13 13

Hendra dan Lusia saling berpandangan.

Gadis itu masuk ke dalam gubuk kembali, tak keluar-keluar lagi setelah itu.

"Apa kita masuk saja, Hen? Aku ingin bertanya apakah daerah ini ada akses jalan keluarnya setelah apa yang kita alami?" Lusia memberi usul.

Hendra lantas menyela, "Mungkin saja kita tidak menemukan jalan pulang, jadi kita bisa menginap di tempat ini," saat mengucapkan itu Hendra nyengir. Tanpa menyadari kalimat seperti itu bisa melukai perasaan wanita yang diam-diam menyukainya.

Lusia langsung melongo mendengarnya. Ia merasa perjuangannya mempertaruhkan nyawa untuk berdekatan dengan pemuda itu hanya dikandaskan dalam sekejab oleh gadis ingusan di hutan ini. Astaga! Apa-apaan ini?! Ini semestinya tidak boleh terjadi! Wajahnya langsung memerah.

"Betul, kalau perlu tinggal saja di sini sampai hari kiamat," ujar Lusia dengan nada dingin.

Ia mendahului melangkah menuju gubuk, dengan kaki agak dihentakkan ke lantai jembatan. Wajahnya agak cemberut, namun Hendra tidak melihatnya karena posisi gadis itu membelakanginya.

Dan pemuda itu sedikit bingung melihat reaksi spontan Lusia barusan.

"Lus! Jangan buru-buru masuk kesana dulu...!" Ia mengingatkan. Mencegah gadis itu agar tidak menerobos rumah. Karena ia khawatir kalau-kalau itu semua hanya jebakan dari semua keanehan yang mereka temui.

Lusia menghentikan langkahnya. Gadis itu berpaling. Cemberutnya masih terlihat walaupun samar-samar.

"Kok marah...?" Hendra ternganga.

Lusia pasang muka datar. "Kau pikir menyenangkan bermalam di sini? Di tempat di mana yang kau sendiri saja tidak tahu apakah ini alam gaib atau alam nyata? Pokoknya kita harus cari jalan pulang secepatnya, Hen!"

"Siapa di luar sana...?" terdengar suara parau dari dalam gubuk. Suaranya terdengar berat dan gelisah. Lalu terdengar suara batuk-batuk. Suara seorang perempuan tua, mungkin sudah sangat renta.

Si gadis desa bergegas beranjak masuk.

Lusia menatap Hendra. Pandangannya tetap dingin. Perlahan ia merapatkan dirinya ke arah pemuda itu. Wajahnya terlihat serius. "Kau tahu kenapa aku sampai bisa marah padamu...?" Desisnya.

Hendra mengerutkan alis. "Gak tahu. Kenapa?"

Lusia semakin merapatkan tubuhnya ke arah pemuda tampan itu. "Karena aku sudah sejak tadi ingin melakukan ini padamu, tadi sejak tadi aku tahan-tahan..." Lusia langsung memeluk pemuda itu dengan buasnya. Belum hilang rasa kaget Hendra gadis itu segera mencumbu bibirnya, lalu melumatnya dengan lembut. Kadang-kadang ia memasukkan ujung lidahnya ke dalam mutut pemuda itu.

Tubuh pemuda itu terlihat mengejang sejenak, tapi kemudian ia membalas cumbuan itu dengan segenap perasaan. Ia pun membalas cumbuan itu dengan penuh gairah.

Keduanya selama beberapa saat terlihat bercumbu di atas jembatan bagaikan sepasang kekasih.

Setelah beberapa saat bercumbu dengan liarnya, Lusia melepaskan dirinya dari pelukan Hendra. Pemuda itu tampak megap-megap, tapi ia berusaha menenangkan dirinya dan merasa serba salah.

Lusia tersenyum menggoda. "Gimana? Mau diteruskan ke hal yang lebih jauh lagi? Tapi kamu harus balas dulu cintaku..." ia berbisik mesra. Matanya mengedip-ngedip memberi kode nakal.

Pemuda itu terpana. Tak menyangka akan aksi nekad yang dilakukan Lusia kepada dirinya.

Tapi belum lagi Hendra menjawab, tiba-tiba terdengar suara sang nenek seperti sedang kesakitan. "Aaaa...! Haduuuuhhhh!"

