3 #3

"Kenyataan itu pahit!"

"Jangan mimpi terlalu tinggi dah lu, kalo jatuh nanti sakit lho."

"Saya itu dulu selalu berjuang untuk mencapai apa yang saya inginkan. Ngga peduli apa yang akan mereka katakan, ngga peduli apa yang akan di jawab oleh dunia, saya terus maju. Tapi, kenyataan itu pahit."

"Padahal gua udah bikin karya-karya yang berkualitas lho. Tapi apa? Yang laku malahan karya yang kualitasnya jauh dibawahku, bahkan sama sekali tidak worth untuk ditonton!"

"Aku udah bisa menjadi orang yang paling tercepat disekolahku. Dengan rekor 10,6 detik, aku serasa seperti bisa meninggalkan mereka dengan jarak yang jauh. Tapi saat aku mencoba berlari di lapangan nasional, semua itu mengubah pandanganku. 9,8 detik. Larinya sangat cepat. Meskipun aku sadar itu hanya berbeda beberapa detik, tapi dia terasa berlari sangat kencang. Kenyataan itu pahit."

Aku menutup telingaku. Maksudku, semua itu tidak ada hubungannya denganku. Setelah mendengarkan hal itu, apakah aku harus mempertanyakan diriku? Apakah aku harus tunduk kepada 'mereka'?

Jari jemariku terasa sangat lemas sekali. Aku seperti tidak ingat tanganku sedang memegang apa. Ini semua membuatku bingung. Apakah benar keputusanku untuk menutup telingaku? Mereka semua berteriak hal yang sama, "Kenyataan itu pahit", dan itu pun selalu bergema diantara orang-orang. Aku menganggap bahwa itu bukanlah masalahnya, jadi aku selalu mencoba untuk menutup telingaku dan berpura-pura tidak mendengar jeritan itu.

Kenapa aku harus mendengar hal yang negatif?

Aku mencoba untuk mendatangi seminar para entrepreneur untuk mendengarkan cerita-cerita positifnya.

Saat aku duduk di kursi yang sudah kupesan, aku merasakan hawa-hawa yang tidak enak disekitaranku sedang menghantuiku, ini seolah-olah mereka ingin mencoba untuk membuka telingaku.

Tapi jangan!!!

Seminar pun dimulai. Si Entrepreneur pun berbicara tentang bagaimana kisah mereka, bagaimana mereka berjuang untuk mencapai dirinya yang saat ini. Menurut sisi lain dari diriku, aku bisa menerima apa yang dikatakan oleh si Entrepreneur ini. Dan di saat yang sama, sisi lain dari diriku mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Entrepreneur itu adalah omong kosong.

Aku tidak ingin mengetahui caramu berbisnis, aku hanya menginginkan bagaimana caramu berpikir untuk mencapai tujuanmu itu.

"Pada saat itu aku gagal. Aku sangat depresi waktu itu, saking depresinya, sampai-sampai aku membanting berbagai macam barang-barangku dan jelas membuat aku rugi pada waktu itu. Kalo ngga salah barangku yang pecah waktu itu ada komputer, ada vas bunga, dan cermin. Setelah aku selesai mengamuk, aku akhirnya sadar. Ah!! Aku memecahkan barang-barangku!! Dan saat itu aku langsung merenung, kenapa aku memecahkan barang-barangku? Bukankah barang-barang yang kupecahkan ini justru hal-hal yang bisa kuraih selama menabung 9 bulan? Kenapa aku pecahkan? Akhirnya saat itulah aku langsung serasa seperti anugrah Tuhan merasuk ke dalam diriku. 'Ini semua hanyalah bagian dari hidupku' dan langsung saya itu ... "

Tapi...

Apa yang dikatakannya adalah hal ynag benar. Dia berkata jujur tentang apa yang dia katakan. Dia sama sekali tidak berbohong. Itu adalah cara berpikirnya, itu adalah cara berjuangnya.

Tapi apa yang salah dengan itu?

Apa?

Apa?

Suara sunyi senyap di dalam hatiku pun mulai menggema. Semua suara dan keyakinan di dalam hatiku tergoyahkan. Semua suara yang menyerukan diriku untuk mengikuti kata hatiku pun samar-samar mulai mengubah suaranya menjadi suara yang sama seperti yang 'mereka' serukan.

'Kenyataan itu pahit'.

Apa?

Kenapa semua hal yang si Entrepreneur ini bicarakan berangsur-angsur mulai memudar dan mulai tak terdengar oleh telingaku. Dan lama kelamaan semua itu berubah dan suara dalam hatiku menggema dan mengeras seiring berjalannya waktu.

'Kenyataan itu pahit'.

Aku mulai merasa jijik akan ini.

Ayo, keluarlah! Keluarlah dari diriku! Aku tak ingin aku berakhir seperti ini!

...

Untuk mengatasi hal itu, aku pun mencoba untuk pergi ke tempat seminar yang lain.

"Aku mencoba untuk menutup mataku dan mengatakan, 'Aku pasti bisa!' berualang-ulang dalam hatiku dan akhirnya ..."

"Lalu mereka tertawa terbahak-bahak. Tapi aku ..."

"Ayah selalu memberitahuku untuk mengerjakan sesuatu itu tidak boleh tergantung terhadap sesuatu ..."

Ini semua membuatku bingung. Kenapa gema dari suara hatiku semakin mengeras? Aku sudah mendengar berualng-ulang kali seminar. Tapi semakin aku mendengar dan mencermati mereka, aku terasa seperti menjauh dari titik poin awalku.

Kenapa waktu itu aku menutup telingaku? Kenapa aku waktu itu bisa yakin untuk mengolok-olok orang yang selalu mengatakan "kenyataan itu pahit"? Apakah ini yang dinamakan karma?

Heh, menyedihkan sekali diriku. Sekarang, aku sendiri yang telah termakan omonganku sendiri.

"Kenyataan itu pahit...!"

"Kenapa kamu Ridho? Kok kayak putus asa banget?"

Temanku mengkhawatirkanku.

Aku serasa ingin menceritakan semua yang aku alami kepadanya. Apakah aku harus memberitahunya? Yap, entah kenapa aku harus mengatakan yang aku alami kepadanya.

...

"Heh?!! Kamu ngalami hal yang kayak gitu, ya?! Wah, hebat kamu ya, Ridho!"

"Eh kenapa?"

"Err, jadi kamu itu tipe yang kebanyakan mikir dan juga kamu udah dapet apa yang pengen kamu lakuin, kan?

Heeeh, boro-boro untuk mikirin masa depan, aku aja dapet pemikiran kaya yang kamu jelasin itu tadi aja udah di luar nalar...

Hmm... Masa depan, kah? Aku mulai sekarang harus mikirin tentang masa depan juga nih!"

"He?! Kamu mikirnya baru sekarang?"

"Hmm, karena pikiranku tu tentang masa depan kaya abu-abu banget. Ngga keliatan."

"Kok gitu sih?"

"Hmm sedikit maluin sih kalo ngomong kayak gini, sebenarnya aku agak ngga peduli sih sama masa depan. Karena, lihatlah sekitaran kita! Ada ibuku yang lagi masak, ada adikku yang lagi nonton TV, ada ayahku yang lagi bekerja, ada kamu dan temen-temen lainnya. Mereka semua berkumpul menjadi satu membentuk sebuah lingkungan dimana kita bisa menjadi diri kita sendiri. Jadi tetep kayak gini aja menurutku ngga papa..."

Menjadi diri sendiri kah...?

...

...

...

"Ah!!"

[END]

avataravatar