35 Saling Mengerti?

" OMG, Brother?!" pekik Cherlin dan langsung mendekat kearah Max. Cherlin yang secara kebetulan baru keluar dari kamarnya itu, dikejutkan dengan kehadiran Max yang wajahnya sedikit lebam. Tubuhnya langsung menghadang Max yang ingin menghindar dari pertanyaan. Namun Cherlin adalah gadis cekatan, secara cepat ia langsung berdiri diantara pintu kamar Max dan tubuh besar kakaknya itu. Raut khawatir terpampang jelas di wajah Cherlin, " Brother, pulang-pulang kok wajahnya bonyok, sih!"

" Minggir," perintah Max dengan suara datarnya. Sedangkan Cherlin yang lebih merasa khawatir dibanding takut pun tak mempedulikan hal itu. Tarikan tangan Max yang memaksanya untuk menyingkir dari jalan, di pertahankan Cherlin dengan sekuat tenaga. " Minggir atau aku akan sangat marah!" peringatan final dari Max sedikit menggetarkan Cherlin. Jujur saja, kakaknya itu memang begitu menakutkan saat marah. Ia masih dengan jelas mengingat, mata yang membelalak tajam dan rahang yang berkedut karena geraman marah.

" Ihh… nggak mau, brother cerita dulu!" paksa Cherlin yang kini memeluk tubuh Max. Pria yang begitu dingin itu masihlah saudara kandungnya, ia sungguh merasa sangat khawatir. Mereka memang tak begitu dekat dan tak banyak berbagi masalah, tapi insting sesama saudara begitu kuat. Mereka saling terkoneksi, dan Cherlin tau jika Max butuh mencurahkan isi hatinya.

" Aku sedang dalam keadaan yang tidak stabil saat ini, kau jangan menggangguku!" ucap Max berusaha bicara sepelan mungkin. Lengan kanannya pun terangkat untuk mengusap rambut adik satu-satunya itu, tak bisa dipungkiri kalau rasa rindu tetap ada untuk gadis yang dianggapnya begitu manja. Adiknya ini memang begitu keras kepala, walau pun begitu ia tak mungkin memakinya saat bertindak semaunya, kan?

" Baiklah aku tidak akan mengganggumu dengan bertanya macam-macam. Tapi sebagai sister yang baik, aku akan ada di sampingmu," putus Cherlin seketika malah membuka pintu di belakangnya. Ia langsung memasuki kamar sang kakak dengan berlari cepat lantas melompat dan akhirnya bersila di tengah ranjang dengan menampilkan cengiran khas. " Ayo, cepat masuk!" titah Cherlin dengan melambaikan tangan kearah Max yang masih berdiri di depan pintu.

" Dasar!"

Max sudah tak bisa lagi mengelak, Cherlin selalu membuatnya tak berkutik. Dengan menarik kopernya, Max pun menutup pintu setelah memasuki ruangan. Ia melangkah dengan perut yang sedikit terasa nyeri, ia belum menyelesaikan sarapannya dan malah melewatkan makan siang. Tendangan dari kaki Nathan itu juga turut menyumbang rasa sakitnya.

" Brother mandi dulu, habis itu ku obati, ya!"

" Heem," gumam Max yang mendapat respon cebikan bibir dari Cherlin. Sang adik merasa kesal karena perhatiannya hanya dibalas gumaman. Setelah menaruh koper di sudut ruangan, Max pun membuka lemari besarnya dan mengambil handuk bersih serta pakaian santai. Langkah lemasnya menuju kamar mandi itu tak sekali pun lepas dari pandangan Cherlin yang menatap penuh dengan rasa penasaran. Kakaknya nampak begitu beda.

Titik-titik deras air yang mengguyur dari atas kepala sedikit merelaksasi denyutan sakit. Pembatas dinding dilapisi marmer dan ornament tanaman pun membuat pandangannya sedikit segar. Menyunggar rambutnya ke belakang, kepalanya mendongak dengan kedua mata yang tertutup rapat. Tubuhnya yang semula terbakar panas seketika mendingin kala suhu air melingkupnya, namun hal itu rupanya tidak cukup menenangkan pikirannya yang kalut. Matanya yang terpejam erat malah menggiringnya untuk lebih fokus pada kejadian beberapa saat lalu.

Nathan yang begitu menempel erat ditubuhnya. Nathan yang menyandarkan kepala di dada bidangnya. Nathan yang meremat baju di bagian dadanya. Dan Nathan yang menatapnya penuh dengan permohonan. Bukan dalam artian baik, nyatanya semua itu berbanding terbalik. Nathan seolah sudah frustasi dengan kehadirannya yang terus menempel. Nathan yang begitu merasa kedongkolan dengan sangat hingga meneteskan air mata. Nathan yang sudah tak berdaya sampai melunaknya tulang yang akan meronta meminta di lepaskan kala di dekapan Max, sedahsyat itu Nathan memohon untuk dilepas secara keseluruhan.

