14 Satu Sama

Max mengawali hari dengan perasaan kesal yang masih membekas. Tidurnya pun sama sekali tak nyenyak karena peristiwa kemarin malam. Adiknya yang manja dan sedikit nakal itu tanpa rasa bersalah malah melibatkannya dalam kesalahan yang diperbuat. Dan dengan segala kekuasaan berlabelkan "Adik" membuat ia ikut juga dimarahi oleh orang tuanya.

"Kau itu bagaimana sih, Max! Harusnya kau tetap tak memalingkan sedikit pun pandangan mu pada, adik mu! Mengawasinya baik-baik supaya Cherlin tak minum alkohol terlalu banyak. Lihatlah, dia menjadi mabuk!" omel sang ibu walau Max sudah menceritakan perbuatan adiknya itu. Max bertambah kesal saat Cherlin yang sedang bersandar di bahu sang ibu terlihat berusaha keras untuk menahan tawa, Cherlin seolah merasa menang darinya.

"Bu... Aku kan sudah bilang, Cherlin yang ngerencanain pesta itu, parahnya lagi dia malah nyediain minuman keras yang kadar alkoholnya tinggi. Kenapa malah ibu memarahi ku juga?" protes Max dengan nada merajuk.

"Lah, itu! Kenapa coba rencana Cherlin bisa terlaksana, kau kan bossnya!"

Max saat itu hanya bisa diam, adik perempuannya itu selalu berkuasa jika di hadapan orangtuanya. Kakak laki-laki yang harus bisa menghadang segala kerusuhan yang diperbuat sang adik, sialnya nasib kakak yang ber adikkan perempuan bar-bar seperti itu.

Menjewer telinga sang adik nyatanya masih belum bisa membuatnya mereda. Nyatanya pagi ini, Max masih duduk dengan berbagai bayangan rencana untuk bisa membuat adiknya itu jerah.

Bunyi pintu terbuka dan tertutup sedikit pun tak membuat Max tertarik. Ia malah meraih ponsel dan berpura-pura sibuk membaca beberapa e-mail masuk.

"Brother!" sapa Cherlin dan langsung menghempaskan tubuhnya di samping Max. Menciumi pipi sang kakak untuk sedikit menarik perhatian Max.

"Brother, jangan marah... Bukan maksud ku untuk melibatkan mu dalam masalah ku kemarin. Aku terpaksa tau... Di sisi satu sisi kawan-kawan ku terus saja desak untuk membuat pesta meriah seperti di rumah Melisa dan Tantri. Papa dan Ibu tak akan mungkin memberi izin kalau di rumah mengadakan acara semacam itu. Brother tau kan, aku sangat bermusuhan dengan kedua wanita jalang itu, aku tak mau jika mereka melebihi ku. Apalagi karena pesta itu juga aku jadi lebih deket dengan Nathan. Kemarin saja, dia beberapa kali memperhatikan ku, dan juga-"

"Cukup! Sebenarnya apa yang coba ingin kau katakan? Melisa, Tantri, pesta, Nathan, dan kau malah melupakan kalimat penting yang harusnya lebih dulu kau ucapkan!" ucap Max sedikit memberikan kode agar Cherlin meminta maaf padanya. Tapi nampaknya Cherlin sama sekali tak merasa bersalah saat Max melihat raut bingung sang adik.

"Ehmm... Selamat pagi?" ucap Cherlin dengan ragu. Dan Max yang gemas pun mencubit pipi putih itu hingga memerah.

"Dasar kurang ajar! Melibatkan ku dalam masalahmu dan kau sama sekali tak merasa bersalah akan hal itu? Aku kesal sekali denganmu! Kau tau, papa bahkan menghukumku dengan cara melemparku ke Bali untuk mengurus proyek di sana!" ucap Max dengan penuh penekanan.

"Bali? Bukankah itu hukuman yang bagus? Brother bisa sekalian liburan, kan?"

Max pun mencubit pipi Cherlin satunya lagi. Max gemas karena tak mungkin ia mengatakan yang sejujurnya. Cherlin akan menganggapnya gila jika Max mengatakan dia suka Nathan. Semua belum pasti, ia tak mungkin secepat itu memberi tau Cherlin. Max bahkan belum mengambil langkah untuk mendekati Nathan, dan adiknya itu sudah selangkah di depannya.

