1 #1

Aku selalu terheran-heran ketika melihatnya. Dia seperti... bertarung dengan seseorang. Kalau tidak begitu, tidak mungkin ada alasan yang bisa menjelaskan kenapa dia bertarung mati-matian. Tapi dengan siapa? Bukankah pertarunganku dengan dia sudah berakhir? Bukankah jelas-jelas akulah yang menang? Tapi kenapa?

Aku hanyalah anak sekolah biasa. Pada awalnya, aku tak pernah menganggap diriku sebagai seseorang yang 'gifted' atau semacamnya itu.

Ya memang, pada awalnya aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari diriku. Sesuatu yang berbeda dari orang lain...

Perasaan itu sering sekali datang kepadaku. Perasaan seperti, "Apakah aku bagian dari mereka? Apakah aku memang benar-benar manusia biasa? Entah kenapa saat aku melihat kalian aku merasa bahwa 'ini bukanlah duniaku' ". Dan perasaan itu sering datang kepadaku ketika aku melihat keramaian, terutama saat mereka tertawa terbahak-bahak dengan teman-teman mereka dan di saat yang sama mereka tak pernah menyinggung orang-orang yang seharusnya berada di tempat yang sama tapi mereka tidak ada (aku ambil contoh, *hikikomori, maupun orang miskin yang tak punya apa-apa untuk berdiri di tempat yang sama).

Saat itu, aku ingin tertawa. Aku tersenyum. Dan dari dalam hatiku berbunyi seperti ini, "Apa-apaan dengan manusia busuk ini?". Lalu jauh dari dalam hatiku aku tertawa sungguh keras.

...

Aku pernah menceritakan pengalaman itu ke seseorang yang sok-sok'an ahli tentang psikologi dan dia mengatakan bahwa aku memiliki 'Sociopath' katanya.

Tidak, aku tahu perasaan ini tidaklah seperti itu. Perasaan ini bukanlah perasaan benci. Perasaan ini bukan seperti aku mau mengutuk dunia sosial saat ini. Hanya saja...

...

...

...

...

Yap, itu benar.

Mereka sedang memanggilku, mereka yang tersiksa dengan dunia kapitalis ini. Mereka memanggilku! Mereka memanggilku!

MEREKA MEMANGGILKU!

...

...

Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh manusia yang tidak bisa apa-apa sepertiku? Aku jenius? Tidak juga. Aku tidak merasa seperti itu.

Seenggakanya untuk saat ini

Ini terjadi ketika ada temanku yang selalu peringkat 1 di sekolah mengatakan bahwa aku harus mengikuti olimpiade MIPA pada waktu itu. Saat aku mengatakan bahwa aku tidak bisa melakukannya, dia bersikeras dan terus bersikeras untuk mengajakku ikut (tentu, temanku tadi ini juga mengikuti olimpiadenya) dan aku terus menolaknya. Sampai akhirnya, dia pun mengatakan, "Kamu itu adalah orang yang super jenius, Alex."

"Ah..." Jawabku begitu dan langsung aku mengikuti olimpiadenya.

Dan apa yang dikatakan oleh temanku itu ternyata benar.

Hehe....

Aku adalah orang yang super jenius.

Dan akhirnya aku paham soal 'panggilan-panggilan' itu.

Tuhan memanggilku.

Tuhan memanggilku untuk bertarung demi mereka yang tersiksa di dunia kapitalis ini. Itu benar.

Dengan kekuatan yang super ini, aku bisa mengubah dunia ini.

Hehehehe....

Aku akhirnya bertemu dengan dia... Dia adalah tipe orang yang paling aku benci di dunia ini. Dia sering tertawa, dia sering bahagia, dia sering tersenyum layaknya dia sama sekali tak memiliki beban di dunia ini.

Hey, aku kasih tahu... Apakah kau mendengar suara-suara mereka? Suara-suara mereka yang tersiksa di dunia kapitalis ini? Mereka bersedih, sangat bersedih. Tapi lihat dirimu, kau selalu senyam-senyum, dan tertawa tanpa terlihat beban sedikit pun dalam senyumanmu itu.