" Aku tak tau lagi caranya untuk mendorongmu menjauh. Aku sudah melakukan cara bodoh, mengatakannya secara halus, mengabaikan atau pun bertindak terlalu jauh dengan beradu fisik seperti tadi. Dan pada kesimpulannya pasti kau memahami, aku sama sekali tak tertarik dengan mu. Selama ini aku diam bukan karena mempertimbangkan dirimu untukku. Aku diam karena aku masih menganggap kau adalah orang yang keluarganya dekat dengan keluarga berantakan milikku. Tapi dengan kepulangan mu setelah beberapa bulan, itu sudah cukup menggangguku. Beberapa jam dalam dua hari ini, kau sudah sangat cukup membuatku frustasi dan memutuskan untuk tak mempedulikan segala bentuk kehadiranmu."

Ya, kata-kata panjang dari Nathan masih diingatnya dengan jelas. Tubuh yang lama kelamaan begitu tenang dalam dekapannya itu membuat Max tak habis pikir. Lontaran curahan hati yang begitu panjang dikatakan Nathan dengan suara pelan dan di sisi lain begitu memporak-porandakan hati Max. Nathan bahkan mengucapkannya tanpa tersembunyi, masih ada Tommy dan Aki yang ada di dekat mereka. Setelah usaha gilanya selama ini, apa sama sekali tak berpengaruh? Ia yang terlalu menggebu, atau tak sadar kondisi saat Nathan sudah menggembok pintu hatinya? Ia yang sejak awal terlalu percaya diri dalam bertindak atau memang Nathan yang hatinya sudah sekeras batu? Jadi, kesimpulannya ia di tolak?

" Brother kenapa bisa jadi seperti ini, sih?" ucap Cherlin yang sudah begitu lama menunggu pintu kamar mandi terbuka. Sedangkan Max yang mendengar pertanyaan itu tak menyahut apa pun. Dengan melemparkan handuk basah bekas Max kearah Cherlin itupun sukses menutup kepalanya. Cherlin sontak menjerit, " Huaaa… nakal banget sih, brother!"

" Kau lupa dengan perkataanmu sendiri!" ucap max dengan mendudukkan diri di pinggir ranjang dengan satu kaki yang bergelantung ke bawah dan satu lainnya tertekuk di ranjang. Sedangkan sang adik yang mendapat kejahilan di tengah rasa penasarannya yang menggebu, hanya sanggup mencebikkan bibir dan menghempas handuk basah yang membuat rambutnya berantakan.

" Iya-iya, sini ku obati!"

Cherlin pun harus dibuat lebih mencebik lagi karena kode Max yang harus pindah posisi mengikuti Max yang duduk di pinggir ranjang. Tempat duduknya yang sudah nyaman berada ditengah-tengah itu pun harus menurut. Max pun berhadapan dengan Cherlin yang mulai sibuk mengusap pipi dan sudut bibirnya dengan obat p3k yang sempat diambilnya tadi.

" Parah banget sih! Siapa yang berani nyetak bonyok ini di wajah, Brother?" omel Cherlin dengan tatapan menuntut untuk dijawab.

" Yang pasti orang,"

" Ya, aku tau! Tapi masalahnya, siapa yang berani sama brother yang tubuh besar dan terlihat dominan seperti ini?" ucap Cherlin dengan mengeratkan gigi merasa gemas. Kakaknya itu selalu saja menjelma menjadi orang misterius yang tak bisa terbaca.

" Kalau kau sudah mengobati luka ku, pergi sana! Kepalaku bertambah pusing mendengar suara berisikmu," ucap Max lantas mencubit pipi pucat Cherlin.

" Ihh… jangan membuat ku penasaran dengan mu! Ceritalah sedikit denganku!" bujuk Cherlin dengan mengoyang-goyangkan lengan Max.

" Dari pada penasaran dengan kehidupan datar ku, lebih baik kau katakan tentangmu! Kau memang mahasiswi yang begitu cerdas hingga tak perlu mempelajari materi dari dosen, atau kau berniat mengumpulkan poin pelanggaran hingga bisa membuat mu bebas dari kuliah?"