Kedua nya sama-sama tercengang. Hendra bergegas menuju ke arah gubuk. Lusia menyusulnya.

Di sana, di dalam gubuk mereka menemui si gadis desa sedang duduk di samping pembaringan serang perempuan renta yang tengah tergolek lemah. Neneknya si gadis.

Hendra berjalan mendekat, sementara Lusia menunggu di ambang pintu. Ia tak berani segera masuk.

"Kenapa nenekmu...?" Hendra bertanya kepada si gadis. Tapi Hendra sepertinya tidak memerlukan jawaban itu, karena sesuatu yang ia lihat kemudian sudah cukup untuk membuatnya mundur beberapa langkah.

Tatapannya terpana saat melihat sang nenek yang ada hanya kepalanya, berikut organ perutnya yang tergeletak di pembaringan.

Nenek itu tanpa badan!

Tapi masih ada organ tubuhnya seperti paru-paru, lambung, jantung, usus dan hati. Dan Hendra masih melihat jantung wanita tua itu berkedut-kedut memompa darahnya.

"Nenekku ini adalah kuyang yang telah kehilangan tubuhnya," kata si gadis desa dengan wajah murung.

Hendra tersandar di dinding gubuk, sementara Lusia menjerit kecil seraya menutup mulutnya.

"Jangan takut. Nenekku sudah tidak berdaya. Ia sedang sakit karena kehilangan tubuhnya..." kata si gadis lagi.

Hendra berkali-kali menarik nafas panjang, menenangkan jantungnya yang berdegup-degup kencang. Matanya melotot memandangi si nenek itu yang tampak tersengal-sengal nafasnya.

"Duduklah..." kata si gadis lagi.

"Aku tidak apa-apa..." jawab Hendra kemudian. Ia sambil mengatur nafasnya mengambil tempat duduk di lantai dan bersandar di dinding. Sementara Lusia masih terpaku di ambang pintu.

Matanya tak lepas dari memandang kepala tanpa tubuh itu, yang terbaring lemah di pembaringan beralaskan tikar.

"Nenekmu baik-baik saja? Oh, maaf kalau aku agak terkejut tadi. Aku datang ke sini hanya ingin bertanya. Siapa tahu kalian bisa membantu kami menemukan jalan pulang dari kawasan ini," katanya kemudian. Pemuda itu mengerjab-ngerjabkan matanya sesaat. Seakan masih separuh percaya dengan apa yang ia lihat.

Sepanjang pengetahuannya, kuyang adalah makhluk gaib yang melegenda di Kalimantan. Sesosok makhluk yang biasa tampil berupa kepala yang diikuti oleh organ tubuhnya yang biasanya terbang mencari mangsanya. Biasanya orang-orang yang diincar adalah kaum wanita yang sedang hamil ataupun melahirkan.

Dan Hendra masih sulit percaya kalau yang dihadapinya adalah makhluk yang disebut-sebut sebagai kuyang itu. Yang benar-benar kini ada di depan matanya!

Nenek yang tinggal kepalanya itu melenguh sesaat. Kepalanya berputar perlahan memandang ke arah Hendra dengan matanya yang telah memutih.

"Apa yang kalian lakukan sampai tersesat ke tempat ini?" Si nenek bertanya dengan suara parau.

"Kami hanya jalan-jalan," jawab Hendra sekenanya.

Si nenek terbatuk-batuk. Kepalanya bergoyang-goyang, bahkan agak terangkat seperti hendak terbang. Hendra memundurkan sedikit posisi tubuhnya ke belakang. Takut kalau-kalau kepala berikut jeroannya itu terbang dan menyerang dirinya.

"Untuk apa kalian jalan-jalan ke tempat seperti ini...?" Desis si nenek. Ia kemudian merintih lagi. Si gadis segera meminumkan sesuatu ke mulut si nenek. Cairan berwarna merah, entah itu apa.

"Apa yang terjadi jika seseorang menerobos hutan terlarang?" Hendra memberanikan diri bertanya.

Si nenek memejamkan mata beberapa saat, kemudian menarik nafas berkali-kali. "Jangan sampai itu terjadi..." kepala nenek itu tampak bergetar. Kepalanya kembali berpaling ke arah Hendra.

avataravatar
Next chapter