45 Days Before the Day 2

Jonathan benci ini. Ya. Pria itu benci keheningan yang tercipta diantaranya dan Olivia. Gadis yang lagi-lagi terisak dalam keheningannya, "Olivia," Jonathan akhirnya bersuara. Pandangannya masih lurus ke jalanan. Demi Tuhan. Dia bahkan bertanya-tanya bagaimana ia mampu bertahan dalam 1jam terakhir penuh keheningan, "Kau akan baik-baik saja. Aku berjanji. Ini tentang aku yang mencintaimu. Bukan tentang kau yang akan dihina."

Ucapan Jonathan terdengar tegas. Mendengar Olivia berkata demikian pada Lauren, Jonathan tak bisa menolak betapa senangnya ia. Namun, ia juga tahu resiko apa yang akan terjadi atas ucapan itu. Ya. seluruh kampus mungkin sedang membicarakan mereka saat ini. Mereka mungkin sedang mengolok-olok Jonathan, dan parahnya lagi, mereka akan menyebar fitnah tentang Olivia. Menjalani cinta, bagi Jonathan dan Olivia adalah hal yang sulit. Tetapi bahkan, jika itu sulit, mereka masih tetap ingin menikmatinya.

"Aku bahkan tidak perduli dengan itu," Olivia kembali terisak, menghapus air matanya yang lagi-lagi menetes, "Membayangkan bagaimana mahasiswa mahasiswi mu berlaku seperti itu, rasanya sakit. Mengetahui bahwa bukan hanya Lauren yang melakukan hal itu, rasanya jauh lebih sakit."

Jonathan terkaget. Pria itu segera menepikan mobilnya dan menatap Oliv tak percaya, "Demi Tuhan. Kau menangis bukan untuk ketakutan mu jika hari senin tiba?!" Olivia menghapus air matanya dan menatap Jonathan, "Apa yang harus aku takutkan?" Jonathan mengerjapkan matanya sejenak, "Kau bisa jadi bahan hinaan seluruh kampus, ketika hari senin tiba, Oliv. Kau bisa jadi dicerca karena berada didekatku. Kau bisa saja,"

"Satu-satunya yang ku takutkan adalah kau, bisa saja kau berpaling pada mahasiswimu yang lebih cantik dan lebih sexy dari aku."

Jonathan menggeleng, "Oh my babe," Pria itu meraih kepala Oliv dan mencium bibirnya sejenak, "Kau menakutkan sesuatu yang sia-sia, sayang. Sampai kapanpun, aku hanya akan mencintaimu." Olivia mendongak, menatap Jonathan hangat, "Apakah kau serius? Kau hampir saja tergoda tadi?"

"Aku hampir saja melemparnya jika kau tidak datang dan menghalangiku," bisikan Jonathan membuat Oliv tersenyum. Gadis itu mencium dagu Jonathan dan berkata, "Aku tidak kuat lagi, daddy, aku benar-benar akan berbicara. Aku... Aku akan mengakui bahwa aku mencintaimu, apapun resikonya. Aku hanya ... Aku tidak mau siapapun mendekatimu. Siapapun."

"Aw, my overprotective girl," Jonathan tertawa kecil seraya mencium rambut Olivia, "Apakah kau yakin, sweetheart? Kau tahu resikonya? Apakah kau tidak takut?" Oliv tersenyum, "Resiko bukan untuk ditakuti, daddy. Tetapi untuk dihadapi. Lagipula, selama denganmu, rasanya, tubuhku kebal dari rasa sakit." Jonathan terkekeh, "My mature little girl," Pria itu mengusap kepala Oliv sejenak, "Kau akan melakukannya, tetapi setelah hari ini dan besok berakhir. Untuk saat ini, bersenang-senanglah denganku. Hanya itu. Apa kau setuju, sweetheart?"

Oliv mengangguk senang. Gadis itu mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan membuangnya ke jog belakang, "No phone a day?" Jonathan terkekeh. Pria itu juga melemparkan ponselnya, "No phone two days. Just both of us, deal?"

