27 Saling Menginginkan?

Sabtu malam, disaat semua muda- mudi ingin pergi mengunjungi beberapa tempat untuk menyegarkan pikiran atau sekedar memamerkan pasangan. Sabtu malam, yang biasa digunakan para pasangan untuk membuat moment berboncengan dengan sang kekasih yang mendekap dari belakang atau menyandarkan kepala dengan tangan yang saling bertautan.

Sabtu malam tak pernah semembingungkan ini menurut Nathan. Acara tontonan yang hanya dinyalakan sebagai penghilang suara sunyi itu nyatanya tak begitu berpengaruh. Rian hanya terfokus pada ponsel dan tak menghiraukan dirinya yang terlingkup kecanggungan yang dibuatnya sendiri.

Nathan tak tau apa yang membuatnya seperti ini. Ia secara tiba- tiba berpikir apa yang harus ia lakukan. Ia seperti tak bisa menjadi dirinya yang selalu bertindak spontan. Disaat semua pasangan akan sibuk memadatkan jadwal kencan, dan mereka pun hanya saling diam tanpa mempedulikan.

Gerah dengan suasana canggung ditambah kecepatan jari lentik Rian yang semakin aktif di layar ponsel dan juga bibir yang sesekali mengulas senyum membuat Nathan sedikit cemburu dengan ponsel itu. Nathan pun sampai hampir frustasi merasakan keterdiaman sosok kekasih yang dulu begitu ceria dan kini seolah tak mempedulikannya. Mencoba mengambil inisiatif Nathan pun menidurkan kepalanya di pangkuan Rian. Nathan dapat memandang dengan jelas sosok wajah mungil Rian yang terlihat begitu jelas saat memandang dari bawah.

" Kau ingin kita keluar?"

Nathan sedikit merutuki pertanyaan konyolnya sendiri. Ia secara spontan mengatakan hal itu, meski di sisi lain Nathan mengharapkan Rian untuk tak menerima tawarannya. Ia tak bisa membayangkan jika mereka harus melakukan kegiatan romantis di sepanjang jalan. Bagaimana kalau Rian secara tiba- tiba menggandeng tangannya tanpa henti, mau ditaruh dimana mukanya?

Nathan bukan tak mencintai Rian dengan tanpa pengakuannya sebagai sepasang kekasih. Ia hanya merasa orientasi seksualnya yang berbeda itu tak perlu ditunjukkan, toh hubungan seperti itu tak mungkin bisa seserius hubungan pernikahan. Nathan merasa jika dua orang saling mencintai itu sudah cukup, tak perlu harus satu dunia tahu.

" Jangan menawarkan hal yang tak akan pernah bisa kau turuti,"

Rian hanya menjawab singkat, perhatiannya masih tertuju ke pesan masuk yang sedari tadi di kirimkan oleh Ilham. Rian hanya berpura- pura tak memperhatikan sang kekasih yang selama beberapa hari ini terlihat begitu menggemaskan dengan tingkah bingungnya sendiri dalam mengusahakan dirinya. Rian cukup tak kaget jika Nathan akan menawarkan ajakan yang basa- basi.

" Kau begitu mengenalku sayang..."

Nathan yang merasa begitu malu itu pun memeluk pinggang sang kekasih dan menyembunyikan wajahnya di perut Rian. Ia begitu merasa terharu dengan sifat Rian yang begitu dewasa, pria mungil itu tak pernah menuntut macam- macam sejak mereka berpacaran. Rian selalu bisa menerima dirinya yang seolah menyembunyikan jati dirinya sendiri.

" Heem... hampir tiga tahun aku bersamamu, aku yang selalu berusaha mengejar pria cupu yang setiap waktu harus menghubungi ayahnya yang terlalu protektif. Aku yang mengirimimu surat setiap hari demi meluluhkan pria dingin yang bahkan tak tersentuh makhluk lain itu. Aku yang dengan rela mengunjungi apartementmu yang letaknya begitu jauh dari tempatku hanya karena kau bilang stres dengan skripsi. Ya... sebegitu cintanya aku padamu, jadi jangan kau sekali- kali lagi membentakku apalagi mendiamiku berhari- hari seperti minggu lalu,"

Rian berbicara panjang, tangannya yang tadi sibuk memegang ponsel itupun kini mengelus perlahan kepala pria yang dicintainya sepenuh hati. Rian bahkan sampai harus menggagalkan rencana untuk memberi pelajaran pada Nathan. Semua rencana Rian dengan mendiami dan tak mempedulikan Nathan nyatanya harus gagal dengan tindakan sepele seperti sikap manja Nathan saat ini. Rian terlalu lemah jika harus dihadapkan dengan Nathan.