Bukan maksud Max untuk tak bertindak dewasa dengan merencanakan diam-diam persaingan dengan adiknya sendiri, semua itu juga tak mudah untuknya. Tapi mengingat perjalanan kisah Cherlin membuat Max menyadari kalau adiknya itu dari dulu tak serius dalam menjalin hubungan. Sedangkan dirinya, sudah sangat lama sekali ia tak merasakan kesenangan hanya dengan menatap wajah seseorang. Ia berpikir kalau alangkah baiknya ia berusaha dahulu sebelum keputusan nanti yang akan Nathan tentukan.

"Di sana aku kerja, dan pastinya akan sulit untuk mencari waktu luang."

"Dan harus jauh dari kak Lea, kan?" ledek Cherlin dengan merangkul bahu sang kakak.

"Tidak, lagipula banyak wanita cantik disana," sahut Max ringan. Lagipula ia hanya bercanda, Max bukan orang yang suka melakukan seks bebas dengan sembarang orang. Dan bukan berarti ia masih perjaka, waktu zaman SMA ia sudah pernah melakukannya beberapa kali dengan sang mantan.

"Oh, brother... Akan ku adukan pada kak Lea, nanti!"

Jawaban Cherlin membuat Max terkekeh. Mana mungkin Max khawatir jika jauh dari Lea? Yang ada dalam benaknya sekarang malah rasa kesal saat harus menunda rencananya untuk mendekati Nathan.

"Hahah... Tak pantas untuk wanita yang mempunyai mantan bejibun untuk mengatakan hal itu," ledek Max lalu menjulurkan lidah.

"Apa, sih! Brother sama sekali tak nyambung, sekarang ini aku mau fokus mendekati Nathan!" jawab Cherlin dengan menaik turunkan kedua alisnya. Kedua tangannya bersendekap dan mengangkat tinggi kepalanya.

"Ehmm... Lalu, jika sudah mendapatkannya?"

"Ya... Lihat kelanjutannya nanti."

Max menatap raut wajah ceria adiknya itu. Mereka saling berpandangan, Max meneliti raut itu. Sedikit rasa iri untuk Cherlin menghinggap di hatinya, mengekspresikan diri rupanya terlihat begitu menyenangkan.

"Kau sangat tak meyakinkan."

"Tak yakin tentang apa?" tanya Cherlin dengan santai merebahkan tubuhnya di ranjang Max. Hari masih begitu pagi, dengan menyamankan tubuhnya Cherlin sesekali memejamkan mata.

"Jika kau menyukai Nathan, bukankah orang seperti Nathan itu bukan tipe mu, ya?" pancing Max untuk bisa mengetahui tujuan adiknya itu.

"Kenapa ingin tau?"

"Ehm... Ibu dan papa pasti masih belum mengetahui rencana mu lusa itu, ya? Klub malam, bukankah tempat seperti itu akan membuat papa-"

"Tunggu dulu! Brother menyadap ponsel ku lagi?!"

Cherlin yang nampak bingung itu langsung bangun dari rebahannya dan menatapnya dengan memelotot tajam.

"Demi kebaikan adik, apa salahnya? Lagipula pergaulan mu sepertinya wajib dikontrol. Bukan dengan menyadap ponsel, aku hanya mengusulkan ke papa beberapa bodyguard kepercayaan ku, itu saja!"

Dengan santai Max bangun dari tempatnya, mengecek beberapa berkas yang harus dibawa. Dan setiap pergerakan Max, Cherlin menatap tajam dirinya. Max sadar itu, ia yakin Cherlin begitu kesal padanya. Satu sama, itu setimpal.

"Mulai kapan aku hidup diawasi seperti itu? Kata papa hukuman akan berjalan besok, kenapa brother sudah tau rencana yang aku susun tiga hari lalu?"

Cherlin mendekat pada Max, berdiri tepat dibelakangnya sambil berkacak pinggang.

"Ehmm... Mulai kapan, ya? Aku juga lupa, nanti kau tanya langsung saja dengan mas Riki, dia selalu bergaul dengan pak satpam kita."

Max membalikkan badan dan memberi cengiran kepada Cherlin. Wanita itu mengerucutkan bibir dengan wajah memerah, ia marah.

"Menyebalkan sekali! Itu sama saja aku menerima hukumannya dari brother!"

Cherlin dengan kesal menendang kaki Max beberapa kali.

"Ingin tau rencana lainnya?"

"Ada lagi?!"

"Setiap laporan akan masuk pada ku. Dan jika kau tak ingin papa tahu beberapa rencana nakalmu itu, lebih baik turuti aku dan jangan lakukan hal buruk lagi!"

Hancur sudah, setelah ini Cherlin akan jadi anak cupu yang hanya bisa melihat postingan keseruan kawan-kawannya saja. Max tak ada harapan untuk diajak kerja sama, Sial!

avataravatar
Next chapter