Baiklah, kalau itu maumu, aku akan membuatmu terdiam diri dengan mengalahkanmu dengan mutlak di dalam olimpiade kali ini.

...

Aku berhasil mengalahkan dia dengan poin telak...

Tentu saja, segalanya memihak kepadaku. Karena aku adalah utusan Tuhan untuk menyelamatkan dunia ini. Aku takkan bisa dibandingnkan dengan orang yang tidak bisa apa-apa seperti dia.

Dengan begini, aku akan melihat wajah kesalnya yang telah mengetahui tentang kejahatan dunia ini.

Dengan begini aku akan menang..

Tapi...

Heh...?

Dalam tampang wajahnya, aku sama sekali tak bisa melihat kesedihan yang mendalam, atau hal-hal seperti "aku sudah berjuang keras, tapi kenapa aku kalah telak seperti ini" atau semacamnya.

Aku terheran-heran ketika melihatnya. Dia seperti... bertarung dengan seseorang. Kalau tidak begitu, tidak mungkin ada alasan yang bisa menjelaskan kenapa dia bertarung mati-matian. Tapi dengan siapa? Bukankah pertarunganku dengan dia sudah berakhir? Bukankah jelas-jelas akulah yang menang? Tapi kenapa?

Aku selalu terheran-heran ketika melihatnya. Dia seperti... bertarung dengan seseorang. Kalau tidak begitu, tidak mungkin ada alasan yang bisa menjelaskan kenapa dia bertarung mati-matian. Tapi dengan siapa? Bukankah pertarunganku dengan dia sudah berakhir? Bukankah jelas-jelas akulah yang menang? Tapi kenapa?

Dan yang paling aku herani adalah, dia tetap tersenyum, dia tetap tertawa, dalam raut wajahnya, sama sekali tak terpancarkan perasaan kalah. Ini...?

Apa... Apa yang sebenarnya terjadi?

...

"Eh? Apakah kita pernah saling bertanding, ya?"

Ha? Apa maksud dia? Bukankah selama ini dia masuk di panggung yang sama denganku dan di saat yang sama dia selalu kalah melawanku?

Ah... Itu maksudnya.

"Aku tak pernah merasa aku pernah merasa bertarung di panggung yang sama denganmu..." Katanya...

"Kalau begitu, dengan siapa selama ini kau bertarung?"

"Yah, aku sebenarnya ngga pernah nganggep olimpiade itu adalah tempat untuk bertarung, hanya saja... Aku ingin melakukannya, itu saja. Aku tak pernah memikirkan tentang bagaimana suatu hal yang akan terjadi—khususnya di olimpiade ini. Aku juga ngga tahu dengan olimpiade ini aku akan mendapatkan apa atau akan terjadi apa ketika aku memenangkannya, yah, selama aku bisa melakukan hal yang aku suka kenapa ngga?"

Ah...

Hanya melakukan apa yang kau suka, kah?

Ah...!

Mungkin itu jawabannya! Yap, itu adalah jawabannya!!!

Mereka yang berteriak meminta pertolongan bukan suatu hal yang harus aku ubah!

Melakukan hal yang kau suka?

Kenapa aku tertutup dengan hal itu? Bukankah itu adalah hal simpel? Mereka yang meminta pertolongan bukanlah orang-orang yang tersiksa karena dunia kapitalis ini, mereka berteriak karena mereka menginginkan kebebasan!

Kebebasan seperti anak itu, BEBAS.

Melakukan apapun yang hanya disukainya.

Hanya sesimpel itu...

[END]

"Ngomong-ngomong, kamu sekolah di mana, sih? Kenapa waktu kamu di absen itu ngga pernah disebutin nama sekolahmu?"

"Ah, sebenarnya aku itu nggak sekolah..."

"Eh?!!"

avataravatar
Next chapter