"Deal"

Jonathan kembali menjalankan mobilnya, menyusuri jalanan yang tampak sepi. Well, ini bukanlah jalan raya. Kini mereka sudah memasuki kawasan yang penuh dengan pohon kelapa. Membuat Jonathan memilih untuk membuka kap mobilnya. seketika hembusan angin menghempaskan rambut Oliv dan Jonathan, "Wow, kita kemana?! Ke villa mu yang mana?" ucap Oliv senang. Jonathan tersenyum. Dipasang nya kacamata hitam satunya lagi ke mata Oliv, "Kau akan tahu,"

Beberapa saat kemudian, Jonathan memarkirkan mobilnya di halaman villa mewah di pinggir pantai. Membuat Oliv tak lagi sabar untuk menunggu Jonathan membukakan pintu untuknya. Gadis itu segera saja berlari menuju hamparan pasir putih yang langsung menyentuh kakinya.

"You Like it?" Jonathan berteriak seraya mengeluarkan barang-barang mereka dari dalam bagasi mobil. Membuat Oliv menoleh dan tersenyum lebar pada kekasihnya, "Damn. I love it!!"

Gadis itu kembali berlari ke arah Jonathan, mencium bibir pria itu sebelum akhirnya mengambil alih tasnya dari tangan Jonathan, aku mencintaimu!!" Jonathan terkekeh. Tangannya dengan leluasa merangkul tubuh mungil Olivia, mencium pipinya sejenak. Kemudian membawa gadis itu menuju villa mewah punyanya. Gila. Oliv benar-benar tidak tahu bahwa Jonathan bisa sekaya ini. Jonathan memang dosen besar. Tapi, apakah gaji seorang dosen di New York benar-benar sebesar itu, hingga pria itu bahkan mampu mempunyai villa seindah ini ditepi pantai?? Olivia benar-benar tidak heran jika terkadang, Jonathan hanya tidur sejam semalam, karena inilah hasil kerja kerasnya.

"Daddy, aku tidak tahu kau punya villa disini?" Ucap Oliv seraya meletakkan barang-barangnya saat ia sudah memasuki villa itu. Jonathan tersenyum, mencium pipi Oliv sejenak kemudian berkata, "Kau ingat video call pertama kita? Well, aku berlibur disini dengan Alva." Oliv manggut-manggut. Gadis itu berjalan mengelilingi villa tersebut dengan pandangan takjub. Gila. Seluruh bagian dari villa Jonathan bertembok kaca tembus pandang. Jadi, pemandangan pantai jelas sekali menjadi objek pandangan pada tiap sudut.

Gadis itu berdiri di depan kaca, menatap langsung pada ombak pantai yang mampu membuat hatinya terlena akan kesempurnaan ciptaan Tuhan. Hingga akhirnya, gadis itu merasakan tangan kekar pria tampan itu melingkari punggungnya. Membuat Oliv tersenyum, karena sejujurnya, hatinya jauh lebih terlena dengan kesempurnaan yang satu ini. Kesempurnaan yang terpancar dari pria yang ia cintai sepenuh hatinya.

Jonathan Marteen.

Persetan dengan perbandingan umur mereka, karena yang Oliv tahu, dia begitu menginginkan pria ini. Walaupun awalnya, perasaan ingin itu hanya sebatas perasaan menginginkan dari seorang anak perempuan yang merindukan kasih sayang seorang ayah. Namun, sedikit demi sedikit, Jonathan membuka segalanya. Membuka hati Oliv yang sudah tertutup sepenuhnya untuk mencintai seorang pria. Jonathan begitu sempurna. Pria itu bisa menjadi ayah bagi Oliv. Pria itu bisa menjadi sahabat, tempat Oliv untuk bersandar. Dan yang paling penting, pria itu bisa menjadi seorang pria yang Oliv cintai setengah mati, hingga Oliv bahkan tidak ingin berpikir apapun tentang rasa sakit yang mungkin akan ia terima karena mencintai seorang duda 41tahun di belakangnya.

