1 BAB 01

Semilir angin malam berhembus menerpa dedaunan di semak belukar belantara hutan, kepakan sayap terdengar dan berhenti di sebuah ranting pohon yang cukup besar.

Cahaya rembulan bersinar redup tertutup awan hitam, seorang pria berkulit putih dan berambut panjang terus menelusuri sisi dalam hutan.

Tas ransel yang berada di punggung masih menempel dengan beban berat sehingga pria itu berjalan dengan sedikit membungkuk.

Gaaak, gaakk, gaaakkk...

Suara itu terdengar begitu nyaring.

Langkah pria berkulit putih terhenti sejenak menatap ke atas dimana suara itu terdengar, mata itu menatap tajam dan terlihat seekor burung gagak sedang nangkring di ranting pohon.

Tangan mengambil sesuatu yang berada di pinggang yang ia sangkutkan sejak awal melakukan penelusuran dalam hutan.

Botol Veples berada dalam genggaman, dengan warna yang sangat khas hijau army, air itu mengalir perlahan membasahi tenggorokannya yang telah mengering.

"Rey...!" Panggil seseorang kepada pria yang berkulit putih.

"Uhuggkk..."

Pria berkulit putih yang bernama Rey sempat tersedak saat botol itu masih mengeluarkan air ke tenggorokannya.

Dengan segera ia menutupnya dan menyimpan kembali di pinggang.

Tatapan mata berkelana melihat ke segala arah, namun ia tak dapat menemukan siapa yang tadi memanggil dirinya.

Tubuhnya berputar melihat, barangkali ada di sekitarnya dengan tatapan yang tajam dan menyipit.

"Heran, siapa yang manggil malam-malam begini!" Gerutu Rey sambil mata melihat ke arah tangan yang terpampang jelas sebuah arloji digital di pergelangan tangan kiri.

"Tuh kan!" Ucapnya dengan telunjuk menunjuk arloji yang telah menunjukan angka 21.15.

"Sepertinya harus bermalam disini"

Rey menurunkan Ransel yang sejak tadi terus di gendongnya. Ia mengeluarkan sleeping bag dan peralatan untuk masak, karena tak terasa perutnya sudah keroncongan.

Pria berkulit putih mencari ranting kering yang dekat dengannya untuk menghangatkan dirinya.

Setelah semua telah ada di depan mata dirinya duduk manis sambil memasak kopi dan mie instan yang hanya di temani api unggun kecil yang di depannya.

"Rey..."

Suara itu terdengar lagi memanggil namun kali ini dia tak ingin menoleh karena ia tak mau makan malamnya terganggu.

Pria berkulit putih itu sedang meniup mie instannya yang sudah matang dan perlahan memenuhi mulutnya.

Sedang asik menikmati makan, tiba-tiba pundak kanan terasa dingin, semakin lama terasa berat dan rasa dingin menembus jaket parasit yang dikenakan.

Kepala bergerak pelan untuk menoleh ke kanan, namun saat mata tertuju dirinya tak melihat apapun di pundaknya.

Bulu kuduk berdiri serempak dari atas hingga bawah, sedikit demi sedikit nyalinya menciut, Rey segera menghabiskan makan malamnya dan mematikan api unggun yang masih menyala.

Rey segera masuk kedalam sleeping bag dan menutup rapat resleting hingga kepalanya ikut tertutup.

Suara burung gagak sangat berisik sehingga ia tak bisa pejamkan mata, semakin lama suara itu mulai menghilang.

Dua jam telah berlalu dari ricuhnya gagak yang berbunyi, tepat tengah malam saat mata mulai terkantuk-kantuk, tiba-tiba resleting sleeping bag terbuka perlahan sehingga terlihat jelas tubuh pria berkulit putih terkena sinar rembulan yang tengah bersinar terang tanpa ada yang menghalanginya.

Sebuah tangan yang lembut mengusap wajah pria berkulit putih, namun Rey tak merasakannya karena sudah terlelap dalam mimpi-mimpinya.

"Dimana ini? Kenapa bisa berada disini!" Ucapan yang telah ia keluarkan membuat dirinya semakin bingung, suara dirinya sendiri terus menggema selama satu menit lamanya.

Sebuah aliran sungai tepat berada di depan mata, kaki melangkah mendekati sungai tersebut.

Mata memandang ke arah air sungai yang mengalir, terlihat jelas wajahnya.

Dua tangan mulai menelusup ke dalam air yang jernih dan mengguyurkan ke wajah yang kusam.

"Segar sekali..."

Dari kantong celana belakang menyembul sebuah anduk kecil lalu ia menariknya dan melap perlahan wajah yang masih basah.

