23 Reaksi Berbeda

Udara malam terasa begitu segar memasuki tubuh yang gerah. Lalu lintas yang ramai menandakan suka cita di malam minggu. Menaiki motor dengan kecepatan sedang, pria mungil itu tak sekalipun melepaskan dekapannya pada pria berkaos pendek itu.

Ilham adalah pria yang begitu baik untuk Rian. Ia selalu mengerti posisinya yang sedang bingung untuk berkomitmen. Ia bahkan begitu tulus merangkulnya saat ia sedang bersedih karena kemarahan Nathan padanya.

Rian tak bermaksud jahat dengan bermaksud memberikan Ilham kesempatan yang sama seperti Nathan, ia hanya ingin memberikan balasan untuk Ilham.

"Kau kedinginan?"

Rian hanya bisa tersenyum malu- malu dibalik punggung lebar Ilham. Ia pun menghirup aroma parfum yang dipakai pria itu, Rian begitu senang, aromanya begitu cocok dengan Ilham.

"Tidak, aku hanya ingin memeluk mu dengan erat. Ehmm... Tapi jika kau merasa malu, aku akan melepaskannya."

Rian yang bersiap melepaskan rangkulannya itu secara tiba-tiba di cegah. Ilham malah lebih mengeratkan lagi rangkulan tangan Rian. Pria mungil itu bahkan tak bisa menahan hawa panas yang melingkupi wajahnya. Rian merasa ini adalah hal sederhana yang terasa begitu romantis. Membelah jalanan dengan berboncengan motor serta memeluk sosok orang yang disayang dari belakang, wajah yang diterpa dinginnya angin dan terasa begitu kontras saat wajah memanas karena saling menggoda.

"Ini adalah cafe kecil milikku."

"Hahahh... Kau jangan merendah untuk meroket ya, aiii...!"

Mereka kini sampai di depan sebuah bangunan yang terbilang cukup besar. Kerlap-kerlip papan nama dengan tulisan "Ich liebe dich", rasa-rasanya Rian pernah mendengar dan mengerti terjemahan dari bahasa asing itu.

"Ich liebe dich, bukankah artinya aku mencintai mu?"" tanya Rian membuat kepala Ilham menoleh. Mereka saat ini masih di pelataran cafe dengan di apit ramainya kendaraan yang terparkir.

"Mencintai mu juga, hehehe...."

Rian pun mencubit pinggang Ilham yang sedang membuat lelucon. Tak bisa dipungkiri, Ilham selalu bisa membuat wajahnya memanas bahkan hanya dengan sebuah kata-kata candaan.

Ingatannya kini memutar tentang sikap Nathan yang begitu kaku kepadanya. Bukan bermaksud membandingkan, hanya saja Nathan tak pernah sekalipun mengijinkannya untuk sekedar menggenggam tangan jika sedang di tempat umum. Tapi meski begitu, Rian sangat mencintai Nathan. Tak masalah jika semua orang tak akan bisa mengetahuinya.

"Kenapa diberi papan nama seperti itu, bukankah akan sulit mengingatnya? Kenapa tidak mencari kata-kata yang lebih sederhana, bukankah itu bagian dari strategi pemasaran?"

"Kau jangan terlalu serius. Lagipula pelanggan tetap ku sudah terbilang cukup banyak. Dan kalau penamaan itu sendiri, memang berasal dari bahasa Jerman, artinya aku mencintai mu."

"Kenapa namanya seperti itu?"

Ilham turun dari motor, tangannya pun memegangi Rian yang sedikit kesulitan menuruni motor dengan jok penumpang yang begitu tinggi.

"Tak ada alasan khusus, hanya saja banyak sekali pelanggan yang menyatakan cinta di tempat ini. Mereka bilang tatanan dan juga konsep yang ada memberi suasana romantis."

"Benarkah? Kalau begitu, kau harus cepat-cepat membawaku masuk!"

Rian pun kini begitu bersemangat, tangannya bahkan beralih untuk menarik Ilham agar berjalan lebih cepat.

"Kurasa aku salah kostum, aii..."

Rian yang sudah beberapa langkah memasuki cafe itu tiba-tiba memberhentikan langkah. Pandangannya mengedar dengan rasa malu yang amat dalam. Tak seperti yang ia duga, semua pelanggan nampak berpakaian rapi dan itu terlihat kontras sekali dengan celana dan kaos lengan pendek yang di kenakannya.

Sejujurnya Ilham ingin membuat konsep bertema santai, namun entah mengapa semua pelanggan yang datang kesini seolah berdandan begitu rapi dengan kebanyakan memakai sepatu atau bahkan yang wanita memakai sepatu tinggi. Rupanya Ilham gagal menarget semua kalangan.

