1 Farewell Gift

Agha mengenal benar perempuan yang duduk di depannya sekarang. Empat tahun belakangan, mereka bekerja di perusahaan penerbitan yang sama. Sejak itu, ada banyak drama yang telah mereka hadapi untuk menerbitkan puluhan buku dan semuanya menjadi bukti betapa Elvina adalah perempuan terkuat di tim editor.

Namun, ada apa dengan Elvina pagi ini? Terasa sangat aneh ketika dia tiba-tiba menyerahkan surat pengunduran diri.

"Jadi, perusahaan mana yang sudah merekrut kamu?" tanya Agha.

Jujur saja, orang seperti Elvina tentu mudah mendapatkan pekerjaan di perusahaan lain. Agha mungkin perlu membuat penawaran khusus untuk mempertahankan salah satu editor terbaiknya, kan? Naik gaji, misalnya?

"Tidak ada. Saya hanya merasa sangat lelah dan berencana tidak bekerja selama 3-4 bulan ke depan," Elvina terlihat sangat yakin dengan jawabannya.

"Kamu bisa cuti beberapa hari jika kelelahan. Kamu tahu saya pasti akan mengizinkannya."

Elvina tersenyum. Tentu saja tidak sulit mendapatkan izin cuti, apalagi dari bos barunya ini.

Begitulah. Ini adalah hari pertama Agha bertugas sebagai pemimpin redaksi. Elvina memilih waktu yang sangat sempurna untuk mengundurkan diri, kan? Setidaknya menurut dia, bukan Agha.

"Saya tahu, beberapa bulan terakhir memang sangat berat. Kamu bekerja menyiapkan buku-buku orang lain sambil menulis novelmu sendiri. Istirahatlah beberapa hari. Kenapa tiba-tiba mengundurkan diri begini?" Agha mencoba memahami situasi Elvina.

"Pak Agha tahu cuti saja tidak akan cukup. Sebenarnya, orang tua saya berharap saya menikah tahun ini. Orang tua pasangan saya bahkan berencana melakukan lamaran akhir pekan ini. Jika memang demikian, artinya cepat atau lambat harus ada yang mengalah, kan?"

Agha tampak terkejut mendengar penjelasan Elvina. Menikah tahun ini? Lamaran di akhir pekan? Harus ada yang mengalah?

Elvina kembali tersenyum melihat reaksi pria 30 tahun yang hari ini terlihat cukup berbeda dengan kemeja merah marun pilihannya. Iya, pilihan Elvina.

"Perusahaan ini masih memegang aturan kuno itu, Sayang. Mereka bilang, jika ada sepasang karyawan yang menikah, salah satunya harus mundur," ujar Elvina.

Agha seketika menghela napas. Suasana di ruangan itu menjadi lebih cair dan santai. Dia tahu jika dirinya harus bersikap profesional di kantor. Namun, panggilan sayang dari Elvina barusan membuatnya seolah melihat lampu hijau.

Dua tahun lebih menjalin hubungan asmara, Agha dan Elvina memang sengaja menyembunyikannya dari orang-orang kantor. Selama ini, semua orang dipaksa percaya bahwa mereka hanyalah sahabat dekat. Walaupun banyak orang curiga karena keduanya kerap terlihat bersama di luar kantor, baik Agha maupun Elvina selalu menyangkal.

Agha juga selalu menahan dirinya untuk tidak bersikap berlebihan setiap kali melihat Elvina begitu ramah kepada semua orang, termasuk saat seorang anak magang terang-terangan mengaku tertarik dengan Elvina dan mengajaknya pergi makan malam sepulang kerja.

Apakah jatuh cinta pada perempuan yang lebih tua sedang jadi tren baru? Sebab, Elvina bukan hanya pernah mendapatkan pengakuan cinta dari satu anak magang, melainkan empat orang. Itu belum dengan beberapa penulis pria yang menunjukkan sikap serupa. Luar biasa, kan? Pesona Elvina memang berbahaya.

Pasangan ini juga tidak pernah menggunakan panggilan sayang saat di kantor. Tidak pernah sekalipun, setidaknya sampai hari ini.

"Sayang, semalam kita makan malam bareng dan kamu nggak ngomong apapun soal resign, lho."

Tidak ada suasana formal kali ini. Agha tak lagi bersikap sebagai pemimpin redaksi. Sekarang dia sepenuhnya kekasih Elvina.

"Lagian kalau memang mau keluar, kamu bisa ngelakuin itu setelah kita resmi menikah. Nggak usah buru-buru. Aku nggak melarang kamu terus bekerja, kan? Setidaknya kamu bisa cari pekerjaan baru dulu sebelum resign dari sini."

Elvina tertawa ringan. Agha terlihat imut jika sudah mulai merajuk.

"Aku pun nggak berencana jadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Tadi aku udah bilang, kan? Aku mau libur 3-4 bulan, terus baru kerja lagi. Bukan sebagai editor lagi tapi penulis," kata Elvina dengan entengnya.

"Aku tahu menjadi penulis tidak akan membuatku cepat kaya. Cuma, kenapa tidak? Calon suamiku baru saja naik jabatan dan kafe yang kita rintis bareng tiga bulan lalu lumayan cepet perkembangannya. Itulah kenapa setelah kita ketemu semalam aku berpikir, 'Ah, sepertinya nggak masalah kalau aku jadi pengangguran'. Iya, kan?"