"You happy?" lagi, Jonathan mengatakannya. Jonathan selalu memastikan kebahagiaan Olivia. Pria itu tidak peduli apapun selain kebahagiaan Olivia.

"Aku mencintaimu." Olivia berbalik, berjinjit untuk mencium bibir Jonathan, "Aku sangat mencintaimu."

"Menangis lagi, Olivia?" Jonathan menghapus air mata yang entah mengapa menetesi pipi Olivia. Membuat Oliv tertawa dan kembali melumat bibir Jonathan, "Aku menangis karena aku sungguh mencintaimu. Jangan lepaskan aku, apapun yang terjadi."

Jonathan tersenyum, dibelainya rambut Oliv penuh sayang, "Aku akan mati jika kau pergi darimu. Mana mungkin aku bisa melepaskan gadisku ini?" Oliv memeluk tubuh Jonathan. Sinar matahari yang kini menyinari tubuhnya memang hangat, namun memeluk tubuh pria ini jauh lebih hangat. Bahkan, bukan hanya hangat, Oliv juga merasakan kenyamanan.

"Mau ke pantai?" tawar Jonathan, membuat Oliv mengangguk senang. Gadis itu berbisik ke telinga Jonathan, seraya melepaskan kancing kemeja putih pria itu. Membuat Jonathan tampak menahan nafas tiap tangan mungil itu selesai melepaskan kancingnya. Kini, Jonathan hanya memakai singlet abu-abu dan celana panjang hitamnya. Pria itu menatap kekasihnya yang tampak tersenyum menggoda, dan lagi-lagi membisikkan sesuatu di telinga Jonathan. Oliv menyuruh pria itu untuk pergi ke pantai dahulu sedangkan ia akan berganti pakaian. Setelahnya, Oliv berlari dari hadapan Jonathan dengan kemeja putih pria itu di tangannya. Dia mengambil tasnya dan bergegas menuju kamar mandi.

Oliv melepas pakaiannya dan memakai bikini hitam yang ia bawa. Setelah itu, ia melapisinya dengan kemeja putih lengan panjang milik Jonathan, yang sangat kebesaran pada tubuh mungilnya. Setelah itu. Oliv berjalan menuju pantai, yang entah mengapa, meskipun weekend, tetap saja sepi. Mungkin, pantai ini adalah pantai pribadi, entahlah, Oliv tidak mau memikirkannya. Karena pikiran Oliv kini hanya tertuju pada pria yang tengah berdiri di tepi pantai seraya melipat tangannya. Pria tampan bertelanjang dada yang begitu menggodanya.

"Daddy," Oliv mendekap tubuh Jonathan dari belakang. Membuat pria itu tersenyum lebar. Lantas, ia segera membalik tubuhnya demi menatap sosok Olivia.

"What the hell... "

Jonathan memang sudah melihat tubuh telanjang Olivia. Namun, Oliv dengan bikini hitam yang dibalut kemeja putih kebesaran benar-benar membuatnya terangsang. Oliv nya sangat seksi, bahkan Jonathan tak lagi bisa menahan diri untuk tidak melumat bibir tipis gadis itu.

"You are fucking sexy, babe."

Olivia tertawa. Gadis itu mengalungkan lengannya di leher Jonathan, "Kekasihku tidak melihat dirinya sendiri. Dia lebih seksi dari aku." Jonathan membuat kancing kemeja putih itu. Dan dalam beberapa detik ke depan, kemeja itu sudah terbuang entah kemana, "Shit. Bagaimana bisa seorang gadis mungil menjadi seseksi ini?" Oliv mengerucutkan bibirnya kesal, "Kau hanya menganggapku gadis mungil?"

Jonathan mencium bibir Oliv dan tertawa, "Kau akan selalu menjadi gadis mungilku. Apapun yang terjadi." Oliv tersenyum, "Gadis mungil ini mampu membuat pria besar sepertimu tak berdaya."

