16 Dalang

Keana menatap nanar pintu yang tertutup dihadapannya itu. Mulutnya terus berbisik mengucapkan doa pada seseorang didalam sana. Pipinya telah basah karena tetesan air bening dari pelupuk mata.

Waktu telah menunjuk pukul 11.45 malam. Namun mengapa ruang icu itu belum juga terbuka? Separah apa keadaannya?

Keana mengalihkan pandangan menatap orang- orang disekitarnya. Dilihatnya sang bunda sedang duduk bersandar dengan mata tertutup di kursi tunggu sana. Air mata yang sedari tadi menetes telah mengering di pipinya. Tangannya menggenggam erat tangan Sarah yang sudah tertidur lelap dipundaknya.

Lalu Aditya, ia terus saja berjalan mondar- mandir didepan sana. Sesekali ia berhenti untuk menatap ruang icu yang masih enggan terbuka itu. Aditya kembali mengusap wajahnya kasar. Entah sudah berapa kali ia melakukannya.

Sedangkan teman- teman Abian, mereka kompak berjongkok dengan kepala tertunduk dalam tak jauh dari Keana. Rasa bersalah jelas menyelimuti mereka.

"Kalian pulang aja!" bujuk Keana pada Genta, Rizky, dan Revan disana.

Ketiganya mendongak menatap Keana. Gelengan kepala dilakukan mereka.

"Kita bakal tetep disini jagain dia," ucap Revan kekeh akan pendiriannya. Keduanya pun mengangguk setuju atas pernyataan sahabatnya.

"Iya, lo tidur aja!" ucap Rizky sambil menatap lembut kearah Keana.

"Ya udah kalau itu mau kalian. Tapi aku nggak bisa tidur sekarang," jawab Keana dengan tatapan sayunya. Hal yang diucapkan Keana sama sekali tak sinkron dengan keadaannya. Ia benar- benar mengantuk sekarang. Namun ia tak tega jika mereka yang harus begadang karena menjaga Abian.

"Gimana kalau gini, kalian tidur duluan aja! Ntar 2 jam lagi gue bangunin, gantian gue yang tidur. Gimana?" tanya Keana menawarkan solusi pada mereka.

Ketiganya pun saling tatap. Tak lama anggukan kecil pun mereka lakukan.

"Ide bagus! Kalian tidur dulu aja," ucap Rizky pada kedua temannya. Namun dengan cepat Keana menolaknya.

"Kamu tidur aja juga, biar aku sama Papa yang jaga," ucap Keana menyakinkan. Ia benar- benar tak ingin merepotkan.

"Baiklah," ucap Rizky setuju padanya. Akhirnya. Setidaknya mereka tak akan kelelahan sekarang, ucap Keana dengan senyum tipis dibibirnya.

Kini hanya ada dua orang yang masih terjaga. Keana dan ayahnya. Hanya keheningan yang dirasakan mereka. Terlalu canggung untuk membuka suara layaknya ayah dan anak lainnya.

Namun suara pintu terbuka mengagetkan mereka. Dengan cepat keduanya bergegas kearah dokter yang baru keluar dari sana.

"Gimana dok?" tanya Aditya dengan raut khawatirnya. Ia teramat takut pewaris bisnisnya terluka parah didalam sana.

"Kami baru saja melakukan Kraniotomi. Yaitu prosedur yang dilakukan oleh dokter spesialis bedah saraf, sebagai penanganan gangguan dari dalam kepala atau otak. Kami juga telah berhasil mengangkat gumpalan darah di otak pasien akibat cedera kepala. Dan untuk saat ini, pasien telah melewati masa kritisnya. Namun dimohon untuk tidak menemui pasien terlebih dahulu karena ia perlu istirahat," jelas dokter itu panjang lebar.

Sedangkan Aditya dan Keana yang sedari tadi mendengarkan dengan seksama pun menghela napas lega. Mereka bersyukur karena Tuhan menyelamatkannya. Cepat sembuh Abian.

*

Matahari telah muncul menggantikan bulan. Suasana mencekam malam telah berlalu menjadi terang benderang. Kini semua orang kembali melakukan aktivitasnya. Rutinitas yang biasa mereka lakukan dihari- hari biasanya.

Namun beda halnya dengan mereka. Segerombolan lelaki berbadan tegap yang tengah menjalani perawatan di rumah sakit pusat kota.

Tubuh mereka berbalut perban dimana- mana. Mata mereka fokus menatap seseorang yang tengah terduduk diatas ranjang ditengah- tengah mereka.

"Brengsek!" umpat lelaki itu dengan kerasnya. Matanya menatap nyalang memikirkan ulah seseorang yang membuat dirinya kalah untuk kesekian kalinya.

"Gimana keadaan Abian sekarang?" tanya lelaki itu menatap ke salah satu anak buahnya.