"Kenapa berhenti? Ayo keruanganku saja!"

Saat ini Ilham mengambil kendali, ia berjalan dengan penuh kepercayaan diri membelah berbagai pandangan orang yang menatap mereka begitu intens.

"Aku pemilik cafe ini, dan aku pastikan semua orang di sana mengenal ku."

"Itu kau, tapi aku?"

"Kekasih dari pemilik cafe, kurasa mereka akan berpikir seperti itu."

Mereka masuk semakin dalam hingga terdapat tangga yang menghubungkannya ke lantai dua. Ilham masih saja menggenggam tangan mungil itu dengan erat.

"Kenapa kau terlihat santai sekali? Mereka pasti akan menggunjing mu, gay!"

"Perlu kau tau, aku tak peduli anggapan orang."

Mereka sudah menginjakkan kaki di lantai dua. Ilham membalikkan tubuh hingga dapat langsung berhadapan dengan idamannya dari dulu itu.

Ia berjalan semakin mendekat, Ilham menundukkan pandangannya untuk lebih menatap intens. Hembusan nafas mereka seperti mengadu, posisi ini terlalu dekat.

"Hei..."

Ilham mengangkat kepala yang sempat tertunduk itu dengan mengapit dagu Rian. Sebelah tangan Ilham pun menggapai pinggang yang terasa begitu seksi di dekapannya.

Mata Ilham berusaha menarik milik Rian yang terlihat seperti menghindari tatapannya.

"Aiii..."

Jika di situasi tertentu pasti Ilham akan tertawa terbahak-bahak dengan ekspresi canggung dari Rian. Tapi sekarang berbeda, Ilham ingin merasakan kemesraan malam ini.

"Cium aku!" ucap Ilham dengan suara tegas. Tangannya yang sempat di dagu itu kini beralih ke pipi dengan mengelusnya lembut.

"Tidak, ayo kita keruangan mu dulu!"

Rian pun berusaha menyingkirkan tangan yang kini beralih meraba lekukan bibirnya. Ia merasa malu, meski di lantai dua tak ada orang sama sekali, tapi tetap saja ini tempat umum.

Rian selalu saja dibuat tak berkutik jika dengan Ilham, tapi dengan Nathan, ia harus menebalkan muka saat berlagak seperti jalang yang selalu ingin disentuh. Mereka membuatnya memiliki dua kepribadian yang sangat bertolak belakang. Dan Rian yang bodoh masih saja membandingkan dua orang walau saat situasi genting seperti ini.

"Tak akan ada orang, disini!"

Ilham pun langsung meraih belakang leher Rian dan mencium dengan ganas sosok malu-malu itu. Ia sudah tak tahan, lagipula jarang-jarang Rian bertingkah menggemaskan seperti itu.

Ilham mencium dengan teliti, setiap bagian tak luput dari lidahnya. Deretan gigi terasa di absen dan berakhir dengan gulat lidah yang akhirnya membuat Rian menyerah, pria mungil itu kini hanya bisa melenguh nikmat.

Prang

Sebuah pecahan kaca mengagetkan kedua tubuh yang sedang mendekap itu. Mereka kompak saling melepas penyatuan dan menoleh ke sosok wanita yang sibuk membersihkan pecahan gelas yang bercecer.

"Maafkan aku, boss! Aku... Ouch!"

Ilham langsung berjalan mendekat ke arah sosok wanita yang di kenalnya, dia adalah Lisa. Menarik lengan itu dan melihat sebuah pecahan kaca yang mengenai telapaknya.

"Sudah, tinggalkan saja itu, Lis! Nanti minta tolong Leo yang membersihkannya."

Ilham pun menggiring wanita yang sudah tiga tahun bekerja dengannya itu. Mereka memasuki kamar mandi miliknya yang ada di dalam ruangan, akan sangat memakan waktu jika menyuruh wanita itu untuk ke kamar mandi bawah.

"Kucurkan tanganmu di air sampai darahnya berhenti, setelah ini akan ku obati."

Lisa yang menatap genggaman tangan Ilham di lengannya itu menjadi gamang. Di satu sisi ia merasa getaran senang saat melihat Ilham begitu mempedulikannya namun di sisi lain, kenapa ia harus mendapati kenyataan jika dirinya semakin tak mungkin untuk mendapatkan bossnya itu.

"Bagaimana rasa kue yang ku buat untukmu itu, boss? Leo bilang kau bahkan tak membawanya pulang hingga membuatnya menjadi busuk, tak mungkin kan?"

avataravatar
Next chapter