"Aw, karena itu aku begitu menyukai gadis mungil ini."

"Jika kau begitu menyukaiku, maka cium aku sekarang." Oliv tersenyum lebar, membuat Jonathan tertawa, "Itu bukan permintaanmu. Itu adalah kebutuhanku, sayang."

"Let's see, kiss me?"

Jonathan menundukkan kepalanya demi menyentuh bibir Olivia. Namun, belum sempat bibir mereka bersentuhan, Oliv sudah melepaskan dirinya dari Jonathan. Membuat Jonathan seolah mencium angin lalu, "Olivia?!" Jonathan mendesah kesal. Sedangkan Oliv justru tertawa terbahak-bahak. Gadis itu berlari menghindari Jonathan seraya berteriak, "Dasar pria tua!! Memangnya menciumku semudah itu??" Jonathan menggelengkan kepalanya melihat kejahilan Olivia. Namun, alih-alih marah, pria itu justru tersenyum lebar. Oliv-nya terlihat begitu bahagia, dan itu sudah cukup menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Jonathan, "Jika aku menangkapmu, aku tidak akan berhenti menciummu!!"

Inilah Jonathan Marteen. Si dosen paling killer se kota New York, sedang bermain kejar-kejaran dengan Olivia, mahasiswi beasiswa dari Indonesia. Tak ada yang bisa menebak betapa Olivia begitu mampu membuat Jonathan Marteen tersenyum, terkekeh dan tertawa selebar ini. Begitu jauh dari sosoknya yang dingin, ketus dan mematikan. Betapa ajaibnya seorang Olivia Natasha??

"Daddy!!!" Oliv berteriak histeris ketika Jonathan berhasil menangkapnya. Mereka terjatuh, diterpa ombak pantai yang tenang, membuat mereka berdua jadi basah kuyup, "Ya Tuhan, daddy!! Apakah kau harus,"

Cup.

Jonathan melumat bibir Oliv, membuat wajah gadis itu memerah. Sesaat, Jonathan melepaskan ciumannya. Menatap tubuh gadis yang ditindihnya itu. Olivia yang sedang basah oleh air laut membuat Jonathan semakin terangsang. Demi Tuhan, "Dad,"

Cup.

Lagi-lagi, Jonathan mengecup bibir Oliv. Membuat Oliv mendelik kesal seraya menggigit bibir Jonathan, "Aw!! Olivia!!" Jonathan spontan melepaskan ciuman mereka, menatap sosok gadis yang sedang menyeringai jahil itu lekat-lekat, "Kenapa kau menggigit ku?!" Olivia tertawa. Gadis itu mendorong tubuh Jonathan, mambalik posisi mereka. Kini, Oliv terduduk di atas perut Jonathan. Membungkukkan tubuhnya dan mencumbui tiap titik mulut pria itu, "Salah siapa kau terus saja menciumiku??"

Jonathan menyeringai. Pria itu kembali membalik posisi mereka, hingga ia ada di atas Olivia. Diciuminya bibir tipis itu berkali-kali, seolah tak memberi kesempatan sedikitpun Olivia untuk berbicara.

"Dadi?!!"

Jonathan terus mencium bibir Oliv, "Aku sudah bilang untuk tidak berhenti menciumimu jika aku bisa menangkapmu."

"Dadi?!!"

Jonathan kini menahan tangan Oliv yang berusaha mendorongnya lagi. Pria itu terus saja mengecupi bibir Oliv yang terasa seperti narkotika untuknya.

"Damn."

Jonathan tidak bisa berhenti menciumi Oliv, "Aku benar-benar menggilaimu, Olivia."

🖤🖤🖤🖤🖤

Di ufuk barat, matahari mulai redup, keredupannya memberikan warna-warna orange indah menghiasi langit yang perlahan menghitam. Disitulah mereka berada. Di atas batu karang, berpelukan, seolah tak ada satupun yang berhak memisahkan. Betapa angin sore mulai menerpa kulit mereka, meninggalkan kedinginan menusuk, yang bahkan, sama sekali tak membuat mereka beranjak sedikitpun dari tempatnya. Meninggalkan kenyamanan itu, rasanya, tak ada yang akan rela.

