggalkan ruangan itu, sejak tadi tampaknya gadis itu gelisah sekali.

"Ada satu hal penting yang ingin kutanyakan sebenarnya. Kenapa kami seperti tidak bisa menemukan jalan pulang? Rasa nya kami hanya berputar-putar di tempat yang itu-itu saja di kawasan ini," kata Hendra kemudian setelah dilihatnya Lusia hanya berdiri di atas jembatan menuju sungai. Gadis itu tampaknya jerih sekali berada terlalu lama di dekat si nenek berujud kuyang.

"Kau berada dalam pengaruh kutukan hutan terlarang tampaknya," kata gadis desa itu seraya tersenyum. "Untunglah kau tidak sampai masuk ke dalamnya. Bisa berakibat fatal bagi semua orang..." lanjutnya lagi.

Hendra terperangah. Mulutnya sempat membuka hendak mengatakan sesuatu, tapi ia urungkan niatnya. Biarlah, lebih baik mereka tidak tahu saja apa yang terjadi sebenarnya, pikirnya dengan hati kecut.

***

Om Doni dan Rina terpaku tegang berdiri di tepi pelabuhan perusahaan. Keduanya tengah menyongsong iring-iringan beberapa motor boat yang baru saja pulang dari upaya pencarian Hendra dan Lusia yang tak pulang-pulang seharian.

Saat itu jam telah menunjukkan pukul empat sore. Iring-iringan itu yang di antaranya dikemudikan oleh aparat kepolisian, singgah di tepi pelabuhan.

Om Doni dan Rina terbelalak dengan wajah pucat saat sejumlah petugas mengangkat satu buah kantong jenazah berwarna orange dari dalam motor boat.

"Oh, tuhan...!" Rina menggigit bibirnya. Lututnya menjadi lemas, dan hampir saja tumbang kalau tidak Om Doni cepat-cepat merangkul tubuhnya.

"Siapa dia?" Om Doni bertanya tak sabar saat sejumlah karyawan perusahaan ikut membantu menurunkan kantong jenazah ke pelabuhan.

"Martinus, motoris motor boat, Pak. Dia kami temukan dalam kondisi mengenaskan di tepi hutan terlarang," jawab salah satu petugas. "Dua orang lainnya berserta motor boat yang digunakan masih dalam pencarian," tambah petugas itu lagi.

Om Doni terenyak, sementara Rina mulai terisak.

Petinggi perusahaan itu membopong Rina menuju mess perusahaan dibantu beberapa karyawan.

"Aku gak mau pulang, Om, sebelum Lusia dan Hendra ditemukan!" Rina menangis sesenggukan.

Om Doni menghela nafas. "Orang-orang kita terus mencari mereka, kamu istirahat saja dulu. Kurasa mereka baik-baik saja," bujuk pria bertubuh gendut bermata sipit itu.

***

Senja hari, hujan turun dengan gerimis.

avataravatar
Next chapter