" Kau tak mengenal adikmu sendiri atau bagaimana? Jelas aku adalah mahasiswi yang termasuk dalam jajaran tingkat atas dalam prestasi. Paras ku yang cantik banyak digandrungi para lelaki. Dan saat ini aku sudah berada di level jenuh. Dengan bangku kuliah yang membuat pantatku panas, dengan gombalan pria yang selalu mengiringiku di setiap langkah kaki. Atau pun permasalahan cinta yang selalu bersiklus sama. Aku hanya ingin bebas dari rutinitas membosankan."

" Benarkah? Jadi, saat ini kau sedang tak menjalin hubungan dengan siapa pun? Tak tertarik dengan pandangan iri dari musuhmu saat kau menggandeng pria tampan?"

" Tidak, pria tampan sangat membosankan. Terlebih aku selalu menjalin hubungan dengan pria yang bersikap sama, mereka nampak begitu gay dengan selalu memperhatikan penampilan, bahkan lebih sering dari pada aku!"

" Gay, menurutmu mereka begitu?"

" I-ya, kebanyakan yang ku temui seperti itu. Ah-ya, kau tau Adit? Pria yang tahun lalu ku kenalkan padamu? Kau pasti sudah menduganya gay sejak awal kan, sampai-sampai kau menyuruhku putus dengannya!"

" Adit?"

" Ya, pria dengan wajah lugu dan selalu berjalan penuh kehati-hatian itu! Sampai sekarang aku tak menyangka kalau dia menutupi jati dirinya dan memacariku, brengsek sekali memang!"

" Pandanganmu tentang gay sesempit itu?" tanya Max setelah ia meresapi pembicaraannya dengan Cherlin. Pandangannya berubah begitu datar, ia seketika takut dengan respon semua orang jika dirinya pria yang berbeda.

" I-ya, lagipula kebanyakan seperti itu. Dan aku tak sedikit pun berniat untuk mengetahui lebih dalam. Eh? Kenapa brother malah memberondongiku dengan pertanyaan?" timpal Cherlin yang baru menyadari kalau kakaknya sedang mengalihkan pembicaraan dan malah terfokus kearahnya. " Ih, nyebelin! Pinter banget ngubah topik pembicaraan."

" Itu salahmu, kau begitu mudah dipancing. Sudah sana pergi, aku ingin tidur!" balas Max lantas menghempaskan tubuh dengan posisi ternyamannya, tengkurap. " Kalau pergi jangan lupa tutup pintu!" tambah Max dengan matanya yang sudah terpejam.

" Nggak mau pergi!" manja Cherlin dengan menghempaskan tubuh tepat di samping max yang kosong. Max yang sudah lelah untuk berdebat itu pun membiarkan sang adik memeluknya dengan erat.

" Eh, brother! Sebelum tidur, kau harus mengatakan alasan kau tak langsung pulang ke rumah dan asal dari wajah lebam mu ini. Ayo, cepat katakan! Kau tidak boleh curang, setidaknya beri aku sedikit petunjuk biar tidurku nyenyak. Kau tak ada permasalahan dengan orang ke tiga atau pun dengan-"

" Menemui orang yang sudah menarik perhatianku begitu jauh. Tapi sayang, anganku seperti tak bersambut baik," potong Max dengan kedua mata yang otomatis terbuka. Ia menatap adik satu-satunya itu dengan dalam. Mereka yang sedang berhadapan itu pun terdiam beberapa saat. Cherlin cukup memahami arti tatapan itu, kecewa.

" Ihh… brother, jangan cerita yang ngenes dong!" sahut Cherlin lantas mengelus punggung Max dan menumpu satu kakinya di bagian tubuh bawah Max, Cherlin memeluknya.

Clek

Bunyi pintu terbuka dan menampilkan wajah paruh baya yang masih terlihat begitu cantik. " Max, kau tidak menghampiri ibu dulu setelah kepulangan mu, ya!" omel Nina dan langsung ditanggapi Cherlin dengan isyarat diam.

" Brother ku sedang tidur karena kelelahan, ibu pergilah dulu!" ucap Cherlin pelan dengan tubuh yang semakin memeluk kakaknya. Ia tak ingin, mamanya itu mengganggu Max dengan pertanyaan-pertanyaan karena wajah lebamnya.

" Kau ini! Sudah besar tapi masih saja menyelinap ke kamar bujangan. Ya sudah, tetap rukun ya!"

" Oke!" balas Cherlin yang seketika mengangkat tangan dengan jari jempol dan telunjuk yang bertemu.

Pintu pun tertutup rapat, suasana juga semakin senyap dengan suara napas yang terdengar beraturan.

" Lea? Ah tidak, wanita itu bahkan sempat menghubungiku karena protes akan kelakuan Max yang meninggalkannya begitu saja di bandara. Lantas siapa yang ditemui Max?" batin Cherlin.

avataravatar
Next chapter