"Dia udah keluar dari masa kritisnya," jawab anak buahnya takut- takut. Takut akan mendapat ledakan amarah kembali dari Sang Boss didepannya.

"Bangsat!" umpat lelaki itu dengan suara makin kerasnya. Orang- orang yang mengerubunginya pun hanya bisa tertunduk dalam atas amarahnya.

"Gue nggak akan ngelepasin lo gitu aja!" ucapnya sambil menyeringai begitu saja.

*

Keana melangkahkan kakinya memasuki ruangan berbau obat- obatan itu. Dilihatnya seseorang yang tengah berbaring diatas ranjang dengan damainya. Matanya masih setia terpejam dari semalam.

"Hai, apa kabar?" ucap Keana sambil berjalan mendekat kearahnya. Namun tak ada sahutan dari sana. Ucapannya terasa seperti monolog belaka.

Keana menghembuskan napasnya. Ada dua hal yang tengah dipikirkannya. Pertama, ia bersyukur lelaki didepan Keana telah keluar dari masa kritisnya. Dan yang kedua, Keana dibuat bingung karenanya. Kenapa semua ini bisa terjadi? Siapa dalangnya?

Sebuah pintu dibelakang Keana perlahan terbuka. Menampilkan seseorang yang sedari tadi ditunggu- tunggunya.

Revan berjalan mendekat kearahnya. Kepalanya masih tertunduk menyadari sesuatu akan kesalahannya.

"Abian kenapa?" tanya Keana dengan mata yang masih setia menatap lelaki didepannya.

"Ada yang serang markas. Demi ngelindungin kita, dia rela dihajar." jawab Revan dengan nada bersalahnya. Ia sungguh merasa bersalah sekarang.

Sedangkan Keana, ia hanya bisa menyungging senyum tipis dibibirnya. Tak sia- sia aku melindungimu dari Mama, ucap Keana dalam hatinya.

Keana bangkit dari duduknya. Ia menatap Revan dengan senyum manis yang masih setia dibibirnya.

"Jagain dia, ya!" ucap Keana langsung berlalu meninggalkan Revan disana.

Kakinya mengayun keluar dari sana. Netranya menjelajah seluruh sudut rumah sakit mencari tempat tujuannya.

Keana terus berjalan mencari tempat kantin yang ia yakini tak jauh dari sana. Namun senuah pemandangan berhasil menghentikan langkahnya.

Keana mundur beberapa langkah untuk memastikan apa yang tadi ditangkap oleh netranya. Keana memicingkan matanya menatap seseorang yang tak jauh dari tempatnya.

"Bukannya itu?" tanya Keana pada dirinya sendirinya sendiri. Matanya masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Keana mendekat kearah pintu setengah terbuka disana. Ia mengintip dari celah pintu itu memastikan penglihatannya.

"Kak Bastian?" ucap Keana saat ia yakin seseorang yang dilihatnya adalah Bastian.

"Kak Bastian kenapa?" tanya Keana masuk ke ruangan itu dengan cepatnya. Matanya bergerak memastikan kondisi seseorang didepannya. Seseorang yang dianggap paling dekat dengannya setelah sang bunda.

Mata Bastian masih tertutup rapat disana. Mungkin ia tidur. Atau ia tertidur akibat obat bius yang diterimanya. Entahlah.

Keana mendudukkan dirinya dibangku sebelah ranjang Bastian. Matanya masih setia menatap tubuh Bastian yang terlelap dihadapannya.

"Kak Bastian kenapa?" tanya Keana yang hanya disahut keheningan diruangannnya. Tangannya terangkat memegang erat tangan kiri Bastian disana.

"Kak, aku pengen cerita. Kakak bangun," ucap Keana dengan suara makin lirihnya. Tak terasa setetes air mata mulai jatuh dari sana.

"Kak, bangun!" ucap Keana semakin menangis disana. Mengapa hari ini kedua orang yang disayanginya terbaring tak berdaya?

*

"Lo udah tau siapa dalangnya?" tanya Abian dengan raut emosinya. Tubuhnya memang lemah saat ini. Namun otaknya tidak. Ia harus segera membalas tindakan segerombolan orang brutal yang berani menentangnya.

"Lo baru bangun, Yan. Jangan bahas ini dulu," ucap Rizky menenangkan. Pasalnya ia tahu, bahwa Abian baru saja sadar 30 menit yang lalu.

"Gue nggak bisa istirahat kalau situasinya kayak gini!" hardik Abian kesal. Ia benar- benar muak sekarang. Kondisi tubuhnya, markasnya, dan teman- temannya semua berantakan karena ulah oknum yang tak dikenalnya.

"Jawab!" hardik Abian kembali menegaskan ucapannya.

"Bastian!"

avataravatar
Next chapter