1 Prologue

Mengikuti arah angin bukan berarti dandelion pasrah di mana dia di berhentikan.

"Hey, apa aku boleh duduk disampingmu?"

Yang diajak bicara hanya menanggapi dengan anggukan tak bertenaga.

"Kenapa kamu tidak ikut bermain bersama dengan mereka?"

Karena tidak ada respon yang diberikan, dia berinisiatif untuk bertanya.

"Aku Aya. Siapa kamu?"

"Kenapa kamu tidak menjawabku, maaf, kamu bisa berbicara kan?"

Ugh, menyebalkan. Lebih baik aku pergi ke tempat lain saja.

Tapi, baiklah. Akan aku coba bertanya lagi. Jika kali ini tidak mendapat respon, maka aku akan pergi. —pikirnya.

"Mengapa kau memainkan bunga seperti itu?"

Satu..

Dua..

Tig—

"Brisik."

"Bukankah itu dandelion?"

"Apakah kau tidak bisa berhenti berbicara."

"Tidak. Aku hanya ingin mencari teman, makanya aku mengajakmu berbicara."

"Kau benar."

"Hah, apa?"

"Dandelion."

"Oh."

Setelahnya hanya ada kesunyian yang menemani.

"Ck, apa kau tidak mau berbicara padaku."

"Tidak."

"Menyebalkan, setidaknya beri tahu aku siapa namamu."

"Lio."

"Baiklah Lio, salam kenal." katanya sambil mengulurkan tangan yang disambut dengan ogah-ogahan.

"Apa kau menyukai dandelion?"

"Aku tidak menyukainya, Lio. Dandelion itu rapuh. Dibanding dandelion aku lebih menyukai bunga krisan."

"Dibalik kerapuhannya dandelion punya keberanian terbang sendirian tertiup angin, hingga nanti berhenti di salah satu lokasi yang kemudian tumbuh menciptakan kehidupannya baru."

"Pasrah dimanapun dia diberhentikan oleh angin, bukan begitu?"

"Mengikuti arah angin bukan berarti dandelion pasrah di mana dia di berhentikan."

"Aku sebenarnya tidak terlalu memahami perkataanmu."

"Ck, sudahlah lupakan."

"Kenapa kau menyukai dandelion, Lio?"

"Ibuku."

Di bangku taman sembari menatap indahnya lembayung senja. Ketika cahaya matahari berubah menjadi merah jingga. Mereka— dua orang anak yang baru saling mengenal sudah mulai membagi cerita.

Dan dari sinilah, awal dari kisah mereka.

avataravatar