Sedangkan di kota sebrang, Max sibuk mencari cara untuk bisa menghubungi Nathan, pria jangkun itu begitu merindukan Nathan. Tommy bahkan tak sanggup membantu, pria itu berkata jika Nathan hampir tak pernah lagi berkumpul dengan kawan- kawannya. Orang suruhannya pun mengatakan jika Nathan tak pernah berbuat aneh- aneh dengan pergi ke klub malam dengan wanita. Kegiatan yang selalu dilaporkan kepadanya adalah hal yang sama, Nathan pergi ke kantor lalu meninggalkan kantor dengan tepat waktu. Namun satu hal yang membuatnya berpikir keras, Nathan tinggal di apartement dengan pria yang sama sekali tak diketahuinya, sejak kapan pria itu terakhir kali menginjakkan kaki di rumah?

Pikiran cemas pun juga dialami oleh Ilham. Pria dengan wajah sendu itu beberapa kali menatap ponsel yang tak kunjung menampilkan dering balasan. Sudah puluhan pesan yang dikirim ke Rian, namun ia lagi- lagi dibuat kecewa dengan balasan yang begitu singkat terkesan cuek.

Menghembuskan nafas panjang, Ilham pun menaruh ponsel ke meja dengan lemparan kasar. Jari- jarinya menyunggar helaian rambut mengekspresikan kekesalan.

" Hanya menjadi tempat cadangan saat kau tak mendapat perhatian dari pemilik utamamu. Lihat aku Ri... aku hampir gila karena mengejarmu bertahun- tahun," batin Ilham menggeram marah. Ia merasa begitu jengkel dengan hatinya yang lagi- lagi menginginkan pria yang tak mungkin untuk bersamanya, pria yang sudah menggilai kekasih utamanya.

Mata yang awalnya terpejam itu pun seketika membuka. Tangannya yang tadi sibuk menyunggar rambut itu pun beralih ke ponsel yang mendengungkan nada dering berbeda. Perlahan wajahnya kembali menormal, jarinya pun dengan cepat membuka pilihan pesan.

" Kami berbaikan, Aku tak bisa menjalankan rencana yang kau ajukan, dia terlalu meluluhkan ku bahkan hanya dengan tindakan sederhana. Aku benar- benar menggilainya Aiii..."

" Bahkan kau merasa tak cukup sungkan dengan mengirimkan curhatan tentang kekasihmu kepadaku yang jelas- jelas kau menyadarinya, menyadari kalau aku juga menyukaimu. Kita hanya bisa jadi teman ya, Ri?"

Ilham hampir saja melemparkan ponselnya ke lukisan yang dibingkai kaca jika tidak ada suara ketukan pintu yang mengintrupsinya. Ketukan itu semakin terdengar mendesak, hingga membuat Ilham harus mempersilahkan tamu itu masuk setelah dirasa ekspresi kemarahan pada wajahnya telah terkontrol.

" Maaf mengganggu boss, ada yang ingin saya katakan,"

Lisa, wanita itu melenggangkan kakinya dengan canggung setelah mendapat isyarat mendekat dari Ilham. Wajahnya tertunduk dalam setelah ia berhasil berdiri tepat di depan Ilham duduk.

" Angkat wajahmu jika ingin berbicara. Lagipula kau boleh duduk, sofa dibelakangmu itu bukan hanya pajangan,"

Ilham tak pernah sekalipun berbicara ketus ke anak buahnya. Hanya saja wanita itu datang di saat yang tidak tepat, ia sedang emosi sekarang.

" Boss... aku, aku..."

Lisa masih tak menuruti Ilham yang menyuruhnya untuk duduk. Wanita itu bahkan makin menundukkan wajahnya dengan tubuh yang bergetar, tangannya yang basah itu saling meremat, semua itu tak lepas pandangan dari Ilham.

" Kau bisa keluar sebentar, persiapkan diri apa yang akan kau katakan sebelum...."

" Boss.... aku butuh bantuanmu, aku perlu uang banyak. Boss... tolong aku!"

Lisa berlutut di bawah kaki Ilham. Wanita itu menumpukan kepalanya di lutut Ilham dengan tangis yang begitu histeris. Wanita itu terus meracau dengan tak jelas karena isakannya, sebenarnya ada apa dengan wanita ini?

avataravatar
Next chapter