Sekelebat bayangan putih melintas di pelupuk mata, dirinya segera menyusul ke arah bayangan yang lari tadi.

Dengan perlahan namun pasti kaki melangkah mengikuti sesuatu yang berada di depan.

Nampak olehnya seorang gadis dengan pakaian serba putih dan rambut panjang terurai, ia hanya bisa melihat rupa belakangnya saja dan tak berani untuk melihat wajahnya itu.

"Kemarilah... wahai engkau yang sembunyi dibalik pohon" Ucap gadis itu memanggil pria yang berkulit putih yang bersembunyi dibalik pohon pinus.

"Loh, dia bisa tau!" Dirinya bertanya-tanya dan masih berada di persembunyiannya.

Rey ragu untuk mendekat. "Mana mungkin ada seorang gadis di tengah hutan belantara ini!" Pikirnya.

Tiupan angin begitu kencang dari arah belakang Rey, seakan-akan angin itu menuntun dirinya untuk bertemu gadis yang sedang duduk membelakangi dirinya.

"Sedang apa kamu disini?" Tanya gadis itu tanpa menoleh kebelakang.

Rey terkejut karena tiba-tiba dirinya sudah berada di belakang gadis itu yang hanya berjarak satu langkah.

"Emh..mmmhh..." Rey kesulitan untuk bicara seakan mulutnya kaku tak mau terbuka.

"Sedang apa kau disini? Dan mengapa kau bisa masuk ke hutan ini! Jangan takut, bicaralah"

"A... aku sese... dang mencari adik ku."

"Siapa nama adikmu?" Gadis itu masih tetap membelakanginya.

"Inggit Indah Sari."

Rey terdiam sejenak lalu meneruskannya. "Dia adiku, sejak kemarin sore aku kehilangan jejaknya saat turun gunung, hingga kini aku tak menemukannya dan aku sendiri telah kehilangan jejak rombongan teman-temanku."

"Adikmu dan rombongannya baik-baik saja dan mereka telah sampai. Kenapa kamu bisa sampai ke hutan ini?"

"Apaaaa!" Dirinya merasa terkejut mendengar bahwa adiknya dan para rombongan dalam keadaan baik-baik saja.

"Bukankah ini Gunung Halimun?" Pria berkulit putih berbalik tanya kepada gadis itu.

"Bukan!" Jawab gadis itu dengan tegas.

"Jika bukan Gunung Halimun, lalu dimana aku berada?" Dengan wajah takut ia merasa bingung. "Kamu siapa dan kenapa hanya kamu yang berada disini?" Tanya Rey kepada gadis yang hanya terlihat punggung dan rambut panjangnya.

"Kamulah yang tersesat, sejak awal adikmu baik-baik saja."

"Kenapa pertanyaanku tidak kamu jawab!" Dengan lantang ia menyeru.

"Percuma aku jawab, karena kamu tak bisa keluar dari hutan ini hidup-hidup"

"Apaaaaaaa...!!!"

Rey jengkel dengan jawaban gadis itu, dirinya memberanikan diri untuk menghampiri bagian depan dan ingin melihat wajah gadis itu dengan mata kepalanya sendiri.

Disaat ia tepat berada di depan gadis itu, mata membelalak dan mulut seperti terkunci, ia merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Tubuhnya tak bisa bergerak, hanya diam berdiri seperti patung.

"Kamu berada di Hutan Sembunyi, jika seseorang masuk ke hutan ini maka tak ada yang bisa keluar hidup-hidup."

"Apakah aku telah mati!" Gumam pria berkulit putih dalam hatinya.

"Tidak! Kamu tidak mati, kamu masih hidup. Setelah melewati tujuh hari di Hutan Sembunyi maka kamu akan benar benar mati."

"Bagaimana dia bisa tau apa yang ku ucapkan dalam hati?" Dirinya bingung dengan semua yang di alaminya.

"Apakah ada cara lain untuk keluar dari Hutan Sembunyi?"

"Jika kamu sanggup dan bersedia maka kamu akan kembali dengan keadaan hidup. Tapi jika kamu tak mau tak apa."

"Sebelumnya siapa namamu?" Rey masih penasaran dengan nama gadis itu.

"Apalah arti sebuah nama jika kamu akan mati disini!"

Pria berkulit putih itu sudah tak bisa berkata apa-apa lagi lalu ia bertanya:

"Baiklah, apa yang harus aku lakukan agar bisa tetap hidup dan keluar dari Hutan Sembunyi?" Dirinya pasrah asal dia bisa kembali bersama adiknya dan yang lainnya apapun akan ia lakukan.

avataravatar