Agha masih tidak mengerti dengan keputusan kekasihnya yang dia anggap terlalu impulsif. Tidak biasanya Elvina berpikir sesederhana itu.

Sambil mengangkat amplop putih berisi surat pengunduran diri Elvina, Agha berkata, "Paling tidak, ajukan surat ini 2-3 hari atau malah sekalian pekan depan. Ini hari pertamaku, Sayang."

"Justru aku merasa harus segera bikin permohonan resign supaya nggak dikasih proyek baru sama kamu. Aku mau antologi cerpen yang sekarang lagi naik cetak jadi tugas terakhirku di sini."

Agha tidak ingin berdebat lagi. Dia kemudian terlihat mengambil sesuatu dari dalam tas yang dia letakkan di laci meja kerja. Memandangi kotak beludru berwarna merah itu selama beberapa detik, lalu menaruhnya begitu saja di atas meja, tepat di hadapan Elvina.

Elvina jelas kebingungan. Kelakuan Agha terkesan tidak asing baginya, terasa seperti adegan dalam salah satu novel yang dia edit beberapa bulan lalu.

"Apa ini?" tanya perempuan yang lebih muda empat tahun dari kekasihnya itu.

Sambil tersenyum dengan begitu hangat, Agha menjawab, "Karena diserahkan pada hari kamu mengajukan surat pengunduran diri, mari kita sebut ini sebagai farewell gift."

"Hah?" Elvina masih tidak paham.

Elvina pun mengambil kotak tersebut dan membukanya saat itu juga. Ternyata firasatnya benar. Isinya adalah sepasang cincin.

Eh, tunggu! Apakah Agha sedang melamarnya? Kenapa juga harus di kantor?

Merasa gemas melihat ekspresi kekasihnya, Agha akhirnya beranjak dari kursinya, berjalan mendekati Elvina, lalu mengambil kembali kotak cincin yang dipegang sang pacar.

Agha mengambil cincin yang berukuran lebih kecil, kemudian memasangnya di jari manis Elvina sembari berlutut.

"Bukumu terbit bulan depan, kan? Dua minggu setelahnya, kita nikah, yuk!"

Wajah Elvina tersipu. Dia biasanya tidak suka membaca adegan seperti ini dalam setiap novel yang pernah jadi tanggung jawabnya. Setelah mengalaminya sendiri, mengapa ini terasa sangat manis dan membuatnya berdebar-debar?

Cekrek!

"Ups, sorry...," tiba-tiba suara seseorang menginterupsi momen romantis tersebut.

Agha segera berdiri kembali dan melihat siapa yang berani masuk ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Rupanya dia adalah Amanda, ilustrator termuda sekaligus biang gosip kantor. Entah apakah terlalu larut dalam dunia mereka berdua atau bagaimana, tadi Agha dan Elvina benar-benar tidak sadar ketika Amanda membuka pintu, bahkan sampai sempat mengambil foto saat Agha berlutut di hadapan Elvina.

"Maaf, Pak. Tadinya saya mau kasih lihat rancangan ilustrasi untuk sampul novel yang terbit bulan depan. Tapi saya kayaknya.... Maaf, Pak. Permisi...."

Amanda buru-buru keluar ruangan tanpa menutup kembali pintunya. Namun, apa yang terjadi setelahnya sungguh membuat Agha dan Elvina malu.

"PENGUMUMAN PENTING! MBAK ELVINA MAU KAWIN SAMA BOS BARU KITA! AKU ADA FOTO LAMARANNYA! SIAPA MAU LIHAT?!"

Teriakan Amanda seketika membuat kehebohan di seluruh kantor. Orang-orang dengan cepat berkerumun karena penasaran dengan foto yang dipamerkan Amanda.

"Haruskah anak itu aku pecat?" Agha terdengar marah saat mengatakannya.

Elvina malah tertawa. "Kita ketahuan, nih. Untung aku udah resign, ya. Hahaha...."

Agha tersenyum memandang kekasihnya. Benar yang dikatakan Elvina. Tak ada lagi yang perlu mereka rahasiakan di kantor.

"Ya, udah. Yuk, bulan depan kita nikah!" kata Elvina kemudian. Dia lalu mengecup pipi Agha sebagai ungkapan sayang yang langsung dibalas sang kekasih dengan sebuah pelukan hangat.

Sialnya, tanda keduanya sadari, lagi-lagi ada karyawan yang menjadi saksi kemesraan Agha dan Elvina.

"WOY, MAS AGHA SAMA MBAK ELVINA SEKARANG BERANI MESRA-MESRAAN DI KANTOR!"

Agha lupa. Orang-orang di kantornya memang ajaib luar biasa. Setelah ini, bisa dipastikan hubungannya dengan Elvina akan jadi perbincangan panas selama berminggu-minggu ke depan.

Walau begitu, pada akhirnya Agha hanya bisa tertawa bersama Elvina. Mereka malu tapi sebenarnya momen ini juga terasa sangat lucu.

Oh, iya. Ada satu hal yang disyukuri Agha. Seharusnya, sekarang tidak akan ada lagi orang yang berani menggoda perempuan kesayangannya setelah tahu bahwa Elvina adalah calon istri pemimpin redaksi mereka, kan?

Terima kasih, Amanda!

avataravatar
Next chapter