1 Pernikahan

Ternyata menjadi seorang pengantin baru itu memang sangat melelahkan. Sampai saat ini, Nara sama sekali belum bisa mengistirahatkan kedua kakinya. Pasalnya, sejak tadi masih ada saja tamu yang berdatangan. Padahal, acara resepsi pernikahannya saja sudah selesai sejak tiga puluh menit yang lalu. Dan sekarang, Nara hanya bisa mengikuti langkah sang suami yang sejak tadi juga masih harus bertemu dengan teman-teman kantornya.

Tidak ingin berbohong, tumit Nara itu sudah merasa pegal, ditambah dia juga harus menggandeng lengan suaminya ini. Nara rasa, setelah semua ini selesai, dirinya akan berendam didalam bathub dengan air hangat. Dia harus melemaskan semua ototnya.

Aduh! Nara melihat suaminya ini menyapa seorang laki-laki berjas hitam yang terlihat baru saja sampai. Sebelum dirinya dan juga sang suami menghampiri presensi itu, Nara sempat menahan lengan suaminya. Dia ingin meminta izin untuk beristirahat, lantaran Nara sudah tidak bisa menahan lebih lama lagi rasa pegal pada kakinya.

"Mas, apa aku boleh beristirahat? Kakiku sangat pegal," ucap Nara.

Laki-laki bernama Rayhan itu memasang wajah datarnya. Melihat Nara hanya dari ekor matanya dan memberikan anggukan kecil. Secara perlahan, Nara merenggangkan pegangan tangannya dari lengan Rayhan, membiarkan suaminya itu menghampiri temannya. Sedangkan dirinya, akan mencari tempat duduk yang nyaman. Terlepasnya tangan Nara, dirinya tidak langung pergi, melainkan membiarkan Rayhan untuk berjalan terlebih dahulu. Sekiranya beberapa meter, barulah dia berjalan mencari bangku.

Nara melepaskan sepatu tinggi yang dia kenakan, karena gaun yang dia pakai menutupi kakinya, dirinya tidak terlalu malu, karena tidak akan ada yang melihatnya. Sembari merehatkan diri, sembari melihat keadaan sekitarnya. Memang beberapa dari mereka sudah pulang, namun itu hanya beberapa dari keseluruhan. Beberapa tamu undangan itu juga sempat melirik ke arah Nara, dan hanya senyuman yang bisa dia berikan. Dan setelahnya, dia berpikir jika apa yang dilakukannya saat ini bukan sesuatu yang baik untuk reputasi suaminya. Lantas, kaki telanjangnya itu langsung kembali dimasukkan kedalam sepatu tingginya. Padahal, belum ada lima menit Nara menduduki bangku ini.

Dua bola mata Nara bergerak untuk mencari keberadaan suaminya. Cukup sulit memang, lantaran banyak orang yang berlalu-lalang sehingga membuatnya membuang banyak waktu menemukan Rayhan. Tepat arah jam tiga, dia melihat presensi suaminya masih bersama dengan temannya yang baru datang tadi. Sedikit menaikkan gaunnya, Nara langsung berjalan menuju sang suami. Dilihatnya lengan kiri Rayhan yang melebar, dia ambil kesempatan itu untuk memasukkan lengannya. Secara natural, Nara langsung mengumbar senyum dan menyapa teman-teman suaminya ini.

"Semua orang pasti akan sangat senang ketika melihat presiden direktur akhirnya menikah," ucap laki-laki yang mengenakan tuxedo biru gelap.

Nara memperhatikannya, sepertinya memang semua orang sangat mengharapkan pernikahan ini terjadi pada Rayhan. Ah, Nara lupa, hingga sudah resmi menjadi seorang istri saja, dia masih belum tahu perbedaan usianya dan juga sang suami. Namun, dari perbincangan teman-teman suaminya, ia menduga jika Rayhan memiliki usia yang cukup jauh dengannya. Pasti sudah sejak lama, Rayhan dipaksa untuk menikah. Sampai akhirnya perjodohan sebagai jalan terakhir.

Disaat dia melihat suaminya, tampak ada guratan ketidaknyamanan diwajahnya. Nara sangat yakin, jika Rayhan memang tidak nyaman dengan pertanyaan seperti itu. Lantas, dia memiliki ide untuk membawa suaminya itu untuk pergi dari sana. Nara tidak ingin suasana hati Rayhan itu rusak karena pertanyaan temannya sendiri.

"Kalau begitu, silahkan dinikmati makanannya. Kami ingin menyapa dengan tamu lainnya," ucap Nara sembari menarik lengan suaminya pergi.

Tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya, Nara justru mengajak suaminya itu pergi dari tempat yang penuh dengan tamu undangan. Tidak akan lama, hanya sampai Rayhan bisa mengistirahatkan dirinya, karena sejak tadi Rayhan sama sekali belum berisitirahat. Nara saja sudah tidak kuat sejak tadi, namun suaminya tetap bisa menyapa dan berbincang dengan para tamu. Dirinya menarik lengan kiri Rayhan guna melihat waktu malam ini, lantaran dia rasa ini sudah cukup lama sejak acara resepsi tadi.

"Ini sudah sangat lama, dan kau juga belum beristirahat. Lebih baik, duduk disini terlebih dahulu," tutur Nara dan dijawab menggunakan satu anggukan kecil oleh Rayhan.