"Bolehkah aku berkata jujur?" Oliv menyahut. Hal itu membuat pelukan di lengan telanjangnya semakin mengerat, hingga ia semakin bisa menyandarkan kepalanya di dada bidang Jonathan, "Katakanlah." Jonathan menghirup wangi rambut Oliv, membuat gadis itu menutup matanya seraya tersenyum. Masa ini, bisakah Oliv menghentikan waktu agar bisa selalu seperti ini bersamanya??

"Aku bukan orang yang puitis. Aku juga bukan gadis yang romantis." Oliv membelai pipi Jonathan begitu lembut, "Tetapi, kau harus tahu, semakin aku menghabiskan seluruh waktuku bersamamu, semakin kau membuatku mencintaimu, semakin aku merasa ketakutan dalam hatiku."

Jonathan tidak ingin menjawab.

"Kau benar-benar jauh dari tipe pria yang ku ingin untuk jadi kekasihku. Oh, bukan. Kau hanya berhasil mengubah tipe pria ideal ku menjadi sepertimu. Pria idealku adalah kau."

Jonathan mengecup puncak kepala gadisnya.

"Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, hingga membuatku merasa ketakutan tiap bangun kalau matahari sudah di ufuk timur. Aku takut, ketika aku membuka mataku, kau tidak ada di hadapanku. Aku takut, kau hanyalah ilusi yang hadir di setiap mimpiku." Jonathan mengangkat tubuh mungil itu ke atas pangkuannya. Diciumnya bibir itu dengan lembut dan penuh cinta. Gadis itu adalah dunianya. Jonathan tak bisa menolak kenyataan itu.

"Ikut aku," Jonathan tersenyum. Pria itu segera menurunkan Oliv dan menggandengnya ke tepian. Jonathan menatap mata hitam itu begitu dalam, "This sunset... " telunjuk Jonathan mengarah pada matahari yang mulai tenggelam dengan indah. Namun, tak sekalipun ia melepas pandangannya pada mata Oliv yang seolah menghipnotisnya, "Aku telah melewati lebih dari 14ribu matahari tenggelam dalam hidupku," tangan pria itu membelai pipi Oliv sejenak, "Namun, tak satupun dari mereka terasa indah, seindah saat aku bisa menatap mata hitammu di bawahnya."

Bahkan, senja yang ia lewati bersama Andrea, tidak terasa semenyenangkan ini.

"Kau mungkin hanya ilusi yang ku ciptakan, karena diriku yang terlalu memujamu, diriku yang begitu menyanjung dan mengagumimu. Tapi, aku nyata untukmu. Pria tua ini, begitu mencintaimu, bahkan sejak pertama kali ia berbicara padamu."

Oliv tersenyum. Ditatapnya wajah Jonathan yang lebih tampan di bawah sinar orange matahari terbenam. Pria ini adalah pria yang meruntuhkan dinding keras di hatinya, bahkan ketika ia sendiri tak menyadari hal itu. Pria ini juga membangun kembali dinding keras itu, namun, membubuhi beberapa jendela di atasnya, membiarkan sinar matahari masuk dan menyamankan keadaan di dalamnya. Pria ini adalah seorang pria, yang bahkan sejak pertama kali Oliv mengenalnya, ia tak sekalipun meninggalkan Oliv. Tidak peduli apapun keadaan Oliv. Tidak peduli seburuk apapun masa lalu Oliv. Tidak peduli betapa menjijikkannya Oliv. Pria ini tetap mencintainya.

Oliv berjinjit, mengalungkan lengannya ke leher Jonathan. Dan di bawah matahari yang semakin menghilang, Oliv mencium bibir pria-nya begitu dalam.

avataravatar