15 Satu Hati Bagi Dua

Malam itu Rian tak bisa sedikit pun memejamkan mata. Pandangannya menatap ponsel di sebelahnya yang masih saja senyap setelah setengah jam lebih ponsel itu menyala. Malam semakin larut sejak terakhir kali Ilham menciuminya tanpa henti, dan Rian yang sedang tak bernafsu itu pun mendorongnya menjauh.

"Kenapa?" tanya Ilham singkat. Nafasnya terdengar begitu menderu hingga hembusan itu begitu terasa di lehernya Rian.

"Aku sedang tak ingin. Lagipula tak etis juga kalau kita melakukan hal itu di tempat ini," balas Rian dengan mendorong dada Ilham menjauh.

"Siapa yang mau bercinta? Aku hanya ingin mencium mu saja, kok!" alibi Ilham, dan Rian hanya berdecak lidah saat pria yang jauh lebih besar tubuhnya itu mulai menyerang lehernya.

"Eungghh... Aii!" geram Rian dan akhirnya ia pun menjambak rambut Ilham yang sedikit memanjang itu.

"Auchh! sakit tau, rasanya rambutku ikut rontok karena tarikanmu ini," ringis Ilham tak sedikitpun membuat Rian melepaskan tarikan tangannya di rambut Ilham.

"Siapa suruh kau tak bisa untuk mendengarkan ucapan ku? Lagipula aku begitu mengenalmu, awalnya saja hanya ciuman, tapi pasti nanti akan melakukan hal lebih, kan?"

Ilham mengerucutkan bibirnya, merajuk. Posisi yang awalnya mengungkung Rian itu pun kini berubah menjadi berbaring bersebelahan. Ilham gagal dalam membodohi Rian, pria itu rupanya sudah menghafal trik-trik yang selama ini Ilham jalankan.

Rian yang menolehkan pandangan ke Ilham hanya bisa menggelengkan kepala heran. Pria itu masih saja mengerucutkan bibirnya dengan dahi yang berkerut dalam, seperti anak kecil.

"Seorang pemilik cafe besar ini merajuk kepadaku. Seorang yang begitu dingin berbicara dengan orang lain ini juga sempat-sempatnya mendecak lidah dan mengerucutkan bibir hanya karena keinginan yang tak ku penuhi. Aku begitu spesial untukmu ya?"

Goda Rian yang sama sekali tak ditanggapi oleh Ilham. Mencubit pipi itu dengan gemas, Rian akhirnya membangunkan tubuhnya dan menggenggam ponsel berniat ingin menghubungi Nathan. Rasanya belum dua puluh empat jam ia tak berjumpa atau bertukar kabar dengan Nathan tapi ia sudah merasa begitu rindu dengan kekasihnya itu.

"Mau kemana?" tanya Ilham dengan memegang lengan kiri Rian saat ia beranjak bangun.

"Bicara dengan ku tuan?"

"Jangan menggodaku!" jawab Ilham dan membangunkan tubuhnya juga. Rian terkekeh saat nada bicara Ilham masih terdengar merajuk.

"Hehehh... Mau ke depan sebentar, cari angin," alasan Rian membuat Ilham memutar bola mata. Mereka kenal sudah begitu lama, setiap gelagat masing-masing dari mereka pun cukup dihafal. Lagipula suhu di sini malah terasa lebih dingin di bandingkan di kota. Rian ingin cari penyakit?

"Bilang saja kalau mau menghubungi kekasihmu itu," sahut Ilham membuat Rian terkekeh pelan.

"Memang kenapa? Sudah seharian ini aku sama sekali tak menyalakan ponselku, begitu juga dengan mu, kan? Aku hanya memastikan keadaannya baik- baik saja."

Rian melepas genggaman tangan Ilham dan melangkah kaki menuju pintu. Ilham merasa begitu kesal, saat Rian begitu entengnya mengatakan hal yang membuatnya sakit hati. Ilham tak yakin jika Rian tak mengetahui perasaan cintanya meski dilain pihak memang Ilham yang belum secara gamblang menyatakannya. Mereka sudah begitu intim sejak lama, kata "Aku mencintai mu" rasanya hanya sekedar basa-basi untuk Ilham ucapkan. Lagipula Rian juga seperti tak ada niatan untuk mencermati ungkapannya itu.

"Memang sangat mustahil, ya? Aku memiliki satu hari penuh milikmu itu tanpa gangguan pria lain?" ucapan sendu Ilham itu nyatanya sedikit mengusik relung hati Rian. Badannya pun berbalik melihat intens kearah Ilham yang menatapnya kecewa.

"Aii..."

"Heheh... Aku mengerti keadaannya, kok! Lagipula aku kan hanya sebatas teman intim, dan aku sadar diri itu tak seberapa penting dari pada kekasihmu," ucap Ilham dengan enteng. Senyum lebarnya terlihat sangat datar di pandangan Rian.