Tak ada yang dilakukan oleh sepasang pengantin baru ini. Disaat Nara sedang memperhatikan suasana penuh kemewahan dari kejauhan, disebelahnya Rayhan justru sedang memejamkan kedua matanya. Terdengar suara helaan nafas yang cukup panjang dari laki-laki itu, yang membuat Nara seketika menoleh kearahnya. Tak ada yang ingin dilakukan oleh Nara, dan membiarkan laki-laki itu menenangkan dirinya sendiri. Pun Nara sendiri hanya menyandarkan dirinya di sana, sembari ikut berisitirahat.

-

-

-

Akhirnya, semua acara sudah selesai, Nara dan Rayhan pun juga sudah berada di rumah orang tua Rayhan. Keduanya baru saja turun dari mobil, dan dia melihat ketika suaminya langsung membawakan turun koper miliknya. Karena merasa tidak enak, Nara dengan segera menghampiri Rayhan.

"Aku bisa membawanya sendiri," ucapnya.

Tepat setelahnya, Rayhan langsung melepaskan koper milik Nara, dan dia menghalau membawa barang-barangnya sendiri menuju kamarnya. Sedangkan Nara, gadis itu berdiri menatap punggung sang suami. Dia sedikit terkejut saat ibu mertuanya menghampirinya. Senyuman manis dia tunjukkan pada wanita itu.

"Ibu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Nara.

Ibu mertuanya sempat terkekeh kecil mendapati raut wajah kebingungan menantunya. Namun, dirinya memaklumi karena ini pertama kalinya putra satu-satunya akan tidur bersama wanita yang sudah dinikahi ini. Ibu mertuanya berjalan lebih dekat, memegang salah satu lengan Nara sembari diberikan usapan lembut.

"Kau langsung masuk saja, Rayhan tidak akan mengusirmu," jawabnya.

Mengangguk atas jawaban ibu mertuanya, Nara mulai melangkahkan kakinya menuju kamar sang suami. Jantungnya cukup tidak tenang saat menaiki satu persatu tangga, apalagi kamar Rayhan itu tepat didepan keberadaan tangga rumahnya. Nara menelan ludahnya susah payah, melihat pintu kamar Rayhan yang tidak tertutup rapat. Mengetuk pelan sebelum mendapat izin dari sang pemilik kamar. Tangan Nara sudah memegang kenop pintu, dan dia siap membukanya, namun dirinya malah dikejutkan dengan Rayhan yang mendadak keluar membawa bantal guling.

"Kenapa dikeluarkan?" tanya Nara yang masih berdiri sembari memegang koper.

"Aku tidak biasa tidur menggunakan guling," jawab Rayhan.

Baiklah, Nara hanya ikut saja dengan apa yang diucapkan oleh Rayhan. Dirinya belum memasuki kamar, melainkan menunggu sampai Rayhan selesai memindahkan bantal guling itu. Tak lama, dia melihat Rayhan memasuki kamar, tentu saja dengan masih menggunakan gaun pernikahannya, Nara membuntuti sang suami.

Koper berwarna biru toska itu dia letakkan dekat pintu. Nara hanya bisa berdiam diri saat melihat Rayhan mulai melepas jas dan membuka tiga kancing teratas kemejanya, membuat Nara sampai menahan nafas dan sedikit merasa gugup. Lantas dia mengalihkan pandangannya, berjalan perlahan menuju kamar mandi guna melepas gaunnya yang berat dan menjuntai kelantai. Sebisa mungkin, Nara hanya fokus pada langkahnya, walaupun sedikit melirik ketika Rayhan melepas ikat pinggangnya.

Di dalam kamar mandi—tepatnya di depan cermin, Nara menatap dirinya sendiri, sedang mengatur nafas karena ini adalah pertama kalinya dia akan tidur bersama laki-laki. Dan ini akan berlangsung selama sisa hidupnya. Satu kali Nara menarik nafasnya, lantas kedua tangannya bergerak ke belakang menggapai resleting gaun yang dia kenakan. Tunggu sebentar, Nara lupa jika dia tidak bisa menggapai resleting gaunnya. Mendadak pikirannya kosong dan belum tahu harus bagaimana.

Sedangkan Rayhan, laki-laki mengerutkan dahinya saat melihat sang istri yang mengeluarkan kepalanya dari dalam kamar mandi memanggil namanya. Pun dia langsung meletakkan ponsel, menghampiri di depan pintu kamar mandi.

"Tolong bantu aku menurunkan resleting," pinta Nara dengan malu-malu.

Tanpa sepatah katapun, Rayhan langsung membuka pintu kamar mandi. Menggiring sang istri ke depan cermin untuk membantu menurunkan resleting gaunnya Tidak mengulur banyak waktu, Rayhan langsung menurunkan resleting itu secara perlahan dengan wajahnya yang datar.

Nara melihat wajah Rayhan dari cermin, tapi tak ada hasrat ingin menerkamnya. Iya, memang Nara juga tidak mengharapkan secepat itu mereka melakukannya. Hanya saja, raut wajah suaminya itu sudah kelewat dari datar. Bahkan, menurunkannya pun juga tidak melakukan hal lain, seperti yang pernah ia lihat didrama. Seperti menghirup aroma tubuh sang wanita dari tengkuk lehernya, atau memperhatikan punggung polos setelah selesai membantu menurunkan resleting.

"Lalu, bagaimana caranya kau memasang bra jika tidak bisa menggapai resleting gaunmu sendiri?" tanya Rayhan tepat setelah ia selesai dengan kegiatannya barusan.

"A-aku menggunakannya dari depan," jawab Nara.

avataravatar
Next chapter