"Kenapa kau bicara seperti itu, sih! Jujur saja, kau membuatku sakit hati dengan kata-katamu!"

Rian berjalan kembali ke tempat asalnya. Memeluk tubuh lebih besar itu dengan erat. Air matanya mengalir perlahan, dan seketika membuatnya tercekak saat sesuatu seperti menghimpit rongga pernapasannya.

"Hei... Kenapa kau malah menangis? Aku kan hanya mengatakan hal yang sejujurnya," sahut Ilham dengan mengusap rambut lembut itu.

"Aku tidak tau... Hanya saja jika kau mengatakan hal seperti itu sama saja kau menyebutku pria gampangan."

Kesal, Rian pun memukul-mukul dada Ilham. Wajahnya yang penuh dengan air mata dan hidungnya yang memerah itu begitu sangat menarik di mata Ilham. Tak bisa membendung kegemasannya, Ilham akhirnya pun menggigit pipi kiri Rian. Ilham sedikit bangga karena dengan cara itu Rian bisa menatapnya dengan kedipan kaget yang terlihat begitu lucu.

"Siapa yang menyebutmu begitu? Kau harus dengar, kau adalah pria yang begitu manis dan cantik hingga aku yang bodoh ini terjerat begitu saja pada pria yang sudah tak punya hati sepertimu ini."

"Kau jahat! Aku itu pria tampan, dan apa itu tadi? Kau juga mengolokku tak punya hati?"

Rian pun kini sesegukan lagi. Air matanya yang sempat surut kini membanjiri pipinya lagi.

"Bohong kalau bilang tampilan sepertimu ini tampan. Dan juga kau memang sudah tak punya hati, aku yakin sebagian besar memang sudah dimiliki kekasihmu, tapi aku cukup optimis jika sebagian dari itu adalah milikku."

Ilham meringis pelan saat telinganya dijewer. Namun sesaat ringisan itu digantikan dengan senyuman cerah begitu bibir Rian berinisiatif untuk mengecup bibirnya miliknya.

"Aku itu tampan, sekali lagi menyebutku manis atau pun cantik... Siap-siap saja kau, kehilangan satu telinga!"

Ancaman pura-pura itu mengakhiri perdebatan mereka di malam hari. Mereka pun sepakat tak membahas hal-hal sensitif mengenai kepemilikan kekasih. Saling menatap dengan senyum lebar seolah sudah melupakan hal yang membuat mereka sempat emosional. Berbaring miring dengan lengan yang saling memeluk. Mata yang perlahan mulai memejam menyambut mimpi yang dengan random nya menghampiri.

Sinar matahari menandakan pergantian hari. Ilham dan Rian sempat bermain-main dengan anak-anak panti. Rian yang juga membantu Ibu panti menyiapkan sarapan sederhana untuk disantap ramai-ramai. Hingga saat pukul sepuluh mereka harus berpamitan pulang dengan meninggalkan sedikit kenang-kenangan. Lambaian tangan saat kendaraan yang mereka tumpangi meninggalkan halaman panti. Raut sendu Ibu Kirana sempat tertangkap di pandangan Ilham. Dalam hati pria itu pun berjanji untuk datang lagi ke rumah lamanya itu.

"Aku pasti akan datang ke sana lagi dan menginap lebih lama. Jika saja pekerjaan dan tanggung jawab tak menggemborku seperti ini."

"Hmm... Kita pasti akan kesana lagi," balas Rian dengan menyandarkan kepalanya di pundak Ilham.

"Aku pegang janjimu itu!"

Mereka tertawa dan Ilham mengecup punggung tangan Rian yang terlihat tersipu.

Drrtt...

Dering ponsel membuat Rian menegakkan badannya saat menatap panggilan video dari grup chat.

"Hai..."

"Hai... Ini dia Ilham! Akhirnya kau menunjukkan kehidupanmu juga, ya!" timpal sebuah suara yang terdengar jelas di telinga Rian. Ia ikut senang jika Ilham memiliki orang-orang yang menyayanginya.

"Ya, kawan yang selalu hilang saat hari ulang tahunnya, awas saja jika nanti malam kau tak berkumpul! Akan ku acak-acak cafe mewah mu, itu!"

"Hahah... Kalian tenang saja, aku nanti pasti hadir" jawab Ilham menimpali suara itu.

"Oh ya, Nathan! Kau dimana? Seperti bukan di tempat mu."

"Oh kawan... Jangan bilang kau menginap di hotel atau rumah wanita incaranmu?"

Rian yang awalnya menatap pemandangan dari arah samping itu pun menoleh ke Ilham. Sebutan nama yang membuatnya tertarik.

"Tidak... Aku sedang di hotel, dan jangan kalian berfikir kalau aku dengan wanita, ya!"

Nathan. Suara yang tak asing di telinga Rian, bukan kekasihnya Nathan kan?

avataravatar
Next chapter